Senin, 16 Desember 2013


BAB 1
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal ataupun non formal sekalipun. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.

B.     Rumusan Maslah.
1.      Bagaimana penjelasan pendidikan keluarga?
2.      Bagaimana penjelasan pendidikan kelembagaan?
3.      Bagaimana penjelasan pendidikan dimasyarakat?
4.      Bagaiman penjelasan agama dan masalah sosial?
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pendidikan Keluarga.
Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak pada masa bayi sampai sekolah memiliki lingkungan tunggal, Yaitu keluarga. Makanya tidak mengheran kan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anank-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangundari tidur hingga saat akan tidur kembali, Anak-anak kenerima pengaruh dan pendidikan keluarga(Gilbert Highest, 1961:78).
Bayi yang baru lahir merupakan  mahluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh bebagai kemampuan yang bersifat bawaan, Disini terlihat oleh berbagai aspek yang kontradiktif. Disatu pihak bayi bayi berada dalam kondisi tanpa daya, Sedang dipihak lain bayi mempunyai kemampuan untuk berkembang (exploratif). Tetapi menurut Walter Houston Clark, Perkembangan bayi tidak dapat berlangsung secara normal tanpa adanya interfensi dari luar, Walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandai nya bayi dalam pertumbuhan dan perkembangan nya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, Maka ia memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.CLrak,1964:2).
Dua ahli psikologi prancis bernama Itar dan sanguin pernah meniliti anak-anak asuhan srigala. Mereka menemukan dua oarang bayiyang dipelihara oleh seklompok srigala disebuah gua, Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudahberusia kanak-kanak. Namun, Kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang seharus nya dimiliki manusia pada usia kanak-kanak. Tak seorangpun diantara keduanya mampu mengucapakan kata-kata, kecuali aungan sekor srigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dngan cera menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyrupai taring srigala. Setelah dikembalikan kelingkungan masyarakat mnusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan srigala tak dapat menyesuikan diri, dan akhir nya mati.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, Baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap massa depan perkembangan seorang anak. Meskipun seorang anak /bayi manusia yang dibekali sebuah potensi kemanusiaan, Namun dilingkungan pemeliharaan srigala tersebut potensi tidak berkembang.
Kondisi  seperti itu tampak nya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, Pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan baik dan benar. Manusia memang bukan mahkluk yan instintik  secara utuh, Sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuh nya. Makanya menurut W.H. Clrak, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentupengawasan serta pemeliharaan terus menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinanuntuk berkembang secara wajar dalam kehidupan dimassa depan.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalh pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi ank-anaknya  karena secara kodrat ibu dan ayah diberikan anugrah oleh tuhan penciptaberupa naluri orang tua. Karena naluri ini,timbul kasih sayangpara orang tua terhadap anak mereka, sehingga secara moral kedua nya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi ,melindungi, serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, Agama terjalin dan terlibat didalam nya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan pula itulah terlihat peran pendidikan keluarga,dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak, Maka. Tak mengheran kan jika rosul menekan kan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.

B.     Penidikan Kelembagaan.
  Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan nya. Pendidik secara kelembagaan memang belom diperlukan, karena fariasi profesi dalam kehidupan belom ada. Jika anak dilahirkan dilingkungan keluarga tani, Maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungan nya. Demikian pula anak seorang nelayan, Ataupun anak seorang pemburu.
Sebaliknya, dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyeleraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, Seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, Maka dibentuk lembaga khusus yang menylenggarakn tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, Secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikat nya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranan nya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelajud dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahakn kesekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan massa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat efektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga taat beragam akan memasukkan anak-anak nya kesekolah agama. Sebalik nya, para oarang tua lain lebih mengarahkan anak mereka kesekolah umum. Ataau sebalik nya orang tua yang mengendalikan anak nya sulit bisa juga para orang tua memasukkan anak nya kesekolah Agama dengan tujuan pembentukan kepribadian yang lebih baik.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang dibarikannya.
Menurut Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaluddin Ancol: 40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sengat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang menungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberkannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas plada kegiatan yag bersifat hafalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap meteri pendidikan agama yang diberikan. Plenerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahllian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifatyang sejalan dengan ajaran agama, seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menetukan dalam mengubah sikap para anak didik.

C.     Pendidikan di Masyarakat.
 Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidiklan dan lingkungan masyarakat. Kerasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahi bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik,psikis,moral dan spritual (M.Buchori: 155). Maka menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi, menurutnya adaenam aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu,  yaitu:
1.      Fakta-fakta asuhan;
2.      Alat-alatnya;
3.      Regularitas;
4.      Perlindungan; dan
5.      Unsur waktu (M.Buchori: 156).
 Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhana yanng diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tidak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam perubahan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori: 156).
Selanjutnya karena asuhan terhadap perumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberikan dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan mberhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini ada pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain. (M.Buchori: 157).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilaikesopanan atau nilai-nilai yang erkaitan dengan aspek-aspek spritual akan lebih afektif jika seseorang beradadalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sukap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok: 27). Kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembenukan.

D.    Agama dan masalah sosial.
Tumbuh dan kesadaran agama (religions cons ciausness) dan pengalaman Agama (religions experince), ternyata melalui proses yang gradul, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkan nya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dalam lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatakan :”Bila anak tidak dididik oleh oarang tuanya, maka ia akan dididik oleh siang dan malam.” Maksud nya pengaruh lingkungan nya akan mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan dikota-kota basar, Anak-anak kehilangan dari hubungan dengan orang tua cukup banyak, mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena mereka yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Dalam kesehariaan nya, nanak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok pengamen, pemulung, pengemis,dan sebagainya. Mengamati linkungan pergaulan nya sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalalan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial,juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan keagamaan. Bahkan, dikota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalm masyarakat, Yakni masyarakat rentan.
Sebagi masyarakat rentan, golongan ini seakan berada diluar lingkaran budaya dan tradisi masyrakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya” sendiri yang terbentuk diluar kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku atau pola fikir,kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh).
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena kosong nya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif.dengan demikian, mereka akan mudah terprofokasi oleh sebagi isi yang berkembang.
Dalam kontes ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan. Demikian organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan semua kepada pemerintah, bagai manapun bukan sifat yang arif. Kasus anak jalanan napak nya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalh keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.

E.     Pengaruh Pendidikan Terhadap Psikologi Agama
Psikologi agama yang memepelajari rasa agama dan perkembangannya mempunyai peranan yang saling korelatif dalam pendidikan agama islam. Pendidikan islam sebagi sebuah upaya penyadaran terhadap umat islam akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pertumbuhan rasa agama akan semakin meningkat dan juga bisa dihubungkan dengan kondisi di sekitarnya, baik sosial,ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Peran psikologi agama dalam pendidikan islam lebih memudahkan pemahaman masyarakat dalam menelaah agama secara komprehensif. Agama tidak dipandang hanya sebagi kebutuhan orang-orang tertentu, tapi agama memang menjadi kebutuhan stiap pribadi seseorang yang menjadikan perkembangan pribadi secara psikisnya. Proses penyadaran dan perubahan untuk meningkatkan nilai jiwa keagamaan pun akan mudah di kembangkan.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulakan bahwa Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya.
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembenukan.

B.     Saran.
Kami mohon kepada para pembaca khususnya kepada pembimbing untuk memberikan kritik atau masukan yang membangun demi tersusunnya makalah yang bertema “pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan” ini dapat tersusun secara sempurna, karena kami yakin dengan kelemahan atau kekurangan pengetahuan kami tentang penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.

 

DAFTAR PUTAKA



Ali Ashraf, Horison. 1993. Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus

Prof.Dr.H Jalaludin.Psikologi Agama (edisi revisi 2004). rajawali Pers: Jakarta.

 Jalaludin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajawali Grafindo

agama dan perubahan sosial

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Di sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘ social engineering’. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika social dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.



B.     Rumusan Masalah
a.       Apa kaitannya agama dan Perubahan Sosial ?
b.      Apa yang menyebabkan pasang surutnya keagaman di Indonesia?
c.       Apa yang dimaksud dengan dimensi ajaran islam melalui ijtihad?

C.    Tujuan
  1. Untuk mengetahui perbedaan agama dan perubahan sosial
  2. Untuk mengetahui penyebab pasang surutnya keagamaan di Indonesia
Untuk mengetahui dimensi ajaran islam melalui ijtihad


BAB II
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

A.    Islam dan Perubahan Sosial
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum.
Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antarkehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial ( social movement).2 Menurut teoriteori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.
Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa:
Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al- Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.4 Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia

B.     Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad
Landasan normatif ijtihad sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istinbat hokum dalam rangka dinamisasi ajaran agama adalah dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz Ibn Jabal yang m enyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan ketentuan hokum dalam al-Qur’an dan Hadis dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadis, menurut Amir Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut.6
  1. Al-Qur’an dan al-Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al- Qur’an dalam satu mushaf.
  2. Secara jelas, al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orangtua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar ( uff) terhadap orangtua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup ( tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad. Sementara itu, menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu dapat di bagi menjadi tiga bagian; pertama, ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash; kedua, ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam (umum) atau al-khash
(khusus), al-mutlaq (mutlak) dan al-muqayyad (makna yang dibatasi). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum lainnya.

C.    Pendekatam Studi Keislaman
Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah; penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi. Penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hokum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun penalaran Istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.
Kedua model penalaran di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu. Oleh karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam nash. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.
Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.9 Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”
Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”11 Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama ( qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir.12 Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.
Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalanpersoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial ( social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.


D.    Perubahan Sosial dan Pasang-Surutnya Semangat Keagamaan di Indonesia
Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin “membedah” dengan “pisau” analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya.
Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan “dua muka” (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” — yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.
Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan-sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.

Kamis, 05 Desember 2013

islam dan peradaban

ISLAM & PERADABAN DUNIA

SUMBANGAN ISLAM BAGI PERADABAN DUNIA

A.    Pendahuluan
Islam yang hadir di tengah kerasnya peradaban jahiliyah, melaui Muhammad saw. Akan tetapi untuk selanjutnya Islam mampu bermetamorfosa menyebar hampir ke seluruh penjuru jagad. Setelah masa Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan oleh masa khulafau-r-rasyidin dan dinasti-dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Dan telah berhasil membangun peradaban dan kekuatan politik yang menandingi dinasti besar lainnya pada masa itu, yakni Bizantium dan Persia.[1]
Demikian Islam telah menorehkan tinta emas pada sejarah kehidupan umat manusia. Dan sebagaimana Islam yang datang sebagai rahmatan lil ‘alamin, sehingga Islam mampu berdiri tegak pada setiap masa dan kurun waktu. Realitas spiritual dan metahistorikal yang mentransformasi kehidupan lahir dan batin dari beragam manusia di dalam situasi temporal maupun ruang yang berbeda. Dan secara historis Islam telah memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan beberapa aspek pada peradaban dunia.
Dengan pernyataan diatas, memungkinkan adanya pertanyaan “Bagaimanakah Islam mempengaruhi peradaban dunia?”
B.     Sekilas tentang peradaban Islam dan periode kejayaan peradaban Islam
Peradaban Islam adalah bagian-bagian dari kebudayaan Islam yang meliputi berbagai aspek seperti moral, kesenian, dan ilmu pengetahuan, serta meliputi juga kebudayaan yang memilliki sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang luas.[2] Dengan kata lain peradaban Islam bagian dari kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup di dunia dan di akhirat.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Islam dalam menegakkan peradabannya tidak hanya memandang satu sisi kehidupan dunia dengan pencapaian kebudayaan yang dapat memajukan peradabannya, akan tetapi juga memperhatikan prinsip pencapaian kebahagiaan kehidupan akhirat, dengan memberikan ajaran dengan cara berkehidupan yang bermoral dan santun dalam memandang keberagaman dunia.
Dalam memahami peradaban Islam, amat penting untuk mengingat tidak hanya keragaman seni dan ilmu pengetahuan, tetapi juga keragaman interpretasi teologis dan filosofis pada doktrin-doktrin Islam, bahkan pada bidang hukum Islam. Tidak ada kesalahan yang serius daripada pendapat yang menegaskan bahwa Islam adalah realitas yang seragam, dan peradaban Islam tidak mengapresiasi ciptaan atau eksistensi beragam. Meskipun kesan adanya keseragaman sering mendominasi segala hal yang berkaitan dengan Islam, sisi keragaman di bidang interpretasi agama itu sendiri selalu ada, sebagaimana juga terdapat aspek beragam pada pemikiran dan kultur Islam. Akan tetapi, Nabi Muhammad saw sebagai pembawa ajaran Islam, menganggap bahwa keragaman pendapat para pemikir Muslim adalah sebuah karunia Tuhan.[3] Namun dengan segala keberagamannya tersebut, masih saja terlihat kesatuan yang amat mengagumkan tetap mempengaruhi peradaban Islam, sebagaimana hal tersebut telah mempengaruhi agama yang melahirkan peradaban itu, dan membimbing alur sejarahnya selama berabad-abad.
Demikianlah Islam dengan ajaran suci dan universal sebagaimana yang telah diwahyukan, mengalami perkembangan dari masa ke masa. Adapun penyebaran Islam dan torehan peradabannya ke penjuru dunia, tak kan lepas dari metode dan sistem penyebarannya, mulai dari perdagangan, korespondensi (seperti yang dilakukan Rasulullah dengan mengirim surat kepada para raja Mesir, Persia, dll.), diplomasi politik, sampai pada peperangan perebutan kekuasaan dan pendudukan wilayah.
Sedangkan periode penyebaran Islam dan peradabannya yang dimulai sejak masa Rasulullah saw pada abad ke-6 M hingga saat ini, terdapat masa-masa kejayaan peradaban Islam yang kemudian diwarisi oleh peradaban dunia. Dan pereodisasi peradaban Islam tersebut, secara umum terbagi menjadi 3 (tiga) periode,[4] yang antara lain :
1.         Periode klasik
Pada masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Sebelum wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), seluruh semenanjung Arabia telah tunduk ke bahwah kekuasaan Islam, yang kemudian dilanjutkan dengan ekspansi keluar Arabia pada masa khalifah pertama Abu Bakar ash-Shiddiq, hingga berlanjut pada kekhalifahan berikutnya.
Pencapaian kemenangan Islam pada masa ini adalah dapat dikuasainya Irak pada tahun 634 M, yang kemudian meluas hingga Suria, kemudian pada masa Umar bin Khattab, Islam mampu menguasai Damaskus (635 M) dan tentara Bizantium di daerah Syiria pun ditaklukkan pada perang Yarmuk (636 M), selanjutnya menjatuhkan Alexandria (641 M) dan menguasai Mesir dengan tembok Babilonnya pada masa itu. Dan kekuasaan Islampun meluas hingga Palestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Tripoli dan Ciprus pun tertaklukkan. Walaupun setelah itu terjadi keguncangan politik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga wafatnya.
Kekhalifahan berlanjut pada kekuasaan Bani Umayyah, yang pada masa ini kekuasaan Islam semakin meluas, berawal dti Tunis, Khurasan, Afganistan, Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana, Samarkand, Bulukhistan, Sind, Punjab, dan Multan. Bukan hanya itu, perluasan dilanjutkan ke Aljazair dan Maroko, bahkan telah membuka jalan ke kawasan Eropa yaitu Spanyol, dan menjadikan Cordova sebagai ibu kota Islam Spanyol. Lebih ringkasnya, pada masa dinasti ini kekuasaan Islam telah menguasai Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagaian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis (di Asia Tengah).
Sejak kedinastian Bani Umayyah, peradaban Islam mulai menampakkan pamor keemasannya. Walaupun Bani Umayyah lebih memusatkan perhatiannya pada kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru tersebut antara lain perubahan bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab, dengan demikian bahasa Arab menjadi bahasa resmi yang harus dipelajari, hingga mendorong Imam Sibawaih menyusun Al-Kitab yang menjadi pedoman dalam tata bahasa Arab.
Pada saat itu pula (± abad ke-7 M), bermunculan sastrawan-sastrawan Islam, dengan berbagai karya besar antara lain sebuah novel terkenal Laila Majnun yang ditulis oleh Qais al-Mulawwah. Lain dari pada itu, dengan adanya pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Basrah, bermunculan ulama bidang tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam.
Pada bidang ekonomi dan pembangunan, Bani Umayyah di bawah pimpinan Abd al-Malik, telah mencetak alat tukar uang berupa dinar dan dirham. Sedangkan pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan masjid-masjid di Damaskus, Cordova, dan perluasan masjid Makkah serta Madinah, termasuk al-Aqsa di al-Quds (Yerussalem), juga pembangunan Monumen Qubbah as-sakhr, juga pembangunan istana-istana untuk tempat peristirahatan di padang pasir, seperti Qusayr dan al-Mushatta.
Setelah kekuasaan Bani Umayyah menurun, dan ditumbangkan oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 H, kembali Islam dengan perkembangan peradabannya terus menerus bergerak pada kemajuan. Di masa al-Mahdi, perekonomian mengalami peningkatan dengan konsep perbaikan sistem pertanian dengan irigasi, dan juga pertambangan emas, perak, tembaga dan lainnya yang juga meningkat pesat. Bahkan perekonomian menjadi lebih baik setelah dibukanya jalur perdagangan dengan transit antara timur dan barat, dengan Basrah sebagai pelabuhannya.
Masa selanjutnya pada masa Harun al-Rasyid, kehidupan sosial pun menjadi lebih mapan dengan dibangunnya rumah sakit, pendidikan dokter, dan farmasi. Hingga Baghdad pada masa itu mempunyai 800 orang dokter. Dilanjutkan pada masa al-Makmun yang lebih berkonsenrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, dengan menerjemahkan buku-buku  kebudayaan Yunani dan Sansekerta,[5] dan berdirinya Baitu-l-hikmah sebagai pusat kegiatan ilmiahnya. Yang disusul kemudian dengan berdirinya Universitas Al-Azhar di Mesir. Juga dibangunnya sekolah-sekolah, hingga Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Maka, tak dapat dipungkiri lagi bahwa masa-masa ini dikatakan sebagai the golden age.
Kemajuan keilmuan dan teknologi Islam mengalami masa kejayaan di masa ini. Munculnya para ilmuwan, filosof dan cendekiawan Muslim telah mewarnai penorehan tinta sejarah dunia. Islam bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, akan tetapi menambahkan ke dalam hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan sains dan filsafat. Tokoh cendekiawan Muslim yang terkenal adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi sebagai metematikawan yang telah menelurkan aljabar dan algoritma, al-Fazari dan al-Farghani sebagai ahli astronomi (abad ke VIII), Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haytam dengan teori optika (abad X), Jabir ibnu Hayyan dan Abu Bakar Zakaria ar-Razi sebagai tokoh kimia yang disegani (abad IX), Abu Raihan Muhammad al-Baituni sebagai ahli fisika (abad IX), Abu al-Hasan Ali Mas’ud sebagai tokoh geografi (abad X),  Ibnu Sina sebagai seorang dokter sekaligus seorang filsuf yang sangat berpengaruh (akhir abad IX), Ibnu Rusyd sebagai seorang filsuf ternama dan terkenal di dunia filsafat Barat dengan Averroisme, dan juga al-Farabi yang juga seorang filsuf Muslim.
Selain sains dan filsafat pada masa ini juga bermunculan ulama besar tentang keagamaan dalam Islam, seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Malik, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, serta mufassir terkenal ath-Thabari, sejarawan Ibnu Hisyam dan Ibnu Sa’ad. Masih adalagi yang bergerak dalam ilmu kalam dan teologi, seperti Washil bin Atha’, Ibnu al-Huzail, al-Allaf, Abu al-Hasan al-Asyari, al-Maturidi, bahkan tokoh tasawuf dan mistisisme seperti, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husain bin Mansur al-Hallaj, dan sebagainya. Di dunia sastra pun mengenalkan Abu al-Farraj al-Asfahani, dan al-Jasyiari yang terkenal melalui karyanya 1001 malam, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
2.         Periode pertengahan
Pada periode ini, terdapat periode kemunduran Islam pada sekitar 1250-1500 M. Yang mana satu demi satu kerajaan Islam jatuh ke tangan Mongol, dan kerajaan Islam Spanyol pun mampu ditaklukkan oleh  raja-raja Kristen yang bersatu, hingga orang-orang Islam Spanyol berpindah ke kota-kota di pantai utara Afrika.
Namun dengan demikian, terdapat kebangkitan kembali kedinastian Islam pada masa 1500-1800 M. Di sana terdapat 3 kerajaan besar, yang menjadi tonggak bejayanya peradaban Islam yang ke-2. Kerajaan besar tersebut adalah Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Karajaan Turki Usmani berhasil mengambil alih Bizantium dan menduduki Konstantinopel (Istambul). Hingga akhirnya kekuasaan Turki Usmani mampu menguasai Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hijaz, Yaman, Mesir, Libya, Tunis, Aljazair, Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania.
Sedangkan di tempat lain, Persia Islam bangkit dengan dengan Kerajaan Safawi (1252 M), dengan dinasti yang berasal dari Azerbaijan Syaikh Saifuddin yang beraliran Syi’ah. Kekuasaannya menyeluruh hingga seluruh Persia. Dan berbatasan dengan kekuasaan Usmani di barat dan kerajaan Mughal di kawasan timur.
Kerajaan Mughal di India, yang berdiri pada tahun 1482 M dengan pendirinya Zahirudin Babur. Kekuasaannya mencakup Afganistan, Lahore, India Tengah, Malwa dan Gujarat. Di India, bahsa Urdu akhirnya menjadi bahasa kerajaan menggantikan bahasa Persia. Dan kemajuannya telah membuat beberapa bukti peninggalan sejarah antara lain, Taj Mahal, Benteng Merah, masjid-masjid, istana-istana, dan gedung-gedung pemerintahan di Delhi.
Akan tetapi pada masa kemajuan ini, ilmu pengetahuan tidak banyak diberikan perhatian, namun perhatiannya terhadap seni dalam berbagai bentuk adalah sangat besar, sehingga kerajaan Usmani mendapatkan julukan the patron of art. Ketiga kerajaan besar tersebut lebih banyak memperhatikan bidang politik dan ekonomi. Sedangkan di Barat, mulai menuai kebangkitan dengan melihat jalur yang terbuka ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah dari daerah Timur Jauh melaui Afrika Selatan.
Hingga pada Abad ke-17, di eropa mulai mencul negara-negara kuat, bahkan Rusia mulai maju di bawah Peter Yang Agung. Dan melalui peperangan, Usmani mengalami kekalahan. Dan Safawi Persia pun ditaklukkan oleh Raja Afghan yang mempunyai perbedaan faham. Dan kerajaan Mughal India pecah dikarenakan terjadi pemberontakan dari kaum Hindu, bahkan Inggris pun berperan menguasainya pada tahun 1857 M.
3.         Periode Modern
Periode ini dikatakan sebagai periode kebangkitan Islam, yang mana dengan berakhirnya ekspedisi Napoleon di Mesir, telah membuka mata umat Islam akan kemunduruan dan kelemahannya di samping kemajuan dan kekuasaan Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir mencari jalan keluar untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan, yang telah pincang dan membahayakan umat Islam.[6] Sebab Islam yang pernah berjaya pada masa klasik, kini berbalik menjadi gelap. Bangsa Barat menjadi lebih maju dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradabannya.
Dengan demikian, timbullah pemikiran dan pembaharuan dalam islam yang disebut dengan modernisasi dalam Islam. Sekian tokoh pembaharu Islam telah mengeluarkan buah pikirannya guna membuat umat Islam kembali maju sebagaimana pada periode klasik. Para tokoh tersebut antara lain, Muhammad bin Abdul Wahab di Arab, Muhammad Abduh, Jamaludin al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, Sayyid Ahmad Khan, Syah Waliyullah, dan Muhammad Iqbal di India, Sultan Mahmud II dan Musthafa Kamal di Turki, dan masih banyak lagi yang lainnya.
C.     Transformasi peradaban Islam kepada peradaban dunia.
Sekian lamanya Islam melakukan penyebaran ajarannya, hingga lebih dari 14 abad lamanya.  Tentunya dari masa perjuangan tersebut telah menorehkan banyak hasil yang dapat dirasakan oleh dunia saat ini walaupun sudah tidak ada lagi kekuasaan Islam yang mutlak. Karena Islam dalam ekspansinya, tidak hanya mengambil keuntungan materi dari daerah yang dapat dikuasai, melainkan ikut membangun dan memajukan peradaban yang ada dan tetap toleran terhadap budaya lokal yang ada.
Para tokoh Islam klasik yang telah membangun peradaban di masa itu, dan tidak dilakukan oleh orang-orang barat pada masa kegelapan, adalah dengan mempelajari dan mempertahankan peradaban yunani kuno, serta mengembangkan buah pemikirannya untuk menemukan sesuatu yang baru dari segi filsafat dan ilmu pengetahuan. Seorang pemikir orientalis barat Gustave Lebon, dan telah diterjemahkan oleh Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa “(orang Arablah) yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalam imam kita selama enam abad”.[7]
Hingga peradaban Islam telah memberi kontribusi besar dalam berbagai bidang khususnya bagi dunia Barat yang saat ini diyakini sebagai pusat peradaban dunia. Kontribusi besar tersebut antara lain :
1.      Sepanjang abad ke-12 dan sebagian abad ke-13, karya-karya kaum Muslim dalam bidang filsafat, sains, dan sebagainya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, khususnya dari Spanyol. Penerjemahan ini sungguh telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat.
2.      Kaum muslimin telah memberi sumbangan eksperimental mengenai metode dan teori sains ke dunia Barat.
3.      Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama telah dikenalkan ke dunia barat.
4.      Karya-karya dalam bentuk terjemahan, kususnya karya Ibnu Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran, digunakan sebagai teks di lembaga pendidikan tinggi sampai pertengahan abad ke-17 M.
5.      Para ilmuwan muslim dengan berbagai karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa, memperkaya dengan kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada gilirannya melahirkan Renaisance.
6.      Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit dalam bentuk ratusan madrasah adalah pendahulu universitas yang ada di Eropa.
7.      Para ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persi (Greco Helenistic) sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8.      Sarjana-sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
9.      Para ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit, sanitasi, dan makanan kepada Eropa.[8]
Pada kondisi-kondisi tersebut, terutama pada abad ke-11 dan ke-12, walaupun tradisi Islam yang diboyong ke Barat masih belum terjadi pemisahan yang jelas antara ilmu-ilmu yang ada dan ketika itu ilmu kalam, filsafat, tasawuf, ilmu alam, matematika, dan ilmu kedokteran masih bercampur. Akan tetapi Islam telah mampu mendamaikan akal dengan iman dan filsafat dengan agama. Sedangkan  bangsa Barat pada masa itu masih terdapat stereotipe yang memisahkan antara akal dan iman serta filsafat dan agama. Hal ini juga terjadi pada ilmu pengetahuan dan ilmu alam, yang mana Islam telah berjasa menyatukan akal dengan alam, menetapkan kemandirian akal, menetapkan keberadaan hukum alam yang pasti, dan keserasian Tuhan dengan alam.
Hingga akhirnya filsafat skolastik Barat mencapai puncaknya yang telah didukung oleh adanya pilar Islam dengan dibangunnya akademi-akademi di Eropa yang diadopsi dari gaya akademi di kawasan Timur. Hal ini merupakan evolusi dari illuminisme biara ke kegiatan pemikiran yang dialihkan kesekolahan dan akademi. Dan kurikulum yang diajarkan adalah filsafat lama, dan ilmu-ilmu Islam terutama Averoisme Paris. Pada saat yang sama terjadi perubahan kecenderungan pemikiran dari kesenian dan kasusatraan ke gramatika dan logika, dari retorika ke filsafat dan pemikiran, dan dari paganisme kesusastraan Latin ke penyucian Tuhan sebagai pemikiran Islam.
Demikianlah sumbangan besar Islam atas peradaban dunia Barat, yang selanjutnya jusru dijadikan sebagai pusat peradaban dunia pada saat ini. Hal ini dikarenakan kekonsistensian dunia Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bahkan karya-karya besar para ilmuwan Muslim tersebut hingga kini masih dapat kita teukan di perpustakaan-perpustakaan internasional, khususnya di Amerika, yang secara profesional dan rapi telah menyimpannya.[9] Sehingga para umat Muslim di masa kini, yang ingin mempelajari lebih banyak tentang khasanah Islam tersebut, harus pergi ke negara Barat (non Islam) agar dapat meminta kembali “permata” yang sementara ini telah mereka pinjam.
D.    Penutup
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah :
1.      Penyebaran ajaran Islam dan ekspansinya ke berbagai penjuru dunia telah berhasil membawa kemajuan pada setiap masanya, baik dari segi keagamaan maupun non agama yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.      Para tokoh dan cendekiawan Islam yang telah berhasil mempelajari ilmu-ilmu Yunani dan Sansekerta, telah memberikan pengembangan yang signifikan pada bidangnya masing-masing, jauh sebelum para ilmuwan Barat menemukan teori-teori tentang ilmu pengetahuan.
Dengan demikian telah memberikan bukti bahwa Islam dan peradaban yang telah dibangunnya pada masa lalu, telah memberikan investasi besar pada pencapaian peradaban dunia modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, editor : Lihhiati, Ed.1, cet.1 (Jakarta: Amzah, 2009)
Ansary, Abdou Filali, Pembaharuan Islam : dari mana dan hendak ke mana?, terj. Machasin, (Bandung : Mizan, 2009)
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta : Paramadina, 2000)
Hodgson, Marshal G.S, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Peradaban Dunia, (masa klasik Islam), buku ke-2, Peradaban Kekhalifahan Agung, cet. 1, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 2002)
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009)
Mansur, Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2004)
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barata, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, cet. 2, (Surabaya : Risalah Gusti, 2003)
Nasr, Seyyed Hossein, Islam : Agama, Sejarah, dan Peradaban, (Surabaya : Risalah Gusti, 2003)

[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 8.
[2] Ibid, hlm. 36
[3] Seyyed Hossein Nasr, Islam : Agama, Sejarah, dan Peradaban, (Surabaya : Risalah Gusti, 2003), hlm. xviii
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, editor : Lihhiati, Ed.1, cet.1 (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 20-45.
[5] Marshal G.S Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Peradaban Dunia, (masa klasik Islam), buku ke-2, Peradaban Kekhalifahan Agung, cet. 1, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 2002), hlm. 236.
[6] Samsul Munir Amin, hlm. 45.
[7] Samsul Munir Amin, hlm. 32.
[8] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barata, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, cet. 2, (Surabaya : Risalah Gusti, 2003) hlm. 85.
[9] Abdurrahman Mas’ud, Islam dan Peradaban (sebagai pengantar), dalam  Samsul Munir Amin, hlm. x.

budhisme

1. Sekilas tentang Buddha dan ajaran kamma

Dua hal yang biasa dipertanyakan orang tentang Buddhisme adalah siapakah Buddha itu dan apakah kamma (karma) ajaran-Nya itu.  Penjelasan singkat tentang Buddha dan kepribadian-Nya akan dibahas terdahulu. Selanjutnya kita akan membahas ajaran kamma yang sering disalahpahami baik oleh masyarakat umum maupun umat Buddha sekalipun. 

A.  Siapakah Buddha Gotama?
Pertama-tama kita seharusnya mengerti lebih dahulu siapakah Buddha Gotama.  Untuk mengenal Buddha Gotama secara lebih dekat, marilah kita meneliti secara singkat berbagai sumber utama yang menjelaskan tentang siapakah sebenarnya Buddha itu dan seperti apakah kepribadian-Nya.
Buddha adalah manusia yang telah mencapai penerangan sempurna dengan usaha sendiri tanpa bimbingan maupun bantuan orang lain [SN 56.11]. Bila seseorang mencapai pencerahan melalui bimbingan orang lain, maka ia umumnya disebut sebagai seorang Arahat dan tidak disebut sebagai seorang Buddha. Arahat adalah ia yang telah tercerahkan. Jadi seorang Buddha dapat juga disebut sebagai seorang Arahat, tetapi seorang Arahat belum tentu dapat disebut sebagai seorang Buddha. Walaupun demikian, pencerahan yang dicapai mereka adalah sama. Menurut tradisi tertua ajaran Buddha, hanya terdapat 2 jenis Buddha, yakni Sammâ-sambuddha dan Pacekka Buddha [MN 142]. Sammâ-sambuddha memiliki kualitas yang lebih mulia daripada Pacekka Buddha. Salah satu alasannya adalah karena Sammâ-sambuddha yang tergerak oleh rasa belas kasihan membabarkan Dhamma ini kepada para manusia dan dewa. Oleh karena jasa mulia inilah, Sammasambuddha dikatakan sebagai individu yang memiliki kualitas termulia, melebihi Pacekka Buddha yang tidak menurunkan ajaran/Dhamma ini [MN 142]. Alasan Pacekka Buddha tidak mengajarkan Dhamma ini adalah karena Dhamma ini bersifat melawan arus duniawi sehingga cukup sulit untuk diterima oleh makhluk biasa. Dhamma ajaran Sammâ-sambuddha ini dapat diperumpamakan sebagai sebuah rakit tua [MN 22]. Diperumpamakan sebagai rakit karena ajaran/Dhamma ini sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat untuk menyeberangi pantai seberang yang aman dan damai. Dikatakan tua karena ajaran Buddha bukanlah ajaran yang diciptakan oleh Buddha Gotama 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang diajarkan tersebut memang adalah kenyataan/kebenaran sejati yang tidak bersela waktu [SN 12.20]. Buddha Gotama menemukan kembali kenyataan ini, dan karena tergerak oleh rasa belas kasihanlah Buddha Gotama mengajari kita ajaran ini [SN6.1]. Ajaran ini bukan diajarkan untuk mendapat banyak pengikut, bukan untuk mendapat kemasyuran, dan seterusnya. Akan tetapi ajaran ini diajarkan atas rasa belas kasihan dan hanya diperuntukkan guna menyeberangi pantai seberang [MN 22].
Zaman kian berlalu dan perlahan-lahan figur Buddha berubah menjadi kian ‘mistik.’ Ajaran Buddha juga berubah menjadi kian ‘mistik’ dan ‘kompleks.’ Padahal sebenarnya petapa Gotama yang dilahirkan di Nepal sekitar 2500 tahun yang lalu adalah seorang manusia yang dengan tekad dan usahanya sendiri meraih penerangan sempurna (Buddha). Buddha Gotama selalu mengajarkan Dhamma dengan menggunakan kata-kata yang sederhana agar si pendengar dapat memahaminya dengan mudah [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Begitu sederhananya Buddha Gotama mengajarkan ajaran-Nya sehingga suatu saat Bhikkhu Ânanda, pendamping setia-Nya, mengatakan kepada-Nya bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan. Buddha Gotama mengatakan, “Oh, Ânanda, Dhamma ini bermakna sungguh dalam. Janganlah tergesa-gesa berkata demikian” [DN 15]. Ini menunjukan kepada kita bahwa Buddha Gotama selalu menyederhanakan Dhamma yang bermakna dalam ini, dan seseorang yang belum tercerahkan secara sempurna (Arahat) belum layak mengatakan bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan. 
Catatan kuno menyebutkan bahwa Buddha Gotama adalah seorang petapa yang suka hidup menyendiri [MN4], yang menyukai jhâna (meditasi untuk meraih ketenangan batin yang tinggi) [DN29], yang menyukai keheningan dan tidak menyukai keributan [MN 67]. Malahan Buddha Gotama berada di dalam jhâna di saat terakhir hidup-Nya [DN 16], suatu bukti jelas betapa tingginya jhâna ini dihargai oleh-Nya. Buddha Gotama juga memiliki rasa belas kasihan yang luar biasa. Suatu hari seorang bhikkhu (petapa Buddhis) yang sedang diserang sejenis penyakit disentri ditinggalkan oleh para teman bhikkhu-nya. Bhikkhu tersebut diselimuti air tinja. Tak ada yang merawatnya. Tergerak oleh rasa belas kasihan yang luar biasa, Buddha Gotama dan pendamping setia-Nya, Bhikkhu Ânanda, datang dan membersihkan dan merawat bhikkhu ini. Kemudian Buddha Gotama berkata,“Oh, Bhikkhu, kalian telah pergi meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi seorang petapa Buddhis; sanak keluarga kalian tidak lagi mendampingi kalian. Oh, Bhikkhu, kerabat kalian sesama Bhikkhu lah sekarang yang menjadi sanak keluarga kalian. Siapapun yang merawat mereka yang sakit, ia, Kukatakan, merawat Buddha!” [Vinaya
Hal yang penting untuk diingat itu adalah Buddha Gotama selalu menyanjung ajaran yang sederhana [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Beliau berkali-kali memuji Bhikkhu Sâriputta sebagai bhikkhu yang bijaksana, yang mampu menjelaskan ajaran yang sulit dimengerti (bermakna dalam) sehingga menjadi sederhana dan mudah dimengerti [MN141]. Begitulah sifat Buddha Gotama yang mulia yang menyukai kesederhanaan baik dalam ajaran-Nya maupun dalam menjalani hidup-Nya.

B.  Cara kerja hukum kamma
Marilah kita sekarang membahas ajaran yang sering dikaitkan dengan ajaran Buddha, yakni hukum kamma.  Sesungguhnya hukum kamma telah dikenal oleh masyarakat India jauh sebelum era Buddha Gotama.  Akan tetapi terdapat cukup banyak perbedaan antara ajaran kamma mereka tersebut dengan ajaran kamma dari Buddha Gotama.  Sayangnya perbedaan-perbedaan ini tidak dipelajari dengan baik sehingga apa yang tidak disetujui Buddha Gotama tentang ajaran kamma mereka malahan sekarang disetujui oleh masyarakat Buddhis.  Marilah kita meneliti perbedaan-perbedaan tersebut:
1)  Menganggap semua perbuatan itu akan membuahkan hasil (kamma).  Sesungguhnya hanya perbuatan yang didorong oleh motivasilah yang akan membuahkan hasil [AN 6.63].  Malahan di antara perbuatan, yakni yang melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan, perbuatan yang melalui pikiranlah yang dikenal sebagai yang terpenting/berpengaruh dalam ajaran Buddha, bukan perbuatan melalui jasmani seperti yang dianggap oleh kalangan umum [MN 56].  Mengapa ?  Karena dalam ajaran Buddha, pikiran inilah yang dapat menciptakan obsesi (keinginan yang kuat) yang akan membentuk hidup ini, yang akan lebih menentukan bahagia tidaknya hidup ini.  Misalnya, orang yang terobsesi dengan cinta secara alamiah akan berusaha semampunya untuk menyenangi hati orang yang dicintainya biarpun ia akan mengalami penderitaan untuk mencapainya.  Bila ia gagal dalam membahagiai orang yang dicintainya, maka ia akan menderita lagi. Sedangkan orang yang terobsesi dengan kebencian secara alamiah akan berusaha semampunya untuk melukai orang yang dibencinya.  Dendam panas tersebut akan membuat hidupnya merana. Kedua jenis obsesi ini disebut oleh Buddha sebagai keterikatan yang membawa kepada segala jenis penderitaan [SN 12.38].  Seseorang yang telah tercerahkan secara sempurna (Arahat) tidak lagi memiliki obsesi, dan oleh karenanya ia terbebas dari segala pembentukan kamma.  Buddha mengatakan bahwa ada 4 jenis kamma, yakni kamma yang gelap dengan hasil yang gelap, yang terang dengan hasil yang terang, yang terang dan gelap dengan hasil yang terang dan gelap pula, dan kamma yang menghentikan kamma.  Jenis yang terakhir inilah yang akan terhindar dari obsesi, yang dimiliki hanya oleh mereka yang akan menuju pencerahan [AN 4.235, AN 3.33].   Maka tidaklah mengherankan oleh Buddha dinyatakan bahwa motivasi itulah kamma dan pikiran itu jauh lebih penting dari perbuatan jasmani itu sendiri.
2)  Menganggap apa yang menimpa diri kita adalah 100% berasal dari hasil kamma.  Misalnya, kalau lagi sakit, ia menganggap itu adalah karena hasil kamma buruk.  Padahal seseorang bisa saja jatuh sakit karena ia tidak pandai merawat kesehatan dirinya (makan-makanan yang salah dan lain-lain) dan sama sekali tak berhubungan dengan perbuatan jahat masa lampaunya, seperti yang telah dijelaskan oleh Buddha [SN 36.21].  Satu lagi contoh yang paling umum: tidak tahu menghemat dan suka berfoya-foya dan akibatnya ia tidak dapat meraih kekayaan; kemudian ia malah pasrah (tidak berusaha mengubah sifat jeleknya yang suka berfoya-foya) melainkan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu adalah hasil kamma-nya (nasibnya) tidak dapat menjadi kaya.  Di sini jelas terlihat bahwa ajaran kamma Buddha Gotama tidak membuat kita menjadi pasif dan pasrah terhadap nasib, malahan membuat kita aktif berusaha.
3)  Tidak menyadari rumitnya cara kerja hukum kamma. Cara kerja hukum kamma sungguh rumit karena banyak faktor yang menentukan hasilnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: pikiran (motivasi) yang mempelopori perbuatan tersebut (obsesinya), kualitas perbuatannya itu sendiri, kondisi yang mengizinkan untuk berbuahnya kamma tersebut, dan lain-lain. Contoh yang sangat bagus telah diberikan oleh Buddha : dua orang mencuri binatang ternak.  Orang pertama adalah seorang yang miskin melarat dan dipandang rendah masyarakat, orang kedua adalah seorang yang kaya raya dan berpengaruh di masyarakat.  Bila keduanya tertangkap, maka orang pertama mungkin akan dipenjarakan (dihukum lebih berat). Sedangkan orang kedua mungkin hanya akan dikenai denda saja. Jadi satu hal yang sama dapat memberikan dua hasil yang sangat jauh berbeda [AN 3.99].  Tidak mengherankan Buddha mengatakan bahwa hasil dari suatu kamma tidak dapat diketahui sampai mendetail [AN 4.77].
4)  Menganggap bahwa asal kita berbuat baik saja, maka kita pasti akan dilahirkan di alam surga. Hal ini adalah kurang tepat adanya [MN 136]. Apa yang dimaksud Buddha adalah bila seseorang berbuat baik yang dimotivasi oleh pikiran baik (yang penuh dengan kebahagiaan dan ketulusan), maka ia akan cenderung secara spontan mengulang kembali perbuatannya tersebut dan menerima terus kebahagiaan yang muncul dari perbuatan baiknya. Oleh karenanya, pikirannya akan lambat-laun dikuasai oleh kebahagiaan dan bukan penyesalan. Dan bila pikirannya telah cenderung menuju ke arah tersebut, maka saat menjelang kematiannya, ia akan berpikiran jernih dan terlahir di alam yang bahagia. Hal ini sesuai dengan poin nomor 1 di atas, yakni motivasi itulah yang disebut sebagai kamma. Dan Buddha juga telah memberikan perincian tentang berbagai jenis motivasi yang berbeda-beda yang memberikan hasil yang berbeda-beda pula [AN 7.49]. Buddha menyebutkan bahwa orang yang berbuat baik yang membahagiakan pikirannya (membuatnya menjadi penuh ketenangan dan terlatih) itulah yang disebutkannya sebagai yang termulia [AN 7.49].

C.  Cacat mental: aspek kamma dan biologi
Untuk membandingkan ajaran Buddha tentang hukum kamma dengan pengetahuan modern (sains), maka marilah kita menganalisa satu contoh nyata berikut:
Tintin bertanya: 
Saya memiliki saudara ipar yang cacat mental. Setahu saya, cacat mental tersebut disebabkan karena keturunan, ibu mertua saya beserta beberapa saudara perempuannya merupakan carrier gen tersebut. Dan memang setiap saudara perempuan ibu mertua saya memiliki satu anak yang cacat mental. Dari pelajaran biologi, sebagai carrier maka peluang untuk mendapatkan anak cacat mental adalah 50%. Apakah itu berarti si ibu juga memiliki kesalahan yang sama di masa lampau ? 
Jawaban:
Bila ditinjau dari segi biologi, maka penyakit mental yang disebut di atas tersebut mungkin adalah "X-link" yang artinya gen yang menyebabkan penyakit mental tersebut berada di chromosome X (wanita memiliki XX sedang pria memiliki XY). Ini adalah kesimpulan yang diambil dari family tree (pedigree) yang diberikan. Umumnya 50% dari anak laki-laki dari  ibu yang carrier mendapat penyakit tersebut. Anak-anak perempuan dari ibu carrier tersebut biasanya tidak mendapat penyakit tersebut. Untuk memastikannya diperlukan pedigree yang lebih lengkap dan penelitian gen tersebut.
Bila ditinjau dari sudut pandang Buddhisme, kemungkinan adalah dulunya mereka pernah membenci dan menghina orang-orang yang tidak bersalah (terutama orang-orang yang luhur batinnya). Dan mungkin juga mereka sekeluarga pernah menghina orang yang tidak bersalah tersebut secara bersamaan; dan karena ikatan mereka yang kuat ini, mereka dilahirkan kembali di keluarga/famili yang sama. Ini adalah umum, karena sering kali orang-orang yang dekat dengan kita akan dilahirkan lagi di keluarga/lingkungan kita kelak.
Walau terlihat biologi dan Buddhisme menjawab pertanyaan yang sama secara cukup berbeda, tetapi sebenarnya bukanlah demikian. Biologi menjelaskannya dari segi proses materi, bagaimana materi (gen/DNA) menghasilkan akibat yang nampak (phenotype). Sedangkan Buddhisme lebih memilih menjelaskannya dari segi "motivasi" sebagai alasan mengapa sesuatu itu terjadi. Seseorang hanya bisa mendapatkan gen yang buruk setelah ia menanam kamma buruk di kehidupan lampau. Ia tidak mungkin mendapat gen yang buruk tanpa melakukan kamma buruk terdahulu. 
Jadi setelah melakukan perbuatan buruk tersebut di kehidupan lampau, ia perlu dilahirkan di keluarga yang carrier untuk mendapatkan gen tersebut (ini adalah kondisi yang diperlukan supaya hasil kamma tersebut dapat berbuah).  Jadi terlihat bahwa cara kerja hukum kamma sangatlah kompleks, tergantung situasi/kondisi, dan lain-lain.  Bila kondisi tepat, maka kamma tersebut berbuah dan ia menerima hasilnya. Bila kondisinya belum tepat, kamma tersebut tidak dapat berbuah (latent) tetapi si pemilik akan menerima hasilnya bila kondisinya sudah tepat.
Dalam Buddhisme, seorang anak tidak boleh menyalahkan orang tuanya (ibu yang carrier) karena masing-masing individu menerima hasil kamma mereka masing-masing.  Orangtua kita hanyalah sebagai sumber materi gen/DNA tetapi mereka tidak menentukan gen/DNA mana yang akan kita peroleh. 
Menjawab pertanyaan selanjutnya, ibu carrier tidak memiliki kamma buruk yang sama seperti anaknya karena ia tidak cacat mental. Di sisi lain, ia menerima hasil kamma buruk karena ia mendapat anak yang cacat mental. Terlihat di sini sekali lagi, bahwa anak dan ibu mempunyai ikatan kamma yang kuat, karena kedua-duanya menderita. Sangat sering sekali bila hal ini terjadi (tetapi tidak harus 100%), ibu dan anak tersebut dulunya melakukan perbuatan jahat bersama-sama, hanya mungkin perbuatan jahat mereka tidak sama kadarnya.  Dan sekali lagi masing-masing individu menerima hasil dari perbuatan mereka, dan tidak dapat dikatakan gara-gara ibu, anak menderita; atau gara-gara anak, ibu menderita. Hanya pelaku perbuatan menerima hasil perbuatan tersebut dan bukan orang lain. Dalam hal ini, hasil perbuatan si ibu dan anak berbuah dalam waktu yang sama walau dengan intensitas yang berbeda.