Bukti Islamnya Abu Thalib; Beliau Tidaklah Kafir
08/02/2013
Menarik apabila kita menganalisa ayat-ayat yang oleh beberapa
perawi Sunni dinyatakan turun berkenaan dengan Abu Thalib yang kafir.
Mereka melarang (orang lain) mendengarnya dan mereka menghindarkan
diri dari padanya. Mereka hanya membawa kebinasaan bagi jiwa mereka
sendiri tanpa mereka sadari. (QS. al-An’am : 26)
Thabari mengisahkan dari Sufyan Tsauri yang meriwayatkan dari Habib
bin Tsabit yang meriwayatkan dari seseorang yang menyatakmn bahwa Ibnu
Abbas berkata, “Ayat ini turun ditujukan untuk Abu Thalib karena ia
selalu melindungi Nabi Muhammad dari orang-orang kafir tetapi tidak
pernah mengucapkan dua kalimat syahadat.”1
Mari kita perhatikan apakah ideologi dibalik penafsiran ini benar
atau salah, sehingga kita tidak memiliki keraguan. Meneliti lebih jauh
penafsiran di atas malah akan membuat kita yakin bahwa itu hanyalah
usaha sia-sia untuk mendeskreditkan Abu Thalib.
Ayat tersebut berbicara tentang orang yang masih hidup, karena
menyebutkan ‘orang yang melarang orang lain untuk melakukannya dan ia
pun tidak melakukannya.”Tentunya orang yang sudah Meninggal tidak dapat
berpikir untuk melarang seseorang untuk melakukan sesuatu dan mereka
harus hidup untuk dapat melakukan hal itu. Hal ini memberi keyakinan
bahwa ayat tersebut tidak ditujukan kepada Abu Thalib.
Rangkaian perawi putus setelah Habib bin Abu Tsabit dan Sufyan tidak
menyebut orang yang meriwayatkan dari Habib bin Abu Tsabit, dan semua
mengatakan bahwa ia (Habib) meriwayatkan dari seseorang yang mendengar
dari Ibnu Abbas. Kriteria ini tidak dapat diterima menurut standar hadis
karena rangkaian perawinya tidak lengkap. Oleh karena itu hadis ini
tidak diterima.
Apabila kita masih menerima rangkaian perawi, dan Habib bin Abu
Tsabit adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis ini, kitab
Rijal membuktikan bahwa kita tetap tidak dapat menerimanya karena alasan
berikut.
Menurut Ibnu Habban, Habib adalah seorang ‘penipu’ dan Aqili bin
Aun’menghindari Habib karena ia telah menyalin hadis dari Ata’a yang
benar-benar mutlak tidak dapat diterima.
Qita’ an mengatakan bahwa hadis-hadis Habib selain Ata’ an tidak
dapat diterima dan tidak lepas dari kepalsuan. Abu Daud mengutip dari
Ajri bahwa hadis tersebut diriwayatkan dari Ibnu Zamrah tidak benar.
Ibnu Khuzaimah berpendapat bahwa Habib adalah seorang ‘penipu’.
Dengan demikian hadis yang diriwayatkan Habib adalah hadis yang
dibuat-buat sendiri, dan setelah membaca pandangan para ahli Rijal,
bagaimana kita menerima hadisnya? Tetapi hal ini tidak boleh membuat
kita berhenti menyelidiki isu tersebut, dan apabila kita menerima bahwa
Habib dapat dipercaya, kita lihat Sufyan, perawi terakhir dalam
rangkaian hadis yang memusuhi Abu Thalib. Kita tetap menyatakan hadis
ini tidak sahih, karena Dzahabi menulis tentangnya bahwa riwayat yang
dibuat Sufyan palsu.3Sulit bagi kami untuk meyakini bahwa meski penafsir
yang telah menuliskan hadis ini adalah orang yang sangat terkemuka,
mereka telah menyalin dari orang-orang rendah tersebut tanpa ragu.
Meskipun semua hadis lemah yang telah diriwayatkan oleh perawi –
perawi lemah, kami menemukan hadis dari Ibnu Abbas yang murni yang
mengatakan kebalikan dari hadis tersebut di atas.
Thabari menyatakan bahwa hadis di atas ditujukan kepada orang mrang
musyrik yang sering menjauhi Nabi dan saling menasehati untuk
menjauhinya.’Kenyataan menyatakan bahwa Abu Thalib tidak pernah
menganjurkan orang lain untuk menjauhi Nabi Muhammad. Bahkan banyak dari
orang-orang yang menuduhnya tidak pernah mengucap dua kalimat syahadat
mengakui bahwa ia membantu Nabi dalam segala kesukaran di masa Islam
yang masih muda dengam segala sesuatu yang ia miliki. la juga
membesarkan Nabi ketika masih kecil dan menerima kalau Imam Ali
dibesarkan oleh Nabi.
Sebenarnya ia telah Islam sejak awal, tetapi ia melakukan taqiyah
(menyembunyikan keimanan) sehingga dapat menjadi perantara antara Nabi
Muhammad dan pemimpin-pemimpin orang kafir di Mekkah (seperti Abu
Sufyan).
Penting untuk dicatat bahwa kami tidak yakin bahwa orangtua Nabi
Muhammad dan para Imam harus mutlak sempurna. Kami meyakini bahwa
orangtua mereka dan seluruh nenek moyangnya saleh dan orang beriman,
beragama Islam selama hidup mereka.
Hadis tentang Kekafiran Abu Thalib
Sejumlah sejarahwan dan ahli hadis mencatat bahwa Abu Thal wafat
dalam keadaan kafir. Beberapa dari mereka meriwayatkan ayat, “Rasulullah
dan orang-orang beriman tidak diperkenankan untuk memohon ampunan Allah
bagi orang kafir meski mereka adalah keluarga, karena telah jelas bagi
mereka bahwa orang-orang kafir ini berasal dari penghuni neraka.
“Penafsiran dan pernyataan palsu tersebut dibuat-buat sebagai kampanye
fitnah yang dilakukan Bani Umayah dan sekutunya dalam memerangi Imam
Ali. Dengan memalsukan hadis tersebut mereka berusaha meyakinkan umat
bahwa Abu Sufyan, ayah Muawiyah, lebih baik dari pada Abu Thalib, ayah
Imam Ali, dengan menyatakan bahwa Abu Sufyan wafat dalam keadaan Islam
sedangkan Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir.
Pencatat hadis dan sejarahwan mengambil hadis ini tanpa memperhatikan
bukti tipu daya mereka. Mereka tidak berusaha memeriksa hadis ini
padahal tanggal turunnya wahyu dari ayat di atas membuktikan bahwa ayat
tersebut tidak berkenaan dengan Abu Thalib (semoga Allah senantiasa
ridha kepadanya).
Dengan hadis itu sendiri, kita lihat apa yang dinyatakan kitab yang dianggap paling sahaja oleh kaum Sunni.
Bukhari dalam sahihnya mencatat, diriwayatkan oleh Musyaid:
Ketika kematian Abu Thalib mendekat, Rasulullah mendekatinya. Abu
Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah telah berada di sana. Rasulullah
bersabda, “Wahai paman, katakanlah, ‘Tiada yang patut disembah kecuali
Allah sehingga aku dapat membelamu dengannya di hadapan Allah.’ Abu
Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib! Apakah
engkau akan mengulang kembali ucapan agama Abdul Muthalib?” Lalu Nabi
berkata, “Aku akan tetap memohonkan (kepada Allah) ampunan bagimu meski
aku dilarang melakukannya. Lalu turunlah Surah at-Taubah ayat 113,
“Tiadalah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan
ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang yang
musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa
orang-orang yang musyrik itu penghuni Jahanam.”
Ayat di atas merupakan salah satu ayat dari surah at-Taubah. Beberapa
hal mengenai ayat ini; Pertama: Surah dari ayat ini turun di Madinah,
kecuali dua ayat terakhir (192 dan 129); Kedua: Ayat yang menjadi topik
pembahasan kami adalah ayat 113; Ketiga: Surah at-Taubah turun pada
tahun 9 Hijriah. Surah ini berkisah tentang peristiwa yang terjadi
selama kampanye Tabuk, yaitu pada bulan Rajab 9 H. Nabi Muhammad telah
memerintahkan Abu Bakar untuk mengumumkan bagian pertama surah ini pada
musim haji di tahun itu ketika Nabi mengutusnya sebagai Amirul Hajj.
Lalu, ia mengutus Imam Ali untuk mengambil alih tugas Abu Bakar dan
mengumumkannya, karena Allah memberi perintah kepada Nabi bahwa tidak
ada seorang pun yang menyampaikan wahyu kecuali dirinya sendiri atau
salah satu anggota keluarganya.
Banyak ahli hadis Sunni mencatat bahwa Nabi Muhammad mengutus Abu
Bakar kepada orang-orang Mekkah sambil membawa surah at-Taubah dan
ketika ia maju ke depan, Nabi Muhammad mengutusnya dan Memintanya untuk
memberikan surah tersebut dan berkata, “Tiada seorangpun yang membawa
surah ini kepada mereka kecuali salah satu dari Ahlulbaitku.” Lalu, Nabi
Muhammad SAW mengutus Ali.6
Ahmad dalam Musnad-nya menambahkan bahwa Abu Bakar berkata, “Nabi
Muhammad SAW mengutusku untuk membawa surah at-Taubah kepada penduduk
Mekkah. Setelah tahun ini tidak boleh ada penyembah berhala yang
melakukan ziarah. Tidak boleh ada orang yang bertelanjang mengelilingi
Kabah. Tidak ada orang yang masuk surga kecuali jiwa orang Muslim.
Masyarakat penyembah berhala manapun yang melakukan perjanjian
perdamaian dengan Nabi Muhammad berdamai, perjanjiannya berakhir tanpa
ada batas yang ditentukan (tanpa batas waktu), Allah serta utusan-Nya
sangat tegas kepada para penyembah berhala.”
Syilbi Numani juga dalam Sirah Nabi; menuliskan:
Pada tahun 9 hijriah, Kabah untuk pertama kalinya disucikan sebagai
rumah utama menyembah Allah bagi pengikut Nabi Ibrahim…; Sekembalinya
dari Tabuk, Nabi Muhammad mengutus sebuah khafilah yang terdiri dari 300
umat Islam dari Mekkah hingga Madinah untuk melaksanakan ibadah haji.’
Kembali ke at-Taubah ayat 113, ayat ini tidak diperuntukkan bagi Abu
Thalib karena ia wafat di Mekkah 2 tahun sebelum hijrah. Sekarang kami
akan mengutip Syilbi Numani, dalam Sirah Nabi.
Wafatnya Khadijah dan Abu Thalib (Tahun ke-10 turunnya wahyu)
Sekembalinya dari gunung, Nabi Muhammad hampir tidak pernah
melewatkan hari-harinya dalam kedamaian setelah Abu Thalib dan Khadijah
wafat. la mengunjungi Abu Thalib terakhir kalinya ketika sedang
menjelang ajal. Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah telah berada di sana.
Nabi meminta Abu Thalib untuk mengucap dua kalimat syahadat, sehingga ia
akan Memberi kesaksian tentang keimanannya di hadapan Allah. Abu Jahal
dan Ibnu Umayah bertengkar dengan Abu Thalib dan bertanya apakah ia akan
berpaling dari agamanya Abdul Muthalib. Pada akhirnya, Abu Thalib
berkata bahwa ia akan mati dalam keadaan beragama Abdul Murtad. Kemudian
ia berpaling kepada Nabi Muhammad dan berkata bahwa ia akan mengucapkan
2 kalimat syahadat tetapi takut kalau-kalau ada orang Quraisy
menuduhnya takut mati. Nabi Muhammad berkata bahwa ia akan berdoa kepada
Allah baginya hingga Allah memberi perlindungan.9
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Abu Thalib menjelarag ajal,
bibirnya bergerak-gerak. Abbas yang hingga saat itu masih menjadi orang
non-Muslim, mendekatkan telinganya ke bibir Abu Thalib dan berkata bahwa
ia tengah mengucapkan 2 kalimat syahadat sebagaimana yang Rasulullah
inginkan.10
Semua referensi yang kami sebut pada paragraf di atas bukan berasal
dari kami demikian juga dengan kalimat yang tercetak miring. Semua itu
diberikan oleh Syilbi Numani sendiri.
Syilbi Numani lebih jauh menuliskan:
Tetapi menurut pendapat seorang ahli hadis, riwayat Bukhari ini tidak
pantas dinyatakan sebagai hadis yang dapat dipercaya karena perawi
terakhirnya adalah Musayab yang masuk Islam setelah tumbangnya Mekkah,
dan ia tidak berada di tempat kejadian ketika Abu Thalib wafat. Karena
hal inilah Aini dalam tafsirnya menyatakan bahwa hadis ini mursal.”
Syilbi menuliskan:
Abu Thalib banyak berkorban bagi Nabi Muhammad dan tak seorangpun
yang menyangkalnya. la bahkan akan mengorbankan putra-putrinya demi
Nabi. la akan menghadapi sendiri kebencian seluruh negeri demi Nabi dan
melewati tahun demi tahun dalam penyerangan dan derita kelaparan karena
diasingkan, tanpa makanan dan minuman. Apakah semua, rasa cinta,
pengorbanan serta ketaatannya sia-sia?
Memohon ampun bagi orang yang sudah tiada biasanya dilakukan pada
waktu shalat jenazah. Kalimat ‘Tidak diperkenankan bagi Nabi dan
orang-orang beriman memohonkan ampunan bagi orang kafir’ menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad SAW tengah berada bersama orang beriman lainnya
(dalam shalat berjamaah) memohonkan ampunan bagi orang kafir.
Sebenarnya, shalat jenazah tidak diperintahkan sebelum hijrah (ke
Madinah). Shalat jenazah pertama dilakukan oleh Nabi ketika menshalati
jenazah Burah bin Marur.
Nampaknya ayat ini turun setelah Nabi melakukan shalat jenamh bagi
seorang munafik yang berpura-pura beragama Islam padahal ia
menyembunyikan kekafirannya. Mungkin ayat ini turun ketika Nabi Muhammad
melakukan shalat bagi Abdullah bin Ubay yang meninggal pada tahun 9 dan
sangat terkenal dengan kemunafikannya, kebenciannya kepada Nabi
Muhammad dan permusuhannya terhadap Islam. Mengenai Abdullah bin Ubay
dan pengikutnya, surah al-Munafiqun turun sebelum saat itu. Sekiranya
ahli sejarah dan ahli hadis mencatat dengan lebih teliti dan logis,
mereka tidak akan melakukan kesalahan sejarah.
Berikut ini hadis Shahih al-Bukhari yang menyebutkan peristiwa yang serupa dengan hadis sebelumnya. Diriwayatkan Musyaib:
Ketika Abu Thalib menjelang ajal, Nabi Muhammad menemuinya dan
melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhammad berkata, “Wahai
paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang
aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!” Abu Jahal dan Abdullah
bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan
meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?” Nabi Muhammad terus
memintanya mengucap kalimat syahadat sedangkan dua orang tadi
mengulang-ulang kalimat mereka hingga Abu Thalib mengatakan kepada
mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak
untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’ Nabi
berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu
meskipun dilarang (Allah)!”
Lalu Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada bpatut bagi
Nabi dan orang-orang yang beriman untukn memohonkan ampunan Tuhan bagi
orang-orang musyrik.” Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu
Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat men unjuki orang
yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang
yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash : 56).12
Pembaca akan terkejut mengetahui bahwa dua ha dis yang disebutkan di
atas membuktikan bahwa dua ayat turun berturut-turut. Tetapi hal ini
bertolak belakang dengan hadis yang disebutkan Bukhari dalam sahihnya,
dan membuktikan bahwa surah at-Taubah adalah salah satu surah yang
terakhir turun. Berikut ini hadisnya; dari riwayat Bara, “Surah terakhir
yang turun adalah surah at-Taubah…”13
Tetapi di manakah kesalahan hadis tersebut? Ayat yang disebutkan dari
surah al-Qashash, turun kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah, dan
turun di Mekkah, sedang surah at-Taubah turun di Madinah. Kajilah dan
anda akan menemukan bahwa dalam usaha yang sia-sia untuk mendiskreditkan
Abu Thalib dan menyatakannya sebagai orang kafir, tatanan turunnya
Quran tidak dipertimbangkan. Bayangkan waktu turunnya kedua surah
tersebut, dan persoalannya akan menjadi jelas. Sejarah juga menceritakan
bahwa Musayab tidak menyukai Imam Ali dan menolak melakukan shalat
jenazah bagi Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.14
Dapat disimpulkan bahwa pemalsuan hadis ini dilakukan untuk mengangkat
derajat Umayah dari Bani Hasyim.
Kami juga menemukan penafsiran yang sangat mengherankan, dari
penafsir Sunni yang dihormati, Fakhruddin Razi dalam tafsirnya dengan
sumber surah Qashash ayat 56. la menyebutkan ayat ini tentang Abu’
Thalib, ‘bukan’ karena pendapat pribadinya, tetapi dari beberapa ulama
lainnya. Anehnya, ia mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dikait-kaitkan
kepada keimanan Abu Thalib.15
al-Quran dan Orang-orang Kafir
Tiadalah patut bagi Nabi dan orang – orang yang beriman untuk
memintakan ampunan bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu
sekalipun orang orang yang musyrik itu kerabatnya sendiri. Setelah nyata
bagi mereka bahwa orang – orang yang musyrik itu penghuni jahanam (QS.
at-Taubah : 113).
Setelah terbukti bahwa ayat ini bukan diperuntukkan bagi Abu Thalib,
dimana Nabi dan kaum Muslimin diperintahkan untuk tidak mendoakan orang
musyrik, akan berguna apabila kita memperhatikan ayat-ayat tersebut yang
meminta agar Nabi Muhammad dan orang-orang beriman untuk tidak membuat
ikatan hubungan dengan orang musyrik, apalagi menshalatinya, tanpa cinta
dan rasa hormat.
Engkau tidak akan menemukan masyarakat orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhirat berhandai taulan dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun penantang-penantang itu
bapak-bapaknya, atau anak-anaknya, atau saudarasaudaranya; ataupun
keluarganya sendiri.
Merekalah orang-orang yang telah Allah tetapkan dalam hati mereka
keimanan, memperkokohnya pula dengan kemantapan dari-Nya. Dan la akan
memasukkan mereka ke dalam syurga yang banyak mengalir sungai-sungai
dalamnya, serta kekal mereka di sana. Allah sangat ridha terhadap mereka
dan merekapun sangat ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah.
Sesungguhnya golongan Allah lah yang berjaya.
(QS. Mujadilah : 22)
Ayat ini turun pada perang Badar dan peristiwanya terjadi pada tahun 2
Hijriah. Tetapi ada beberapa penafsir yang menghubungkan turunnya ayat
ini dengan perang Uhud, yang terjadi pada tahun 3 hijriah. Sebenarnya,
ayat ini menganjurkan kita untuk tidak berteman dengan orang-orang kafir
ataupun mencintai mereka. Surah ini turun sebelum surah at-Taubah.16
Orang-orang yang memilih orang-orang kafir sebagai pemimpinnya dengan
mengesampingkan orang-orang beriman. Apakah mereka mengharapkan
kehormatan bagi mereka? Sesungguhnya semua kehormatan itu hanyalah
kepunyaan Allah (QS. an-Nisa : 139).
Hai orang – orang yang beriman ! Jangan kamu memilih orang – orang
kafir menjadi pelindung dengan mengesampingkan orang – orang beriman.
Aapakah kamu memberikan bukti yang jelas kepada Allah yang menentangmu?
(QS. an-Nisa : 144).
Surah ini adalah surah Makkiyah, yang menganjurkan orang-orang
beriman untuk tidak mengangkat orang-orang kafir sebagai pelindung dan
penolong mereka. Bagaimana bisa Nabi meminta pertolongan dari
orang-orang kafir jika kita anggap Abu Thalib adalah orang kafir?’
Tentunya ayat ini turun sebelum surah at-Taubah yang menjadi fokus
perhatian kami.17
Orang-orang beriman tidak boleh memilih orang-orang kafir menjadi
kawan dengan meninggalkan orang-orang beriman. Siapa yang melakukan itu,
ia tidak akan mendapat perlindungan Allah, ia harus melindungi diri
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu (akan balasan) dari-Nya.
Hanya kepada Allah- lah tempat kembali.
(QS. Ali Imran : 28).
Menurut satu sumber, 80 ayat pertama surah ini turun pada awal tahun
hijriah. Sumber yang lain menunjukkan bahwa ayat ini (ayat 28) turun
pada perang Ahzab (5 hijriah). Sumber terakhir menunjukkan bahwa surah
Ali Imran dan surah at-Taubah turun dengan perbedaan 4 surah.l8
Hai orang-orang beriman, janganlah knmu mengangkat bapak-bapakmu dan
saudara-saudaramu sebagai pemimpin jika mereka lebih mencintai kekafiran
dari pada keimanan. Barangsiapa diantara kamu mengangkat mereka menjadi
pemimpin, mereka adalah orang-orang zalim. (QS. at-Taubah : 23).
Engkau memintakan ampunan atau tidak memintakan ampunan bagi mereka,
meskipun engkau memintakan ampunan sebanyak 70 kali, Allah tidak akan
mengampuni mereka. Hal yang demikian itu karena mereka kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada
orang yang fasik.
(QS. at-Taubah: 23 dan 80)
Kedua ayat ini turun sebelum at-Taubah 113 (ayat yang digunakan untuk
memusuhi Abu Thalib), dan-kami akan menyimpulkan diskusi ini dengan
memberi pernyataan kepada orang-orang yang Menuduh Abu Thalib. Pertama,
mungkinkah bahwa Nabi memohon ampunan bagi Abu Thalib (Semoga Allah
meridhainya) terutama apabila 2 ayat ini menyatakan bahwa hal itu sia –
sia ia, dengan menganggap bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir?
Jika ya, tindakan tersebut bertentangan dengan Quran dan kehendak Allah
Yang Maha Besar. Kedua, kenyataannya adalah bahwa ayat 113 hanya
perintah kepada Nabi Muhammad secara umum, dan bukan keprihatinan untuk
sesuatu yang tidak dilakukan Nabi. Akan jelas apabila kita melihat ayat
selanjutnya (114) yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah perintah Allah
kepada Nabi Ibrahim yang shalat untuk pamannya, Azar (jangan salah, nama
ayahnya adalah Tarukh. Hal ini memerlukan pembahasan tersendiri)
sebelum ia mengetahui bahwa pamannya ini adalah musuh Allah. Quran
menyebutkan, “…Apabila telah jelas baginya bahwa ia (Azar) adalah musuh
Allah.” (QS. at-Taubah : 114)
Pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah SAW
Tentunya apa yang telah dinyatakan tentang topik ini pada bagian
terakhir pasti meninggalkan beberapa pertanyaan yang tak terjawab dan
artikel ini akan menitikberatkan pada sikap Abu Thalib ra terhadap
kemenakannya, Nabi Muhammad SAW, sumbangsihnya terhadap penyebaran Islam
dan pernyataan keislamannya di banyak peristiwa yang diriwayatkan oleh
kaum Sunni.
Pembaca sejarah Islam mengetahui bagaimana suku Quraisy memberikan
peringatan kepada Abu Thalib untuk menghentikan kemenakannya yang
merendahkan nenek moyang mereka, menghinakan tuhan-tuhan mereka dan
mengejek pendapat mereka. Jika tidak, Nabi Muhammad akan berhadapan
dengan mereka di medan perang hingga salah satu dari mereka hancur. Abu
Thalib tidak ragu bahwa menerima tantangan suku Quraisy akan
mengakibatkan kemusnahan sukunya. Namun ia tidak menekan kemenakannya
untuk menghentikan kampanyenya. la hanya memberitahu tentang peringatan
suku Quraisy dan dengan lembut berkata padanya, “Selamatkanlah aku dan
dirimu, wahai kemenakanku, dan janganlah engkau bebani aku dengan
sesuatu yang, tidak dapat aku pikul !”
Ketika Nabi Muhammad SAW menolak peringatan tersebut, dungan
mengatakan pada pamannya bahwa ia tidak akan mengubah pesan pemilik
semesta alam, Abu Thalib langsung mengubah sikapnya dan memutuskan untuk
bergabung dengan Nabi Muhammad hingga akhir hayat. Hal. ini merupakan
bukti pernyataan yang ia sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW,
“Kembalilah, kemenakanku, lanjutkanlah, katakanlah semua yang engkau
sukai. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu setiap saat.”19
Abu Thalib memenuhi janji besarnya dengan cara yang berbeda. Ketika
seorang Mekkah melemparkan kotoran kepada Nabi Muhammad ketika ia tengah
shalat, Abu Thalib sambil mengacungkan pedang, pergi mengamit tangan
kemenakannya hingga ia sampai ke Mesjid Suci. Sekelompok musuh sedang
duduk di sana dan ketika beberapa orang berusaha untuk membela Abu
Thalib ia berkata kepada mereka, “Demi Dia yang diyakini Muhammad, jika
ada dari kalian yang berdiri, aku akan memukulnya dengan pedangku!”
Perhatikanlah beberapa baris berikut dari referensi hadis Sunni:
Ketika seseorang bersumpah, ia bersumpah dengan sesuatu yang memiliki
kesucian bagi dirinya, dan bukan sesuatu yang tidak ia yakini.
Pernyataan diplomatis tadi membuktikan kepada orang-orang berakal bahwa
ia meyakini Tuhannya Muhammad, Yang Maha Esa dan Maha Besar. Kemudian
Abu Thalib meminta Nabi Muhammad, orang yang dipermalukan. Dan sebagai
jawabannya, Hamzah diperintahkan oleh Abu Thalib untuk mengotori orang
yang menunjukkan kebencian kepada Nabi Muhammad dengan tanah. Pada
peristiwa inilah Abu Thalib berkata, “Aku meyakini bahwa agama Muhammad
adalah agama yang paling benar dari semua agama yang ada di alam
semesta.”20
Bagian yang tercetak miring dari kalimat nya di atas merupakan pernyataan yang membuktikan keislamannya.
Suku Quraisy dapat melihat meskipun mereka melakukan usaha menghancurkan
Islam, tetapi kemajuan Islam terus berjalan. Mereka akhirnya memutuskan
akan membunuh Nabi Muhammad SAW dan keluarganya dengan cara mengepung
dan tidak berkomunikasi hingga mereka semua binasa. Dengan cara ini
sebuah perjanjian dibuat, dimana setiap suku adalah satu kesatuan dan
hal ini dimaksudkan agar tidak ada seorangpun yang memiliki ikatan
perkawinan dengan Bani Hasyim atau Melakukan transaksi membeli atau
menjual dengan mereka; dan tidak ada orang yang boleh berhubungan dengan
mereka atau memberi persediaan makanan. Hal ini berlangsung hingga
keluarga Nabi Muhanimad SAW menyerahkannya untuk dihukum mati.
Perjanjian ini kemudian digantung; di pintu Kabah. Hal. ini memaksa Abu
Thalib beserta seluruh keluarganya menyingkir ke sebuah gunung yang
dikenal sebagai’Syi’ib Abi Thalib’.
Sekarang Bani Hasyim benar-benar diasingkan dari seluruh penduduk
kota. Bentengpun dikepung oleh suku Quraisy untuk menambah penderitaan
mereka dan mencegah kemungkinan mendapat persediaan makanan. Mereka
akhirnya kelaparan karena tidak mendapat makanan. Di bawah pengawasan
suku Quraisy yang sangat ketat, Abu Thalib bahkan merasa takut
kalau-kalau ada serangan di malam hari. Karena hal ini, ia senantiasa
menjaga keamanan kemenakannya, dan sering berganti ruang tidur sebagai
tindakan pencegahan bila ada serangan mendadak.
Menjelang tahun ketiga pengasingan itu, Nabi Muhammad memberitahu
pamannya, Abu Thalib, bahwa Allah telah menunjukkan ketidakridhaan-Nya
pada perjanjian tersebut, dan mengirim cacing-cacing untuk melumat
setiap kata yang tertulis di dokumen yang tergantung di pintu Kabah
kecuali nama-Nya.
Abu Thalib yang mempercayai kemenakannya sebagai penerima wahyu dari
langit, tanpa ragu pergi menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan
kepada mereka apa yang telah diceritakan Muhammad kepadanya.
Percakapannya dicatat sebagai berikut. -
Muhammad telah memberitahu kami dan aku ingin bertanya kepada kalian
untuk membuktikannya kepada kalian. Karena apabila benar, maka aku
meminta kalian untuk memikirkan kembali daripada menyengsarakan Muhammad
atau munguji kesabaran kami. Percayalah kepada kami, kami lebih suka
mempertaruhkan nyawa kami daripada menyerahkan Muhammad kepada kalian.
Dan jika Muhammad terbukti salah dalam ucapannya, maka kami akan
menyerahkan Muhammad kepada kalian tanpa syarat. Dan kalian bebas
memperlakukannya sebagaimana yang kalian kehendaki, membunuhnya atau
membiarkannya tetap hidup.
Mendengar tawaran Abu Thalib, suku Quraisy sepakat untuk memeriksa
dokumen tersebut, dan mereka terkejut ketika melihat dokumen itu telah
dimakan ular, hanya nama Allah saja yang masih tertulis di sana. Mereka
berkata bahwa hal itu adalah sihir Muhammad. Abu Thalib berang kepada
suku Quraisy dan mendesak mereka agar menyatakan bahwa dokumen tersebut
digugurkan dan pelarangan itu dihapuskan. Kemudian ia menggenggam ujung
kain Kabah lalu mengangkat tangan lainnya ke atas lalu berdoa, “Ya
Allah! Bantulah kami menghadapi orang-orang yang telah menganiaya
kami…!”21
Ketika Nabi Muhammad masih kecil, di saat hujan jarang turun, Abu
Thalib membawanya ke Rumah Suci Kabah. la berdiri dengan punggung
menyentuh dinding Kabah dan mengangkat Nabi Muhammad dengan memangkunya.
la menjadikan perantara dalam doanya kepada Allah meminta hujan. Nabi
Muhammad juga berdoa bersamanya dengan wajah menghadap ke atas. Belum
lagi doa usai, awan hitam muncul di langit dan hujan turun dengan deras.
Peristiwa ini ia sebutkan dalam syair yang disusun oleh Abu Thalib:
Tidakkah kalian lihat?
Kami mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang Nabi sebagaimana Musa
la telah diramalkan pada kitab-kitab sebelumnya
Wajahnya yang memancarkan cahaya merupakan perantara tururmya hujan
la adalah mata air bagi para yatim piatu dan pelindung para janda.22 Syair lain yang membuktikan keislaman Abu Thalib adalah:
Untuk mengagungkannya, la memberirlya nama dari diri-Nya sendiri seseorang yang Agung dinamakan Muhammad
Tiada keraguan bahwa Allah telah menunjuk Muhammad sebagai seorang Rasul.
Oleh karenanya, makna Ahmad adalah pribadi yang paling agung di seluruh alam semesta.23
Abu Thalib adalah seorang lelaki yang beragama kuat dan memiliki
keyakinan yang dalam terhadap kebenaran Nabi Muhammad. la hidup dalam
misi itu selama 11 tahun dan kesulitan yang dihadapi Nabi Muhammad dan
dirinya meningkat sejalan bertambahnya waktu. Kesulitannya memuncak
terutama ketika Abu Thalib wafat karena suku Quraisy membuatnya lebih
menderita. Penderitaan yang tidak dapat dibayangkan ketika Abu Thalib
masih hidup. Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadis bahwa ketika seseorang
dari suku Quraisy melemparkan kotoran ke kepala Nabi, ia pulang ke
rumah. Pada saat itu Nabi berkata, “Suku Quraisy tidak pernah
memperlakukanku seperti ini ketika Abu Thalib masih hidup, karena mereka
adalah pengecut!”24
Pernikahan Nabi Muhammad SAW
Abu Thalib berkata kepada para lelaki Quraisy yang hadir pada pernikahan Nabi Muhammad SAW:
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim
dan keturunan Ismail. la menganugrahi kita Rumah Suci dan tempat
berhaji. la menjadikan kita tinggal di tempat yang suci (haram), tempat
segala sesuatu tumbuh. la menjadikan kami penengah dalam urusan lelaki
dan menganugrahi kami negeri tempat kami bernaung.
Kemudian ia melanjutkan:
Sekiranya Muhammad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib,
disandingkan dengan lelaki di kalangan bangsa Arab, ia akan
mengagungkannya. Tidak ada seorangpun yang sebanding dungannya. la tidak
tertandingi oleh lelaki manapun, meskipun kekayaannya sedikit. Kekayaan
hanya kepemilikan sementara dan penjaga yang tak dapat dipercaya. Ia
telah mengungkapkan niatnya kepada Khadijah, demikian pula dengan
Khadijah, ia telah menunjukkan niatnya kepadanya. Karena setiap
pengantin harus memberikan mahar, sekarang ataupun di masa nanti,
maharnya akan aku beri dari kekayaanku sendiri.25
Wasiat Terakhir Abu Thalib
Meskipun menyembunyikan keimanannya, Abu Thalib telah mengungkapkan
keimanannya kepada Islam di lebih dari satu peristiwa, sebelum ia wafat.
Tetapi akan menarik bila dikutip di sini ucapan terakhirnya.
Menjelang ajalnya, Abu Thalib berkata kepada Bani Hasyim:
Aku perintahkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada Muhammad. la
adalah orang yang paling terpercaya di antara suku Quraisy dan paling
benar di kalangan bangsa Arab. la membawa ayat yang diterima oleh hati
dan disangkal oleh bibir karena takut permusuhan. Demi Allah barangsiapa
yang mengikuti petunjuknya ia akan mendapat kebahagiaan di masa datang.
Dan kalian Bani Hasyim, masuklah kepada seruan Muhammad dan percayailah
dia. Kalian akan berhasil dan diberi petunjuk yang benar. Sesungguhnya
ia adalah penunjuk ke jalan yang benar.”26
Diriwayatkan dalam kitab Bayhaqi, Dalail Nubuwwah, bahwa menjelang
lepas jiwa Abu Thalib dari raganya, bibirnya terlihat bergerak-gerak.
Abbas (paman Nabi Muhammad) mendekatkan diri untuk mendengar apa yang ia
katakan. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Demi Allah ia
telah mengucapkan kalimat yang engkau minta, ya Rasulullah!”27
Dalam kitab yang sama, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berdiri di
makam Abu Thalib dan berkata, “Engkau telah berlaku sangat baik kepada
saudaramu. Semoga engkau mendapatkan balasan, wahai pamanku!”28
Beberapa Referensi Hadis Syi ah Mengenai Abu Thalib
Abu Abdillah, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Perumpamaan Abu Thalib
seperti Ashabul Kahfi (QS. Al-Kahfi : 9 – 26); Mereka menyembunyikan
agama mereka dan memperlihatkan kemusyrikan. Tetapi Allah memberi pahala
dua kali lipat kepada mereka”.29
Pada hadis lain, Imam Jafar Shadiq berkata:
Ketika Imam Ali sedang duduk di Ruhbah di Kufah, dikelilingi oleh
sekelompok orang, seorang lelaki berdiri dan berkata, “Wahai Amirul
Mukminin! Engkau memiliki kedudukan yang teramat tinggi yang Allah
anugerahkan kepadamu tetapi ayahmu menderita di neraka.” Imam menjawab,
“Tutup mulutmu! Semoga Allah membuat mulutmu buruk. Demi Allah yang
telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, sekiranya ayahku memberi
syafaat kepada setiap orang berdosa di muka bumi ini, Allah akan
menerima syafaatnya.”30
Kami ingin mengakhiri diskusi ini dengan beberapa pertanyaan berikut;
1) Mengapa kita menuduh Abu Thalib sebagai penyembah berhala, padahal
ia memilih untuk meyakini pesan-pesan Nabi Muhammad dengan menyatakannya
secara politisnya dan kadang-kadang ia nyatakan secara
terang-terangan?; 2) Apa manfaatnya bagi kita dengan menyatakannya kafir
padahal terdapat bukti kuat bahwa ia tidak kafir? Apa ada manfaat lain
kecuali menjadikan diri kita sendiri orang kafir dengan menuduh orang
Islam masa lalu sebagai orang kafir?; 3) Mengapa kita menuduhnya kafir
padahal ia membela Nabi Muhammad dengan segala yang ia miliki? Mengapa
kita menyebutnya kafir pada orang yang sangat murah hati kepada semua
umat Islam dengan menjaga hidup Nabi Muhammad selama 11 tahun?; 4)
Mengapa kita menyebutnya kafir pada orang yang menikahkan Nabi Muhammad?
Masuk akalkah seorang yang menyembah berhala melaksanakan pernikahan
bagi seorang rasul?; 5) Apakah ini ketidaksyukuran dalam bentuk yang
begitu mengerikan?; 6) Inikah balasan bagi kebaikan yang ia berikan
kepada Nabi Muhammad SAW?
Sesunggunya keberadaannya berkaitan dengan keberlangsungan agama
Islam bukan suatu hal yang kebetulan dan kita, umat Islam, memilikinya.
Semoga Allah memebrikan syafaatnya untuk kita.
Komentar-komentar Lain Mengenai Abu Thalib
Seorang saudara Sunni menyebutkan: Saya telah mraakukan penelitian
mendalam atas apa yang anda tulis tetapi ada satu hal yang belum jelas.
Apakah Abu Thalib mengucapkan ‘Tuhanku’. Sepanjang yang anda jelaskan
Abu Thalib sering menyebutkan ‘Tuhannya Muhammad’ dan nampaknya ia
beriman kepada Tuhan itu tetapi ia tidak pernah mengatakan ‘Tuhanku’.
Hal tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak pernah mengucapkan secara
terang-terangan keyakinan kepada Islam meskipun nampaknya demikian.
Ibnu Ishaq berkata bahwa menjelang kematiannya bibir Abu Thalib
bergerak-gerak. Abbas yang saat itu masih menjadi orang kafir
mendekatkan telinganya ke bibirnya kemudian berkata kepada Nabi Muhammad
bahwa ia mengucapkan dua kalimat yang Rasulullah inginkan.31
Hadis serupa menyatakan sebagai berikut. Abu Thalib menggerakkan
bibirnya ketika ia akan wafat. Abbas kemudian mendengar apa yang ia
gumamkan dan berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Abu Thalib mengucapkan
kalimat yang diinginkan Nabi Muhammad.32
Dengan demikian, pernyataan syahadatnya sebelum ia wafat dicatat oleh
sejarahwan Sunni. Namun menurut kami, ia telah mengucapkan kalimat
syahadat sejak awal mula Islam, tetapi tidak di hadapan khalayak. Adalah
sesuatu yang alami bahwa bukti eksplisitnya tidak ditemukan dalam
sejarah karena sejarah ditulis berdasarkan berita dari masyarakat, bukan
dari seseorang. Akan tetapi, ada bukti implisit dalam sejarah yang
memberi keyakinan bahkan kepada kaum Sunni bahwa ia adalah seorang
Muslim lama sebelum kematiannya. Satu hal yang dapat anda jadikan acuan.
la berkata kepada orang kafir, “Aku bersumpah dengan Tuhannya
Muhammad!” Apakah sejarah memiliki contoh lain dimana seorang yang kafir
bersumpah dengan nama Tuhan yang tidak ia yakini? Ketika seseorang akan
bersumpah ia bersumpah demi sesuatu yang penting baginya karena jika
tidak ia akan membuat pernyataanya tidak dapat lebih dipercaya oleh
orang lain.
Kami akan berikan contoh ; apabila seorang laki – laki pergi ke
pengadilan di USA, jika ia Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan
menggunakan Kitab Injil.
Jika ia bukan Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan menggunakan
kitab sucinya (atau sesuatu yang penting lainnya) dan tentunya bukan
kitab Injil karena sumpahnya dengan menggunakan kitab itu tidak akan
meyakinkan pengadilan disebabkan ia yang melaksanakan sumpah itu.
Pikirkanlah tentang hal ini! Suku Quraisy memiliki banyak tuhan pad a
saat itu (seperti Hubal dan Uzza). Mengapa Abu Thalib meninggal kan
mereka semua dan bersumpah dengan Tuhan yang tidak ia yakini?
Saudara Sunni lebih jauh berkomentar, mungkinkah seseorang itu Muslim
bila ia tidak secara eksplisit menyatakan keyakinannya? Benar, la
adalah seorang beragama Islam dan bukan seorang musyrik. Tetapi tidak
semua orang Islam adalah Muslim.
Islam adalah ketundukan dalam hati. Seorang yang munafik, meskipun
menyatakan dirinya Muslim, ia tetap bukan Muslim. Karena alasan ini,
sulit untuk menilai apakah seseorang itu Muslim atau tidak. Bagaimana
pun anda benar. Seseorang harus mengucapkan kalimat syahadat untuk
menjadi Muslim, tetapi ia tidak harus melakukannya di depan khalayak
apabila ia takut dianiaya atau jika mengetahui bahwa dengan
menyembunyikan keimanannya ia dapat berjuang lebih baik dalam
pemikirannya yangn agung. Inilah yang disebut taqiyah. Seseorang dapat
mengucapkan kalimat syahadat secara pribadi (contohnya ketika ia sedang
sendiri atau bersama Nabi Muhammad saja) dan ia akan menjadi Muslim.
Taiqyah dan kemunafikan adalah dua hal yang sangat berseberangan.
Apakah Azar ayah Nabi Ibrahim?
Dan ketika Ibrahim berkata pada bapaknya, Azar, “Adakah pantas engkau
jadikan berhala – berhala sebagai Tuhan sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku
melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata!”
(QS. al-An’am : 74,)
Dan apapun permohonan ampun Ibrahirn untuk ayahnya tiada lain
hanyalah karena janji yang telah ia ikrarkan kepada banyaknya. Tetapi
setelah nyata bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, ia menyatakan
diri berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
tunduk hatinya kepada Tuhan dan penyantun.
Pada dua ayat di atas, kata’ab’ ditunjukkan kepada Azar. Tetapi, kata
‘ab’ memiliki makna yang berbeda dan tidak harus bermakna walid (ayah
kandung).
Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa esensi keberadaannya telah
dikirimkan dan disampaikan kepada orangtuanya langsung melalui keturunan
yang suci, murni dan disucikari.
Kata ‘ab’ dalam bahasa Arab memiliki makna ayah, nenek moyang atau
bahkan paman karena Ismail, paman Yakub ditunjukkan dengan sebutan’ab’
dalam ayat Quran berikut.
Tidakkah kamu tnenyaksikan ketika kematian mendekati Yakub, saat itu
ia berkata kepada putra-putranya, “Kepada siapa kalian akan menyembah
setelah aku tiada? Mereka berkata, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Tuhan Ibrahim dan Ismail dan Ishaq, Tuhan Yang
Esa, dan kepada-Nya karni menyerahkan diri. (QS. al-Baqarah :113)
Karena Ismail bukan ayah Nabi Yaqub, dan meskipun Quran menggunakan
kata ‘ab’ baginya sebagai sebutan paman, penggunaan kata ini untuk
sebutan selain ayah kandung ditetapkan. Di samping itu Nabi Ibrahim
berdoa untuk ayah kandungnya (walid) dan untuk orang-orang beriman, yang
dengan jelas menunjukkan bahwa ayah kandungnya bukan seorang musyrik.
Ayat Quran berikut membuktikan hat tersebut: “Wahai Tuhan kami!
Lindungilah kami dan orangtuaku (walidain) dan orang-orang yang beriman
pada hari ketika hari kebangkitan akan datang.” (QS. Ibrahim : 14)
Yang mengherankan, ternyata ayah Nabi Ibrahim bernama Tarakh bukan
Azar, sebagaimana yang dinyatakan sejarahwan Sunni. Ibnu Katsir
menuliskan, “Ibrahim adalah putra Tarakh. Ketika Tarakh berusia 75
tahun, Ibrahim dilahirkan.”33 Hadis ini pun ditegaskan oleh Thabari. la
menggambarkan garis keturunan Nabi Ibrahim dalam kumpulan sejarahnya. Ia
pun menyatakan dalam kitab tafsir Quran-Nya bahwa Azar bukan ayah
kandung Nabi Ibrahim as. 34
Catatan Kaki:
1. Referensi hadis Sunni: Tahaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, hal. 105; Tarikh
atThabari jilid 7, hal. 100; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 172;
Tafsir alKasysyaf, jilid 1, hal. 448; Tafsir, Qurthubi, jilid 6, hal.
406, dan banyak lagi.
2. Referensi hadis Sunni: Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 2, hal. 179.
3. Referensi hadis Sunni: Mizan al-Itidal, Dzahabi, jilid 1, hal. 396.
4. Referensi hadis Sunni: Tafsir at-Thabari, jilid 7, hal. 109; Tafsir al-Durr al-Mantsur, jilid 3, hal. 8.
5. Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tafsir, versi bahasa Inggris, jilid b, hal. 158, hadis 197.
6. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 183, jilid
5, hal. 275, 283; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jiiid 1, hal. 3,151, jilid 3,
hal. 212, 283; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal.
526, hadis 946; Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 51; Khasaish al-Awiiya’,
Nasa’i, hal. 20; Fadha’il al-Khamsah, jilid 2, hal. 343; Siratun Nabi,
Syilbi Numani, jilid 2, hal. 239.
7. Siratun Nabi, Syilbi Numani, hal. 239-240.
8. Siratun Nabi, Syilbi Numani, jilid 1, hal. 219 dan 220.
9. Bukhari pada bab Kematian (kalimat terakhir diambil dari Shahih
Muslim dan bukan dari Bukhari). Inilah versi hadis Bukhari dan Muslim.
10. Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146.
11. Aini, bab Janaiz atau Kematian, jilid 4, hal. 200.
12. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Arab-Inggris, jilid 6, hal. 278-279, hadis 295.
13. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Inggris, jilid 6,
hal. 102, hadis 129. Sumber hadis Sunni lainnya yang menegaskan bahwa
surah at-Taubah adalah surah yang terakhir turun dan merupakan surah
Madaniyah adalah Tafsir al-Kusysyaf, jilid 2, hal. 49; Tafsir, Qurthubi,
jilid 8, haI. 273; Tafsir al-Itqan, jilid l, hal. 18; Tafsir, Syaukani,
jilid 3, hal. 316.
14 Referensi hadis Sunni: Syarh ibn al-Hadid, jilid l, hal. 370.
15. Tafsir al-Kabir, jilid 25, hal. 3.
16. Referensi hadis Sunni: Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 4, hal. 329;
Tafsir, Syaukani, jilid 5, hal. 189, Tnfsir, Alusi, jilid 28, hal. 37.
17. Referensi hadis Sunni: Tafsir, Qurthubi, jilid 5, hal. 1.
18. Referensi hadis Sunni: Sirah ibn Hisyam, jilid 2, hal. 207; Taf.sir,
Qurthubi, jilid 4, hal. 58; Tafsir, Khazan, jilid 1, hal. 235; Tafsir
al-Itqan, jilid 1, ha1.17.
19. Referensi Hadis Sunni: Sirali Nabi Muhammad, Ibnu Hisyam, jilid 1,
hal. 266; Tabaqat ibn Sa’d, jilid 1, hal. 186, Tarikh at-Thabari, jilid
2, hal. 218; Diwan Abu Thalib, hal. 24; Syarh ibn al-Hadid, jilid 3,
hal. 306; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 258; Tarikh, Abu Fida,
jilid l, hal. 117; as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 306.
20. Referensi hadis Sunni: Khazanatal Adab, Khatib Baghdadi, jilid 1,
,hal. 261; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 42; Syarh, Ibnu Hadid,
jilid 3, hal. 306; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 120; Fathul BRri
(syarah Shahih al-Bukhari), jilid 7, hal. 153; al-Ishabah, jilid 4, hal.
116; as-Sirah alHalabiyyah, jilid l, hal. 305; Talba tul Thalib, hal.
5.
21. Referensi hadis Sunni: Tabaqat ibn Sa’d, jilid 1, hal. 183; Sirah
ibn Hisyam, jilid l, hal. 399 dan 404; Awiwanui Ikbar, Qutaibah, jilid
2, hal. 151; Tarikh, Ya’qubi, jilid 2, hal. 22; al-Istiab, jilid 2, hal.
57; Khazantul Ihbab, Khatib Baghdadi, jilid 1, hal. 252; Tarikh, Ibnu
Katsir, jilid 3, hal. 84; al-Khasais al-Kubra, jilid 1, hal. 151;
as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 286.
22. Referensi hadis Sunni: Syarah al-Bukhari, Qastalani, jilid 2, hal. 227; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, ha1.125.
23. Referensi hadis Sunni: Dalail Nubuwwah, Abu Nu’aim, jilid 1, hal. 6;
Tarikh, Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 275; Syarh ibn al-Hadid, jilid 3,
hal. 315; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 266; Tarikh Khamis, jilid
1, hal. 254.
24. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabnri, jilid 2, hal. 229; Tarikh,
Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 284; Mustadrak Hakim, jilid, 2, hal. 622;
Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 122; al-Faiq, Zamakhsyari, jilid 2,
hal. 213; Tarikh al-Kharnis, jilid l, hal. 253; as-Sirah al-Halabiyah,
jilid 1, hal. 375; Fathul Bart, jilid 7, hal. 153 dan 154; Sirah ibn
Hisyam, jilid 2, hal. 58. . 25. Referensi hadis Sunni: Sirah
al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 139.
26. Referensi hadis Sunni: al-Muhabil Bunya, jilid 1, hal. 72; Tarikh
alKhantis, jilid 1, hal. 339; Balughul Adab, jilid 1, hal. 327; as-Sirah
alHalabiynh, jilid 1, hal. 375; Sunni al Muthalib, jilid 5; Uruzul
Anaf, jilid 1, hal. 259; Tabaqat ibn Sa’d, jilid l, hal. 123. ‘
27. Referensi hadis Sunni: Daiail Nubuzuwah, Baihaqi, jilid 2, ha1.101;
Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146, sebagairnana yang dikutip pada buku
Siraturt Nabi, Syilbi Numani, jilid 1, hal. 219-220.
28. Referensi hadis Sunni: Dalail Nubuwwah, Baihaqi, jilid 2, ha1.101;
Ibid, jilid 2, hal. 103; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 13, ha1.196;
Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 125; al-Ishabah, jilid 4, ha1.116;
Tadzkirat Sibt, hal. 2; Tarikh, Yaqubi, jilid 2, hal. 26.
29. Referensi hadis Syi’ah: al-Kafi, Kulaini, jilid 1, hal. 448;, al-Ghadir, Amini, jilid 7, hal. 330.
30. Referensi hadis Syi’ah: al-Ihtijaj, Thabarsi, jilid 1, hal. 341.
31. Ibnu Hisyam, edisi Kairo, hal. 146 (sebagaimana yang dikutip oleh Syilbi Numani).
32. Tarikh Abu Fida, jilid l, ha1.120.
33. Referensi hadis Sunni: al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 139.
34. Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 119; Tafsir atThnbari, Ibnu Jarir Thabari, jilid 7, ha1.158.