Selasa, 30 April 2013

Islam Pandang Pluralisme Agama: Sebuah Wacana Persfektif


Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. 109: 2-6)


PENDAHULUAN

Pluralisme Agama, atau yang kini biasa disebut pluralisme saja, merupakan istilah yang berbung-bunga dan penuh dengan janji-janji. Janji tentang kehidupan yang damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda-beda, terutama agama, kepercayaan, etnik, ras, kelas sosial dan kelas ekonomi. Tentu saja, bagi masyarakat Indonesia ini adalah sesuatu yang baru. Namun yang baru itu sendiri dapat berubah menjadi sebuah titik tolak berkembangnya pluralisme di negara kita terlebih setelah eksperimen membuktikan lebih dari 50 tahun Indonesia berakhir dengan krisis di segala sisi kehidupan berbangsa.

Sebuah wacana persfektif pemikiran pluralisme akan diangkat dalam makalah ini dengan mengedepankan pemahaman yang sungguh-sungguh atas makna yang terkandung di dalamnya. Pun akan dibahas tentang tren-tren pemikiran pluralisme yang menjadi induk berbagai tren pemikiran tentang pluralisme yang berkembang dewasa ini. 
Menjadi sebuah indikasi bahwasannya pluralisme agama semakin hari justru berkarakter menjadi sebuah agama baru. Baik di level pemikiran maupun di level implementasinya. Bagaimana tidak pluralisme agama kini memiliki semua syarat untuk disebut sebagai agama, yaitu: totalitas, absolutisme, komprehensif, dan eksklusivisme. Alih-alih menjadi wasit bagi semua agama dan kepercayaan. Pluralisme semakin menunjukkan tanda-tanda bahwa pada akhirnya keadaan yang hendak dicapainya tak lain dan tak bukan ialah terminasi agama-agama.
Secara garis besar penyusunan penulisan makalah ini dipaparakan dalam tiga bagian. Pertama adalah Pendahuluan, merupakan latar belakang atau pokok permasalahan tentang Pluralisme Agama. Bagian kedua merupakan isi dari makalah yang terkompilasikan dalam tiga poin: poin A memaparkan tentang definisi pluralisme yang di dalamnya terkandung perumusan masalah, poin B membahas tinjuan atas bahasan yang direfleksikan dalam empat item yang komprehensif. Poin C adalah solusi atau penyikapan permasalahan yang diejawantahkan dalam tiga item. Dan terakhir adalah penutup atau simpulan dari yang dapat diambil dari pokok bahasan serta refleksi diri.

ISLAM PANDANG PLURALISME AGAMA: SEBUAH WACANA PERSFEKTIF

A.    ‘Makhluk’ yang Disebut Sebagai Pluralisme

Jika kita lihat dari berbagai tinjauan, ada banyak sekali definisi tentang pluralisme. Secara epistemologi, Pluralisme Agama, berasal dari dua kata, yaitu kata ‘pluralisme’ dan ‘agama’. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al ta’addudiyyah al dìniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada bahasa tersebut. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mengandung tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan  (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan baik sifat kegerejaan maupun non- kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengaku adanya landasan pemikiran yang mendasari lebih dari satu. Sedangkan Ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut1). Sehingga Pluralisme Agama dapat diartikan sebagai kondisi hidup beragama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.
Kata pluralisme sendiri harus dibedakan dengan pluralitas. Pluralitas adalah suatu kenyataan. Kenyataan dimana kita sebagai komunitas masyarakat hidup dalam suatu kemajemukan, seperti agama, kepercayaan, suku, ras, dan lain sebagainya. Bahkan jika pun kita telaah, pada dasarnya Islam tumbuh karena sebuah lingkungan yang plural (pluralitas). Sungguh tepat kiranya MUI menggunakan kata pluralitas dengan pluralisme. Menurut mereka pluralitas itu tidak ada masalah. Akan tetapi, bahawa pluralisme itulah yang justru jadi masalah.
Walau sudah ada semacam clear-cut antara definisi pluralitas dan pluralisme, tetapi sampai saat ini makna pluralisme masih ada dalam kesimpangsiuran atau masih dalam kerancuan. Tak urung menjadi sebuah perdebatan yang alot diantara pemuka-pemuka agama. Serta penyikapan yang masih dicari solusinya.
Seperti yang sudah dituliskan di atas, Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)."
Dalam bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick lewat buku ‘Religious Pluralism’:

"refers to a particular theory of the relation between … traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality." (Pluralisme agama mengacu pada sebuah teori khusus tentang hubungan antara tradisi-tradisi -agama-agama-, dengan klaim-klaimnya yang berbeda dan bersaing. Ini adalah teori bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi-konsepsi dan persepsi-persepsi tentang, dan respon-respon terhadap, realitas ketuhanan yang mutlak dan misterius yang satu).

Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Pluralisme adalah paham religius artifisial, yang berkembang di Indonesia, dan merupakan bentuk lain dari asimilasi tetapi menyerap nama pluralism. Jika teori, atau lebih tepatnya: paham, "persamaan agama" di era modern ini lahir dan berkembang di belahan dunia bagian barat -sebagai konsekwensi logis dari proses demokratisasi, maka paham ini secara tak terhindarkan segera merambah ke bagian-bagian belahan dunia yang lain yang mentaklidi sistem demokrasi ini, seperti Indonesia.
Dari banyaknya definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwasannya Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Oleh karena tujuan semua agama itu sama yaitu untuk menyembah The Real, Yang Maha Agung, maka atas dasar itu pula cara yang dipakai pun sah-sah saja walau merujuk kepada satu agama atau mengadaptasinya. Pluralisme dalam pengertian di atas dikatakan telah menjadi semacam `aqidah. Di kalangan kaum pluralis sendiri memang telah ada yang mengatakan demikian.2)
Pluralisme (agama) dalam konteks pembicaraan ini merujuk faham menyamakan semua agama dalam artian:
a.      Kebenaran ada dalam semua agama, dan
b.      Keselamatan boleh dicapai melalui agama yang lain.
Pluralisme dalam pengertian ini harus dibedakan dengan toleransi antara agama dalam sebuah masyarakat majmuk. Selain itu ia juga harus dibedakan dengan sinkritisme yang selalu diartikan sebagai faham campur-aduk pelbagai agama.

B.    Pluralisme Agama dan Sebuah Tinjauan

1. Sejarah dan Perkembangannya

Pluralisme muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titk permulaan bangkitnya pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana pergolakan pemikiran yang terorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Ia berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal atau paham liberlisme yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai sebagai mazhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama juga kental dengan nuansa dan aroma politik. Di sini pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Seiring waktu berjalan, pluralisme pun berkembang dengan pemikiran-pemikiran baru dari pakar-pakar yang sebelumnya berkontribusi mencuatkan “metamorfosa” ini di dunia. Pada abad ke-15 cikal bakak pluralisme ini muncul di India dalam gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya Guru Nanak (1469-1538) pendiri agama “Shikisme”. Di abad ke-19 pluralisme agama mulai dikenal di Amerika sebagai upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pelopor gerakan reformasi pemikiran agama ini adalah Friedrich Schleiermacher. Di mana itu pun berkembang dari lingkungan gereja kristen yang mana banyak pemuka-pemukanya yang memang sudah mengenal dasar-dasar atas pemikiran yang melandai pluralisme itu (red: liberlisme). Di abad ke-20 ini seyogianya Pluralisme Agama telah menjadi sangat kokoh.
Jika pun kita meilhat sebab-sebabnya, di sini sedikit disisipkan. Sebab-sebab timbulnya teori pluralisme sebenarnya amat banyak dan beragam. Namun dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Untuk yang pertama, faktor internal atau ideologis merupakan faktor yang timbul sebagai akibat adanya tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolue truth-claim) di agama-agama itu sendiri, baik masalah aqidah, sejarah maupun keyakinan atau doktrin. Sedangkan Faktor eksternal atau biasa dikenal dengan faktor sosio-politis, rupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berkembang di kalangan masyarakat.

2. Tren-Tren Pluralisme dan Dasar-Dasarnya

Dalam perkembangannya, ternyata diketemukan tren-tren pemikiran yang menjadi induk akan tumbuhnya pluralisme yang tengah marak saat ini. Tren-tren itu antara lain: tren humanisme sekuler, teologi global, sinkritisme dan hikmah abadi (Sophia Perennis).
1.       Secara umum, konsep Humanisem Sekuler bercirikan “antroposentris”, yaitu menganggap manusia sebagai hakikat setral kosmos (center of cosmos) atau menempatkan manusis di titik sentral. Intinya, manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu.
2.      Selanjutnya teologi global. Teologi ini luar biasa dahsyat dan komleks karena dapat mengubah tatanan hidup manusia dalam segala aspek. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati-diri dan nilai-nilai suatu kultur dan budaya. Inti ajarannya bahwa tidak perlu bersikap resisten  dan menentang globalisasi dan globalisem yang sudah nyta-nyata menjadi kenyataan dan tak mungkin untuk bisa menghindarinya.
3.      Tren Sinkretisme adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampuradukkan dan merekonsiliasi berbagai unsuryang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksidari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertenu dan dalam suatu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru)
4.      Hikmah Abadi justru muncul sebagai respon kritis terhadap tren-tren tersebut di atas. Tesis himha abadi ini berambisi dan mengklaim ingin mengembalikan agama ke habitat asal-kesucian dan kesakralannya yang sempurna lagi absolut, serta ingin memperlakukan semuanya secara adil dan sama rata sepenuhnya.3)

3. Implikasi Pluralisme Terhadap Agama

Fenomena pluralisme agama pada kenyatannya sangat kompleks dan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Apabila kita memperhatikan peta fenomena pluralisme agama sebagaimana yang telah termanifestasi dalam tren-trennya –bahwa semua agama itu sama- secara serius, seksama, kritis dan obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai masalah dan isu mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan kehidupan keagamaannya. Sebagian implikasi teori atau faham ini erat kaitannya dengan isu-isu yang bersifat teoritis, epistemologi dan metodologis, serta berhubungan dengan isu HAM (Hak Asasi Manusia)- khususnya kebebasan beragama. Ini mengantarkan gagasan pluralisme pada posisi yng sulit untuk menjawa petanyaan yang krusial, apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, seperti yang diklaim oleh para penggaagasnya, atau malah menimbulkan problem barudalan fenomena pluralisme agama?
Implikasi nyata yang muncul atas konsekuensi logis munculnya pluralisme agamad di antaranya adalah terminasi agama-agama. Sebagaimana yang kita tahu bahwa di beberapa negara Barat koeksistensi antar berbagai penganut agama, Kristen, Judaisme, Islam, Hinduisme, ateisme, sekelerisme seudah “tampak” hidup berdampingan dalam suasana penuh kedamaian, keramahan, toleransi, kebebasan dan saling menghargai. Namun kenyataannya tidak seperti itu, realita membuktikan bahwa Islam dan kaum Muslimin di negara-negara tersebut sebenarnya ‘dipaksa’ untuk bisa menyelaraskan diri dengan, untuk tidak mengatakan ‘tunduk’  kepada Barat sepenuhnya dan harus melepaskan diri dari keberpihakan dan hak-hak keagamaan mereka, meskipun dalam bentuk paling sederhana: seperti mengenakan hijab.
Fenomena “Americanization” (Amerikanisasi) mengindikasikan tiga hal: 
pertama,  bahwa teori pluralisme agama secara meyakinkan telah terbukti tidak ramah, intoleran terhadap agama-agama, bahkan dalam beberapa kasus cenderung menghilangkan suatu agama. 
Kedua kebalikan dari ke-netral-annya telah menjadi falsafah hidup (worldview) bahkan memiliki karakteristik sebuah agama pada umumnya.Ketiga, pluralisme yang tidak mampu menjamu kultur tetamu (host culture4) telah mendatangkan bencana dan petaka yang dahsyat bagi agama-agama lain serta membawa akibat yang luar biasa, yakni sekulerisme, ateisme, agnostisisme, skeptisme, yang kesemuanya itu berakhir pada satu muara, yaitu terminasi agama-agama.  
Pada intinya, dalam pandangan puralisme, semua agama dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap The Real (hakikat ketuhanan) yang sama. Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sebagai berikut : - pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural - pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama - pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain. Bahkan jika kita melihat objektif kondisi masyarakat Indonesia saat ini, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan ajaran yang tidak semestinya. Dengan dalih bahwa inti semua ajaran  agama sebenarnya sama, maka dalam hal ini umat dituntut untuk saling menghormati dan menghargai antar umat beragama. Namun pada kenyataan tidak seperti itu jadinya. 
Kasus ajaran-ajaran yang sempat mencuat akhir-akhir ini di Indonesia telah membuat heboh para ulama dan seluruh masyarakat. Tak bisa disangkal bahwa ini bisa jadi ‘titisan’ dari berkembangnya pluralisme agama di Indonesia. Dengan ‘sewenang-wenang’ mereka memutar balikkan fakta atas ayat-ayat Allah dan mencari-cari kebenaran yang sebetulnya salah. Mereka menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tafsiran yang tidak di dukung dengan sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan masalah tersebut, baik dengan cara memperbarui penafsiran ayat-ayat maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
Di tambah lagi belakangan ini, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, didefinisikan bahwa pluralisme yang dilarang adalah yang "menganggap semua agama yg berbeda adalah sama". Sementara salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun.
4. Islam Pun Berlirih
Sebuah fakta mengatakan bahwa terminologi pluralisme, atau dalam bahasa Arabnya ‘al ta’addudiyyah’,  tidaklah dikenal secara populer di kalangan kecuali semenjak kurang dari dua dekadi terakhir abad ke-20 yang lalu. Yakni ketika Barat berupaya menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas. Namun ketika adanya peremehan dan penghinaan segala sesuatunya yang bukan Barat khususnya Islam, maka Islam pun bangkit dan merespon perkembangan politis ini  dan menjadi concern di kalangan cendikia-cendiki Islam.
Jika kita dudukan, permasalahan pluralisme sebenarnya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis, administrtif dan historis, daripada masalah keimanan atau teologi, dimana wahyu telah menuntaskan secara finaldan menyerahkan kepada kebebasan dan kemantapan individu dalam memilih agama, sebagaimana firman Allah Swt:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), seseungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (AL-Baqarah: 256)
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis –oleh karenanya lebih bersifat fiqiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologi.
Pandangan dasar Islam terhadap agama pada dasarnya berngkat dari aqidah tawhìd yang dituangkan dalam kalimat “laa ilaaha illallaah” (tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam dan realitas fundamental aqidah Islam. Pluralitas adalah merupakan “hukum” ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi dalam semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah.
Secara epistemologi sebenarnya sudah sangat jelas bahwa istilah pluralisme yang di pelopori oleh Jhon Hick merupakan sebuah alih-alih untuk coba menggulingkan kekuatan agama dengan meleburkannya menjadi satu, entah dalam tataran teologis maupun metodologis yang pada akhirnya membentuk suatu tatanan kehidupan beragama yang tidak lagi dilandasi oleh prinsip dasar yang dijunjung oleh sebuah keyakinan atau kepercayaan atas komitmen suatu agama. Dengan kata lain fundamen-fundamen agama, dalam hal ini Islam, berusaha digoyahkan atau bila perlu membuat fundamen yang baru sehingga terbentuk “isme” baru akan sebuah ajaran.

C.    KEMBALI PADA HANIFÌYYAH

1. Dalil Para Penganut Faham Pluralisme

Untuk mengesahkan faham pluralisme tersebut para pendukungnya merujuk Al-Qur’an dan membuat tafsiran-tafsiran “se-enaknya” yang sejalan dengan pola fikir pluralis. Antara ayat-ayat yang dirujuk termasuk di dalamnya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Al-Hujurat:13)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."(Al-Rum:22)

Ayat tentang perbedaan-perbedaan tersebut di atas dipersepsikan sebagai dasar pluralisme. Perbedaan adalah suatu kenyataan yang positif dan harus disikapi secara positif -- saling mengenal dan saling menghargai.

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Thaghut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t." Al-Baqarah: 256)

Ayat tersebut dipakai untuk menjustifikasikan pluralisme dengan memberinya pengertian bahawa tidak ada paksaan dalam memilih satu agama. Pengertian seperti itu membawa implikasi bahawa manusia boleh memilih agama mana saja karena pada hakikatnya semuanya sama.

"Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin5) , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah6) , hari kemudian dan beramal saleh7) , mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah:62)

Ayat di atas merupakan sandaran utama kaum pluralis untuk menjustifikasikan pendirian inklusif bahwa semua agama -- asal menyerah kepada Tuhan -- adalah benar dan dapat mencapai keselamatan abadi. Ternyata mereka memahami ayat tersebut secara harfiah, terlepas dari kaitannya dengan zaman keabsahan agama-agama yang berkenaan, dan terlepas dari syarat menganut Islam (setelah pengutusan Muhammad SAW) sebagaimana yang biasa ditafsirkan oleh para ulama mukta
Untuk membuktikan keabsahan fahamnya kaum pluralis harus mampu melaksanakan suatu projek besar: mendobrak dan membongkar konsep-konsep dasar yang telah mapan dan mantap termasuk konsep Islam dan konsep ahli Kitab. Tampaknya mereka mengeksploitasi dengan leluasa sekali pendekatan deconstruction (pembongkaran) tajaan kaum pascamodenis untuk mempersoalkan pemikiran dan faham yang telah mapan.
Konsep Islam di tangan kaum pluralis telah mengalami pelonggaran makna sehingga meliputi siapa saja asalkan menganut agama “Islam” dalam arti agama yang tunduk dan menyerah kepada Tuhan. Tentang bagaimana cara tunduk dan menyerahnya tidak menjadi persoalan. Dengan demikian “Islam” menjadi begitu inklusif setelah dilonggarkan menjadi sekedar kata kerja dan kata terbitan yang bermakna tunduk dan menyerah.
Al-Islam sebenarnya bukan sekadar nama terbitan dari kata kerja aslama dengan makna tunduk dan menyerah, tetapi ia adalah nama agama yang diturunkan Allah kepada Rasul terakhirnya Muhammad SAW. Al-Islam dalam pengertian inilah yang mengandungi cara tunduk dan menyerah sebagaimana yang diperkenan dan dirdhai oleh Allah Swt. Hanya -- Al-Islam: `aqidah dan syariat Muhammadiyah -- itulah satu-satunya cara tunduk dan menyerah yang sah dan diterima Allah. Demikianlah makna al-Islam apabila ia disebut dalam al-Qur’an.

2. Kekeliruan Pluralisme Agama

  • Anggapan bahawa manusia dapat sampai kepada Tuhan yang sama lewat jalan-jalan (agama-agama) yang berlainan adalah bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an tentang jalan Allah yang satu-satunya, jalan lurus (agama Islam) yang haris diikuti, bukan jalan-jalan lain yang menyimpang seperti yang dinyatakan dalam ayat 153 surah Al-An`am.
  • Andaikata agama-agama lain juga benar dan dapat membawa umat masing-masing mencapai keselamatan hakiki dan abadi, lalu apa perlunya Allah mengutus Muhammad SAW. sebagai rasul terakhir?
  • Andaikata semua agama sama, semuanya benar, lalu apa artinya pernyataan Tuhan bahwa “Bahwa Dia-lah yang mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Al-Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikan atas segala agama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya” sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah:33.
  • Andai kata semua agama benar, lalu apa artinya kewajiban mendakwah atau mengislamkan orang yang belum/tidak menganut Islam?
Kemajemukan (agama) bukan fenomena baru. Ia telah menampakan wujudnya semenjak zaman Nabi SAW. dan sejak itu pula telah diletakkan asas formula menanganinya seperti yang terumus pada ungkapan Qur’ani “lakum dinukum wa liya din” (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) tanpa saling menyembah tuhan masing-masing, tanpa saling mengakui kebenaran agama masing-masing.

3. Penyelesaian Metodologis

Terhadap sejumlah kontradiksi antara satu ayat yang mendukung pluralisme agama di satu pihak dan ayat yang menolaknya di pihak yang lain tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Alquran adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Alquran sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Alquran.
Untuk kepentingan itu, pada hemat kajiannya, Alquran kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lanskap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim, dan lain-lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) non-muslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) non-muslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka pada hematnya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke dalam sinaran ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.
Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang tertuang di dalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat non-muslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
Kembali pada hanifiyyah atau berpaling dari kesesatan dan menuju ke jalan kebenaran, sesungguhnya islam adalah agama fitrah,

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perbuatan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Ar-Rum: 30)

Ini semua kembali menegaskan, bahwa agama yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui semua rasul dan nabinya adalah satu, Islam, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah adalah Islam(Ali Imran:19); “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama ini) dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi(Ali Imran:85)
“Agama yang paling dicintai Allah adalah hanìfiyyah (agama yang lurus) yang lapang”8)

PENUTUP

Berbagai telaah telah banyak dipaparkan oleh para cendikiawan Islam yang ingin mengembalikan ajaran Islam kepada sesuatu yang kaffah.

“Hai orang-orang  yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al –Baqarah: 208)

Kita mempercayai bahwa syariat Rasulullah SAW. adalah ‘Dinul Islam’, yang di ridhai oleh Allah Swt sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya. Dan tidaklak Allah menerima agama selain Islam., sebagaimana firman Allah pada surat Al-Imran ayat 19 yang artinya : “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.
Tampak seperti sudah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” akan pengertian agama secara dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik,
Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai (mutual respect) atau apa yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai "Pluralisme Agama".
Alih-alih menciptakan kerukunan dan toleransi, paham Pluralisme Agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.
Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.
Para pendiri agama kelihatan tidak memaksa pengikutnya. Kalaupun ada panggilan dalam agama untuk melakukan misi atau dakwah, tidak dimaksudkan dengan cara agresif, tapi dengan cara memberikan kesaksian dengan tidak bermaksud mengajak orang lain secara paksa. Secara teologis mungkin relevan apa yang dikatakan Al-quran bahwa segala sesuatu di dunia ini dikehendaki Allah. Bagi Allah tentu gampang mempersatukan kita dalam satu agama, tapi Dia tidak melakukannya.
Pertama dan yang paling penting bahwa umat beragama harus betul-betul bersedia hidup bersama dengan damai. Supaya mereka dapat mengembangkan toleransi positif. Umat agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai untuk dapat hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Secara tradisional sebenarnya itu sudah ada, tapi sering tertutupi oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan politik. Kedua, kita membedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Maksudnya menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama sama. Sikap pluralis adalah kita mampu hidup dengan umat beragama yang berbeda dengan kita. Pluralisme juga memerlukan sikap menerima umat yang berbeda. Memang ada persamaan tapi juga ada perbedaan. Ketiga. Jelas, solusi yang diberikan Islam terhadap problem pluralitas agama bertumpu pada penegasan jatidiri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang serba meliputi kehidupan beragama.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada ALLAH .”(Al-Imran: 110).

1 Definisi yang ditulis menurut Dr. Anis Malik Thoha dalam bukunya yang berjudul Tren Plualisme Agama; cetakan pertama, Jakarta 2005; Penerbit Persfektif – Kelompok Gema Insani Press

2 Dr.Siddiq Fadhil mengatakan bahwasannya Aqidah pluralis-inklusif yang secara konsekuensial menghasilkan pula fiqh pluralis (lihat buku Fiqih Lintas Agama) yang dibedakan daripada `aqidah eksklusif dengan fiqh eksklusifnya pula.

3 Seyyed Hossen Nashr telah menjelaskan tesis perennial philosophy atau philoshopi  perennisnya ini secara detail dan panjang lebar dalam berbagai karyanya. Lihat: Nashr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred [1988]

4 Marty, Martin E., Religion & Republic: The American Circumstance (Boston: Beacon Press, 1987) hlm. 35

5 Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.

6 Orang-orang mu'min begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.

7 Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. "

8 H.R. Al Bukhari, Al-Iman: 29; Ahmad 1:246

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Apa salahnya Pluralisme Agama?, artikel pada situs Hidayatullah.com (Edisi 03/XVIII/Juli 2005) 
______Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com  (1 Oktober 2005)
Fadzil, Siddiq, Pluralisme Agama : Perspektif Qur'ani,  artikel pada ABIM Online.com (Kuala Lumpur: 24 April 2005)
Ghazali, Maqsith Abd, Problematika Quranik Pluralisme Agama, artikel dari Media Indonesia (06 Agustus 2004)
Husaini, Adian, Bedah Pluralisme di Bandung, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 17 Oktober 2005)
Husaini, Adian, Selamat Datang Buku Dr. Anis Malik Thoha, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 12 September 2005)
______, Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com  (1 Oktober 2005)
______, Polemik Pluralisme di Indonesia, dari situs Wikipedia Indonesia-Ensiklopedia (09 September 2005)
Rachman, Munawar Budhy, Teologi Pluralisme di Persimpangan Jalan, artikel dari p3m.com (14 September 2005)
Suseno, Magnis Franz, Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme, artikel pada situs islamlib.com/wawancara (08 September 2002)
Sjadzali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan PARAMADINA: 1995)      
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Persfektif, Kelompok GEMA INSANI, 2005)
Thoha, Anis Malik, Pluralisme, Klaim Kebenaran Yang Berbahaya, artikel dalam rubrik Tsaqafah majalah Hidayatullah (Jakarta: September 2004)

Jumat, 26 April 2013

Masalah Sosial dan manfaat sosiologi





 DAFTAR ISI


KataPengantar……………………………………………........................…......ii

Daftar Isi..................................................................................…….....................iv

A. Pendahuluan…………….………………….……….........…............……......1                  

         1 Latar belakang.........................................………………..……..................1

         2.Metode penelitihan..................................…………………..…..…............1

         3. Rumusan masalah...............…………………………………..…..............2                  

B. Pembahasan.......................................................................................................3

1. Pengertian Masalah Sosial..............................................................…........3

          2. Klasifikasi masalah sosial dan sebab-sebabnya..............……..….............5

          3. Ukuran-ukuran sosiologis terhadap masalah sosial...................................6

          4. Beberapa masalah sosial penting………………………...........................8
          5. Pemecahan masalah sosial........................................…..….....................13
          6. Manfaat Sosiologi...............................………………………..…...........14

C. Penutup............................................................................................................17

1. Kesimpulan.......................................................................................................17

2. Saran.................................................................................................................18



A.   PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam,terutama menelaa gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat seperti norma-norma, kelompok , lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses , perubahan dan kebudayaan, serta perwujudannya. Tidak semua gejala-gejala tersebut berlangsung secara normal sebagaimana dikehendaki masyarakat bersangkutan.
Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal atau gejalapatologis. Hal itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya,sehingga menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah – masalah tersebut berbeda dengan problema-problema lain dalam masyarakat, karena maslaah-masalah tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hal ini dinamakan masalah karena bersangkut paut dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat. Dengan demikian, masalah-masalah menyangkut nilai-nilai yang mencangkup pula segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan sebagai masalah harus digunakan penilaian sebagai pengukurannya. Apabila suatu masyarakat menganggap sakit jiwa, bunuh diri, perceraian, penyalahgunaan obat bius (narcotics addiction) sebagai masalah , maka masyarakat tersebut tidak semata-mata menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang. Akan tetapi sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum mengenai segi moral. Setiap masyarakat tentunya mempunyai ukuran yang berbeda mengenai hal ini seperti minsalnya soal gelandangan merupakan masalah nyata menghadapi kota-kota besar di Indonesia. Tetapi belum tentu masalah tadi dianggap sebagai masalah di tempat lainnya. Hal ini juga tergantung dari faktor waktu. Mungkin pada waktu-waktu lampau permainan judi dianggap sebagai masalah yang penting akan tetapi dewasa ini tidak. Selain itu juga ada masalah-masalah yang tidak bersumber pada penyimpangan norma-norma masyarakat, tetapi lebih banyak mengenai susunannya, seperti masalah penduduk, pengangguran dan disorganisasi keluarga serta desa.
Sudah tentu sosiologi juga dapat mempunyai manfaat bagi bidang-bidang lain seperti pemerintahan, pendidikan, industri dan lain sebagainya.
2.      METODE PENELITIHAN
Metode penelitihan dalam penyusunan makalah ini adalah :
Studi Literatur Yaitu teknik pengumpulan data dengan membaca buku-buku pustaka yang merupakan penunjang dalam memperoleh data untuk melengkapi dalam penyusunan makalah yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
3.      RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil keputusan masalah sebagai beriktu :
1.      Apa pengertian masalah dan masalah sosial
2.       Klasifikasi masalah sosial
3.      Apa manfaat  dari sosiologi




B. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MASALAH SOSIAL
Acap kali dibebankan antara dua macam persoalan yaitu, antara masalah masyarakat (scientific or societal problem) dengan problema ( ameliorative or problem).Yang pertama menyangkut analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedang yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya. Sosiologi menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan.
   Walaupun sosiologi meneliti gejala-gejala kemasyarakatan, namun juga perlu mempelajari masalah-masalah . Karena ia merupakan aspek-aspek tata kelakuan . Dengan demikian, sosiologi juga berusaha mempelajari masalah seperti kejahatan, konflik antar ras, kemiskinan, perceraian, pelacuran, delinkuensi anak-anak dan seterusnya. Dalam hal ini sosiologi bertujuan untuk menemukan sebab-sebab terjadinya masalah sosiologi tidak terlalu menekan pada pemecahan atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Karena usaha untuk mengatasi maslah hanya mungkin berhasil apabila didasarkan pada kenyataan serta latara belakangnya, maka sosiologi dapat ikut serta membantu mencari jalan keluar yang mungkin dapat dianggap efektif.
Masalah merupakan bagian sosiologi, sebenarnya masalah merupakan hasil dari proses perkembangan masyarakat. Artinya problema tadi memang sewajarnya timbul, apabila tidak diinginkan adanya hambatan-hambatan terhadap penemuan-penemuan baru dan gagasan baru. Dalam jangka waktu masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, timbullah maslah sosial, sampai unsur-unsur masyarakat berada dalam keadaan stabil lagi. Masalah sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adapt – istiadat, tradisi dan ideology ditandai dengan suatu proses sosial yang disosiatif.
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.
 Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, atas dasar unsur biologis, berkembang pula kebutuhan lain yang timbul karena pergaulan dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial, peranan sosial dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis serta kebutuhan-kebutuhan biologis. Dan dia akan merasa kehidupan ini tak banyak gunanya.
Untuk merumuskan apa yang dinamakan dengan masalah sosial tidak begitu sukar, dari pada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Banyak yang mengusahakan adanya indeks tersebut seperti minsalnya indeks simple ratesi yaitu angka laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka bunuh diri, perceraian dan sebgainya. Sering juga diusahakan system composite indice yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.
Indeks-indeks tersebut sukar untuk dijadikan ukuran mutlak, karena system nilai dan norma-norma dalam setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Angka-angka bunuh diri yang tinggi di dalam suatu masyarakat tertentu mungkin dianggap sebagai suatu indeks akan adanya disorganisasi.

2. KLASIFIKASI MASALAH SOSIAL DAN SEBAB-SEBABNYA
Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor :
1.      Ekonomis, misalnya : kemiskinan dan pengangguran,dll
2.      Biologis, misalnya : penyakit,dll
3.      Biopsikologis, misalnya : penyakit syaraf, bunuh diri, aliran sesat dll
4.      Kebudayaan, misalnya : perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik sosial dan keagamaan,dll
Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang bersangkut paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Problema – problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Penyakit, minsalnya bersumber pada faktor biologis. Dari faktor psikologis timbul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
            Klasifikasi yang berbeda, mengadakan pengolahan atas dasar kepincangan-kepincangan dalam warisan fisik, warisan biologis, warisan social dan kebijaksanaan social. Kedalam kategori pertama dapat dimasukkan masalah social yang disebabkan adanya pengangguran atau batasan-batasan sumber alam. Kategori kedua mencangkup persoalan-persoalan penduduk, minsalnya bertambah atau berkurangnya penduduk, pembatasan kelahiran, migrasi dan sebagainya.



3. UKURAN-UKURAN SOSIOLOGIS TERHADAP MASALAH SOSIAL
Dalam menentukan apakah suatu masalah merupakan problema social atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu :
1. Kriteria utama
Masalah social yaitu, tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai social dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah social adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi. Secara sosiologis, agak sulit untuk menentukan secara mutlak sampai sejauh mana kepincangan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai suatu problema social juga.
2. Sumber – sumber Sosial Masalah Sosial
Masalah sosial merupakan persoalan-persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung kondisi-kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi sebab-sebab terpentingnya masalah social haruslah bersifat sosial. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat sosial, akan tetapi juga pada sumbernya. Kepincangan yang disebabkan oleh gempa bumi, angin topan, meletusnya api, banjir, epidemi dan segala sesuatunya yang disebabkan oleh alam, bukan merupakan maslah sosial. Yang pokok disini adalah bahwa akibat dari gejala-gejala tersebut, baik gejala sosial maupun bukan sosial, menyebabkan masalah sosial. Inilah yang menjadi ukuran bagi sosiologi.
3. Pihak-pihak yang Menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan masalah social atau tidak.
            Ukuran diatas bersifat relative sekali. Mungkin dikatakan bahwa orang banyaklah yang harus menentukannya, atau segolongan orang yang berkuasa saja atau lain-lainnya. Dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar jika sekelompok warga masyarakat menjadi pimpinan masyarakat tersebut. Golongan kecil tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih besar dari orang lain untuk membuat serta menentukan kebijaksanaan sosial.
Dalam hal ini para sosiologi harus mempunyai hipotesis sendiri untuk kemudian diujikan pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan suatu problema social atau tidak.
4. Manifest social problem dan latent social problem
Sosiologi juga merupakan warga karena itu tidak mustahil, kalau penelitian-penelitiannya kadangkala tercemar oleh unsur subyektif lantaran ikatan yang begitu kuat antara dia sebagai warga dengan masyarakat.
Manifest social problem merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan mana dikarenakan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang.
5. Perhatian masyarakat dan masalah social
Suatu kejadian merupakan masalah social belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat, belum tentu merupakan masalah social.
Hal lain yang perlu pula diketahui adalah bahwa semakin jauh jarak social antara orang-orang yang kemalangan dengan orang yang mengatahui hal itu, semakin kecil pula simpati timbul dan juga semakin kecil perhatian terhadap kejadian tadi. Suatu problema yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi, karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, tetapi masyarakat tidak berdaya untuk menghadapinya. Dalam mengatasi problema tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada perbedaan kedua macam problema tersebut yang didasarkan pada system nilai-nilai masyarakat, sosiologi seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang diterimanya sebagai gejala abnormal yang mungkin dihilangkan (atau dibatasi).

4. BEBERAPA MASALAH SOSIAL PENTING
Kepincangan – kepincangan mana yang dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat tergantung dari system nilai sosial masyarakat tersebut. Akan tetapi ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat pada umumnya sama yaitu minsalnya :
1.      Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Factor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidak adilan. Pada masyarakat moderen yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema social karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer sehingga muncul tunakarya, tuna susila dan lainnya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi.
2.      Kejahatan
Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat denga bentuk-bentuk dan organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi. Para sosiologi berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat social psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseoran menjadi penjahat.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, film, televise, radio, memberikan pengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
Untuk mengatasi maslah itu, kecuali tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua factor konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Yang pertama menciptakan system dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang jahat tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, minsalnya hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberi konsultasi psikologis. Minsalkan kepada narapidana di lembaga permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan untuk menguasai bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
 Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah apa yang disebut sebagai white-collar crime, suatu gejalayang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat. Karena itu pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat didalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relative kuat mungkin mereka untuk melakukan perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendaliannya dengan kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white-collar terletak pada kelemahan korban-korbannya.
3. Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban yang sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah :
a. Unit kerja yang tidak lengkap karena hubungan diluar perkawinan. Karena ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun ibu.
b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur dan seterusnya.
c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut yaitu dalam hak komunikasi
d. Krisis keluarga, oleh salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuan sendiri meninggalkan rumah tangga, meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan.
e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh factor intern, minsalnya karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga.
4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern
Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan (minsalnya dalam bentuk redikalisme, delinkuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis. Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Generasi muda biasannya menghadapi masalah social dan biologis.
5. Peperangan
Perperangan mungkin merupakan masalah social paling sulitdipecahkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sehingga memerlukan kerjasama internasional yang hingga kini belum berkembang dengan baik. Perkembangan teknologi yang pesat semakin memoderilisasikan cara-cara berperang dan menyebabkan pula kerusakan-kerusakan yang lebih hebat ketimbang masa lampau.
6. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
a.       Pelacuran
Sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat pada factor endogen dan eksogen. Diantara factor endogen dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Diantara factor tersebut yang utama adalah factor ekonomis, urbanisasi yang tak teratur. Sebab utama adalah konflik mental, situasi hidup yang tidak dewasa ditambah dengan intelligentsia yang rendah.
Usaha untuk mencegahnya ialah dengan jalan meneliti gejala-gejala yang terjadi jauh sebelum adanya gangguan mental, minsalnya gejala insekuritas pada anak-anak wanita, gejala membolos, mencuri kecil-kecilkan dan sebagainya. Hal itu semuanya dapat dicegah dengan usaha pembinaan sekuritas dan kasih sayang yang stabil.
b.      Delinkuensi Anak-anak.
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan /organisasi formal atau semi formal dan mempunyai tingkah laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya.
c. Alkoholisme
Masalah alkoholisme dan pemabuk pada kebanyakan masyarakat pada umumnya tidak berkisar pada apakah alcohol boleh atau dilarang digunakan. Persoalan pokoknya adalah siapa yang boleh menggunakannya, dimana, bilamana dan dalam kondisi yang bagaimana. Umumnya orang awam berpendapat bahwa alcohol merupakan suatu system syaraf. Akibatnya, seorang pemabuk semakin kurang kemampuannya untuk mengendalikan diri. Pembicaraan alkoholisme mengenai aspek hukum hanya akan dibatasi pada perundang-undangan. Perundang-undangan merupakan segala keputusan resmi secara tertulis yang dibuat penguasa, yang meningkat. Dengan demikian perundang-undangan merupakan satu segi saja dari aspek hukum, karena disamping perundang-undangan, ada hukum adat, hukum yurisprudensi, dan seterusnya.

d.      Homoseksualitas
Homoseksual adalah seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual. Homoseksual merupakan sikap atau tindakan pola perilaku para homoseksual. Pria yang melakukan sikap-tindak demikian disebut homoseksual, sedangkan lesbian merupakan sebutan bagi wanita yang berbuat demikian.
7. Masalah Kependudukan
Penduduk suatu Negara, pada hakikatnya merupakan sumber yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk merupakan subyek serta obyek pembangunan. Salah satu tanggung jawab utama Negara adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk serta mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap gangguan kesejahteraan. Di Indonesia gangguan tersebut menimbulkan masalah, antara lain :
a. Bagaimana menyebarkan penduduk, sehingga tercipta kepadatan penduduk yang serasi untuk seluruh Indonesia.
b. Bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran, sehingga perkembangan kependudukan dapat diawasi dengan seksama.
8. Masalah Lingkungan Hidup.
Lingkungan hidup biasanya dibedakan dalam kategori-kategori sebagai berikut :
a.Lingkungan fisik, yaitu semua benda mati yang ada di sekeliling manusia.
b.Lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup (disamping manusia itu sendiri).
c.Lingkungan social, yang terdiri dari orang-orang baik individual maupun kelompok yang berada disekitar manusia.
9. Birokrasi
Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang dimaksudkan untuk menggerahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk keperntingan pelaksanaan tugas-tugas administrative.

5. PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
Dewasa ini ditemukan cara-cara analisis yang lebih efektif, walaupun metode-metode lama yang terbukti tidak efektif, belum dapat dihilangkan begitu saja. Hal ini disebabkan ilmu social pada umumnya belum sanggup untuk menetapkan secara mutlak dan pasti apa yang merupakan masalah social pokok. Lagi pula pengaruh pemecahan masalah social tidak dirasakan dengan segera, tetapi setelah jangka waktu yang cukup lama. Akhirnya perlu dicatat bahwa pasti ada reaksi terhadap masalah social menyangkut nilai-nilai dan perasaan social. Akan tetapi walaupun ada kekurangan, namun penelitian terhadap masalah social berkembang terus. Metode yang digunakan ada yang bersifat preventif dan represif. Metode yang preventif jelas lebih sulit dilaksanakan, karena harus didasarka pada penelitian yang mendalam terhadap sebab-sebab terjadinya masalah social. Metode represif lebih banyak digunakan, artinya setelah suatu gejala dapat dipastikan sebagai masalah social, baru diambil tindakan-tindakan untuk mengatasainya. Di dalam mengatasi masalah social tidaklah perlu semata-mata melihat aspek sosiologisnya, tetapi juga aspek-aspek lainnya. Sehingga, diperlukan suatu kerja sama antara ilmu pengetahuan kemasyarakatan pada khususnya untuk memecahkan masalah social yang dihadapi.

6.      MANFAAT SOSIOLOGI
Pengetahuan sosiologi telah diterapkan secara umum. Banyak sosiolog yang dipeker-jakan dalam instansi-instansi negara maupun menjadi konsultan berbagai perencanaan pembangunan. Dalam hal ini tentunya peran sosiolog sangat dibutuhkan terutama yang berkaitan dengan penelitian, pengolahan data dan perencanaaan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Kegunaan sosiologi bagi masyarakat adalah :
  1.  Untuk pembangunan.
  2.  Untuk penelitian.
Ø  Untuk Pembangunan
Sosiologi berguna untuk memberikan data sosial yang diperlukan pada tahap perenca-naan pelaksanaan maupun penilaian pembangunan. Pada tahap perencanaan, yang ha-rus diperhatikan adalah apa yang menjadi kebutuhan sosial. Pada tahap pelaksanaan yang harus dilihat adalah kekuatan sosial dalam masyarakat serta proses perubahan sosialnya. Dan pada tahap penilaian yang harus dilakukan adalah analisis terhadap e-fek atau dampak sosial pembangunan tersebut.
Ø  Untuk Penelitian
Dengan penelitian dan penyelidikan sosiologis, akan diperoleh suatu perencanaan atau pemecahan masalah sosial yang baik. Di negara yang sedang membangun, peran sosiolog sangat dibutuhkan. Berdasarkan hasil penelitian sosiologis, para pengambilan keputusan dapat menyusun rencana dan cara pemecahan suatu masalah sosial. Contohnya, cara pencegahan kenakalan remaja dan cara meningkatkan kembali rasa solidaritas antarwarga yang semakin pudar.
Sosiolog dapat menyajikan contoh-contoh konkret tentang bagaimana keterlibatan mereka dalam pemecahan masalah sosial. Keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat membangun serta menunjukkan apa yang telah mereka pe-lajari dari pengalaman-pengalaman tersebut.
Sesuai dengan objek kajiannya, sosiologi terutama meneliti gejala-gejala dalam masyarakat , seperti norma-norma, kelompok sosial, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Tetapi dalam masyarakat, gejala-gejala tersebut sebagian ada yang berlangsung tidak dengan semestinya atau tidak normal. Gejala-gejala yang tidak normal tersebut dinamakan sebagai masalah sosial. Sosiologi dalam hal ini bermanfaat dalam hal menyoroti masalah –masalah sosial walaupun sebenarnya sosiologi juga bermanfaat bagi bidang-bidang lainnya, misalnya pemerintahan, pendidikan, juga industri
Dalam sosiologi, untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi seperti kemiskinan, masalah yang terjadi pada generasi muda, alkoholisme bahkan pelacuran, diperlukan suatu perencanaan sosial yang baik. Untuk itu, terlebih dahulu perlu dilihat lagi masalah-masalah sosial seperti apakah yang sebenarnya dihadapi
Sosiologi berusaha mempelajari masalah-masalah sosial tersebut dengan tujuan untuk menemuka sebab terjadinya masalah tersebut, tetapi tidak terlalu menekankan pada pemecahan atau jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan penelitian yang dilakukan, akan diperoleh ata dan kemudian digunakan untuk merencanakan kebijakan yang menyangkut masyarakat.



C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Masalah merupakan bagian sosiologi, sebenarnya masalah merupakan hasil dari proses perkembangan masyarakat. Artinya problema tadi memang sewajarnya timbul, apabila tidak diinginkan adanya hambatan-hambatan terhadap penemuan-penemuan baru dan gagasan baru. Dalam jangka waktu masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, timbullah maslah sosial, sampai unsur-unsur masyarakat berada dalam keadaan stabil lagi. Masalah sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adapt – istiadat, tradisi dan ideology ditandai dengan suatu proses sosial yang disosiatif.
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.
Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor :
5.      Ekonomis, misalnya : kemiskinan dan pengangguran,dll
6.      Biologis, misalnya : penyakit,dll
7.      Biopsikologis, misalnya : penyakit syaraf, bunuh diri, aliran sesat dll
8.      Kebudayaan, misalnya : perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik sosial dan keagamaan,dll
Pengetahuan sosiologi telah diterapkan secara umum. Banyak sosiolog yang dipeker-jakan dalam instansi-instansi negara maupun menjadi konsultan berbagai perencanaan pembangunan. Dalam hal ini tentunya peran sosiolog sangat dibutuhkan terutama yang berkaitan dengan penelitian, pengolahan data dan perencanaaan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Kegunaan sosiologi bagi masyarakat adalah :
  1.  Untuk pembangunan.
  2.  Untuk penelitian.

2. Saran
1.      Sebagai masyarakat yang bersosial kita seharusnya berpartisipasi dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar kita.
2.      Saya berharap dengan adanya tugas makalah ini pembaca dapat lebih memahami mengenai masalah sosial dan manfaat sosiologi.
3.      Apabila dalam pembuatan makalah ini ada yang kurang berkenan Mohon kiranya kritik dan sarannya yang dapat membangun pembuatan makalah berikutnya agar dapat lebih baik lagi

Makassar 27 April 2013
       






Rudini