Kamis, 16 Mei 2013

Kaulah Inspirasiku (jadikanlah perempuan itu sebagai sosok inspirasi)

Pada hari ini saya menuliskan kata demi kata sehingga membentuk kalimat, cuma ingin mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang menjadi sosok inspirasi bagi saya. Dialah yang menjadikan saya bangkit dari keterpurukan dengan keadaan yang ada. pada awalnya, saya tidak pernah terpikir bahwa saya akan melanjutkan pendidikan saya hingga saya sampai di Makassar. Karena orang ini saya mengambil resiko, dan membangun komitmen yang kuat agar saya bisa menjadi seseorang yang bijaksana. Pada dasarnya seseorang ini tidak mengetahui, bahwa dialah seorang yang menjadi sosok inspirasi bagi saya. Dengan dia saya yang awalnya, adalah seorang yang tidak tahu arah dan tujuannya kemana, yang setiap malam kerjanya keluyuran tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pada suatu saat saya teringat tentang kata-kata yang pernah saya ucapkan kepadanya, dengan tekat dan komitmen yang kuat, dan pada saat itu pula mulai terbesit dalam benak saya bahwa saya pernah buat janji kepadanya, dan janji itu pun harus saya tepati di nantinya, dengan janji itu saya memaksakan diri untuk berusaha bagaimana saya bisa selalu bersamanya setiap waktu seperti dulu-dulunya. 

Dengan begitu, saya juga harus kuliah agar tetap bersamanya setiap waktu, dan mengantarnya sewaktu berangkat dan selesai kuliah. pada awalnya saya tidak pernah terpikir untuk masuk di UIN Alauddin Makassar dan waktu saya mendaptar di salah satu perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI) dengan jrusan tehknik pertambangan, dan waktu itu saya lulusdi perguruan tinggi itu. Dan saya berpikir kenapa saya masuk di perguruan tinggi ini, pada hal saya ingin kuliah bersama dia, dan awalnya pun saya kemakassar cuma untuk bersamanya. kemudian saya kembali berpikir bagaimana caranya agar saya tetap selalu bersamanya, kemudian saya mendapat koran dari  tetangga kamar teman sekamar saya, kemudian saya bertanya kepadanya soal pendaftaran di UIN Alauddin Makassar dengan jawaban jawaban yang di berikan orang itu bahwa masih ada jalur yang terbuka yaitu Ujiaan Masuk Bersama Perguruan Tinggi Islam Negeri (UMB-PTIN) dan masih bisa mendaftar. Dari situlah saya berpikir inilah jalan yang di berikan untuk tetap bersamanya setiap hari dengan sama kampus.

Dengan tekad dan komitmen yang pernah saya buat dan saya ucapkan kepadanya, apapun caranya saya harus kuliah di UIN Alauddin Makassar agar tetap bersamanya. Dengan semangat dan tekad itu pun akhirnya saya di terima di UIN Alauddin Makassar, dalam hati saya bertanya terima kasih ya Allah, akhirnya saya bisa kuliah di kampus ini dan kuliah bersamanya. dan rasa syukur yang selalu terucap kepada-Nya bahwa saya akan tetap selalu bersamanya dalam setiap waktu. 

Begitu besar inspirasi dan dorongan yang saya dapat dari dirinya, hal yang tidak mungkin saya lakukan semua menjadi saya lakukan. Sungguh luar biasa dorongan itu sahingga saya dapat terinspirasi dari dirinya. Meskipun hal ini belu dia ketahui bahwa, dirinyalah satu-satunya yang bisa membuat saya tetap bertahan dengan komitmen dan tekad yang kuat yang pernah saya buat, dengan dirinya satu-satunya, hingga saat ini saya masih tetap bertahan dengan komitmen itu. Dirinyalah yang menjadikan saya berubah kearah yang lebih positif.

Secara tidak sadar, bahwa dirinyalah saya harus hidup dengan berani dan bertanggung jawab. saya teringat dengan kutipan kata-kata dari tuliasn senior saya "Bahwa orang yang tahu diri adalah orang yang mau berterima kasih". Meskipun kamu tidak mengatehui bahwa, kamu adalah orang yang satu-satunya yang mendorong dan menginspirasi saya. Dan seandainya kamu ada di dekat saya, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena dirimulah yang satu-satunya inspirasiku.

Suatu saat nanti,  kamu pasti akan mengetahui betapa berartinya dirimu di hatiku. Hingga saat ini pun saya masih tetap berada dalam koridor dan komitmen itu. biarlah waktu yang akan menjawab.

ooww,,, iya saya juga lupa, saya juga ingin meminta maaf, bahwa mungkin dalam pikiran kamu, bahwa selama ini aku melupakanmu bahwa hal itu tidak benar justru selama ini aku sangat mengingat memikirkanmu. 

Mungkin kamu merasa bahwa aku tidak memperdulikanmu, justru hal itu membuat ku sangat peduli. Setiap kali aku buka Facebook,  saya selalu membuka dindingmu, Dan mulai menulis meskipun hanya potret kamu yang aku lihat, itu sudah cukup bagiku bahkan dalam tulisan ini saya memasang foto kamu sebagai sosok yang menjadi inspirasi saya selama ini. Dan meskipun komunikasi kita jarang, jangan jadikan hal itu pemisah buat kita.

yach... inilah yang bisa saya tuliskan meskipun masih banyak kekurangan, tapi hal itu tak membuat saya berhenti untuk menulis. Semakin banyak kekurangan yang pada saya semakin saya mengetahui akan kekurangan itu dan semakin saya bisa mengubahnya. Dan sekali lagi saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena dirimu saya bisa menulis dan merangakai kata sehingga membentuk sebuah kalimat yang berisikan bahasa lewat tulisan meskipun belum sempat saya katakan kepadamu.


Makassar 16 Mei 2013

         Rudini

Senin, 06 Mei 2013

Dialog Sunni Syiah bertujuan untuk apa?

Dialog Sunni Syiah bertujuan untuk apa?

Dalam perkembangan zaman belakangan ini, Dialog Sunni Syiah merupakan perbincangan yang cukup laris ditengah masyarakat muslim Indonesia maupun masyarakat dunia Islam. Topik “Dialog Sunni Syiah” begitu hangat baik dari tanggapan mereka yang menyepakatinya atau menolaknya.
Tujuan dialog antar mazhab sunni dan syiah ini sebenarna dilatarbelakangi oleh terjadinya berbagai macam konflik sunni-syiah yang terjadi pada Ummat Islam baik dizaman lampau maupun dizaman modern sekarang ini.
Terjadi beberapa pandangan dari Ummat Islam yang Pro-Persatuan dan yang Anti-Persatuan. Di Oman, Jordania contohnya, kerajaan yang notabene masih dalam kawasan semenanjung atau jazirah arab itu mengadakan seminar atau konferensi Internasional Ulama Islam se-Dunia yang bertema “Persatuan Ummat Islam, dialog antar mazhab-mazhab Islam menuju Ukhuwwah Islamiyyah”.
Dihadiri puluhan Ulama baik dari Sunni, Syiah maupun mazhab lainya. Mereka mendiskusikan apa yang selama ini menjadi perbedaan pokok dalam hal akidah, fiqih dll.
Konferensi Oman ini, menelorkan sebuah kesepakatan bahwasanya perlu saling menghormati antar warga penganut mazhab-mazhab Islam yang berbeda. Dengan sikap saling menghormati, menghargai tersebut niscaya akan terbentuklah masyarakat Islam yang mencintai persatuan atau Ukhuwwah Islamiyyah.
Begitu pula di Indonesia akan sangat berarti untuk terlaksanakanya “dialog sunni syiah”, karena belakangan ini konflik sunni syiah mulai membara dan memprihatinkan apabila hal ini di biarkan begitu saja. Pada dasarnya mazhab sunni dan syiah mempunyai dasar sendiri-sendiri dalam berbagai bidang pijakan Akidah, Fiqih dll. Yang berarti bahwa kedua mazhab ini sebenarnya hanya mempunyai perbedaan cara pandang, dan sama-sama masih masuk dalam kategori bagian dari Islam.

Hadis Imam Ali Sahabat Yang Paling Berilmu; Keutamaan Di Atas Abu Bakar dan Umar

Hadis Imam Ali Sahabat Yang Paling Berilmu : Keutamaan Di Atas Abu Bakar dan Umar
Tulisan kali ini hanya menguatkan pembahasan kami sebelumnya kalau Imam Ali adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling berilmu dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Sayyidah Fathimah Alaihis salam.
قال أو ما ترضين أني زوجتك أقدم أمتي سلما وأكثرهم علما وأعظمهم حلما
[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam] bersabda “tidakkah engkau ridha kunikahkan dengan umatku yang paling dahulu masuk islam, paling banyak ilmunya dan paling besar kelembutannya”.
Hadis Hasan Lighairihi. Hadis ini diriwayatkan dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 31514 dan Al Ahad Al Mutsanna Ibnu Abi Ashim 1/142 no 169 dengan jalan dari Fadhl bin Dukain dari Syarik dari Abu Ishaq. Fadhl bin Dukain memiliki mutaba’ah dari Waki‘ bin Jarrah dari Syarik dari Abu Ishaq sebagaimana diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaq 5/490 no 9783 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/94 no 156.
Fadhl bin Dukain adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/11] dan Waki’ bin Jarrah seorang yang tsiqat hafizh dan ‘abid [At Taqrib 2/283-284]
Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ahmad berkata “Syarik lebih tsabit dari Zuhair, Israil dan Zakaria dalam riwayat dari Abu Ishaq”. Ibnu Ma’in lebih menyukai riwayat Syarik dari Abu Ishaq daripada Israil. [At Tahdzib juz 4 no 587]
Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100]
Para perawi hadis ini tsiqat hanya saja Syarik seorang yang tsiqat tetapi terdapat pembicaraan pada hafalannya dan riwayat Abu Ishaq tersebut mursal. Kemudian hadis ini juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/132 dan Mudhih Awham Al Jami’ wat Tafriq Al Khatib 2/148 dengan jalan sanad dari Abu Ishaq dari Anas. Berikut sanad hadis riwayat Al Khatib:
أخبرنا الحسن بن أبي بكر أخبرنا أبو سهل أحمد بن محمد بن عبد الله بن زياد القطان حدثنا عبد الله بن روح حدثنا سلام بن سليمان أبو العباس المدائني حدثنا عمر بن المثنى عن أبي إسحاق عن أنس رضي الله عنه
Telah mengabarkan kepada kami Al Hasan bin Abi Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rauh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abu ‘Abbas Al Mada’iniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas radiallahu ‘anhu [Mudhih Awham Al Jami’ Wat Tafriq Al Khatib 2/148]
Hadis ini mengandung kelemahan karena di dalam sanadnya terdapat Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy dan Umar bin Al Mutsanna. Salam bin Sulaiman Al Mada’iniy terdapat pembicaraan tentang kedudukannya tetapi jika dianalisis dengan baik pendapat yang menta’dilkannya lebih kuat daripada yang menjarh-nya. Berikut keterangan para perawi sanad di atas
Hasan bin Abi Bakar adalah Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Syadzaan Abu Ali bin Abu Bakar Al Baghdadi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam, memiliki keutamaan dan shaduq [As Siyar 17/415 no 273]. Al Khatib berkata “kami menulis darinya dan ia shaduq” [Tarikh Baghdad 7/279].
Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Muhaddis tsiqat [As Siyar 15/521 no 299].
‘Abdullah bin Rauh Al Mada’iny seorang yang tsiqat. Al Khatib menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad bahwa ia seorang yang tsiqat shaduq [Tarikh Baghdad 9/461]. Daruquthni terkadang menyatakan tsiqat dan terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1840].
Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy seorang yang diperbincangkan. Abu Hatim yang meriwayatkan darinya berkata “tidak kuat”. Nasa’i dalam Al Kuna menyebutkan telah mengabarkan kepada kami ‘Abbas bin Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abul Abbas seorang penduduk madinah yang tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 498]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “di dalam hadisnya dari perawi tsiqat terdapat hal-hal yang mungkar” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Ibnu Ady berkata “mungkar al hadits” [Al Kamil Ibnu Ady 3/309]
Umar bin Al Mutsanna, telah meriwayatkan darinya Sallam bin Sulaiman, Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy, A’la bin Hilal Al Bahiliy dan Baqiyah bin Walid. Abu Arubah menyebutkannya dalam Thabaqat ketiga dari tabiin ahlul jazirah [At Tahdzib juz 7 no 820]. Ibnu Hajar berkata “mastur” [At Taqrib 1/725]. Al Uqailiy memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Qatadah dan telah meriwayatkan darinya Baqiyah, hadisnya tidak mahfuzh” kemudian Al Uqailiy membawakan hadis yang dimaksud yaitu riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Qatadah dari Anas [Adh Dhu’afa Al Uqailiy 3/190 no 1185]. Pernyataan Al Uqailiy patut diberikan catatan, hadis yang disebutkannya sebagai tidak mahfuzh bukan bukti kelemahan Umar bin Al Mutsanna karena dalam sanad hadis tersebut Qatadah meriwayatkan secara ‘an ‘anah dari Anas dan ma’ruf diketahui kalau Qatadah perawi mudallis martabat ketiga yang berarti sering melakukan tadlis dari perawi dhaif sehingga riwayatnya dengan ‘an ‘anah dinilai dhaif. Jadi sangat mungkin kalau hadis ini tidak mahfuzh karena tadlis Qatadah.
Daruquthni menyebutkan juga hadis ini dan mengatakan Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Bara’ dari Fathimah. Kemudian ia berkata “tidak dikenal kecuali dari hadis ini” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 2565].
Pernyataan Daruquthni keliru karena riwayat yang benar disini adalah riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas sebagaimana yang disebutkan di atas. Disini Daruquthni tidak menyebutkan sanadnya secara lengkap kemudian Daruquthni juga keliru karena Umar bin Al Mutsanna tidak hanya dikenal melalui hadis ini. Umar bin Al Mutsanna juga memiliki hadis lain salah satunya dalam kitab Sunan Ibnu Majah riwayat Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy dari Umar bin Al Mutsanna dari Atha Al Khurasaniy dari Anas bin Malik [Sunan Ibnu Majah 1/182 no 548].
Pembahasan Kedudukan Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy
Yang memberikan predikat ta’dil pada Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah ‘Abbas bin Walid Al Baryuthi seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 6/214 no 1178] dan ‘Abbas bin Walid ini adalah salah satu murid dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Ia menyebutkan kalau gurunya Sallaam bin Sulaiman seorang yang tsiqat.
Kemudian jarh Abu Hatim “laisa bil qawiy” tidaklah menjatuhkan kedudukannya karena jarh seperti ini bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan apalagi Abu Hatim terkenal tasyadud [ketat] dalam menilai perawi. Dalam hal ini Sallaam telah tetap penta’dilannya kalau ia seorang yang tsiqat maka jarh Abu Hatim disini diartikan hadisnya hasan [tidak mencapai derajat shahih] apalagi hal ini dikuatkan oleh kenyataan kalau Abu Hatim sendiri mengambil hadis dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Jika ia seorang yang dhaif di sisi Abu Hatim maka sudah pasti Abu Hatim tidak akan mengambil riwayat darinya.
Al Uqailiy menyebutkan Sallam meriwayatkan hadis mungkar dari perawi tsiqat kemudian ia membawakan hadis yang dimaksud yaitu hadis Sallam bin Sulaiman dari Syu’bah dari Zaid dari Abu Shadiq dari Abu Sa’id Al Khudri kemudian Al Uqaili berkata “hadis ini tidak ada asalnya dari Syu’bah dan juga tidak dari hadis perawi tsiqat” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Hadis yang disebutkan Al Uqaili berasal dari Muhammad bin Zaidan Al Kufiy yang meriwayatkan dari Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy. Muhammad bin Zaidan Al Kufi adalah seorang yang majhul hal. Biografinya disebutkan dalam Tarikh Al Islam oleh Adz Dzahabi tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Tarikh Al Islam 21/260]. Tentu saja jika dikatakan hadis tersebut tidak ada asalnya dari Syu’bah maka cacat atau kelemahan hadis tersebut lebih tepat ditujukan kepada Muhammad bin Zaidan Al Kufiy karena Sallaam bin Sulaiman Al Mad’iny telah mendapatkan predikat ta’dil.
Mengenai jarh Ibnu Ady “mungkar al hadis” maka banyak sekali catatan yang patut diberikan. Ibnu Ady menyatakan Sallaam bin Sulaiman sebagai mungkar al hadits dengan melihat berbagai hadis yang diriwayatkan oleh Sallaam. Hadis-hadis itulah yang menjadi dasar Ibnu Ady untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman.
Ibnu Ady dalam hal ini keliru, Kekeliruan-nya yang pertama adalah ia menyebutkan kalau kuniyah Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah Abul Mundzir. Hal ini tidak benar karena kuniyah Sallaam bin Sulaiman adalah Abul ‘Abbas. Kekeliruan-nya yang kedua adalah terkadang dalam riwayat yang ia sebutkan terdapat perkataan “Sallaam bin Sulaiman Abu Mundzir Al Qariy”. Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny tidak dikenal dengan sebutan Al Qariy.
Kekeliruan-nya yang ketiga adalah kebanyakan hadis-hadis yang ia sebutkan banyak yang tidak tepat ditujukan sebagai cacat Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Hal ini disebabkan dua alasan yaitu
Bisa jadi perawi yang meriwayatkan dari Sallaam adalah perawi dhaif sehingga ialah yang tertuduh atau
Sallaam meriwayatkan dari perawi dhaif sehingga perawi itulah yang tertuduh dalam hadis tersebut.
Misalnya ada diantara hadis yang disebutkan Ibnu Ady adalah riwayat Dhahhak bin Hajwah Al Manbajiy dari Sallaam bin Sulaiman. Dhahak bin Hajwah ini dikatakan oleh Daruquthni adalah seorang pemalsu hadis [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1692] kemudian riwayat Muhammad bin Isa bin Hayan Al Mad’iniy dari Sallaam bin Sulaiman. Muhammad bin Isa bin Hayyan Al Mada’iny dikatakan Daruquthni adalah seorang yang “matruk al hadits” [Su’alat Al Hakim no 171]. Riwayat-riwayat perawi tersebut tidak bisa dijadikan bukti cacatnya Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny.
Ibnu Ady juga membawakan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Katsir bin Sulaim. Katsir bin Sulaim adalah seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Yahya berkata “tidak ditulis hadisnya”. Nasa’i menyatakan matruk [At Tahdzib juz 8 no 747]. Kemudian terdapat riwayat Sallam bin Sulaiman dari Maslamah bin Ash Shalt. Abu Hatim berkata tentangnya “matruk al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/269 no 1228]. Ibnu Ady juga menyebutkan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Muhammad bin Fadhl bin Athiyah. Muhammad bin Fadhl bin Athiyyah dikatakan Ibnu Ma’in “dhaif” atau “tidak ada apa-apanya dan tidak ditulis hadisnya” atau “pendusta tidak tsiqat”. Abu Zur’ah dan Ibnu Madini mendhaifkannya. Abu Hatim berkata “matruk al hadits pendusta”. Muslim, Nasa’i, Daruquthni dan Ibnu Khirasy berkata “matruk”. Shalih bin Muhammad berkata “pemalsu hadis”. Ibnu Hibban berkata ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsabit dan tidak halal meriwayatkan darinya. [At Tahdzib juz 9 no 658]. Yang terakhir Ibnu Ady membawakan riwayat Sallaam dari Nahsyal bin Sa’id dari Dhahhak dari Ibnu Abbas. Nahsyal bin Sa’id dikatakan Ibnu Ma’in “tidak tsiqat”, Abu Dawud Ath Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih menyatakan “pendusta”. Abu Zur’ah dan Daruquthni berkata “dhaif”. Nasa’i dan Abu Hatim menyatakan matruk. Abu Sa’id An Nuqaasy berkata “ia meriwayatkan dari Adh Dhahhak hadis-hadis palsu” [At Tahdzib juz 10 no 866]. Riwayat-riwayat ini juga tidak bisa dijadikan bukti untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy.
Hadis di atas memiliki syahid yaitu diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 5/26 no 20322 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 2/229 no 16323 dengan jalan sanad dari Abu Ahmad Az Zubairi dari Khalid bin Thahman dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar secara marfu’.
Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair Al Asdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Khirasy, Ibnu Numair dan Ibnu Sa’ad berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar mengatakan tsiqat tsabit [At Taqrib 2/95]
Khalid bin Thahman adalah perawi yang shaduq. Abu Hatim mengatakan ia syiah dan tempat kejujuran. Abu Ubaid berkata “Abu Dawud tidak menyebutnya kecuali yang baik”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang salah atau keliru”. Ibnu Ma’in berkata “dhaif” tetapi Ibnu Ma’in menjelaskan kalau ia dhaif karena ikhtilath sedangkan sebelum ia mengalami ikhtilath maka ia tsiqat. Ibnu Jarud berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 3 no 184]. Ibnu Hajar berkata “shaduq tasyayyu’ dan mengalami ikhtilath” [At Taqrib 1/259]. Adz Dzahabi berkata “seorang syiah yang shaduq didhaifkan oleh Ibnu Ma’in” [Al Kasyf no 1330]. Pendapat yang rajih disini Khalid bin Thahman seorang yang shaduq sedangkan pembicaraan kepadanya disebabkan ia mengalami ikhtilath sebelum wafatnya.
Nafi’ bin Abu Nafi’ adalah tabiin yang tsiqat. Ia meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dan Abu Hurairah dan telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 2370]. Adz Dzahabi berkata “Nafi’ bin Abi Nafi’ Al Bazzaz meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar, telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b, ia seorang yang tsiqat [Al Kasyf no 5788]
Terdapat sedikit pembicaraan tentang Nafi’ bin Abu Nafi’. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menyebutkan kalau Nafi’ yang meriwayatkan dari Abu Hurairah berbeda dengan yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar. Ibnu Hajar menyatakan kalau yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ dan dia dhaif. [At Tahdzib juz 10 no 740].
Pernyataan ini patut diberikan catatan, yang disebut sebagai Abu Daud Nufai’ adalah Nufai’ bin Al Harits Al Hamdani Ad Darimi dia seorang yang matruk, pendusta dan dhaif. Biografinya disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib [At Tahdzib juz 10 no 849]. Nufai’ bin Al Harits tidak dikenal dengan sebutan Ibnu Abi’ Nafi’ sedangkan zahir sanad tersebut adalah Nafi’ bin Abi Nafi’. Jadi menyatakan kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil adalah Nufai’ bin Al Harits Abu Dawud jelas membutuhkan bukti kuat. Apalagi telah disebutkan kalau Al Mizziy dan Adz Dzahabi menyebutkan dengan jelas kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ baik yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar adalah orang yang sama.
Selain itu Ibnu Hajar sendiri terbukti tanaqudh soal Nafi’ bin Abi Nafi’. Adz Dzahabi dalam biografi Khalid bin Thahman menyebutkan hadis riwayat Tirmidzi yaitu riwayat Khalid bin Thahman dari Nafi bin Abu Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kemudian Adz Dzahabi berkomentar “tidak dihasankan oleh Tirmidzi, hadis sangat gharib dan Nafi’ tsiqat”. [Al Mizan juz 1 no 2433].
Ibnu Hajar berkomentar tentang hadis ini dalam Nata’ij Al Afkar “para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaf dia didhaifkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “terkadang salah dan keliru” [Nata’ij Al Afkar Ibnu Hajar 2/383]. Disini Ibnu Hajar menyatakan para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaaf yaitu Khalid bin Thahman padahal Khalid meriwayatkan dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kalau memang dikatakan Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ seorang yang matruk, tidak mungkin Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.
Kesimpulan Kedudukan Hadis
Secara keseluruhan hadis-hadis ini sanadnya saling menguatkan dan kedudukannya adalah hasan lighairihi. Riwayat Abu Ishaq yang mursal dikuatkan oleh riwayat Abu Ishaq oleh Umar bin Al Mutsanna seorang yang mastur dan riwayat ini memiliki syahid dari hadis Ma’qil bin Yasar dimana para perawinya tsiqat atau shaduq hanya saja Khalid dikatakan ikhtilath. Al Haitsami berkata tentang hadis ini “riwayat Ahmad dan Thabrani di dalam sanadnya ada Khalid bin Thahman yang ditsiqatkan Abu Hatim dan yang lainnya, sisa perawi lainnya adalah tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 9/123 no 14595].
Penjelasan Singkat Hadis
Hadis ini menjadi bukti keutamaan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar ra dan Umar ra. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling terdahulu atau pertama keislamannya sebagaimana yang telah disebutkan dalam berbagai riwayat shahih kalau Imam Ali adalah orang pertama yang masuk Islam.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة مولى الأنصار عن زيد بن أرقم قال أول من أسلم مع رسول الله صلى الله عليه و سلم علي رضي الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah Mawla Al Anshari dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali radiallahu ta’aala ‘anhu” [Musnad Ahmad 4/368 sanadnya shahih]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling banyak ilmu diantara umatnya, dan banyak sekali riwayat yang menunjukkan betapa tingginya ilmu imam Ali. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan Ahlul Bait Beliau [termasuk Imam Ali] sebagai pedoman atau pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat, bukankah ini bukti nyata ketinggian ilmu Imam Ali.
Hadis ini juga menjadi bukti keutamaan di atas Abu Bakar dan Umar karena sebagaimana yang tertera dalam hadis shahih dan sirah bahwa keduanya telah melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam dan Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menolak lamaran mereka berdua kemudian ketika Imam Ali melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menerimanya. Jadi pernyataan “paling berilmu” yang tertuju pada Imam Ali menunjukkan keutamaannya yang melebihi Abu Bakar dan Umar.
Salam Damai

Bukti Islamnya Abu Thalib; Beliau Tidaklah Kafir

Menarik apabila kita menganalisa ayat-ayat yang oleh beberapa perawi Sunni dinyatakan turun berkenaan dengan Abu Thalib yang kafir.
Mereka melarang (orang lain) mendengarnya dan mereka menghindarkan diri dari padanya. Mereka hanya membawa kebinasaan bagi jiwa mereka sendiri tanpa mereka sadari. (QS. al-An’am : 26)
Thabari mengisahkan dari Sufyan Tsauri yang meriwayatkan dari Habib bin Tsabit yang meriwayatkan dari seseorang yang menyatakmn bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun ditujukan untuk Abu Thalib karena ia selalu melindungi Nabi Muhammad dari orang-orang kafir tetapi tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat.”1
Mari kita perhatikan apakah ideologi dibalik penafsiran ini benar atau salah, sehingga kita tidak memiliki keraguan. Meneliti lebih jauh penafsiran di atas malah akan membuat kita yakin bahwa itu hanyalah usaha sia-sia untuk mendeskreditkan Abu Thalib.
Ayat tersebut berbicara tentang orang yang masih hidup, karena menyebutkan ‘orang yang melarang orang lain untuk melakukannya dan ia pun tidak melakukannya.”Tentunya orang yang sudah Meninggal tidak dapat berpikir untuk melarang seseorang untuk melakukan sesuatu dan mereka harus hidup untuk dapat melakukan hal itu. Hal ini memberi keyakinan bahwa ayat tersebut tidak ditujukan kepada Abu Thalib.
Rangkaian perawi putus setelah Habib bin Abu Tsabit dan Sufyan tidak menyebut orang yang meriwayatkan dari Habib bin Abu Tsabit, dan semua mengatakan bahwa ia (Habib) meriwayatkan dari seseorang yang mendengar dari Ibnu Abbas. Kriteria ini tidak dapat diterima menurut standar hadis karena rangkaian perawinya tidak lengkap. Oleh karena itu hadis ini tidak diterima.
Apabila kita masih menerima rangkaian perawi, dan Habib bin Abu Tsabit adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis ini, kitab Rijal membuktikan bahwa kita tetap tidak dapat menerimanya karena alasan berikut.
Menurut Ibnu Habban, Habib adalah seorang ‘penipu’ dan Aqili bin Aun’menghindari Habib karena ia telah menyalin hadis dari Ata’a yang benar-benar mutlak tidak dapat diterima.
Qita’ an mengatakan bahwa hadis-hadis Habib selain Ata’ an tidak dapat diterima dan tidak lepas dari kepalsuan. Abu Daud mengutip dari Ajri bahwa hadis tersebut diriwayatkan dari Ibnu Zamrah tidak benar. Ibnu Khuzaimah berpendapat bahwa Habib adalah seorang ‘penipu’.
Dengan demikian hadis yang diriwayatkan Habib adalah hadis yang dibuat-buat sendiri, dan setelah membaca pandangan para ahli Rijal, bagaimana kita menerima hadisnya? Tetapi hal ini tidak boleh membuat kita berhenti menyelidiki isu tersebut, dan apabila kita menerima bahwa Habib dapat dipercaya, kita lihat Sufyan, perawi terakhir dalam rangkaian hadis yang memusuhi Abu Thalib. Kita tetap menyatakan hadis ini tidak sahih, karena Dzahabi menulis tentangnya bahwa riwayat yang dibuat Sufyan palsu.3Sulit bagi kami untuk meyakini bahwa meski penafsir yang telah menuliskan hadis ini adalah orang yang sangat terkemuka, mereka telah menyalin dari orang-orang rendah tersebut tanpa ragu.
Meskipun semua hadis lemah yang telah diriwayatkan oleh perawi – perawi lemah, kami menemukan hadis dari Ibnu Abbas yang murni yang mengatakan kebalikan dari hadis tersebut di atas.
Thabari menyatakan bahwa hadis di atas ditujukan kepada orang mrang musyrik yang sering menjauhi Nabi dan saling menasehati untuk menjauhinya.’Kenyataan menyatakan bahwa Abu Thalib tidak pernah menganjurkan orang lain untuk menjauhi Nabi Muhammad. Bahkan banyak dari orang-orang yang menuduhnya tidak pernah mengucap dua kalimat syahadat mengakui bahwa ia membantu Nabi dalam segala kesukaran di masa Islam yang masih muda dengam segala sesuatu yang ia miliki. la juga membesarkan Nabi ketika masih kecil dan menerima kalau Imam Ali dibesarkan oleh Nabi.
Sebenarnya ia telah Islam sejak awal, tetapi ia melakukan taqiyah (menyembunyikan keimanan) sehingga dapat menjadi perantara antara Nabi Muhammad dan pemimpin-pemimpin orang kafir di Mekkah (seperti Abu Sufyan).
Penting untuk dicatat bahwa kami tidak yakin bahwa orangtua Nabi Muhammad dan para Imam harus mutlak sempurna. Kami meyakini bahwa orangtua mereka dan seluruh nenek moyangnya saleh dan orang beriman, beragama Islam selama hidup mereka.
Hadis tentang Kekafiran Abu Thalib
Sejumlah sejarahwan dan ahli hadis mencatat bahwa Abu Thal wafat dalam keadaan kafir. Beberapa dari mereka meriwayatkan ayat, “Rasulullah dan orang-orang beriman tidak diperkenankan untuk memohon ampunan Allah bagi orang kafir meski mereka adalah keluarga, karena telah jelas bagi mereka bahwa orang-orang kafir ini berasal dari penghuni neraka. “Penafsiran dan pernyataan palsu tersebut dibuat-buat sebagai kampanye fitnah yang dilakukan Bani Umayah dan sekutunya dalam memerangi Imam Ali. Dengan memalsukan hadis tersebut mereka berusaha meyakinkan umat bahwa Abu Sufyan, ayah Muawiyah, lebih baik dari pada Abu Thalib, ayah Imam Ali, dengan menyatakan bahwa Abu Sufyan wafat dalam keadaan Islam sedangkan Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir.
Pencatat hadis dan sejarahwan mengambil hadis ini tanpa memperhatikan bukti tipu daya mereka. Mereka tidak berusaha memeriksa hadis ini padahal tanggal turunnya wahyu dari ayat di atas membuktikan bahwa ayat tersebut tidak berkenaan dengan Abu Thalib (semoga Allah senantiasa ridha kepadanya).
Dengan hadis itu sendiri, kita lihat apa yang dinyatakan kitab yang dianggap paling sahaja oleh kaum Sunni.
Bukhari dalam sahihnya mencatat, diriwayatkan oleh Musyaid:
Ketika kematian Abu Thalib mendekat, Rasulullah mendekatinya. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah telah berada di sana. Rasulullah bersabda, “Wahai paman, katakanlah, ‘Tiada yang patut disembah kecuali Allah sehingga aku dapat membelamu dengannya di hadapan Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib! Apakah engkau akan mengulang kembali ucapan agama Abdul Muthalib?” Lalu Nabi berkata, “Aku akan tetap memohonkan (kepada Allah) ampunan bagimu meski aku dilarang melakukannya. Lalu turunlah Surah at-Taubah ayat 113, “Tiadalah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang yang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni Jahanam.”
Ayat di atas merupakan salah satu ayat dari surah at-Taubah. Beberapa hal mengenai ayat ini; Pertama: Surah dari ayat ini turun di Madinah, kecuali dua ayat terakhir (192 dan 129); Kedua: Ayat yang menjadi topik pembahasan kami adalah ayat 113; Ketiga: Surah at-Taubah turun pada tahun 9 Hijriah. Surah ini berkisah tentang peristiwa yang terjadi selama kampanye Tabuk, yaitu pada bulan Rajab 9 H. Nabi Muhammad telah memerintahkan Abu Bakar untuk mengumumkan bagian pertama surah ini pada musim haji di tahun itu ketika Nabi mengutusnya sebagai Amirul Hajj. Lalu, ia mengutus Imam Ali untuk mengambil alih tugas Abu Bakar dan mengumumkannya, karena Allah memberi perintah kepada Nabi bahwa tidak ada seorang pun yang menyampaikan wahyu kecuali dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya.
Banyak ahli hadis Sunni mencatat bahwa Nabi Muhammad mengutus Abu Bakar kepada orang-orang Mekkah sambil membawa surah at-Taubah dan ketika ia maju ke depan, Nabi Muhammad mengutusnya dan Memintanya untuk memberikan surah tersebut dan berkata, “Tiada seorangpun yang membawa surah ini kepada mereka kecuali salah satu dari Ahlulbaitku.” Lalu, Nabi Muhammad SAW mengutus Ali.6
Ahmad dalam Musnad-nya menambahkan bahwa Abu Bakar berkata, “Nabi Muhammad SAW mengutusku untuk membawa surah at-Taubah kepada penduduk Mekkah. Setelah tahun ini tidak boleh ada penyembah berhala yang melakukan ziarah. Tidak boleh ada orang yang bertelanjang mengelilingi Kabah. Tidak ada orang yang masuk surga kecuali jiwa orang Muslim. Masyarakat penyembah berhala manapun yang melakukan perjanjian perdamaian dengan Nabi Muhammad berdamai, perjanjiannya berakhir tanpa ada batas yang ditentukan (tanpa batas waktu), Allah serta utusan-Nya sangat tegas kepada para penyembah berhala.”
Syilbi Numani juga dalam Sirah Nabi; menuliskan:
Pada tahun 9 hijriah, Kabah untuk pertama kalinya disucikan sebagai rumah utama menyembah Allah bagi pengikut Nabi Ibrahim…; Sekembalinya dari Tabuk, Nabi Muhammad mengutus sebuah khafilah yang terdiri dari 300 umat Islam dari Mekkah hingga Madinah untuk melaksanakan ibadah haji.’
Kembali ke at-Taubah ayat 113, ayat ini tidak diperuntukkan bagi Abu Thalib karena ia wafat di Mekkah 2 tahun sebelum hijrah. Sekarang kami akan mengutip Syilbi Numani, dalam Sirah Nabi.
Wafatnya Khadijah dan Abu Thalib (Tahun ke-10 turunnya wahyu)
Sekembalinya dari gunung, Nabi Muhammad hampir tidak pernah melewatkan hari-harinya dalam kedamaian setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat. la mengunjungi Abu Thalib terakhir kalinya ketika sedang menjelang ajal. Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah telah berada di sana. Nabi meminta Abu Thalib untuk mengucap dua kalimat syahadat, sehingga ia akan Memberi kesaksian tentang keimanannya di hadapan Allah. Abu Jahal dan Ibnu Umayah bertengkar dengan Abu Thalib dan bertanya apakah ia akan berpaling dari agamanya Abdul Muthalib. Pada akhirnya, Abu Thalib berkata bahwa ia akan mati dalam keadaan beragama Abdul Murtad. Kemudian ia berpaling kepada Nabi Muhammad dan berkata bahwa ia akan mengucapkan 2 kalimat syahadat tetapi takut kalau-kalau ada orang Quraisy menuduhnya takut mati. Nabi Muhammad berkata bahwa ia akan berdoa kepada Allah baginya hingga Allah memberi perlindungan.9
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Abu Thalib menjelarag ajal, bibirnya bergerak-gerak. Abbas yang hingga saat itu masih menjadi orang non-Muslim, mendekatkan telinganya ke bibir Abu Thalib dan berkata bahwa ia tengah mengucapkan 2 kalimat syahadat sebagaimana yang Rasulullah inginkan.10
Semua referensi yang kami sebut pada paragraf di atas bukan berasal dari kami demikian juga dengan kalimat yang tercetak miring. Semua itu diberikan oleh Syilbi Numani sendiri.
Syilbi Numani lebih jauh menuliskan:
Tetapi menurut pendapat seorang ahli hadis, riwayat Bukhari ini tidak pantas dinyatakan sebagai hadis yang dapat dipercaya karena perawi terakhirnya adalah Musayab yang masuk Islam setelah tumbangnya Mekkah, dan ia tidak berada di tempat kejadian ketika Abu Thalib wafat. Karena hal inilah Aini dalam tafsirnya menyatakan bahwa hadis ini mursal.”
Syilbi menuliskan:
Abu Thalib banyak berkorban bagi Nabi Muhammad dan tak seorangpun yang menyangkalnya. la bahkan akan mengorbankan putra-putrinya demi Nabi. la akan menghadapi sendiri kebencian seluruh negeri demi Nabi dan melewati tahun demi tahun dalam penyerangan dan derita kelaparan karena diasingkan, tanpa makanan dan minuman. Apakah semua, rasa cinta, pengorbanan serta ketaatannya sia-sia?
Memohon ampun bagi orang yang sudah tiada biasanya dilakukan pada waktu shalat jenazah. Kalimat ‘Tidak diperkenankan bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampunan bagi orang kafir’ menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tengah berada bersama orang beriman lainnya (dalam shalat berjamaah) memohonkan ampunan bagi orang kafir.
Sebenarnya, shalat jenazah tidak diperintahkan sebelum hijrah (ke Madinah). Shalat jenazah pertama dilakukan oleh Nabi ketika menshalati jenazah Burah bin Marur.
Nampaknya ayat ini turun setelah Nabi melakukan shalat jenamh bagi seorang munafik yang berpura-pura beragama Islam padahal ia menyembunyikan kekafirannya. Mungkin ayat ini turun ketika Nabi Muhammad melakukan shalat bagi Abdullah bin Ubay yang meninggal pada tahun 9 dan sangat terkenal dengan kemunafikannya, kebenciannya kepada Nabi Muhammad dan permusuhannya terhadap Islam. Mengenai Abdullah bin Ubay dan pengikutnya, surah al-Munafiqun turun sebelum saat itu. Sekiranya ahli sejarah dan ahli hadis mencatat dengan lebih teliti dan logis, mereka tidak akan melakukan kesalahan sejarah.
Berikut ini hadis Shahih al-Bukhari yang menyebutkan peristiwa yang serupa dengan hadis sebelumnya. Diriwayatkan Musyaib:
Ketika Abu Thalib menjelang ajal, Nabi Muhammad menemuinya dan melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhammad berkata, “Wahai paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?” Nabi Muhammad terus memintanya mengucap kalimat syahadat sedangkan dua orang tadi mengulang-ulang kalimat mereka hingga Abu Thalib mengatakan kepada mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’ Nabi berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu meskipun dilarang (Allah)!”
Lalu Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada bpatut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untukn memohonkan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik.” Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat men unjuki orang yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash : 56).12
Pembaca akan terkejut mengetahui bahwa dua ha dis yang disebutkan di atas membuktikan bahwa dua ayat turun berturut-turut. Tetapi hal ini bertolak belakang dengan hadis yang disebutkan Bukhari dalam sahihnya, dan membuktikan bahwa surah at-Taubah adalah salah satu surah yang terakhir turun. Berikut ini hadisnya; dari riwayat Bara, “Surah terakhir yang turun adalah surah at-Taubah…”13
Tetapi di manakah kesalahan hadis tersebut? Ayat yang disebutkan dari surah al-Qashash, turun kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah, dan turun di Mekkah, sedang surah at-Taubah turun di Madinah. Kajilah dan anda akan menemukan bahwa dalam usaha yang sia-sia untuk mendiskreditkan Abu Thalib dan menyatakannya sebagai orang kafir, tatanan turunnya Quran tidak dipertimbangkan. Bayangkan waktu turunnya kedua surah tersebut, dan persoalannya akan menjadi jelas. Sejarah juga menceritakan bahwa Musayab tidak menyukai Imam Ali dan menolak melakukan shalat jenazah bagi Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.14 Dapat disimpulkan bahwa pemalsuan hadis ini dilakukan untuk mengangkat derajat Umayah dari Bani Hasyim.
Kami juga menemukan penafsiran yang sangat mengherankan, dari penafsir Sunni yang dihormati, Fakhruddin Razi dalam tafsirnya dengan sumber surah Qashash ayat 56. la menyebutkan ayat ini tentang Abu’ Thalib, ‘bukan’ karena pendapat pribadinya, tetapi dari beberapa ulama lainnya. Anehnya, ia mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dikait-kaitkan kepada keimanan Abu Thalib.15
al-Quran dan Orang-orang Kafir
Tiadalah patut bagi Nabi dan orang – orang yang beriman untuk memintakan ampunan bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu sekalipun orang orang yang musyrik itu kerabatnya sendiri. Setelah nyata bagi mereka bahwa orang – orang yang musyrik itu penghuni jahanam (QS. at-Taubah : 113).
Setelah terbukti bahwa ayat ini bukan diperuntukkan bagi Abu Thalib, dimana Nabi dan kaum Muslimin diperintahkan untuk tidak mendoakan orang musyrik, akan berguna apabila kita memperhatikan ayat-ayat tersebut yang meminta agar Nabi Muhammad dan orang-orang beriman untuk tidak membuat ikatan hubungan dengan orang musyrik, apalagi menshalatinya, tanpa cinta dan rasa hormat.
Engkau tidak akan menemukan masyarakat orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat berhandai taulan dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun penantang-penantang itu bapak-bapaknya, atau anak-anaknya, atau saudarasaudaranya; ataupun keluarganya sendiri.
Merekalah orang-orang yang telah Allah tetapkan dalam hati mereka keimanan, memperkokohnya pula dengan kemantapan dari-Nya. Dan la akan memasukkan mereka ke dalam syurga yang banyak mengalir sungai-sungai dalamnya, serta kekal mereka di sana. Allah sangat ridha terhadap mereka dan merekapun sangat ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Sesungguhnya golongan Allah lah yang berjaya.
(QS. Mujadilah : 22)
Ayat ini turun pada perang Badar dan peristiwanya terjadi pada tahun 2 Hijriah. Tetapi ada beberapa penafsir yang menghubungkan turunnya ayat ini dengan perang Uhud, yang terjadi pada tahun 3 hijriah. Sebenarnya, ayat ini menganjurkan kita untuk tidak berteman dengan orang-orang kafir ataupun mencintai mereka. Surah ini turun sebelum surah at-Taubah.16
Orang-orang yang memilih orang-orang kafir sebagai pemimpinnya dengan mengesampingkan orang-orang beriman. Apakah mereka mengharapkan kehormatan bagi mereka? Sesungguhnya semua kehormatan itu hanyalah kepunyaan Allah (QS. an-Nisa : 139).
Hai orang – orang yang beriman ! Jangan kamu memilih orang – orang kafir menjadi pelindung dengan mengesampingkan orang – orang beriman. Aapakah kamu memberikan bukti yang jelas kepada Allah yang menentangmu? (QS. an-Nisa : 144).
Surah ini adalah surah Makkiyah, yang menganjurkan orang-orang beriman untuk tidak mengangkat orang-orang kafir sebagai pelindung dan penolong mereka. Bagaimana bisa Nabi meminta pertolongan dari orang-orang kafir jika kita anggap Abu Thalib adalah orang kafir?’ Tentunya ayat ini turun sebelum surah at-Taubah yang menjadi fokus perhatian kami.17
Orang-orang beriman tidak boleh memilih orang-orang kafir menjadi kawan dengan meninggalkan orang-orang beriman. Siapa yang melakukan itu, ia tidak akan mendapat perlindungan Allah, ia harus melindungi diri dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu (akan balasan) dari-Nya. Hanya kepada Allah- lah tempat kembali.
(QS. Ali Imran : 28).
Menurut satu sumber, 80 ayat pertama surah ini turun pada awal tahun hijriah. Sumber yang lain menunjukkan bahwa ayat ini (ayat 28) turun pada perang Ahzab (5 hijriah). Sumber terakhir menunjukkan bahwa surah Ali Imran dan surah at-Taubah turun dengan perbedaan 4 surah.l8
Hai orang-orang beriman, janganlah knmu mengangkat bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin jika mereka lebih mencintai kekafiran dari pada keimanan. Barangsiapa diantara kamu mengangkat mereka menjadi pemimpin, mereka adalah orang-orang zalim. (QS. at-Taubah : 23).
Engkau memintakan ampunan atau tidak memintakan ampunan bagi mereka, meskipun engkau memintakan ampunan sebanyak 70 kali, Allah tidak akan mengampuni mereka. Hal yang demikian itu karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang fasik.
(QS. at-Taubah: 23 dan 80)
Kedua ayat ini turun sebelum at-Taubah 113 (ayat yang digunakan untuk memusuhi Abu Thalib), dan-kami akan menyimpulkan diskusi ini dengan memberi pernyataan kepada orang-orang yang Menuduh Abu Thalib. Pertama, mungkinkah bahwa Nabi memohon ampunan bagi Abu Thalib (Semoga Allah meridhainya) terutama apabila 2 ayat ini menyatakan bahwa hal itu sia – sia ia, dengan menganggap bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir? Jika ya, tindakan tersebut bertentangan dengan Quran dan kehendak Allah Yang Maha Besar. Kedua, kenyataannya adalah bahwa ayat 113 hanya perintah kepada Nabi Muhammad secara umum, dan bukan keprihatinan untuk sesuatu yang tidak dilakukan Nabi. Akan jelas apabila kita melihat ayat selanjutnya (114) yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang shalat untuk pamannya, Azar (jangan salah, nama ayahnya adalah Tarukh. Hal ini memerlukan pembahasan tersendiri) sebelum ia mengetahui bahwa pamannya ini adalah musuh Allah. Quran menyebutkan, “…Apabila telah jelas baginya bahwa ia (Azar) adalah musuh Allah.” (QS. at-Taubah : 114)
Pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah SAW
Tentunya apa yang telah dinyatakan tentang topik ini pada bagian terakhir pasti meninggalkan beberapa pertanyaan yang tak terjawab dan artikel ini akan menitikberatkan pada sikap Abu Thalib ra terhadap kemenakannya, Nabi Muhammad SAW, sumbangsihnya terhadap penyebaran Islam dan pernyataan keislamannya di banyak peristiwa yang diriwayatkan oleh kaum Sunni.
Pembaca sejarah Islam mengetahui bagaimana suku Quraisy memberikan peringatan kepada Abu Thalib untuk menghentikan kemenakannya yang merendahkan nenek moyang mereka, menghinakan tuhan-tuhan mereka dan mengejek pendapat mereka. Jika tidak, Nabi Muhammad akan berhadapan dengan mereka di medan perang hingga salah satu dari mereka hancur. Abu Thalib tidak ragu bahwa menerima tantangan suku Quraisy akan mengakibatkan kemusnahan sukunya. Namun ia tidak menekan kemenakannya untuk menghentikan kampanyenya. la hanya memberitahu tentang peringatan suku Quraisy dan dengan lembut berkata padanya, “Selamatkanlah aku dan dirimu, wahai kemenakanku, dan janganlah engkau bebani aku dengan sesuatu yang, tidak dapat aku pikul !”
Ketika Nabi Muhammad SAW menolak peringatan tersebut, dungan mengatakan pada pamannya bahwa ia tidak akan mengubah pesan pemilik semesta alam, Abu Thalib langsung mengubah sikapnya dan memutuskan untuk bergabung dengan Nabi Muhammad hingga akhir hayat. Hal. ini merupakan bukti pernyataan yang ia sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, “Kembalilah, kemenakanku, lanjutkanlah, katakanlah semua yang engkau sukai. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu setiap saat.”19
Abu Thalib memenuhi janji besarnya dengan cara yang berbeda. Ketika seorang Mekkah melemparkan kotoran kepada Nabi Muhammad ketika ia tengah shalat, Abu Thalib sambil mengacungkan pedang, pergi mengamit tangan kemenakannya hingga ia sampai ke Mesjid Suci. Sekelompok musuh sedang duduk di sana dan ketika beberapa orang berusaha untuk membela Abu Thalib ia berkata kepada mereka, “Demi Dia yang diyakini Muhammad, jika ada dari kalian yang berdiri, aku akan memukulnya dengan pedangku!”
Perhatikanlah beberapa baris berikut dari referensi hadis Sunni: Ketika seseorang bersumpah, ia bersumpah dengan sesuatu yang memiliki kesucian bagi dirinya, dan bukan sesuatu yang tidak ia yakini. Pernyataan diplomatis tadi membuktikan kepada orang-orang berakal bahwa ia meyakini Tuhannya Muhammad, Yang Maha Esa dan Maha Besar. Kemudian Abu Thalib meminta Nabi Muhammad, orang yang dipermalukan. Dan sebagai jawabannya, Hamzah diperintahkan oleh Abu Thalib untuk mengotori orang yang menunjukkan kebencian kepada Nabi Muhammad dengan tanah. Pada peristiwa inilah Abu Thalib berkata, “Aku meyakini bahwa agama Muhammad adalah agama yang paling benar dari semua agama yang ada di alam semesta.”20
Bagian yang tercetak miring dari kalimat nya di atas merupakan pernyataan yang membuktikan keislamannya.
Suku Quraisy dapat melihat meskipun mereka melakukan usaha menghancurkan Islam, tetapi kemajuan Islam terus berjalan. Mereka akhirnya memutuskan akan membunuh Nabi Muhammad SAW dan keluarganya dengan cara mengepung dan tidak berkomunikasi hingga mereka semua binasa. Dengan cara ini sebuah perjanjian dibuat, dimana setiap suku adalah satu kesatuan dan hal ini dimaksudkan agar tidak ada seorangpun yang memiliki ikatan perkawinan dengan Bani Hasyim atau Melakukan transaksi membeli atau menjual dengan mereka; dan tidak ada orang yang boleh berhubungan dengan mereka atau memberi persediaan makanan. Hal ini berlangsung hingga keluarga Nabi Muhanimad SAW menyerahkannya untuk dihukum mati. Perjanjian ini kemudian digantung; di pintu Kabah. Hal. ini memaksa Abu Thalib beserta seluruh keluarganya menyingkir ke sebuah gunung yang dikenal sebagai’Syi’ib Abi Thalib’.
Sekarang Bani Hasyim benar-benar diasingkan dari seluruh penduduk kota. Bentengpun dikepung oleh suku Quraisy untuk menambah penderitaan mereka dan mencegah kemungkinan mendapat persediaan makanan. Mereka akhirnya kelaparan karena tidak mendapat makanan. Di bawah pengawasan suku Quraisy yang sangat ketat, Abu Thalib bahkan merasa takut kalau-kalau ada serangan di malam hari. Karena hal ini, ia senantiasa menjaga keamanan kemenakannya, dan sering berganti ruang tidur sebagai tindakan pencegahan bila ada serangan mendadak.
Menjelang tahun ketiga pengasingan itu, Nabi Muhammad memberitahu pamannya, Abu Thalib, bahwa Allah telah menunjukkan ketidakridhaan-Nya pada perjanjian tersebut, dan mengirim cacing-cacing untuk melumat setiap kata yang tertulis di dokumen yang tergantung di pintu Kabah kecuali nama-Nya.
Abu Thalib yang mempercayai kemenakannya sebagai penerima wahyu dari langit, tanpa ragu pergi menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka apa yang telah diceritakan Muhammad kepadanya. Percakapannya dicatat sebagai berikut. -
Muhammad telah memberitahu kami dan aku ingin bertanya kepada kalian untuk membuktikannya kepada kalian. Karena apabila benar, maka aku meminta kalian untuk memikirkan kembali daripada menyengsarakan Muhammad atau munguji kesabaran kami. Percayalah kepada kami, kami lebih suka mempertaruhkan nyawa kami daripada menyerahkan Muhammad kepada kalian. Dan jika Muhammad terbukti salah dalam ucapannya, maka kami akan menyerahkan Muhammad kepada kalian tanpa syarat. Dan kalian bebas memperlakukannya sebagaimana yang kalian kehendaki, membunuhnya atau membiarkannya tetap hidup.
Mendengar tawaran Abu Thalib, suku Quraisy sepakat untuk memeriksa dokumen tersebut, dan mereka terkejut ketika melihat dokumen itu telah dimakan ular, hanya nama Allah saja yang masih tertulis di sana. Mereka berkata bahwa hal itu adalah sihir Muhammad. Abu Thalib berang kepada suku Quraisy dan mendesak mereka agar menyatakan bahwa dokumen tersebut digugurkan dan pelarangan itu dihapuskan. Kemudian ia menggenggam ujung kain Kabah lalu mengangkat tangan lainnya ke atas lalu berdoa, “Ya Allah! Bantulah kami menghadapi orang-orang yang telah menganiaya kami…!”21
Ketika Nabi Muhammad masih kecil, di saat hujan jarang turun, Abu Thalib membawanya ke Rumah Suci Kabah. la berdiri dengan punggung menyentuh dinding Kabah dan mengangkat Nabi Muhammad dengan memangkunya. la menjadikan perantara dalam doanya kepada Allah meminta hujan. Nabi Muhammad juga berdoa bersamanya dengan wajah menghadap ke atas. Belum lagi doa usai, awan hitam muncul di langit dan hujan turun dengan deras. Peristiwa ini ia sebutkan dalam syair yang disusun oleh Abu Thalib:
Tidakkah kalian lihat?
Kami mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang Nabi sebagaimana Musa
la telah diramalkan pada kitab-kitab sebelumnya
Wajahnya yang memancarkan cahaya merupakan perantara tururmya hujan
la adalah mata air bagi para yatim piatu dan pelindung para janda.22 Syair lain yang membuktikan keislaman Abu Thalib adalah:
Untuk mengagungkannya, la memberirlya nama dari diri-Nya sendiri seseorang yang Agung dinamakan Muhammad
Tiada keraguan bahwa Allah telah menunjuk Muhammad sebagai seorang Rasul.
Oleh karenanya, makna Ahmad adalah pribadi yang paling agung di seluruh alam semesta.23
Abu Thalib adalah seorang lelaki yang beragama kuat dan memiliki keyakinan yang dalam terhadap kebenaran Nabi Muhammad. la hidup dalam misi itu selama 11 tahun dan kesulitan yang dihadapi Nabi Muhammad dan dirinya meningkat sejalan bertambahnya waktu. Kesulitannya memuncak terutama ketika Abu Thalib wafat karena suku Quraisy membuatnya lebih menderita. Penderitaan yang tidak dapat dibayangkan ketika Abu Thalib masih hidup. Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadis bahwa ketika seseorang dari suku Quraisy melemparkan kotoran ke kepala Nabi, ia pulang ke rumah. Pada saat itu Nabi berkata, “Suku Quraisy tidak pernah memperlakukanku seperti ini ketika Abu Thalib masih hidup, karena mereka adalah pengecut!”24
Pernikahan Nabi Muhammad SAW
Abu Thalib berkata kepada para lelaki Quraisy yang hadir pada pernikahan Nabi Muhammad SAW:
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim dan keturunan Ismail. la menganugrahi kita Rumah Suci dan tempat berhaji. la menjadikan kita tinggal di tempat yang suci (haram), tempat segala sesuatu tumbuh. la menjadikan kami penengah dalam urusan lelaki dan menganugrahi kami negeri tempat kami bernaung.
Kemudian ia melanjutkan:
Sekiranya Muhammad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib, disandingkan dengan lelaki di kalangan bangsa Arab, ia akan mengagungkannya. Tidak ada seorangpun yang sebanding dungannya. la tidak tertandingi oleh lelaki manapun, meskipun kekayaannya sedikit. Kekayaan hanya kepemilikan sementara dan penjaga yang tak dapat dipercaya. Ia telah mengungkapkan niatnya kepada Khadijah, demikian pula dengan Khadijah, ia telah menunjukkan niatnya kepadanya. Karena setiap pengantin harus memberikan mahar, sekarang ataupun di masa nanti, maharnya akan aku beri dari kekayaanku sendiri.25
Wasiat Terakhir Abu Thalib
Meskipun menyembunyikan keimanannya, Abu Thalib telah mengungkapkan keimanannya kepada Islam di lebih dari satu peristiwa, sebelum ia wafat. Tetapi akan menarik bila dikutip di sini ucapan terakhirnya.
Menjelang ajalnya, Abu Thalib berkata kepada Bani Hasyim:
Aku perintahkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada Muhammad. la adalah orang yang paling terpercaya di antara suku Quraisy dan paling benar di kalangan bangsa Arab. la membawa ayat yang diterima oleh hati dan disangkal oleh bibir karena takut permusuhan. Demi Allah barangsiapa yang mengikuti petunjuknya ia akan mendapat kebahagiaan di masa datang. Dan kalian Bani Hasyim, masuklah kepada seruan Muhammad dan percayailah dia. Kalian akan berhasil dan diberi petunjuk yang benar. Sesungguhnya ia adalah penunjuk ke jalan yang benar.”26
Diriwayatkan dalam kitab Bayhaqi, Dalail Nubuwwah, bahwa menjelang lepas jiwa Abu Thalib dari raganya, bibirnya terlihat bergerak-gerak. Abbas (paman Nabi Muhammad) mendekatkan diri untuk mendengar apa yang ia katakan. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Demi Allah ia telah mengucapkan kalimat yang engkau minta, ya Rasulullah!”27
Dalam kitab yang sama, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berdiri di makam Abu Thalib dan berkata, “Engkau telah berlaku sangat baik kepada saudaramu. Semoga engkau mendapatkan balasan, wahai pamanku!”28
Beberapa Referensi Hadis Syi ah Mengenai Abu Thalib
Abu Abdillah, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Perumpamaan Abu Thalib seperti Ashabul Kahfi (QS. Al-Kahfi : 9 – 26); Mereka menyembunyikan agama mereka dan memperlihatkan kemusyrikan. Tetapi Allah memberi pahala dua kali lipat kepada mereka”.29
Pada hadis lain, Imam Jafar Shadiq berkata:
Ketika Imam Ali sedang duduk di Ruhbah di Kufah, dikelilingi oleh sekelompok orang, seorang lelaki berdiri dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau memiliki kedudukan yang teramat tinggi yang Allah anugerahkan kepadamu tetapi ayahmu menderita di neraka.” Imam menjawab, “Tutup mulutmu! Semoga Allah membuat mulutmu buruk. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, sekiranya ayahku memberi syafaat kepada setiap orang berdosa di muka bumi ini, Allah akan menerima syafaatnya.”30
Kami ingin mengakhiri diskusi ini dengan beberapa pertanyaan berikut; 1) Mengapa kita menuduh Abu Thalib sebagai penyembah berhala, padahal ia memilih untuk meyakini pesan-pesan Nabi Muhammad dengan menyatakannya secara politisnya dan kadang-kadang ia nyatakan secara terang-terangan?; 2) Apa manfaatnya bagi kita dengan menyatakannya kafir padahal terdapat bukti kuat bahwa ia tidak kafir? Apa ada manfaat lain kecuali menjadikan diri kita sendiri orang kafir dengan menuduh orang Islam masa lalu sebagai orang kafir?; 3) Mengapa kita menuduhnya kafir padahal ia membela Nabi Muhammad dengan segala yang ia miliki? Mengapa kita menyebutnya kafir pada orang yang sangat murah hati kepada semua umat Islam dengan menjaga hidup Nabi Muhammad selama 11 tahun?; 4) Mengapa kita menyebutnya kafir pada orang yang menikahkan Nabi Muhammad? Masuk akalkah seorang yang menyembah berhala melaksanakan pernikahan bagi seorang rasul?; 5) Apakah ini ketidaksyukuran dalam bentuk yang begitu mengerikan?; 6) Inikah balasan bagi kebaikan yang ia berikan kepada Nabi Muhammad SAW?
Sesunggunya keberadaannya berkaitan dengan keberlangsungan agama Islam bukan suatu hal yang kebetulan dan kita, umat Islam, memilikinya. Semoga Allah memebrikan syafaatnya untuk kita.
Komentar-komentar Lain Mengenai Abu Thalib
Seorang saudara Sunni menyebutkan: Saya telah mraakukan penelitian mendalam atas apa yang anda tulis tetapi ada satu hal yang belum jelas. Apakah Abu Thalib mengucapkan ‘Tuhanku’. Sepanjang yang anda jelaskan Abu Thalib sering menyebutkan ‘Tuhannya Muhammad’ dan nampaknya ia beriman kepada Tuhan itu tetapi ia tidak pernah mengatakan ‘Tuhanku’. Hal tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak pernah mengucapkan secara terang-terangan keyakinan kepada Islam meskipun nampaknya demikian.
Ibnu Ishaq berkata bahwa menjelang kematiannya bibir Abu Thalib bergerak-gerak. Abbas yang saat itu masih menjadi orang kafir mendekatkan telinganya ke bibirnya kemudian berkata kepada Nabi Muhammad bahwa ia mengucapkan dua kalimat yang Rasulullah inginkan.31
Hadis serupa menyatakan sebagai berikut. Abu Thalib menggerakkan bibirnya ketika ia akan wafat. Abbas kemudian mendengar apa yang ia gumamkan dan berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Abu Thalib mengucapkan kalimat yang diinginkan Nabi Muhammad.32
Dengan demikian, pernyataan syahadatnya sebelum ia wafat dicatat oleh sejarahwan Sunni. Namun menurut kami, ia telah mengucapkan kalimat syahadat sejak awal mula Islam, tetapi tidak di hadapan khalayak. Adalah sesuatu yang alami bahwa bukti eksplisitnya tidak ditemukan dalam sejarah karena sejarah ditulis berdasarkan berita dari masyarakat, bukan dari seseorang. Akan tetapi, ada bukti implisit dalam sejarah yang memberi keyakinan bahkan kepada kaum Sunni bahwa ia adalah seorang Muslim lama sebelum kematiannya. Satu hal yang dapat anda jadikan acuan. la berkata kepada orang kafir, “Aku bersumpah dengan Tuhannya Muhammad!” Apakah sejarah memiliki contoh lain dimana seorang yang kafir bersumpah dengan nama Tuhan yang tidak ia yakini? Ketika seseorang akan bersumpah ia bersumpah demi sesuatu yang penting baginya karena jika tidak ia akan membuat pernyataanya tidak dapat lebih dipercaya oleh orang lain.
Kami akan berikan contoh ; apabila seorang laki – laki pergi ke pengadilan di USA, jika ia Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan menggunakan Kitab Injil.
Jika ia bukan Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan menggunakan kitab sucinya (atau sesuatu yang penting lainnya) dan tentunya bukan kitab Injil karena sumpahnya dengan menggunakan kitab itu tidak akan meyakinkan pengadilan disebabkan ia yang melaksanakan sumpah itu.
Pikirkanlah tentang hal ini! Suku Quraisy memiliki banyak tuhan pad a saat itu (seperti Hubal dan Uzza). Mengapa Abu Thalib meninggal kan mereka semua dan bersumpah dengan Tuhan yang tidak ia yakini?
Saudara Sunni lebih jauh berkomentar, mungkinkah seseorang itu Muslim bila ia tidak secara eksplisit menyatakan keyakinannya? Benar, la adalah seorang beragama Islam dan bukan seorang musyrik. Tetapi tidak semua orang Islam adalah Muslim.
Islam adalah ketundukan dalam hati. Seorang yang munafik, meskipun menyatakan dirinya Muslim, ia tetap bukan Muslim. Karena alasan ini, sulit untuk menilai apakah seseorang itu Muslim atau tidak. Bagaimana pun anda benar. Seseorang harus mengucapkan kalimat syahadat untuk menjadi Muslim, tetapi ia tidak harus melakukannya di depan khalayak apabila ia takut dianiaya atau jika mengetahui bahwa dengan menyembunyikan keimanannya ia dapat berjuang lebih baik dalam pemikirannya yangn agung. Inilah yang disebut taqiyah. Seseorang dapat mengucapkan kalimat syahadat secara pribadi (contohnya ketika ia sedang sendiri atau bersama Nabi Muhammad saja) dan ia akan menjadi Muslim. Taiqyah dan kemunafikan adalah dua hal yang sangat berseberangan.
Apakah Azar ayah Nabi Ibrahim?
Dan ketika Ibrahim berkata pada bapaknya, Azar, “Adakah pantas engkau jadikan berhala – berhala sebagai Tuhan sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata!”
(QS. al-An’am : 74,)
Dan apapun permohonan ampun Ibrahirn untuk ayahnya tiada lain hanyalah karena janji yang telah ia ikrarkan kepada banyaknya. Tetapi setelah nyata bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, ia menyatakan diri berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang tunduk hatinya kepada Tuhan dan penyantun.
Pada dua ayat di atas, kata’ab’ ditunjukkan kepada Azar. Tetapi, kata ‘ab’ memiliki makna yang berbeda dan tidak harus bermakna walid (ayah kandung).
Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa esensi keberadaannya telah dikirimkan dan disampaikan kepada orangtuanya langsung melalui keturunan yang suci, murni dan disucikari.
Kata ‘ab’ dalam bahasa Arab memiliki makna ayah, nenek moyang atau bahkan paman karena Ismail, paman Yakub ditunjukkan dengan sebutan’ab’ dalam ayat Quran berikut.
Tidakkah kamu tnenyaksikan ketika kematian mendekati Yakub, saat itu ia berkata kepada putra-putranya, “Kepada siapa kalian akan menyembah setelah aku tiada? Mereka berkata, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Tuhan Ibrahim dan Ismail dan Ishaq, Tuhan Yang Esa, dan kepada-Nya karni menyerahkan diri. (QS. al-Baqarah :113)
Karena Ismail bukan ayah Nabi Yaqub, dan meskipun Quran menggunakan kata ‘ab’ baginya sebagai sebutan paman, penggunaan kata ini untuk sebutan selain ayah kandung ditetapkan. Di samping itu Nabi Ibrahim berdoa untuk ayah kandungnya (walid) dan untuk orang-orang beriman, yang dengan jelas menunjukkan bahwa ayah kandungnya bukan seorang musyrik. Ayat Quran berikut membuktikan hat tersebut: “Wahai Tuhan kami! Lindungilah kami dan orangtuaku (walidain) dan orang-orang yang beriman pada hari ketika hari kebangkitan akan datang.” (QS. Ibrahim : 14)
Yang mengherankan, ternyata ayah Nabi Ibrahim bernama Tarakh bukan Azar, sebagaimana yang dinyatakan sejarahwan Sunni. Ibnu Katsir menuliskan, “Ibrahim adalah putra Tarakh. Ketika Tarakh berusia 75 tahun, Ibrahim dilahirkan.”33 Hadis ini pun ditegaskan oleh Thabari. la menggambarkan garis keturunan Nabi Ibrahim dalam kumpulan sejarahnya. Ia pun menyatakan dalam kitab tafsir Quran-Nya bahwa Azar bukan ayah kandung Nabi Ibrahim as. 34
Catatan Kaki:
1. Referensi hadis Sunni: Tahaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, hal. 105; Tarikh atThabari jilid 7, hal. 100; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 172; Tafsir alKasysyaf, jilid 1, hal. 448; Tafsir, Qurthubi, jilid 6, hal. 406, dan banyak lagi.
2. Referensi hadis Sunni: Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 2, hal. 179.
3. Referensi hadis Sunni: Mizan al-Itidal, Dzahabi, jilid 1, hal. 396.
4. Referensi hadis Sunni: Tafsir at-Thabari, jilid 7, hal. 109; Tafsir al-Durr al-Mantsur, jilid 3, hal. 8.
5. Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tafsir, versi bahasa Inggris, jilid b, hal. 158, hadis 197.
6. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 183, jilid 5, hal. 275, 283; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jiiid 1, hal. 3,151, jilid 3, hal. 212, 283; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 526, hadis 946; Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 51; Khasaish al-Awiiya’, Nasa’i, hal. 20; Fadha’il al-Khamsah, jilid 2, hal. 343; Siratun Nabi, Syilbi Numani, jilid 2, hal. 239.
7. Siratun Nabi, Syilbi Numani, hal. 239-240.
8. Siratun Nabi, Syilbi Numani, jilid 1, hal. 219 dan 220.
9. Bukhari pada bab Kematian (kalimat terakhir diambil dari Shahih Muslim dan bukan dari Bukhari). Inilah versi hadis Bukhari dan Muslim.
10. Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146.
11. Aini, bab Janaiz atau Kematian, jilid 4, hal. 200.
12. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Arab-Inggris, jilid 6, hal. 278-279, hadis 295.
13. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Inggris, jilid 6, hal. 102, hadis 129. Sumber hadis Sunni lainnya yang menegaskan bahwa surah at-Taubah adalah surah yang terakhir turun dan merupakan surah Madaniyah adalah Tafsir al-Kusysyaf, jilid 2, hal. 49; Tafsir, Qurthubi, jilid 8, haI. 273; Tafsir al-Itqan, jilid l, hal. 18; Tafsir, Syaukani, jilid 3, hal. 316.
14 Referensi hadis Sunni: Syarh ibn al-Hadid, jilid l, hal. 370.
15. Tafsir al-Kabir, jilid 25, hal. 3.
16. Referensi hadis Sunni: Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 4, hal. 329; Tafsir, Syaukani, jilid 5, hal. 189, Tnfsir, Alusi, jilid 28, hal. 37.
17. Referensi hadis Sunni: Tafsir, Qurthubi, jilid 5, hal. 1.
18. Referensi hadis Sunni: Sirah ibn Hisyam, jilid 2, hal. 207; Taf.sir, Qurthubi, jilid 4, hal. 58; Tafsir, Khazan, jilid 1, hal. 235; Tafsir al-Itqan, jilid 1, ha1.17.
19. Referensi Hadis Sunni: Sirali Nabi Muhammad, Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 266; Tabaqat ibn Sa’d, jilid 1, hal. 186, Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 218; Diwan Abu Thalib, hal. 24; Syarh ibn al-Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 258; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 117; as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 306.
20. Referensi hadis Sunni: Khazanatal Adab, Khatib Baghdadi, jilid 1, ,hal. 261; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 42; Syarh, Ibnu Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 120; Fathul BRri (syarah Shahih al-Bukhari), jilid 7, hal. 153; al-Ishabah, jilid 4, hal. 116; as-Sirah alHalabiyyah, jilid l, hal. 305; Talba tul Thalib, hal. 5.
21. Referensi hadis Sunni: Tabaqat ibn Sa’d, jilid 1, hal. 183; Sirah ibn Hisyam, jilid l, hal. 399 dan 404; Awiwanui Ikbar, Qutaibah, jilid 2, hal. 151; Tarikh, Ya’qubi, jilid 2, hal. 22; al-Istiab, jilid 2, hal. 57; Khazantul Ihbab, Khatib Baghdadi, jilid 1, hal. 252; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 84; al-Khasais al-Kubra, jilid 1, hal. 151; as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 286.
22. Referensi hadis Sunni: Syarah al-Bukhari, Qastalani, jilid 2, hal. 227; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, ha1.125.
23. Referensi hadis Sunni: Dalail Nubuwwah, Abu Nu’aim, jilid 1, hal. 6; Tarikh, Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 275; Syarh ibn al-Hadid, jilid 3, hal. 315; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 266; Tarikh Khamis, jilid 1, hal. 254.
24. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabnri, jilid 2, hal. 229; Tarikh, Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 284; Mustadrak Hakim, jilid, 2, hal. 622; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 122; al-Faiq, Zamakhsyari, jilid 2, hal. 213; Tarikh al-Kharnis, jilid l, hal. 253; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 375; Fathul Bart, jilid 7, hal. 153 dan 154; Sirah ibn Hisyam, jilid 2, hal. 58. . 25. Referensi hadis Sunni: Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 139.
26. Referensi hadis Sunni: al-Muhabil Bunya, jilid 1, hal. 72; Tarikh alKhantis, jilid 1, hal. 339; Balughul Adab, jilid 1, hal. 327; as-Sirah alHalabiynh, jilid 1, hal. 375; Sunni al Muthalib, jilid 5; Uruzul Anaf, jilid 1, hal. 259; Tabaqat ibn Sa’d, jilid l, hal. 123. ‘
27. Referensi hadis Sunni: Daiail Nubuzuwah, Baihaqi, jilid 2, ha1.101; Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146, sebagairnana yang dikutip pada buku Siraturt Nabi, Syilbi Numani, jilid 1, hal. 219-220.
28. Referensi hadis Sunni: Dalail Nubuwwah, Baihaqi, jilid 2, ha1.101; Ibid, jilid 2, hal. 103; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 13, ha1.196; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 125; al-Ishabah, jilid 4, ha1.116; Tadzkirat Sibt, hal. 2; Tarikh, Yaqubi, jilid 2, hal. 26.
29. Referensi hadis Syi’ah: al-Kafi, Kulaini, jilid 1, hal. 448;, al-Ghadir, Amini, jilid 7, hal. 330.
30. Referensi hadis Syi’ah: al-Ihtijaj, Thabarsi, jilid 1, hal. 341.
31. Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146 (sebagaimana yang dikutip oleh Syilbi Numani).
32. Tarikh Abu Fida, jilid l, ha1.120.
33. Referensi hadis Sunni: al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 139.
34. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 119; Tafsir atThnbari, Ibnu Jarir Thabari, jilid 7, ha1.158.

Fiqih Membayar Khumus dalam Mazhab Syiah

Pelajaran Fiqih Membayar Khumus
Salah satu dari tugas-tugas ekonomi kaum muslimin adalah membayar khumus, artinya bahwa pada sebagian hal, seperlima dari hartanya harus di bayarkan kepada pemimpin syar’i untuk penggunaan yang sudah ditentukan.
Khumus Hukumnya Wajib pada Tujuh Hal:
a. Apa yang lebih dari biaya hidup setahun (laba usaha).
b. Tambang.
c. Harta karun.
d. Harta rampasan perang.
e. Perhiasan yang didapatkan dari penyelaman ke dalam laut.
f. Harta halal yang campur dengan harta haram.
g. Tanah yang dibeli oleh kafir zimmi* dari orang islam.
Membayar khumus merupakan sebuah kewajiban bagaikan salat dan puasa, dan seluruh orang yang balig dan berakal jika memiliki salah satu dari tujuh macam di atas maka dia harus membayar khumusnya.
Pada permulaan usia balig jika seseorang berpikir untuk melaksanakan ibadah salat dan puasa dia juga harus berpikir untuk membayar khumus dan zakat, oleh karena itu untuk mengenal dan mengetahui masalahnya sebatas kebutuhan adalah perlu. Dalam tulisan ini kami hanya membahas salah satu dari tujuh macam yang diwajibkan khumusnya yang menyangkut seluruh kalangan masyarakat dan itu adalah khumusnya sesuatu yang lebih dari biaya hidup setahun seseorang dan keluarganya.
Untuk lebih jelasnya kami harus menjawab pertanyaan ini: Apa maksud dari biaya hidup setahun?
Biaya Setahun
Islam menghargai jerih payah manusia dan lebih mendahulukan kebutuhan hidup mereka dari pada masalah pembayaran khumus. Oleh karena itu, setiap orang dalam satu tahun bisa memenuhi kebutuhannya dari hasil jerih payahnya dan di akhir tahun jika tidak ada sisanya maka tidak wajib membayar khumus. Akan tetapi, setelah dia hidup sesuai dengan standar dan berdasarkan kebutuhannya artinya tidak berlebihan dan juga tidak irit, jika di akhir tahun ada kelebihan dari biaya hidupnya selama setahun maka 1/5 dari kelebihan itu dibayarkan sebagai khumus dan sisanya 4/5 untuk dirinya sendiri. Dengan demikian maksud dari biaya hidup adalah segala macam kebutuhan yang diperlukan dalam hidupnya baik untuk dirinya maupun keluarganya seperti:
a. Makanan dan pakaian.
b. Barang-barang dan perabot rumah tangga.
c. Alat transportasi.
d. Biaya untuk tamu.
e. Biaya untuk kawin.
f. Kitab-kitab yang diperlukan.
g. Biaya bepergian.
h. Hadiah yang diberikan kepada orang lain.
i. Sedekah dan nazar atau membayar kaffarah.
Tahun Membayar Khumus
Orang yang balig, dari hari pertama dia balig harus mengerjakan salat dan pada bulan pertama Ramadhan harus berpuasa dan setelah lewat satu tahun dari penghasilannya yang pertama, jika ada kelebihan biaya hidup yang dipakai selama setahun maka 1/5 dari kelebihan biaya setahun itu dibayarkan sebagai khumus. Oleh karena itu awal penghitungan khumus adalah penghasilan yang pertama dan akhir tahunnya adalah tanggal ulang tahun mendapatkan penghasilan. Dengan demikian awal tahun bagi petani adalah panen yang pertama, bagi pegawai adalah gaji yang pertama, bagi karyawan adalah bayaran yang pertama dan bagi pedagang adalah muamalah pertama yang dia lakukan.
Harta yang Didapatkan dengan Perantara Di Bawah ini Tidak Ada Khumusnya:
a. Harta warisan.
b. Sesuatu yang diberikan ke orang lain.
c. Hadiah yang didapatkan dari orang lain.
d. Sesuatu yang di kasihkan ke orang lain sebagai hadiah.*
e. Harta yang diberikan kepada orang lain sebagai khumus atau zakat atau sedekah.
Akibat Tidak Membayar Khumus
1. Selama khumus hartanya belum dibayar pemilik tidak bisa menggunakan hartanya yakni makanan yang khumusnya belum dibayar tidak bisa dimakan atau uang yang belum dibayar khumusnya tidak bisa dipakai untuk membeli sesuatu.
2. Jika melaksanakan jual beli dengan uang yang belum dikhumusi (tanpa izin pemimpin syar’i) maka 1/5 dari muamalah itu batal*
3. Jika ingin mandi di kamar mandi umum dan membayar pakai uang yang belum dikhumusi kepada pemilik kamar mandi maka mandinya batal.**
4. Jika membeli rumah dengan uang yang belum dikhumusi maka salat di dalamnya adalah batal.
Hukum-hukum Khumus
1. Jika ada kelebihan dari biaya hidup setahun karena hidup qonaah dan sederhana maka harus dibayar khumusnya.
2. Jika perabot rumah yang dibeli sudah tidak diperlukan lagi berdasarkan ihtiyath wajib*** harus dibayar khumusnya misalnya beli kulkas yang lebih besar dan tidak perlu pada kulkas sebelumnya (kulkas sebelumnya harus dibayar khumusnya).
3. Bahan makanan yang digunakan untuk setahun yang dibeli dari uang mata pencaharian seperti beras, minyak dan teh, jika pada akhir tahun ada kelebihan maka harus dibayar khumusnya.
4. Jika anak yang belum balig memiliki modal dan dia mendapatkan labanya, berdasarkan ihtiyath wajib* setelah dia balig maka harus membayar khumusnya.**
Penyerahan Khumus
Khumus harus dibagi menjadi dua bagian, setengahnya adalah sahamnya Imam Mahdi AS. yang harus diserahkan kepada Mujtahid yang memiliki seluruh syarat yang mana dia taklid kepadanya atau wakilnya. Dan setengahnya lagi bisa diserahkan kepada Mujtahid yang memiliki seluruh syarat atau dengan izin mujtahid tersebut diberikan kepada para sayyid yang memiliki syarat-syaratnya. ***
Syarat-syarat Sayyid yang Bisa Diberi Khumus:
a. Harus fakir atau tidak bisa pulang dari bepergian sekalipun di kotanya termasuk orang kaya.
b. Harus Syi’ah Imamiyah.
c. Berdasarkan ihtiyath wajib tidak bermaksiat secara terang-terangan. Pemberian khumus kepadanya jangan sampai membantu dia untuk berbuat dosa.
d. Bukan termasuk orang-orang yang biaya hidupnya menjadi tanggungan pembayar khumus seperti istri dan anak (berdasarkan ihtiyath wajib).
Kesimpulan Pelajaran
1. Salah satu dari tugas ekonomi adalah membayar khumus.
2. Pada beberapa hal di bawah ini wajib membayar khumusnya:
a. Hasil usaha.
b. Tambang.
c. Harta karun.
d. Rampasan perang.
e. Perhiasan laut.
f. Harta halal bercampur dengan harta haram.
g. Tanah yang dibeli oleh orang kafir zimmi dari orang muslim.
3. Makanan, pakaian, rumah, perabot rumah, kendaraan, biaya tamu, kawin, ziarah, bepergian, perhiasan, sedekah, kaffarah adalah bagian dari biaya hidup setahun.
4. Dari sejak seseorang memiliki mata pencaharian dan usaha maka mulailah baginya tahun khumus dan setelah lewat setahun apa yang lebih dari biaya hidupnya selama setahun maka harus dibayar khumusnya.
5. Harta yang didapatkan dari warisan, dan sesuatu yang diberikan kepada dirinya dan hadiah yang dia dapatkan tidak ada khumusnya.
6. Selama harta itu belum dibayar khumusnya seseorang tidak bisa menggunakannya, jika dia menggunakan untuk muamalah maka 1/5 darinya adalah batal.
7. Setengah dari khumus adalah milik Imam Mahdi AS. dan harus diserahkan kepada marja’ taklidnya dan setengahnya dengan izin marja’ taklidnya bisa diberikan kepada sayyid yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus fakir.
b. Harus bermazhab Syiah Imamiyah.
c. Tidak bermaksiat secara terang-terangan.
d. Bukan termasuk orang yang menjadi tanggungan dalam pembiayaan hidup seperti istri dan anak.

Teologi Syi'ah

silabi Ilmu kalam (aliran syiah)
Transendent


A. PENDAHULUAN

1.      Gambaran Materi yang di bahas

Syi’ah merupakan salah satu golongan dalam Ilmu Kalam yang di kenal pro terhadap Ahlu Kitab dan memandang bahwa jabatan kekhalifahan sesudah Rasulullah wafat seharusnya ialah Ali bin Abi Thalib, sekaligus sebagai Imam yang kedua. Namun dalam perkembangannya, Syi’ah terbagi dalam beberapa kelompok karena perbedaan masalah Imamah. Untuk itu, dalam pembahasan materi ini, terdiri atas:
Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah atau Imamiyah yang menganggap imam mereka ada 12 orang, Syi’ah Ismailliyyah atau Sab’iyah karena mereka hanya  7 orang dan Ismail adalah Imam mereka yang muntazhar, Syi’ah Zaidiyah karena imam kelima mereka adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali bin Thalib, dan yang paling ekstrim adalah Syi’ah Ghulat karena memandang Ali lebih berhak mendapatkan wahyu di bandingkan dengan Rasulullah saw, itulah sebabnya golongan ini dianggap sesat.
Pada dasarnya Syia’ah ada sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi sebagai suatu kekuatan politik dikenal sejak peristiwa Ali bin Ali Thalib dengan kelompok Umayyah dalam peristiwa tahkim.

2.   Pedoman Mempelajari Materi

Tahap pertama yang harus dipelajari adalah latar belakang munculnya atau sejarahnya karena atas dasar itulah yang digunakan untuk lebih memahami ajaran masing-masing golongan, khususnya yang terkait dengan persoalan imamah dan penolakannya terhadap khalifah Abu Bakar Ra, Umar Ra, dan Usman Ra.

3.   Tujuan Pembelajaran 

Setelah materi bahasan selesai diharapkan mahasiswa dapat :
a.      Menjelaskan asal usul Syi’ah
b.      Menjelaskan perbedaan masing-masing pandangan Syi’ah tentang Imamah
c.      Menjelaskan ajaran-ajaran Syi’ah yang lainnya.

B. KEGIATAN BELAJAR

1.      Materi Perkuliahan

I. Asal Usul Syi’ah
Syi’ah berarti “Kelompok yang mempunyai ikatan kebersamaan mendukung ide, prinsip atau tokoh”.[1]
Ada beberapa pendapat mengenai munculnya istilah Syi’ah :
1)     Sebagian orang menganggap bahwa sejak Rasulullah saw. wafat, Ali bin Abi Thalib memang mempunyai pendukung yang memperjuangkan kursi kekhalifahan buat Ali yang disebut dengan Syi’ah Ali.[2]
2)     Sebagian yang yang lain menganggap bahwa pada peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan, kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan, sebagian besar menjadi Syi’ah Ali dan sebagian kecil menjadi Syi’ah Mu’awiyah.[3]
3)     Sebagian lain mengatakan bahwa munculnya Syi’ah akibat gagalnya perundingan antara pihak Khalifah Ali dengan Pemberontak Mu’awiyah yang disebut dengan peristiwa tahkim. Akibat kegagalan itu, maka sejumlah pasukan Ali berontak terhadap pimpinannya atau keluar dari barisan Ali yang disebut Khawarij. Dan sebagian besar tetap setia kepada Khalifah Ali, mereka inilah yang disebut Syi’ah Ali.[4]
Sedangkan seiring dengan perkembangan zaman, istilah Syi’ah lebih dinisbatkan kepada kelompok pengikut Ali dan pemihakan kepada Ali berubah menjadi mengutamakan Ali dan anak cucunya, sehingga lambat laun tumbuh keyakinan bahwa khalifah dan kepemimpinan umat adalah hak mutlak bagi keturunan Ali.
Secara historis, awal mula lahirnya Syi’ah adalah pada peristiwa Saqifah, segera setelah terbetik berita kematian Rasulullah sekelompok sekelompok Muhajirin memaksakan kehendak mereka kepada kaum Anshar untuk menerima Abu Bakar sebagai pemimpin tunggal umat. Pada saat itu ada sebagian suara diajukan dalam menuntut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sebab bagi mereka Ali lebih berhak menjadi Khalifah dengan berbagai pertimbangan; Ali masuk Islam dalam keadaan bersih karena tidak pernah menyembah berhala, dan Ali diangkat Nabi SAW sebagai saudaranya bahkan punya hubungan nasab yang kuat dengan Rasulullah SAW.[5] Tapi kenyataannya dalam peristiwa Saqifah tersebut, Abu Bakarlah yang dipilih sebagai Khalifah.
Sehabis penguburan jenazah Rasulullah SAW. Ali dan para sahabat seperti, Abbas, Salman, Abu Dzar, Mihdad, dan Ammar mengetahui tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah sehingga muncullah protes dari mereka. Protes ini merupakan manifestasi dari kenyataan yang mereka tidak terima terhadap cara musyawarah pengangkatan Khalifah tanpa melibatkan Ali bin Abi Thalib.
Peristiwa ini merupakan awal perpecahan kelompok minoritas pendukung Ali bin Abi Thalib dari kelompok mayoritas pendukung Khalifah yang terpilih. Dari peristiwa ini, pendukung Ali dikenal sebagai kaum partisan, atau Syi’ah Ali.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa Abu Bakar, istilah Syi’ah telah ada, tetapi belum menampakkan diri sebagai suatu kekuatan politik yang dapat diperhitungkan sebab baru sebagai satu tahapan perasaan simpatik kelompok kecil para sahabat. Demikian pula pada masa Umar. Akan tetapi keadaan ini berubah setelah pemerintahan Usman bin Affan, lebih- lebih pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya, ia membuat tindakan-tindakan keliru yang tidak pernah diperbuat oleh Khalifah-khalifah sebelumnya. Tindakan ini telah menyulut rasa ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan rakyat.
Dalam situasi seperti ini, dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan mempropogandakan gagasannya yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan “Mazhab Wishaya” teori ini menyatakan bahwa ada wasiat dari Nabi SAW. Untuk menjadikan Ali sebagai Khalifah sesudah beliau wafat. Sebab sudah menjadi kelaziman bagi setiap Nabi mengadakan wasiat serupa itu. Ali adalah penerima wasiat terakhir. Di samping “Wishaya”, Abdullah bin Saba’ juga melontarkan paham “Hak Ilahi” menurut teori ini, bahwa Ali lah yang berhak menjadi Khalifah, karena hal itu sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Selanjutnya Ibnu Saba’ mengatakan bahwa Usman telah merampas hak Khalifah dari Ali. Dari gagasan- gagasan Ibnu Saba’ tersebut, akhinya ia mendapat banyak pengikut, terutama di kalangan pecinta Ali bin Abi Thalib.[6]
Kebencian terhadap Usman dan pendukung Ali tumbuh berdampingan, sehingga klimaks ketidakpuasan yng membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan dan penyerbuan Madinah yang menewaskan Usman. Kematian Usman memberikan peluang bagi Ali untuk naik di atas kursi kekhalifahan. Ali adalah satu- satunya kandidat yang diterima oleh Anshar, Muhajirin dan para pemberontak.
Akan tetapi, dalam kondisi peralihan kekhalifahan ini, Mu’awiyah-Gubernur Damaskus yang diangkat masa khalifah Usman mempunyai ambisi menjadi khalifah kaum muslimin, maka dengan semboyan ‘menuntut balas atas kematian Usman’ dijadikan alasan untuk menolak kekhalifahan Ali. Mu’awiyah menuntut Ali supaya mengadili dan menghukum para pembunuh Usman bahkan Mu’awiyah menuduh Ali turut campur dalam usaha pembunuhan tersebut.[7]
Dalam kondisi seperti itu tentu sulit bagi Ali untuk menghukum pembunuh Usman yang sekaligus sebagai pendukungnya. Karena itu, terjadilah konflik antara Ali dan Mu’awiyah, dimana Shiffin adalah arena pertempuran kedua golongan ini sampai akhirnya konflik ini menghasilkan abitrase (tahkim), akibatnya terjadi kemelut antara sesama pasukan Ali yaitu antara pasukan yang keluar dari barisan Ali karena tidak setuju adanya arbitrase dan pasukan Ali yang tetap setia pada Ali, karena berpendapat bahwa tak seorangpun yang berhak menjadi khalifah dibanding Ali.
Dari sini nyata bagi kita, bahwa telah terjadi segitiga pertentangan yaitu : antara Golongan Mu’awiyah, Pasukan Ali yang membangkang (keluar dari barisan Ali) yang disebut dengan Khawarij dan yang tetap Setia pada Ali. Golongan yang terakhir inilah yang disebut dengan Syi’ah.
Konflik yang terjadi antara umat Islam ini menewaskan Ali, sehingga terjadi perebutan kekuasaan politik antar pendukung Ali dan Mu’awiyyah. Pendukung Ali (Syi’ah) menuntut agar jabatan kekhalifahan tetap dipegang keluarga ahl al bait, mereka merealisasikan tuntutan ini dengan menobatkan Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Dari uraian di atas tampaknya istilah Syi’ah sebagai suatu kekuatan politik tampil pada akhir masa pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin Abi Thalib. Sehingga Abu Zahrah mengungkapkan bahwa Syi’ah adalah mazhab politik yang pertama lahir di dalam Islam.
Walaupun pada asalnya Syi’ah lebih di dominasi dengan paham politik, akan tetapi mazhab-mazhab politik itu sendiri pada orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama dan memasuki bidang furu’.

II. Sekte-sekte Syi’ah
            Dalam perjalanan sejarahnya, Syi’ah tidak hanya satu, mereka pecah menjadi beberapa aliran. Hal ini bukanlah mustahil bagi Syi’ah, sebab mereka merupakan percampuran dari berbagai macam bangsa yang memiliki berbagai macam kecenderungan dan dorongan. Ini disebabkan oleh peristiwa-peristiwa politik dan hubungan mereka dengan pemimpin-pemimpin tertentu yang merupakan sebab mengapa terpecah-terpecah ke dalam firqah-firqah atau sekte-sekte.
            Di antara sekte-sekte Syi’ah ada kelompok ekstrim yang menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah suci bahkan sampai menganggap bahwa Ali mempunyai sifat kenabian atau Ke-Tuhanan. Seperti yang dilakukan oleh golongan Saba’iyah dan adapula sekte yang bersikap terbatas pada tuntutan kekhalifahan dengan mengatakan Ali lebih berhak daripada yang lain, Sekte-sekte tersebut adalah :



a). Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘ Asyariyah)

Syi’ah Imamiyah adalah nama yang dititik beratkan pada pandangannya tentang Imamah. Nama Itsna ‘ Asyariyah di berikan atas dasar bilangan imamnya 12. Kedua belas imam yang dimaksud adalah :
1.      Abu Hasan Ali bin Abi Thalib (Al Murtadha)
2.      Abu Muhammad Hasan bin Ali ( Al Zakiy)
3.      Abu Abdillah Husain bin Ali (Sayyid Syuhada)
4.      Abu Muhammad Ali bin Husain (Zain al Abiddin)
5.      Abu Ja’far bin Ali (Al Baqir)
6.      Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad (Al Shadiq)
7.      Abu Ibrahim Musa bin Ja’far ( Al Kazhim)
8.      Abu al Hasan Ali bin Musa (Al Ridha)
9.      Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Juwwad)
10. Abu Hasan Ali bin Muhammad (Al Hadi)
11. Abu Muhammad Hasan bin Ali (Al Askari)
12. Abu al Qasim Muhammad bin Hasan (Al Mahdi)[8]

Imam terakhir inilah yang terkenal dengan sebutan Imam Mahdi yang diyakini menghilang pada 260 H dan dinanti-nantikan kehadirannya kembali dalam waktu yang tidak diketahui dengan pasti. Meskipun imam terakhir ini dalam keadaan tersembunyi (ghaib/mastur), namun tetap diyakini sebagai imam yang sah sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman.[9]

1. Konsep Imamah
            Menurut keyakinan Syi’ah, Imam yang menggantikan kedudukan nabi itu merupakan kelanjutan dari kenabian. Alasan yang dikemukakan sebagai dasar keharusan adalah adanya rasul-rasul yang diutus oleh Allah guna memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk mencapai kebahagian dunia akhirat. Jika para nabi dan rasul yang ditunjuk oleh Allah, bukan dipilih oleh manusia , demikian pula imam-imam itu, dalam menduduki imamah atas pesan nabi dan imam berikutnya pun ditunjuk oleh imam sebelumnya. Dengan demikian, imamah itu merupakan hal yang mutlak ada atas ketentuan Allah juga.[10]
            Kedudukan Imam menurut Syi’ah Imamiyah sama dengan nabi setelah berakhir masa kenabian, karena itu syarat-syarat imam harus ma’shum, terpelihara dari sifat-sifat rendah dan buruk, baik yang tampak dalam perbuatan-perbuatan maupun yang tersembunyi dalam hati, sejak kanak-kanak hingga meninggalnya, baik disengaja ataupun tidak disengaja, sebagaimana juga ma’shum dari kesalahan dan lupa. Syarat-syarat yang demikian ini penting, karena imam-imam adalah penegak-penegak syara’ yang memelihara keselamatannya dari berbagai macam gangguan dan rongrongan.[11]
            Syi’ah Imamiyah berkeyakinan pula bahwa sebagaimana halnya nabi, imam harus mencerminkan tingkat tertinggi dalam sifat-sifat kesempurnaan, kemanusiaannya, seperti memiliki sifat berani, murah hati, jujur, adil, pandai mengatur, dan bijaksana.[12]
            Sebagaimana halnya Nabi memperoleh pengetahuan yang benar dari Allah dengan jalan wahyu, maka imam pun memperoleh pengetahuan yang benar dengan jalan ilham atas kekuasaan Ilahi. Imam memperoleh pengetahuan dengan perantaraan Nabi maupun imam yang mendahuluinya. Jika menghadapi hal-hal yang baru, imam akan memperoleh cara pemecahannya dengan jalan kekuatan Ilahi pula. Dengan demikian, pengetahuan imam tidak diperoleh dengan jalan argumentasi rasional, tetapi pengetahuan itu menampakkan kepada imam, ibarat bayangan yang menampakkan diri dalam cermin yang amat bersih.
            Konsep Imam menurut Syi’ah Imamiyah ini sejalan dengan konsep beberapa filosof Islam dan para sufi yang mengatakan bahwa di balik akal dan argumentasi-argumentasi masih ada lagi jalan memperoleh pengetahuan atas dasar intuisi atau kasyaf, terbukanya tabir rahasia pengetahuan yang hakiki langsung dari Tuhan.[13]
            Sesuai kedudukan imam-imam yang tak ubahnya seperti nabi, maka umat wajib taat mutlak kepada para imam. Perintah para imam adalah perintah Allah dan larangan mereka adalah larangan Allah juga. Taat kepada imam berarti taat kepada Allah dan durhaka kepada imam adalah durhaka kepada Allah, musuh-musuh para imam adalah musuh-musuh Allah. Oleh karena itu, tidak boleh orang menolak imam, sebab menolak imam berarti menolak Allah. Untuk itu orang wajib tunduk kepada imam dan mematuhi perintah-perintahnya, serta jangan mengambil hukum-hukum syara’ kecuali dari imam, karena segala urusan agama ada pada imam.[14]
            Syi’ah Imamiyah berkeyakinan bahwa imam terakhir adalah Muhammad al Mahdi dalam keadaan tidak hadir (gaib/mastur), dan ditunggu kehadirannya kembali pada umat yang hanya diketahui oleh Allah, untuk mengisi kekosongan, maka umat Islam wajib berijtihad bagi yang memenuhi syarat-syarat, karena dialah yang berkedudukan sebagai wakil imam yang gaib. Dialah yang bertindak sebagai penguasa dan kepala negara yang mutlak. Sebagai pengganti imam, mujtahid yang memenuhi syarat berwenang untuk bertindak sebagai hakim dan memegang tampuk pemerintahan. Orang yang menentangnya sama dengan menentang imam. Orang yang menentang imam sama dengan menentang Allah, dan dikatagorikan sebagai musyrik. Jelas sekali di sini bahwa mujtahid mempunyai kewenangan sebagai ‘Wakil Imam’ selama Imam mastur.[15]
            Satu hal lagi yang perlu ditambahkan di sini bahwa Syi’ah Imamiyah memandang para imam secara moderat, tidak seperti pandangannya kaum Syi’ah yang ekstrim yang memandang para imam mempunyai unsur-unsur Ketuhanan. Para imam bagi para Syi’ah Imamiyah adalah manusia biasa yang mempunyai hak seperti manusia lainnya. Hanya saja mereka termasuk hamba Allah yang dimuliakanNya dan amat dekat dengan Allah sebagai kekasihNya. Karena sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki para imam di banding dengan manusia biasa lainnya, maka mereka berhak ditunjuk sebagai imam dan pembawa petunjuk serta menjadi tempat kembali umat Islam setelah nabi, baik menyangkut penjelasan hukum syara’ maupun yang menyangkut penafsiran al Quran.[16]

2. Kitman dan Taqiyyah
            Yang dimaksud dengan Kitman ialah suatu tindakan seorang Syi’ah untuk menyembunyikan hakikat akidah yang ia percayai atau pendapat yang dijadikan pegangan maupun amal perbuatan yang dilakukan. Sehingga dengan demikian ia tidak menampakkan segala apapun kepada orang lain yang berbeda pandangan, sekalipun di dalam hatinya yang dilakukan itu tidak diyakininya, sehingga ia sama dengan orang lain menurut keadaan lahiriah semata. Orang Syi’ah berbuat demikian karena tidak ingin menampakkan diri mereka  dalam bentuk yang berlainan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang mungkin memata-matai dan mengintainya. Perilaku seperti itu di sebut dengan Taqiyyah yang boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu batas mereka.[17]
     
      Taqiyyah artinya takut.[18] Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 28

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ  
مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Artinya :
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat membela diri dari sesuatu yang ditakuti mereka”.

Menurut riwayat qira’at yang lain di baca “illa an tattaqu minhum taqiyyatan”  tidak tuqatan.[19]

            Menurut Syi’ah, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi strategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencananya. Mereka menafsirkan perbuatan imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnya Ali atas kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan perjanjian damai antara Hasan dengan Mu’awiyyah.[20]       

3. Al Raj’ah
            Al Raj’ah adalah suatu aqidah Syi’ah: yang dimaksud ialah, bahwa manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali bersama makhluk lain seluruhnya.[21] Syi’ah melihat bahwa kembalinya beberapa orang setelah mati nanti, setelah imam Mahdi turun adalah merupakan salah satu daftar yang esensial. Mereka percaya adanya al Raj’ah berdasarkan al Qur’an  dan al Hadis. Firman Allah swt dalam QS. Ghafir ayat 11. menurut al Thust ayat ini membuktikan kebenaran al raj’ah dan kematian dua kali (At-Tibyan).[22]
            Mereka mengatakan bahwa Imam Mahdi yang hilang nanti akan kembali ke dunia untuk menciptakan keadilan di atas bumi ini dan akan memperhitungkan orang-orang yang tidak memihak dan membela Ali Ra.[23]
           
b). Syi’ah Isma’iliyah

Isma’iliyah merupakan cabang dari Syi’ah yang tergolong banyak menyimpang, terutama setelah berkembang dan menyebar pada sejumlah wilayah, seperti Yaman, Afrika Utara, India, Suriah dan lain-lain.
Kemunculannya berawal dari adanya sekelompok pengikut mazhab Syi’ah memberikan bai’at kepada Isma’il bin Ja’far setelah ayahnya (Ja’far al Shadiq) meninggal dunia pada tahun 148 H/ 765 M.[24]
Kenyataannya setelah melihat beberapa riwayat, peristiwa inilah yang kemudian menjadikannya berbeda dengan golongan Itsna ’Asyariyah dari segi imamahnya.
Menurut salah satu riwayat, bahwa Ja’far al Shadiq mengalihkan imamah dari tangan Isma’il kepada Musa al Kazim karena Isma’il terbukti sebagai pemabuk berat. Oleh karena itu tidak masuk akal kalau Ja’far al Shadiq yang dikenal ketakwaannya dan kewara’annya memberikan wasiat kepada Isma’il sekalipun anaknya sendiri.[25]
Sekalipun ada riwayat yang menjelaskan keadaan pribadi Isma’il, yang bertentangan dengan ajaran agama, bagi pengikut Ismail tetap berkeras menentang peralihan imamah tersebut ke tangan Musa al Kazim, bahkan menurutnya dikatakan bahwa Isma’il adalah orang yang ma’sum kendatipun ia dituduh punya kesenangan meminum minuman keras.[26]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa jika Isma’il telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup, dengan demikian maka imamah berpindah kepada puteranya yang bernama Muhammad bin Isma’il, bukan kepada Musa al Kazim, karena menurut mereka imamah tidak bisa berpindah kecuali secara turun temurun. Akan tetapi sebaliknya dalam riwayat yang berbeda diceritakan bahwa kematian Isma’il sesungguhnya terjadi setelah lima tahun ayahnya meninggal dunia. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Isma’il meninggal ketika ayahnya masih hidup, sesungguhnya itu adalah isu kematian sekaligus merupakan sikap taqiyyah yang dilakukan Ja’far, karena pada masa itu para khulafa sering melakukan penindasan terhadap imam-imam ahl bait.
Riwayat lain menguatkan bahwa Isma’il terlihat di kota Basrah menyembuhkan seorang yang lumpuh dengan izin Allah.[27]
Demikian beberapa riwayat yang menceritakan perihal Isma’il, imam ke tujuh menurut pandangan Isma’iliyah, namun menurut riwayat yang lebih dapat dipercaya menyebutkan bahwa Isma’il telah meninggal dunia pada 143 H di Madinah lima tahun sebelum kematian ayahnya.[28]
Berdasarkan riwayat terakhir ini, maka dapat dianalisis bahwa Isma’il memang telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Adapun tidak diterimanya Isma’il wafat oleh pengikutnya adalah karena memang dalam Syi’ah kadangkala enggan menerima kenyataan atas kematian pemimpinnya dan selalu mengatakan bahwa pemimpinnya tidak mati tetapi tinggal di suatu tempat.[29] Kalaupun Isma’il pada waktu itu benar-benar mati maka menurut pengikut Isma’iliyah, ke-Imaman dialihkan kepada puteranya yang bernama Muhammad bin Isma’il karena kepemimpinan baru dinyatakan sah kalau diteruskan oleh keturunan imam sebelumnya.
Dalam sejarah Isma’iliyah, Muhammad bin al Maktum (al Maktum berarti yang menyembunyikan diri). Menurut golongan ini, selama seorang imam belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendirikan kekuasaan maka imam tersebut perlu menyembunyikan diri, baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari persembunyiannya. Dalam persembunyiannya sang Imam memerintahkan utusan-utusannya untuk menggalang kekuatan. Oleh karena itu, beberapa imam sesudah Muhammad al Maktum selalu menyembunyikan diri sampai pada masa Ubaidillah al Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan menjadi penguasa pertama Dinasti Fatimiyah di Mesir.[30]
Golongan Isma’iliyah sering juga disebut dengan Sab’iyah atau Sab’iyyun, karena mempercayai tujuh imam. Adapun imam terakhir adalah setelah Isma’il bin Ja’far demikian pendapat yang lebih umum.[31]
Untuk lebih jelasnya, digambarkan ilustrasi semacam silsilah keturunan imam berikut ini.[32]
                                1. Ali bin Abi Thalib

2. Hasan +50 H     3. Husayn +61 H   Muhammad putera Hanafiyya

Muhammad                            Hasan     Abu Hasyim+98 H

                                                Abdullah
 


M. Ibrahim Yahya Idris

                                4. Ali Zayn al Abidin +98 H

                                5. Muhammad al Baqir +113 H            Zayd + 122H

                                6. Ja’far al Shadiq+148 H
 


7. Isma’il                                                 7. Musa al Kazim

    Muhammad                                        8. Ali Ridha + 202 H

                                                                9.Muhammad al Jawad + 220 H

                                                                10. Ali al Hadi + 254 H

                                                                11. Hasan al ‘Askari + 260 H

                                                                12. Muhammad al Muntazhar
                                                                 (yang diharapkan)

Said Ubaydillah                                      lenyap pada tahun 260 H

Al Mahdi + 322 H





Konsep Imamah dan ajarannya

            Imamah atau kepemimpinan adalah suatu tonggak keimanan Syi’ah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila konsep kepemimpinan Islam memperoleh lebih banyak perhatian pada kelompok Syi’ah dibandingkan dengan kelompok Sunni.
            Imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau ideologi politik atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan.[33]
            Dalam Syi’ah termasuk Isma’iliyah kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Bagi Isma’iliyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukkan  imam sebelumnya dan turun temurun.[34]
            Menurut mereka, imam itu adalah ma’sum, rakyat wajib mengetahuinya, membai’at dan ta’at kepadanya, taat pada imam itu bukan hanya kepada imam yang tampak saja tetapi juga kepada imam yang gaib yang pada suatu saat nanti akan kembali.[35]           
Sehubungan dengan itu pula, mereka berkeyakinan bahwa imam ketujuh akan diteruskan oleh imam-imam yang terlindungi sepanjang abad (gaib). Dalam perkembangannya pula, mereka dipengaruhi oleh Filsafat Neo Platonisme, oleh karenanya mereka percaya kepada teori emanasi. Menurutnya Nabi saw. menduduki tempat sebagai akal pertama bersama para imam dan jiwa semesta. Dengan demikian, menurutnya pula para imam mampu mena’wilkan al Qur’an meskipun jauh menyimpang dari ajaran yang sebenarnya.[36]
Kembali kepada penentuan imam, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa imam itu ditentukan dengan cara wasiat dan turun-temurun, ternyata pada perkembangan selanjutnya ketentuan tersebut mulai pudar. Hal ini dapat ditelusuri ketika Isma’iliyah tampil di masa Dinasti Fatimiyah, ini dapat dibuktikan dengan melihat kasus yang di alami Muiz Li Dinillah.
Pada awalnya Muiz Li Dinillah memberikan wasiat kepada puteranya yang berhak meneruskan tampuk kepemimpinan, yaitu Abdullah. Namun karena Abdullah meninggal dunia, wasiat itu akhirnya dialihkan kepada puteranya yang lain, yaitu al Aziz, dengan demikian jelas menyalahi dan menyimpang dari aqidah Isma’iliyah.[37]
Adapun ajaran-ajarannya adalah Isma’iliyah meyakini bahwa setiap yang zahir pasti ada yang batin atau tersembunyi, setiap ayat yang diturunkan pasti dapat dita’wilkan secara lahir dan batin. Karena itu, kelompok ini juga dinamakan Bathiniyyah.[38]
Menurut Isma’iliyah, akal manusia tidak dapat menjangkau sifat-sifat Allah. Tentang hal ini, mereka pernah mengatakan “Kami tidak mengatakan bahwa ia ada, dan tidak pula kami katakan bahwa ia tidak ada, ia tidak alim dan tidak pula jahil, tidak qadir dan tidak pula ajiz atau mampu,” Menurutnya juga, Allah adalah Tuhan yang menciptakan dua hal yang berlawanan dan hakim terhadap yang bermusuhan. Ia tidak qadim dan bukan muhdis. [39]  
Untuk mencapai kebahagiaan, menurut mereka setiap manusia harus mendapatkan ilmu, dan tidak mungkin seseorang akan mencapai ilmu yang hakiki kecuali dengan pemahaman akal secara menyeluruh. Yang dimaksud dengan pemahaman akal hanyalah Nabi dan para imam.[40]
Pada perkembangannya, para ulama Isma’illiyah senantiasa mendakwahkan keyakinan-keyakinan mereka atau ajaran-ajarannya secara sembunyi-sembunyi hingga pada masa Musta’liyah (Musta’liyah adalah sebutan lain dari Isma’illiyah yang berkembang di Mesir).[41]
Dalam menyebarkan dakwahnya, mereka senantiasa menakwilkan al Qur’an, bahkan lebih jauh lagi mereka menakwilkan bahwa al Qur’an itu sendiri yang dimaksud dengan imam. Kata Syamsun juga berarti imam, demikian juga kata Qamarun. Adapun al Thagut, al Ashnam dan al Syayathin, diartikan sebagai musuh-musuh imam.[42]
Memperhatikan ajaran-ajaran Isma’illiyah di atas, penulis dapat mengklaimnya sebagai golongan yang telah menyimpang dari akidah Islam yang sebenarnya. Konsep imamah yang mereka yakini amat diagung-agungkan sehingga tidak sedikit konsep ajarannya tergambar atau terkesan spekulatif semata. Lebih lanjut penulis mengatakan dengan mengikuti pernyataan al Thabthaba’i, bahwa Isma’illyah telah memperkenalkan adanya perubahan dan peralihan dalam ketentuan syari’at, bahkan sampai penolakan terhadap kewajiban.[43]
Sehubungan dengan pernyataan di atas, amat jelas bahwa Isma’illiyah sebagai salah satu golongan atau sempalan Syi’ah yang banyak kontroversial dengan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya.

c). Syi’ah Zaidiyah

1. Sejarah Timbul dan Perkembangannya

Syi’ah tidak mengalami perpecahan selama masa tiga imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali dan Husain. Akan tetapi, setelah terjadinya Karbala dengan menewaskan Husain tanggal 10 Muharram 68 H/687 M. Maka mulailah timbul perpecahan. Kelompok pertama berpendirian bahwa imam ke-empat adalah putera Husain yaitu Zainal Abidin al Sajjadah. Kendatipun ia belum dewasa, karena keadaan darurat sebab Ali tidak meninggalkan keturunan dari garis Nabi saw. melalui Fatimah al Zahra.
Sementara kelompok kedua percaya bahwa imam ke-empat adalah putera Ali bin Abi Thalib yang dilahirkan dari seorang perempuan dari Bani Hanafiyah. Jadi secara hereditis ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi saw. golongan ini disebut Kaisaniyah.[44]
Setelah kematian imam al Sajjadah terjadi lagi kemelut dalam tubuh Syi’ah. Kelompok pertama memilih putera al Sajjadah yang bernama Muhammad al Baqir sebagai imam ke-lima. Sementara kelompok yang kedua memilih Zaid al Syahid putera al Sajjadah yang lain yang dikenal dengan Syi’ah Zaidiyah.[45]
Dengan demikian, Syi’ah Zaidiyah adalah penisbahan kepada pendirinya Zaid ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali bin Abi Thalib. Ia lahir di Madinah tahun 80 H dan syahid tahun 132 H. Zaid di bai’at di Kufah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abd. Malik.
Dalam perjalanan sejarahnya kelompok Syi’ah ini mengalami berbagai tekanan dan provokasi dari pihak penguasa (Dinasti Umayyah). Akibat pendirian mereka yang mengharuskan berjuang untuk merebut kekuasaan. Hal ini dapat di lihat pada perjuangan demi perjuangan yang mereka lakukan seperti pada pertempuran melawan pasukan Yusuf bin Umar. Di mana pertempuran diakhiri dengan wafatnya imam Zaid oleh ganasnya pasukan pemerintah di Kudasat. Putera Zaid bernama Yahya menggantikan kedudukan ayahnya. Di Balk, ia menyusun kekuatan kemudian mengumumkan pemberontakan tapi akhirnya ia pun menemui nasib yang sama dengan ayahnya. Ia tewas dan di bakar pada tahun 125 H (masa pemerintahan Malik bin Yazid). Penggantinya Muhammad ibn Abdullah ibn Hassan ibn al Hasan (cucu Nabi saw) yang tewas di ujung pedang Isa ibn Mahan (pasukan al Mansur). Penggantinya yaitu saudaranya yang bernama Ibrahim yang juga tewas dalam sebuah pemberontakan terhadap khalifah al Mansur pada 145 H.[46]
Kekosongan pemimpin dalam aliran Zaidiyah ini sempat menimbulkan kekacauan hingga munculnya Nasir al Utrusi seorang keturunan saudara laki-laki Zaid dari Khurasan, karena dikejar-kejar oleh penguasa, maka ia lari ke Mazandaran di Tabaristan di mana penduduknya masih belum beragama Islam dan berkat usahanya, ia berhasil menarik sebagian besar penduduknya masuk Islam dan mereka menganut paham Zaidiyah. Ia dijadikan Imam Zaidiyah sampai beberapa keturunan.[47]  
 Menurut Dr. Abd. Wahid Wafi, mazhab Zaidiyah adalah mazhab terbesar di Yaman Utara. Imam-imam yang mengikuti mazhab Zaidiyah berketurunan sampai pada Yahya Hamid al Din di Yaman. Ia adalah seorang khalifah umat Islam dan diyakini sebagai keturunan Zaid. Sampai zaman ini mayoritas penduduk Yaman Utara pengikut mazhab Zaidiyah khususnya golongan terkemuka.[48]
Untuk melengkapi makalah ini, penulis merasa perlu memberikan keterangan tentang keturunan Ali bin Abi Thalib dengan menekankan para pimpinan golongan Zaidiyah sebagaimana yang tertera dalam diagram berikut :


        1.Ali bin Abi Thalib


2.Al Hasan                    3.Al Husain           Muhammad ibnuHanafiyah













Al Hasan       4.Ali Zainal Abidin Al Sajjadah       Ali               Ali Abu
                                                                                                            Hasyim

Abdullah al Mahdh    5.Zayd            Muhammad al Baqir           Al Hasan

7.Muhammad   8.Ibrahim    Isa     6.Yahya     Ja’far ash Shadiq      Ali

2. Konsep Imamah dan Ajaran Lainnya

            Zaidiyah  menetapkan bahwa imamah berasal dari keturunan Fatimah al Zahra dan tidak mengakui selain dari keturunan puteri Rasulullah saw. tersebut. Sehingga menimbulkan implikasi penolakan terhadap keimaman Muhammad ibn al Hanafiah.[49]
            Di samping itu menurut Zaidiyah seorang yang ingin menduduki jabatan imam harus berjuang untuk mendapatkan jabatan tersebut. Karena itu golongan ini mengecam keras imam yang pasif tanpa ada perjuangan. Menanti dukungan bukanlah suatu sikap yang pantas bagi seseorang yang menyatakan dirinya berhak menduduki jabatan imam. Itulah sebabnya Zaid menolak hak Muhammad al Baqir dan hak ayahnya sebagai imam. Zaidiyah memperbolehkan semua keturunan Fatimah baik dari Hasan maupun Husain dengan syarat berilmu, bertaqwa, ringan tangan, berani dan berkampanye serta berjuang untuk mendapatkan ke-imamannya itu.[50]
            Mengenai kedudukan Ali bin Abi Thalib dan para khalifah sebelumnya, Zaid berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Rasulullah saw yang terbaik, akan tetapi khalifah diserahkan kepada Abu Bakar demi kemaslahatan umat.
            Di dukung oleh pemikiran yang rasional dan moderat sebagaimana dalam ungkapan di atas, maka wajar golongan ini tidak mengklaim kafir terhadap khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman yang sering disebut perampas hak Ali sebagaimana paham sekte-sekte Syi’ah lainnya. Menurut Zaidiyah kekhalifahan mereka itu sah. Karena mereka di angkat oleh kesepakatan umat dalam waktu dan kondisi yang memerlukan kepemimpinan mereka. Hal ini sesuai dengan konsep imamah Zaidiyah yang mengakui adanya khalifah yang utama sekalipun ada yang lebih utama.
            Pengakuan Zaidiyah tentang sahnya khalifah selain Ali bin Abi Thalib mendapat reaksi keras dari Kufah karena mereka tetap tidak mengakui khalifah selain Ali bin Abi Thalib, golongan ini sangat menentang pendapat Zaid tersebut dan menolaknya. Golongan ini dinamai Rafidhah (golongan yang menolak).[51]
            Sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Zaid untuk jadi imam, maka ia sendiri memenuhi persyaratan tersebut. Ia berusaha untuk menjadi orang alim, berpengetahuan luas, memiliki kepribadian. Zaid sama sekali menolak adanya yang ma’sum dan menurutnya tidak ada imam dalam kegelapan dan tersembunyi yang diliputi oleh misteri. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Zaid tidak mengaku imam Mahdi yang misteri dan jauh dari logika Zaid, sebagaimana pendapat sekte Kaisaniyah.
            Ada kemungkinan pemikiran rasional Zaid tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Washil bin ‘Atho salah seorang gurunya dalam memahami obsesinya untuk mendalami dan menuntut ilmu pengetahuan. Dari sinilah Zaid dapat menyerap beberapa konsep dalam ilmu Kalam dan Zaid sendiri memberi keleluasaan berijtihad kepada pengikutnya. Karenanya tidak heran dari golongan ini lahir pada mujtahid di bidang al Fiqh seperti Hasan bin Zaid bin Muhammad Ibnu Isma’il A. Qasim bin Ibrahim al ‘Alaqi.[52]
            Di samping paham-paham di atas. Zaidiyah juga menolak konsep taqiyah yaitu sikap kehati-hatian atau menyembunyikan identitas dan tidak terus terang di depan lawan. Juga menolak paham ismah yaitu keyakinan bahwa para imam dijamin oleh Allah swt dari bentuk salah, lupa dan dosa. Juga tentang paham istitar atau ikhtifa’ yaitu imam ketika dalam keadaan lemah mesti merahasiakan identitas diri.[53]
            Mencermati paham-paham Zaidiyah tersebut di atas maka nampak semua doktrin Syi’ah Zaidiyah bertolak belakang dari Syi’ah lainnya kecuali dalam hal Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang mulia dan juga memiliki hak setelah Rasulullah saw.
           
d). Syi’ah Ghulat 

1.      Sejarah Syi’ah Ghulat
Di penghujung pemerintahan khalifah Usman (644-656 H), gerakan-gerakan Syi’ah mulai tampil ke permukaan dan menjadi suatu gerakan yang kuat. Dalam situasi yang tidak menentu, ditambah lagi tersebarnya fitnah ke khalifah Usman, tiba-tiba muncul sosok pria masuk Islam bernama Abdullah bin Saba.[54] Dengan mencermati kondisi seperti itu, memicu Abdullah bin Saba’ untuk melahirkan gagasan-gagasannya yang bisa dijadikan dasar dalam rangka menarik perhatian masyarakat Islam saat itu.
Abdullah bin Saba’ menindak lanjuti gagasan-gagasannya dengan berlindung di balik kebesaran Islam, kemudian mengambil dua langkah penting dengan dua sasaran pokok :
1)     Mengorganisir kaum oposisi dengan slogan mencintai serta mendukung ahl al bait dengan tujuan terciptanya simpati dari kaum muslimin
2)     Mengadakan asimilasi pendapat dan filsafat dalam alam pikiran Syi’ah, membuat riwayat-riwayat, hadis-hadis serta menaburkan benih-benih pikiran sesat kemudian di anggap sebagai pandangan Syi’ah.[55]
Keuletan Abdullah bin Saba’ di dalam mengaktualkan langkah-langkahnya membawa hasil, pengaruhnya meluas di kalangan kaum muslimin. Pada perkembangan sejarahnya beliau tercatat sebagai peletak batu pertama paham Saba’iyah yang dikenal dengan mazhab Syi’ah ekstrim (Ghulat). Keekstrimannya dapat dipahami ketika dialog Ali dengan Abdullah bin Saba’. Abdullah bin Saba’ berkata kepada Ali : anta-anta yaitu anta Allah. Maksudnya kata-kata ini ; engkaulah (sayyidina Ali sesungguhnya bersifat Tuhan). Mendengar kata-kata tersebut Ali tersentak dan marah, kemudian Abdullah bin Saba’ diasingkan ke Madain.[56]
            Agaknya Syi’ah Ghulat ekstrim terlalu berlebihan menempatkan seseorang pada posisi yang tidak semestinya. Hal ini dapat dipahami ketika mengangkat Ali ke derajat kenabian dan ke derajat ketuhanan, bahkan menjadikan Ali lebih tinggi dari Nabi Muhammad saw.[57]
            Terlepas dari golongan, apakah ia penganut Sunni atau Syi’ah sekalipun, maka pernyataan tersebut telah menyimpang dari akidah yang sebenarnya. Sebab bagaimana ekstrimnya seseorang dalam mengungkapkan rasa cinta atau dukungannya terhadap seseorang tidak mungkin menempatkannya di atas kenabian, terlebih lagi menempatkannya ke derajat ketuhanan. Sebab, di satu sisi bertentangan dengan kaidah kalamiyah. Pada sisi lain telah meruntuhkan akidah yang tersusun rapi.
            Senada dengan hal di atas, Sayyidina Ali berkata : “Akan binasa siapa yang melampaui batas dalam mencintaiku”.[58] Kalimat ini memberikan isyarat larangan pemujaan terhadap diri Sayyidina Ali Ra.
            Selanjutnya, Syi’ah Ghulat sebetulnya tidak layak disebut sebagai Syi’ah atau dengan kata lain mereka tidak punya kewenangan untuk memakai kata Syi’ah bahkan lebih tegas lagi, mereka dinilai telah keluar dari Islam itu sendiri.[59]
            Pada perkembangan selanjutnya, Syi’ah Ghulat terpecah beberapa golongan. Al Syahrastani membagi Syi’ah Ghulat ke dalam 11 golongan  yaitu : 1. al Saba’iyah, 2. al Kamiliyah, 3. al Ba’iah, 4. al             Mughiriyah, 5. al Mansuriyah, 6. al Khatatabiyah, 7. al Kayaliyah, 8. al Hisyamiyah. 9. al Nu’miyah, 10. al Yunisiyah dan 11. al Nusairiyah.[60]
            Syi’ah Ghulat dalam perkembangannya termasuk golongan kecil. Dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa, setelah kaum muslimin memahami berbagai macam kesesatan Syi’ah Ghulat secara terpaksa atau tidak mereka tinggalkan sekte ini dan akhirnya banyak yang berakhir riwayat hidupnya dan hanya mempunyai pengikut sedikit sekali.[61]

2.      Konsep Imamah
Konsep imamah adalah merupakan salah satu ajaran yang paling banyak dibicarakan pada golongan Syi’ah.[62] Dalam ajaran Syi’ah dikemukakan bahwa keberadaan imam itu adalah wajib dan merupakan keharusan agama bahkan dipertegas bahwa dunia akan hancur tanpa adanya imam.[63]
Penganut Syi’ah berpaham bahwa konsep imamah melalui tiga aspek: 1. Pemberi petunjuk., 2. Pemimpin Umat dan 3. Pengganti kedudukan Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam.[64] Tampaknya bagi penganut Syi’ah berkeyakinan bahwa masyarakat Islam sangat membutuhkan ketiga aspek tersebut. Karenanya kehadiran seorang imam di tengah-tengah mereka merupakan suatu hal yang sangat penting. Dan persoalan ini tidak hanya bermakna dunia, melainkan juga spiritual.
Dengan berpijak pada tiga aspek tersebut ditambah dengan makna spiritual, maka yang berhak menjadi imam setelah Nabi Muhammad wafat adalah Ali. Ali adalah penerima wasiat dari Nabi yang diberikan berdasarkan nash. Oleh sebab itu tidak dapat diganggu gugat. Ketaatan terhadapnya dan anak keturunannya dituntut mutlak sebab sama dengan taat kepada Nabi dan perintah Tuhan.[65]
Syi’ah Ghulat dikenal terlalu berlebihan terhadap hak-hak keimamahan sehingga mengantarkannya ke luar batas-batas makhluk dan menghukumkan hukum-hukum ketuhanan dan terkadang menyerupakan imam dengan Tuhan atau Tuhan dengan makhluk.[66]
Akibat dari konsep-konsep ketuhanan tersebut, al Mansuriyah juga tergiring untuk berpendapat bahwa Ali adalah potongan yang turun dari langit dan yang turun dari langit adalah Tuhan.[67] Dalam pemahaman mereka bahwa ruhnya Ali terus menerus menjelma dari imam ke imam sampai ke imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. Menurut Q.S. Hudgson bahwa penjelmaan atau metempsikosis adalah sama dengan yang dianut oleh orang-orang Tibet terhadap Dalai lamanya.[68]
Dalam konteks imamah, Abdullah bin Saba’ (tokoh al Saba’iyah) menyatakan bahwa jabatan kekhalifahan sebenarnya adalah milik Ali. Oleh karena itu, orang-orang yang menduduki jabatan kekhalifahan sebelum Ali telah bertindak merampas jabatan dengan nyata. Dan barang siapa yang memberikan bai’atnya atas dasar itu, maka ia zalim dan sesat. Dan sekaligus tindakan itu telah menghalangi atau mencegah imam yang benar (Sayyidina Ali) memperoleh haknya.[69] 
Menurut al Kamiliyah (kelompok Ali Kamal) bahwa imamah yaitu cahaya yang berpindah-pindah dari seseorang kepada orang lain. Apabila cahaya tersebut pada diri seseorang maka ada kalangan berbentuk kenabian dan pada orang lain hanya berbentuk imamah. Dan imamah itu sendiri dapat berganti kenabian. [70] Kepercayaan seperti ini di dasarkan atas tanasub, yaitu bahwa ruh dapat berganti badan. Mereka yakin bahwa ruh Tuhan pada awalnya berada pada tubuh Adam kemudian berpindah ke tubuh anaknya dan seterusnya.[71]
Menurut al Khattabiyah (menurut Abi al Khattab, Muhammad bin Ali al As‘adi al Ajdar) bahwa imam-imam adalah nabi-nabi kemudian Tuhan. Ketuhanan itu adalah cahaya yang ada pada kenabian dan cahaya kenabian ada pada imamah. Konsep ini memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam hal imamah terkandung unsur-unsur ketuhanan.
Dalam pandangan Ba’iyah (kelompok al Ba’ bin Dira’i al Dausi) bahwa Ali sesungguhnya lebih utama dari Nabi Muhammad saw. Dan mereka mendakwahkan yang diutus sebenarnya Ali bukan Nabi Muhammad saw. demikian juga Ali dipersamakan dengan Tuhan. Bahkan golongan ini mencaci  Nabi Muhammad dan mengatakan bahwa Muhammad di utus untuk menyampaikan kepada Ali tetapi dia menyeru untuk dirinya sendiri.[72] 
Apabila konsep Al Ba’iyah didekati dengan barometer akidah maka dapat dinyatakan hal itu terlalu jauh menyimpang. Bahkan telah meruntuhkan akidah yang tertanam kokoh di hati setiap muslim, terlebih lagi pada konsepnya yang memuliakan Ali daripada Nabi Muhammad dan mempersamakan Ali dengan Tuhan. Sekali lagi, konsep ini terlalu jauh penyimpangannya dari akidah yang sesungguhnya.
Berpijak pada uraian tersebut dapat dipahami bahwa imamah mengandung unsur ketuhanan. Dan unsur-unsur ketuhanan itu dapat berpindah-pindah baik kepada Nabi bahkan imam-imam lainnya. Dengan demikian dalam pandangan mereka Ali adalah Tuhan  yang selalu mejelma dalam diri setiap imam sampai ke imam Mahdi.

3.      Ajaran-ajaran Lainnya
Syi’ah Ghulat menyerupakan Tuhan dengan makhluknya. Kepercayaan seperti ini dipengaruhi oleh ajaran inkarnasi, reinkarnasi, penjelmaan Tuhan serta ruh Tuhan bertempat pada seseorang. Kepercayaan tersebut adalah warisan dari ajaran orang-orang Yahudi, Nashrani, Brahma dan Majusi sebelum Islam. Dengan konsepnya, kenabian dan kerasulan tidak terputus selama-lamanya. Dan juga mengatakan bahwa unsur ketuhanan dan kemanusiaan telah bersatu dalam pribadi imam.[73]
Al Mughiriyah berpandangan bahwa Tuhan mempunyai bentuk dan anggota badan seperti seorang laki-laki yang di atas kepalanya ada mahkota cahaya. Di samping itu, al Mughirah berkata ia adalah Nabi dan juga menghalalkan yang haram. Adapun al Mansuriyat (pengikut al Mansur) meyakini bahwa imam setelah Abu Ja’far Muhammad bin Ali al Baqir ialah Abu Mansur itu sendiri. Ia berpendapat bahwa keluarga Nabi Muhammad saw. berada di langit dan pengikut-pengikutnya (Syi’ah) berada di bumi dan ia adalah bagian dari al Kisf dari Bani Hasyim yang jatuh ke bumi.[74]
Dikatakan juga Ali adalah sekeping (al kisf) yang jatuh dari langit dan ada kalanya al kisf yang jatuh dari langit itu adalah Allah.[75]
Dalam ajaran yang lain, Abu al Manshur menyatakan bahwa rasul-rasul Allah tidak terputus selama-lamanya dan orang yang pertama diciptakan ialah Isa kemudian Ali. Di samping itu, ia juga menghalalkan perempuan-perempuan dan orang-orang yang haram dikawini (al Muharim) dan perempuan-perempuan tersebut halal untuk sahabatnya. Demikian juga, ia menghalalkan darah, daging babi, khamr, judi dan yang lainnya yang termasuk katagori haram.[76]
            Adapun al Khattabiyah beranggapan bahwa dunia ini tidak akan fana’. Sesungguhnya surga adalah keadaan manusia mendapatkan kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Sedangkan neraka adalah keadaan manusia mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka juga menghalalkan khamr, zina, dan yang lainnya.[77]
            Demikian juga dengan kematian, al Khattabiyah menjelaskan bahwa manusia telah sempurna tidaklah dia dikatakan mati, tetapi apabila telah sampai akhir hidupnya dikatakan kepadanya untuk kembali ke malaikat dan mereka.... bagi orang yang telah jelas kematiannya.[78]   
               Inilah ajaran-ajaran yang terdapat di dalam kelompok Syi’ah Ghulat. Pada dasarnya ajaran-ajaran tersebut berbeda dan sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Syi’ah itu sendiri.



KESIMPULAN

1.      Di dalam penjelasan sejarahnya Syi’ah terpecah menjadi : al Kaisaniyah, al Zaidiyah, al Imamiyah dan al Ghaliyah (Ghulat)
2.      Perkembangan Syi’ah Ghulat bertolak dari ajaran yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan konsep ajarannya telah menyimpang dari aqidah Islam. Ali misalnya; bukan hanya dianggap sebagai imam, tetapi Ali diyakini sebagai Tuhan.
3.      Ajaran-ajaran dan imam-imam mereka memiliki unsur ketuhanan. Pernyataan Tuhan dengan makhluk banyak dipengaruhi oleh kepercayaan inkarnasi.


2.      Latihan-latihan

      Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1)     Jelaskan asal usul Syi’ah
2)     Jelaskan pandangan Syi’ah Imamiyah tentang imam
3)     Jelaskan pandangan Syi’ah Imamiyah tentang taqiyah
4)     Jelaskan pandangan Syi’ah Isma’iliyah tentang imam
5)     Jelaskan ajaran-ajaran Syi’ah Isma’iliyah
6)     Jelaskan sejarah munculnya Syi’ah Zaidiyah
7)     Jelaskan pandangannya tentang Imamah
8)     Jelaskan sejarah munculnya Syi’ah Ghulat
9)     Jelaskan tentang ajaran-ajarannya.

3.      Rangkuman

            Syi’ah adalah suatu kelompok pendukung Ahl al Bait atau keluarga Rasulullah saw. Secara resmi keberadaannya setelah perang Shiffin, mereka terpecah dalam berbagai golongan karena perbedaan pandangan dalam masalah imam. Meskipun demikian, sepakat menyatakan bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah sesudah Rasulullah saw wafat adalah Ali bin Abi Thalib, sehingga mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, bahkan ada yang sangat ekstrim yang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan memandang Ali lebih berhak mendapatkan wahyu daripada Muhammad Rasulullah saw.
            Imam harus ma’shum terpelihara dari dosa sejak dari kecil dan harus ditaati Secara mutlak, karena kedudukannya sama dengan Nabi setelah berakhir masa kenabian. Ia juga mendapatkan ilmu secara Ilham, sehingga dapat dijadikan sumber hukum.

4.      Tes Sumatif

1)     Jelaskan asal usul Syi’ah
2)     Jelaskan perbedaan pandangan masing-masing golongan Syi’ah tentang Imam
3)     Jelaskan ajaran-ajaran Syi’ah

5.      Kunci Jawaban

1)     Perang Shiffin
2)     Itsna ‘ Asyariyah, Saba’iyah, Zaidiyah dan Ghulat
3)     Taqiyah




[1] Abd. Mun’am, Sejarah dan dokumen-dokumen Syi’ah, h. 35.
[2] Abdul Amal ML, al Taurah ‘Ala Al Islam, diterjemahkan oleh Shaleh Mahfuz dengan judul Gerakan Mengguncang Islam., h. 66. Selanjutnya bandingkan dengan Allamah M.H Thaba Thaba’i ., op cit.., h. 40.
[3] Mustafa Mahmud, al Syak’ah Islam bi laa Mazhab diterjemahkan oleh Am Basalamah dengan judul Islam tidak bermazhab., h. 133. Bandingkan dengan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam., h. 5.
[4] Fuad Muhammad Fahruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam., h. 30. Bandingkan dengan Dewan Redaksi Islam., Ibid.
[5] Ibrahim Madkoer, Fi Al Falsafah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyuni Asmon dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam., h. 88. Selanjutnya bandingkan Abd Halim Mahmud, al Tafkir al Falsafi Fi al Islam,., h. 166-169.
[6] Sejarah dan Kebudayaan., h. 377.
[7] Gerakan Yang Mengguncang Dunia Islam., h. 66. Selanjutnya bandingkan dengan Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan., h. 4-5.
[8] Ihsan Ilahi Zakir.., op. cit., h. 269. Lihat Haduson, The Candidates of Primitive Shi’ah., h.261.
[9] Dokumen Syi’ah ., h. 71. Baca Ahmad Amin, Dhuha Islam, III, h. 218.
[10] Mustafa al Sya’keh, Islam bi laa Mazahib, , h. 170. lihat juga Salihum A. Nasir, Pengantar Ilmu Qalam., h. 78-80. Bandingkan dengan Ali Sya’riati, Al Umamah Wa al Imamah; terj. Afif Muhammah Ummah dan Imamah., h. 83. 
[11] Lihat Fajru al Islam., h.271, baca Dhuha al Islam III., h. 220.
[12] Dhuha al Islam, III., h. 220-221. Baca Husein Nashr, Shi’ite Islam., h. 185-186.

[13] Thaba thaba’i, Tafsir al Mizan, Juz I , Mengupas ayat-ayat Kepemimpinan, Bag. I terj Syamsuri Rifa’I , h. 19 dan 21.
[14] Dhuha al Islam, III. H. 214-215, Baca Ibid., h. 87, Tafsir al Baqarah ayat 124 tentang Imamah : Al Nisaa ayat 59 tentang Ulil Amri.
[15] Dokumen Syi’ah ., h. 71.
[16] Ihsan Ilahi Zakir, op. cit., h. 380. Lihat Thabathaba’i., op cit., h. 77-78.

[17] Dokumen Syi’ah, op cit., h. 132.
[18] Sahilan A. Nasir., op cit., h. 84.
[19] Ibid., h. 85.
[20] Ibid., Baca Dokumen Syi’ah, op cit., h.142-143. 

[21] Dokumen Syi’ah., op cit., h. 146.
[22] Ibid., h. 147. 
[23] Ibid., h. 149.     
[24] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam., h. 323.

[25] Djohan Effendi, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, h. 83.
[26] Mustafa al Sya’keh, Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh AM. Basalamah dengan judul, Islam Tidak Bermazhab., h. 196. 
[27] Al Milal Wa al Nihal., h.197.
[28] Islam Tidak Bermazhab. op cit., h.197.
[29] Ibid., h.153.
[30] Islam Syiah Asal usul…,op cit., h. 9.
[31] AR Gibb dan J.H Kramera, Shorter Encyclopedia of Islam., h. 179.

[32] Islam Tak Bermazhab ., h. 155.
[33] Islam Syi’ah Asal…, op cit., h. 199.
[34] Ahmad Amin, Dhuha Islam, h. 212.
[35] Al Milal…, op cit.,h. 192.
[36] Islam Tak Bermazhab., op cit., h. 203.

[37] Pemikiran Kalam dalam Islam., h. 80. 
[38] Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsir wa al Mufassirun, Juz II., h. 9.
[39] Al Milal.., op cit., h. 192-193.
[40] Islam Tak Bermazhab., op cit., h. 211.
[41] Ibid., h. 215.
[42] Ibid.
[43] Islam Syi’ah Asal…, op cit., h. 89

[44] Mac Donald, Development of Muslim Teologi., h. 3.
[45] Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara, Sejarah dan Pemikiran., h. 212.

[46] Al Milal wa Al Nihal., h. 156.
[47] Nuruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dan Perspektif Sejarah., h. 10.
[48] Perkembangan Mazhab dalam Islam., h. 29.
[49] Ensiklopedia Islam., h. 8.
[50] Al Milal wa Al Nihal., h. 154-155.

[51] Ibid. 
[52] Fajr al Islam., h. 276.

[53] Ibid.
[54] Abdullah bin Saba’ diduga keras berasal dari kelompok pendeta Yahudi yang sengaja masuk Islam untuk memasukkan pikiran-pikiran Yahudinya, dengan tujuan menghancurkan umat Islam dari dalam. Lihat Abdul Mun’im al Namr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah, h. 50.

[55] Ilmu Kalam., h. 90.
[56] Al Milal Wa Al Nihal., h. 174.
[57] Tarikh al Mazahib., h. 41. 
[58] Isu-isu penting Ikhtilaf Sunni Syi’ah., h. 58.

[59] Sejarah dan Kebudayaan Islam., h. 129.
[60] Al Milal Wa Al Nihal., h. 66-86.
[61] Sejarah dan Kebudayaan.., h. 129.
[62] Dhuha al Islam., h. 212.
[63] Syi’ah dan Khawarij., h. 5.
[64] Shi’te Islam., h. 173.
[65] Syi’ah dan Khawarij., h. 8.
[66] Al Milal wa Al Nihal., h. 123.
[67] Fajr al Islam., h. 271.
[68] Lihat Marshal Q.S Hudgson, The Order of Assasin., h. 8.
[69] Khilafah dan Kerajaan., h. 274.
[70] Al Milal wa Al Nihal., h. 174-175.
[71] Hakikat Aqidah Syi’ah., h. 6.
[72] Al Milal Wa Al Nihal., loc cit.

[73] Lihat Ahmad Amin., op cit., h. 227.
[74] Lihat Abu Hasan al ‘Asyari. op cit., h. 75.  
[75] Lihat Al Syahrastani., op cit., h. 179.
[76] Lihat Al ‘Asyari., op cit., h. 75. 
[77] Lihat Al Syahrastani., loc cit. Lihat juga Al ‘Asy’ari., op cit., h. 77
[78] Lihat Al Syahrastani., Ibid., h. 9