PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti
di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh
manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup,
selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang
melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat
pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap
nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya
antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan
dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa
bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi
telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan
hukum suatu persoalan.
Persoalan-persoalan
baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara
eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan
kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan
baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut
para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar
hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Di sinilah letak strategisnya
posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘ social engineering’.
Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad
ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika social
dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
B. Rumusan Masalah
a. Apa kaitannya agama dan Perubahan Sosial ?
b. Apa yang menyebabkan pasang surutnya keagaman di Indonesia?
c. Apa yang dimaksud dengan dimensi ajaran islam melalui ijtihad?
C. Tujuan
- Untuk mengetahui perbedaan agama dan perubahan sosial
- Untuk mengetahui penyebab pasang surutnya keagamaan di Indonesia
BAB II
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL
A. Islam dan Perubahan Sosial
Masyarakat
dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan
setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan
sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa
“hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”.
Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori
umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum.
Menurutnya,
perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya
komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua,
adanya kontak atau konflik antarkehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya
gerakan sosial ( social movement).2 Menurut teoriteori di atas,
jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh
unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial
dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum
Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat
aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek
universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya
pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam
memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.
Untuk
mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas
yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan
dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.
Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan
untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang
shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa
sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya,
sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan
bahwa:
Persoalan-persoalan
kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash
(baik al- Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu,
mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang
tidak terbatas.4 Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari
pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad
terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan
sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan
satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan
tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia
B. Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad
Landasan
normatif ijtihad sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi
istinbat hokum dalam rangka dinamisasi ajaran agama adalah dialog
Rasulullah dengan sahabat Muadz Ibn Jabal yang m enyatakan bahwa ia akan
melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan ketentuan hokum dalam
al-Qur’an dan Hadis dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan
hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadis, menurut Amir Syarifudin dapat
dilihat dari dua segi sebagai berikut.6
- Al-Qur’an dan al-Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al- Qur’an dalam satu mushaf.
- Secara jelas, al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orangtua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar ( uff) terhadap orangtua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup ( tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad. Sementara itu, menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu dapat di bagi menjadi tiga bagian; pertama, ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash; kedua, ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam (umum) atau al-khash
(khusus),
al-mutlaq (mutlak) dan al-muqayyad (makna yang dibatasi). Kedua,
persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang
semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan
menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum lainnya.
C. Pendekatam Studi Keislaman
Bertitik
tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu
dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak
penalaran dalam berijtihad tersebut adalah; penalaran ta’lili, dan
penalaran istislahi. Penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hokum
yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu
nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah
hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul
fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun
penalaran Istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.
Kedua
model penalaran di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu. Oleh karena
itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas.
Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat
secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya
mencari semangat moral yang terkandung dalam nash. Kedua, upaya
mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya
merumuskan illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting
sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat
yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks,
maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan
solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan
ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya
kemaslahatan.
Islam
meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari.
Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal
untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan
dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara
benar untuk kemaslahatan hidup manusia.9 Di sinilah sesungguhnya tugas
seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi
yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi
fungsional dan bisa membumi.
Dalam
hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi
variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “perubahan fatwa adalah dikarenakan
perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”
Dalam
kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya
(alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”11 Salah satu bukti
konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap
hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal
dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama ( qaul qadim) adalah
pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir.12 Perbedaan
pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam
Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis
yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.
Dalam
konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya
memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi
setiap perubahan dan persoalanpersoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri
sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab
itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih
memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi
penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan
perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan
dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah,
istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan
berfungsi sebagai rekayasa sosial ( social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.
D. Perubahan Sosial dan Pasang-Surutnya Semangat Keagamaan di Indonesia
Secara
sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya
lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada
gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan
itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di
semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan
ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan
kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan
berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam
konteks ini pula, penulis ingin “membedah” dengan “pisau” analisis
sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama
dengan berbagai potretnya.
Kehadiran
agama pada dasarnya selalu disertai dengan “dua muka” (janus-face).
Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat
sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan
yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga
mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan
intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami
dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau
konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua,
ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Untuk
beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan
kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui
pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah
institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas
terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan
masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak
pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan
jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan
bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini
berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam
terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam)
dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari
kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” — yang
dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat
dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup
apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah.
Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal
semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan
akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama
(Islam) lebih ditekankan.
Merujuk
pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai
sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi
bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang
kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah
berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber
daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak
jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan
kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai
kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal
ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi
tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola
pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan
semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang
mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia
tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan
ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan
perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi
mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan
kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat
militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di
Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba)
membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh
subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang
dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung
revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah
secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan
dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu
perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
Pada
hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap
kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang
seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas
atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan.
Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan
boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan
“perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan”
dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran
agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu
Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert
N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan
antara agama dan perubahan sosial.
Makna
“perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai
keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat
merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan
dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya
masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak,
agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang
bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di
tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat
menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar.
Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan
ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung
tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh
karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan
“perubahan” di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat
dipisahkan-sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi
sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi”
keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai
peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan
ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam
Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti
di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh
manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup,
selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang
melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat
pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap
nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya
antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan
dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa
bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi
telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan
hukum suatu persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar