KALAM SUNNI
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)
I. Pendahuluan
Ilmu
kalam adalah salah satu sumber dari empat disiplin keilmuan yang telah
tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga
lainnya yaitu Fiqh, Falsafah, dan Tasawwuf. Jika ilmu Fiqh menerangkan
masalah peribadatan dan hukum, dan ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang
bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya
seluas-luasnya, serta ilmu Tasawwuf untuk penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang bersifat pribadi. Maka ilmu Kalam mengarahkan
pembahasannya pada hal-hal mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.
Tumbuhnya
ilmu Kalam sebenarnya sudah muncul sejak masa Khulafaurrasyidin, tetapi
belum menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri. Yaitu pada peristiwa
pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, yang terjadi pada peristiwa
menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering disebut al-Fitnah al-Kubra
(Fitnah Besar). Maka ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan
bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Para pembunuh Usman itu, menurut
beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali bin
Abi Thalib. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali karena
Beliau menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyyah ibn Abu
Sufyan, dalam Perang Shiffin. Sebab itulah mereka memisahkan diri dengan
membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum
Khawarij. Kaum yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij
adalah kaum Mu’tazilah (Taymiyyah, Juz 4, 1903: 237).
Dalam
perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu’tazilah. Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M), seorang
sarjana dari kota Basrah di Irak yang terdidik dalam paham Mu’tazilah.
Beliau lah yang kelak mempelopori berdirinya paham Asy’ariyah, yang
sering dikenal sebagai Kaum Sunni.
II. Pembahasan
A. Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam
Ilmu
kalam lahir dan melebarkan sayapnya di tengah-tengah komunitas umat
Islam tidaklah secara frontal dan meraksasa begitu saja, namun ia ada
secara gradual, butuh proses dan waktu yang membuatnya kian besar dari
hasil akumulasi pergumulan pemikiran, pengaruh eksternal serta evolusi
internal yang kemudian menggelora dan menjelma menjadi sebuah konstruk
epistomologi yang mandiri.
Menelisik perkembangan embrio ilmu kalam
dari masa ke masa, sejatinya sangat ditentukan oleh eskalasi sosial
politik yang berkecamuk kala itu, sejarah mencatat pasca meninggalnya
Nabi Muhammad SAW, diawali dari permasalahan suksesi (khilafah) sampai
terjadinya peristiwa besar al-fitnah al-kubra yang mengakibatkan
terbunuhnya khalifah ke-3 Usman bin Affan dan meletusnya perang Jamal
dan Siffin, peristiwa ini semula bermuara pada perbedaan kebijakan
politik, kemudian dengan sendirinya memunculkan kelompok-kelompok dan
lambat laun bertambah fanatis. Berangkat dari titik tolak ini akhirnya
menyuburkan benih benih kelompok kalam yang beraneka ragam.
Perjalanan
sejarah kalam kian mengkristal dan mencapai klimaksnya di penghujung
dinasti Umawiyah, hal itu ditandai dengan mengguritanya sekte-sekte
Islam bernuansa politis disertai ambisi mengedepankan sebuah sekte
diantara sekte lainnya, diawali oleh kelompok Syi’ah yang beranggapan
bahwa khalifah yang layak setelah Nabi adalah Ali bin Abi Thalib dan
mengkafirkan para sahabat karena dianggap merebut hak ekslusif Ali,
Khawarij serentak menolak dan balik mengkafirkan Syi’ah, perseteruan dua
kubu besar tak terelakkan lagi, kelompok kalam terus berdatangan
merespon situasi yang kian mencuat, muncullah kemudian Murji’ah,
Qadariyah, Jabariah, Jahmiyyah, Karamiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Maturidiyah dan kelompok lainnya disertai pandangan teologis mereka yang
beragam.
Pembahasan kalam yang pada awalnya berkutat pada urusan
politik lambat laun terseret pada wilayah akidah, teori-teori kalam
terus ditawarkan dan dibumbuhi dengan idiom idiom agama yang turut
mewarnai pembahasan disiplin ilmu ini, tak dipungkiri, munculnya
Mu’tazilah sebagai madrasah kalam pertama yang melandaskan diri pada
akal dalam berakidah ini, memberikan andil besar dalam melahirkan dan
memperkaya beberapa tema sentral dalam ilmu kalam, ketidak-sepahaman
Washil bin ‘Atha dengan Hasan Bashri dalam diskursus hukuman bagi
pendosa besar dan perbuatan manusia (af’al al-insan) membuat Washil
meninggalkan (i’tizal) dari gurunya dan manata bangunan teologis baru
yang khas bagi mereka (elbaiquni.wordpress.com).
Sebelum kita
membahas lebih jauh tentang Kalam Sunni, penulis akan sedikit membahas
tentang sejarah Ilmu Tauhid secara garis besar. Dalam perkembangannya,
Ilmu Tauhid ini telah melalui beberapa masa, yaitu:
1. Masa Rasulullah ( dari tahun I kenabian s/d 10 H)
Pada
masa Rasulullah, ilmu Tauhid belum berdiri sendiri dari ajaran Islam,
ia masih sederhana dalam bentuk Rukun Iman, hanya tergambar dalam
kehidupan umat, “ Tauhidul Aqidah, Ittihadul Ummah “ yang telah menjadi
satu komponen yang utuh, sebab umat pada masa itu, faham betul tentang
wahyu dan Sabda Nabi, dengan Lailaha Illallah, sebagai ‘aqidah ,
syari’ah dan manhaj hayahnya.
2. Masa Khulafaur Rasyidin ( 11 H s/d 40 H ).
Pada
mulanya, kondisi Ilmu Tauhid tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, namun
separuh akhir masa Khulafaur Rasyidin, sebagian aqidah, mulai
dibicarakan, seperti; taqdir, penetapan siapakah yang kafir dan yang
bukan, akibat dari Tahkim (37 H) antara; Ali, Muawiyah, Amru bin Ash dan
Imam Asy’ari, yang memicu timbulnya kelompok Syi’ah, yang sangat
mencintai Ali, lalu ditentang Khawarij pimpinan al-Asya’ts ibnu Qais
al-Qindi, sehingga muncul pula kaum netral Murjiah yang tidak menghukum
kafir orang mukmin yang berdosa besar, dipelopori sebagian Sahabat
Ghailan ad-Dimsyiqi. Lalu muncul faham Qadariyah; manusialah yang
menentukan nasibnya, yang dipelopori oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan
ad-Dimsyiqi. Disusul faham Jabariyah, yang dipelopori oleh Jahm bin
Safwan dan Ja’ad bin Dirham, dengan faham serba tuhan. Kedua faham ini
(Qadariyah dan Jabbariyah), terus tumbuh dan dianut sebagian umat pada
zaman itu (38H–139H) (Amin, 1924: 72).
3. Masa Bani Umaiyah (41 H s/d 131 H )
Pada
masa ini, muncul pula faham Mu’tazilah yang diilhami dari faham
Qadariyah terdahulu, yang tidak mengakui adanya Sifat Ma’âni Tuhan dan
dengan konsepnya “manzilah baina manzilatain“ ada tempat diantara surga
dan neraka bagi orang mukmin yang berdosa besar. Faham ini berjalan pada
( 80 H s/d 324 H ), dengan memupuk “Ilmu Kalam” sebagai disiplin
ilmunya, sejak Wasil bin Atha’(w 131 H) dengan kawannya, Umar bin Ubaid
(w 145 H). memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri (w 110 H), Oleh
karena itu, maka diperkirakan gerakan Mu’tazilah ini, secara terkordinir
mulai tahun 120 H , setelah Hasan Basri tiada, oleh kedua tokohnya
tersebut. Maka, “Ilmu Tauhid” pada masa ini, menjelma dalam bentuk “Ilmu
Kalam“, yang membicarakan kepercayaan Islam melalui logika, mantiq dan
falsafat secara mendetail dan mendalam disamping dalil-dalil naqli yang
mereka terima.
4. Masa Bani Abbasiyah ( 132 H s/d 656 H )
Pada
masa ini, “ Ilmu Tauhid “ muncul sebagai suatu disiplin Ilmu yang
berdiri sendiri, terpisah dari Ilmu Kalam yang bukan sistem Tauhid
Salaf, karena Ilmu Tauhid ini, berlandaskan dalil Naqli dan dalil ‘aqli,
yang dasar-dasarnya telah disusun oleh; Imam Abul Hasan al-Asy’ari
(w.324 H) dan Imam Abul Mansur al-Maturidi (w 333 H ) secara rinci.
Ilmu
Tauhid sistem mereka inilah, yang dimasyhurkan dengan faham Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni), karena ulama Tauhid Salafi, berakhir
pada masa Abdullah Ibnu Sa’id al-Kalabi, Abi al-Abbas al-Qalansi dan
al-Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (300 H).
Ilmu Tauhid sistem khalaf
(al-Asy’ari dan Maturidi), sebagai lawan salaf ini, mendapat dukungan
pula dari ulama-ulama “Ahlussunnah”, seperti ; Imam al Ghazali (w 505 H)
dan ar-Razi (w 606 H), yang kemudian dirampungkan oleh Imam as-Sanusi
(833 H – 895 H), dengan melalui teori sifat dua puluh dan sifat
Istighna’ dengan sifat Iftiqar itu. sehingga Ilmu Kalam berjalan
sendiri, ilmu Tauhid Sunni lain pula. Sedangkan ilmu Tauhid Salafi
mendapat pencerahan kembali, oleh Ibnu Taimiyah (661 H s/d 724 H) dan
didukung oleh Ibnu Qayyim, yang tetap textbook , setelah + 400 tahun
diimbangi oleh Tauhid Sunni (Asy-Syahrastani, 1997: 211-215).
Karena
itu, masyhurlah sebagai peletak dasar–dasar Ilmu Tauhid Sunni yang
disandarkan kepada dua Imam; yaitu Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi, karena merekalah yang pertama menyusun, mengumpulkan ilmu
ini dan menjelaskan dalil-dalilnya secara terperinci, yang berdiri
sendiri sebagai suatu disiplin ilmu diantara berbagai ilmu-ilmu agama
lainnya (Zarkasyi, 1994: 36).
B. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahl al-Sunnah sebagai berikut:
“Ahlussunnah
adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang
berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai
pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun
divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang
disebut “Salaf”, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabi’in
dan Tabi’ut Tabi’in. Dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yakni generasi
yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas
terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara
ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun)
dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini
merupakan mayoritas umat Islam”. (Ghorbal et.al., 1965: 278).
Dari
definisi ini, jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu tidak hanya
terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran.
Karena itu, Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan mengatakan
bahwa istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini menjadi rebutan banyak
kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “al-Jama’ah” dalam istilah ini karena
mereka menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil –dalil syari’ah
yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul. (Hasan, 2005:
3-4).
Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini
sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi
berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini
dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh
Ahl al-Sunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi
sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah
pada abad ke-3 H.
Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan
istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga didasarkan pada beberapa hadis
yang menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu
golongan yang selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka
yang melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya.
Pada uraian diatas
tentang definisi Ahl al-Sunnah, mereka terbagi menjadi dua generasi,
yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut memang terdapat
banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang berbeda. Perbedaan
pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat,
utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata “yad” (tangan),
“ain” (mata),”istawa” (bersemayam).
Generasi Salaf, mempercayai
kebenaran kata-kata tersebut dan membenarkannya tanpa mau banyak
mendiskusikan dan memperdebatkan arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa
Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan
al-Tsuri, dan Imam Laits bin Saad, tentang ayat-ayat yang berisi
sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: Artikan seperti apa adanya, dan
jangan tanya bagaimana!. Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata
“istawa” bagi Allah. Beliau menjawab: “Duduk itu sudah jelas, tetapi
bagaimana duduknya itu tidak diketahui; mengimaninya adalah wajib,
sedangkan mempertanyakan hal itu adalah bid’ah”. (Hasan, 2005: 10).
Generasi
Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah maraknya
pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa
pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan
fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi
keislaman yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawwuf dan lain sebagainya. Lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam
bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Sa’id Al-Kullab (w. 240 H)
yang dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255
H), mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang muncul sebelum
al-Asy’ari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi
Kholaf menerima penggunaan dalil-dalil ‘aqli sebagai penyeimbang dalil
naqli. Itulah yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11).
Generasi
Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat menggunakan penafsiran
yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan
Allah. Penafsiran itu disebut “Ta’wil”, seperti kata “Yadullah”
diartikan dengan “kekuasaan Allah”, “Ainullah” diartikan “pengawasan
Allah”, kata “Istawa” diartikan “mengatur”.
C. Sejarah Perkembangan Kalam Sunni
Matoritas
umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut doktrin ini
dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun demikian,
secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik pada
masa awal Islam. Ketegangan-ketegangan ini diekspresikan dalam istilah
teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau
kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah
sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai
penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syi’ah. (Saleh, 2004: 97).
Meskipun
Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi Asy’ari, terdapat
buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah dipergunakan jauh
sebelum masa al-Asy’ari. Istilah ini telah dipergunakan berkaitan dengan
orang-orang yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari al-Quran dan
Sunnah dalam soal-soal agama. Orang-orang tersebut, pada masanya lebih
dikenal dengan Ahli Hadits dan terutama terdiri atas para Sahabat Nabi
dan Tabi’in.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam
pertumbuhannya, Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi,
tetapi baru berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya
banyak memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it
Tabi’in yang dikenal memiliki aliran masing-masing, Kaum Sunni pada masa
kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini
dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni.
Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal
kekuasaan Bani Abbasiyah, sampai kemudian terdapat empat mazhab fiqh
yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Didalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka
miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak
bersifat fundamental.
Perkembangan mazhab tersebut sangat pesat dikarenakan beberapa faktor, diantaranya:
1. Pendapat mereka dibukukan, tidak seperti ulama salaf.
2. Adanya murid yang menyebarkan, mempertahankan dan membela pendapat mereka.
3.
Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang
diambil oleh hakim harus berasal dari suatu mazhab, sehingga dalam
berpendapat tidak adanya dugaan yang negatif karena mengikuti hawa nafsu
dalam mengadili.
Sedangkan masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum
Sunni mengikuti Imam Asy’ari (yang kemudian disebut Asy’ariyah) dan
al-Maturidi (disebut Mauridiyah).
Berikut sedikit ulasan tentang
kedua tokoh tersebut, pemikiran mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut
berperan dalam mengembangkan ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut:
1. Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari
Lahir
di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H /
935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat
Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Imam Asy’ari semula menjadi
pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar
Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham
Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti
Mu’tazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor
yang mejadikan Imam Asy’ari memisahkan diri dari paham Mu’tazilah antara
lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asy’ari terhadap pola pikir dan
metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa
dukungan wahyu atau nash.
Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang
dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, yang
melakukan pemaksaan faham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama
tokoh-tokoh dan ulama yang berpengaruh.
Ketiga, dalam pengasingan
Imam Asy’ari selama lima belas hari (ada yang mengatakan selama empat
puluh hari) melakukan perenungan dan istikharah. Konon beliau
mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. dan
memerintahkannya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
as-Sunnah.
Pemikiran-pemikiran Imam Asy’ari antara lain: beliau
menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah
yang berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asy’ari juga menentang faham
“Keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa
al-wa’id). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun
yang wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18).
Aliran Asy’ariyah ini
memperoleh pengikut terbanyak dilingkungan umat Islam, antara lain
karena diikuti oleh para pengikut dua mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu
mazhab Syafi’i dan Maliki. Mengingat Imam Asy’ari sendiri dalam hal fiqh
menjadi pengikut mazhab Syafi’i, sedangkan dukungan dari mazhab Maliki
karena diantara sebagian tokoh-tokoh besar Asy’ariyah menganut mazhab
Maliki, diantaranya al-Baqillani dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23).
Ilmu Kalam Imam Asy’ari yang sering juga disebut sebagai paham
Asy’ariyah, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Ilmu Kalam yang
paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling
sah menurut pandangan sebagian besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini
kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya terdapat pada
seseorang yang dalam masalah Kalam menganut paham Asy’ariyah. Mengenai
hal ini, terdapat pendapat yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani (tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan
sebutan Kyai Saleh Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat
populer tentang perpecahan umat. Beliau mengatakan:
…Wus dadi prenca2
umat ingkang dihin2 ingatasé pitung puluh loro pontho, lan bésuk bakal
pada prenca2 sira kabéh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking
pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung
puluh loro kabéh ing dalem neraka. Ana déné ingkang sewiji ingkang
selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dén lakoni Gusti Rasulullah
s.a.w., lan iyaiku ‘aqâ’idé Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah lan
Mâturîdiyyah (Samarani, tt: 27-28).
Imam Asy’ari mendapatkan
kehormatan besar karena solusi yang ditawarkannya mengenai permasalahan
klasik dibidang Ketuhanan antara kaum “liberal” dari golongan Mu’tazilah
dan kaum “konservatif” dari golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori
empat Imam Mazhab Fiqh). Salah satu solusi itu adalah tentang masalah
manusia dan perbuatannya, Imam Asy’ari tidak bebas seperti paham
Qadariyyah dan juga tidak terpaksa layaknya paham Jabariyyah, tetapi
diantara keduanya. Imam Asy’ari mengajukan teori Kasb (al-Kasb,
acquisition, perolehan). Menurutnya perbuatan manusia tidaklah dilakukan
dalam kebebasan dan juga tidak dalam keadaan terpaksa. Perbuatan
manusia tetap dijadikan dan ditentukan oleh Allah, yakni dalam
keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggungjawab atas
perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan Kasb, dengan adanya
keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak bisa menentukan
keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan diputuskan
sendiri. (Madjid, 2000: 210).
Ajaran-ajaran Imam Asy’ari dapat
diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya setelah keluar dari
Mu’tazilah, terutama dari kitab Al-luma’ fi ar-Raddi ‘ala Ahli az-Zaighi
wa al-Bida’ dan kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, serta kitab
Maqalat al-Islamiyin.
Ø Al-Baqillani
Dia adalah salah satu
tokoh yang mempunyai andil penting dalam penyebaran Asy’ariyah. Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar
al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia mempelajari ajaran-ajaran
Asy’ariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu Hasan al-Bahili, keduanya
adalah murid langsung Imam Asy’ari.
Tetapi dalam beberapa hal,
terdapat perbedaan antara Imam Asy’ari dan al-Baqillani, diantaranya
masalah “perbuatan Manusia”. Menurut Imam Asy’ari, perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah. Manusia diberi daya untuk mewujudkan perbuatan,
namun daya tersebut tidak efektif jika tanpa kehendak Allah. Imam
Asy’ari menyebutnya sebagai “Kasab”. Sedangkan menurut al-Baqillani
manusia diberi oleh Allah daya dalam dirinya dan manusia dengan daya
tersebut mempunyai peran yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya.
(Hasan, 2005: 19).
Ø Al-Juwaini
Tokoh penting selanjutnya
adalah al-Juwaini, yang dikenal dengan Imam al-Haramain. Nama lengkapnya
adalah Abdul Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini
dikenal sebagai pendukung dan pembela Asy’ariyah, namun dalam
pandangan-pandangan Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asy’ari,
antara lain: masalah antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia
berpendapat bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah
harus dita’wilkan.
Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit
berbeda dengan al-Baqillani, menurutnya manusia diberi daya oleh Allah
untuk mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa
dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia
sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari
Allah (Hasan, 2005: 20).
Ø Al-Ghazali
Pada awal abad ke-6
Hijriah, Kaum Sunni khususnya kalangan Asy’ariyah mendapat tokoh besar,
yakni Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali al-Thusi (451-505 H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan,
persia utara, propinsi yang telah banyak melahirkan orang-orang Islam
yang jenius dalam berbagai macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64).
Al-Ghazali
pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam Asy’ariyah terbesar
pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika dikemudian hari dia
menjadi pengikut aliran Asy’ariyah. Dengan modal logika yang
diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang dialektikus di bidang
agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan berpengaruh.
Meskipun
al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang berlebihan dalam
menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan ajaran aqidah Syari’ah
maupun Tasawwuf, tapi al-Ghazali dengan cerdas membela ajaran Asy’ariyah
yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam menempatkan dalil-dalil
aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah dan secara
proporsional.
Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui
mujadalah kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan
kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis,
karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi
debat-debat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang
sia-sia (Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu
Khaldun pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21).
Jasa al-Ghazali
yang sangat besar adalah keberhasilannya mempertemukan tiga dimensi
kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan Tasawwuf, dan mendamaikan para
tokoh dan ahlinya (Fuqaha’, Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama
berabad-abad saling berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali
diabadikan dalam karya agungnya Ihya’ Ulumiddin, dan secara praktis
figur al-Ghazali merupakan teladan dan panutan.
Dikalangan Kaum
Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah Ilmu Kalam yang banyak
dipakai adalah al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan sebagai induknya adalah
Ihya’ Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni lebih menempatkan al-Ghazali
sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin
karena dalam dua disiplin ilmu tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak
bersifat analisa-analisa kritis daripada berupa paparan-paparan
diskriptif yang lebih gampang dicerna (Jahja. 1996: 260-261).
Ø As-Sanusi
Pada
abad ke-9 H lahir tokoh Asy’ariyah yang bernama Abu Abdillah Muhammad
bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal dengan Imam Sanusi (833-895 H
/ 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22). Penyebaran konsep kalamnya tentang
sifat Allah dan Rasul-Nya sangat populer di Indonesia. Ia membaginya
kedalam tiga macam, yaitu: Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat
wajib bagi Allah yang dua puluh itu dikelompokkan menjadi:
Ø Sifat Nafsiyah: Wujud
Ø Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa’, Mukhalafah lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat.
Ø Sifat Ma’ani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor dan Kalam.
Ø Sifat Ma’nawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran dan Mutakalliman.
Karya-karyanya
yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain: Syarah Tijan
ad-Darari, Kifayatu al-Awam, ‘Aqidah al-Awam, Ummi al-Barahim dan
lain-lain.
2. Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad
bin Muhammad Abu Manshur al-Maturidi. Dialah pendiri aliran yang dikenal
oleh kaum Sunni dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab
Hanafi yang belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin
Muqatil ar-Razi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 228 H).
Al-Maturidi mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub
al-Anshori (Hasan, 2005: 24).
Sebagaimana Imam Asy’ari, sebagai Kaum
Sunni al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth
(moderat dan jalan tengah). Namun apabila dibandingkan antara
al-Maturidi dan Imam Asy’ari dalam penggunaan akal sebagai dasar untuk
menemukan kebenaran, maka al-Maturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal
itu dipengaruhi oleh visi dan wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi
yang dikenal sebagai Mazhab Ahlu ar-Ra’yi. Para pengikut al-Maturidi
lazim disebut aliran Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini
sebagian besar dari pengikut mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh).
Al-Maturidi
memberikan dua argumen mengapa kita perlu menggunakan dalil-dalil
‘aqli, yaitu: Pertama, al-Quran banyak sekali menganjurkan manusia
menggunakan akal dan nalarnya secara kritis untuk memahami fenomena yang
ada di alam ini atau pada diri mereka sendiri, untuk menuju
ma’rifatullah. Sebagai contoh, pada surat an-Nahl yang berturut-turut
disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14 dan 15 diakhiri dengan kalimat:
لقوم يتفكرون
“…. bagi kaum yang berfikir”.
لقوم يعقلون
“…. bagi kaum yang memahami”
لقوم يتذكرون
“…. bagi kaum yang dapat mengambil pelajaran”
لعلكم تشكرون
“…. supaya kamu bersyukur”
لعلكم تهتدون
“…. supaya kamu mendapat petunjuk”
Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata bahwa
sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam tersebut
dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai “berfikir” sampai “mendapat
petunjuk” adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan
memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas wawasan dan
mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebagai
hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh
petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27).
Kedua, kondisi lingkungan
yang dihadapi al-Maturidi, merupakan tempat dan waktu dimana masalah
teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral. Al-Maturidi
mengatakan bahwa peranan akal untuk melengkapi dalil / hujjah agama,
membuat analisa kemudian menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk
membuktikan kebenaran dan membela keyakinan agama dari orang-orang
mengingkari atau menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan,
2005: 28).
Ø Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
Salah seorang
pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid al-Maturidi dan ia
mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Walaupun
al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia tidak selalu sepaham
dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran Maturidiyah terdapat
dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi sendiri)
dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika Golongan Samarkand
mempunyai paham yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, maka Golongan
Bukhara mempunyai pendapat yang lebih dekat dengan Asy’ariyah (Hasan,
2005: 29).
Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara
Golongan Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram
maka perbedaan itu akan seperti berikut:
Keterbukaan Terhadap
Peranan Akal
Asy’ariyah
Mu’tazilah
Maturidiyah
Samarkand Bukhara
D. Ulama-ulama pendukung Asy’ari dari zaman ke zaman:
1. Al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani (w 403 H)
2. Ibnu Faurak (w.406 H)
3. Abdul Qahir al-Baghdadi (w 429 H)
4. Al-Qadi Abu at-Taiyyib at-Tobari (w 450 H)
5. Abu Bakr al-Bayhaqi (w 465 H.)
6. Abu al-Qasim al-Qusyayri (w 465 H.)
7. Abu Ishaq asy-Syairazi (w 476 H)
8. Imam al-Haramayni al-Juwayni (419-478 H)
9. Imam al-Ghazali (w 505 H)
10. Ibnu Taumarat al-Maghribi (w 524 H)
11. Asy-Syahrastani (w 548 H)
12. Imam al-Fakhruddin ar-Razi (w 606 H)
13. Al-Baidhawi (w 701 H)
14. As-Said asy-Syarif al-Jurjani (w 816 H)
15. Imam as-Sanusi (833-895 H), dan lain-lainnya yang tersebar di dunia Islam sampai sekarang (Anwar, 2001: 117).
E. Pemikiran Kalam Sunni
Sepanjang
perjalanan aliran Asy’ariyah maupun Maturidiyah, mereka selalu
meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran),
karena menyadari bahwa yang memegang “kebenaran absolut” hanyalah Allah
saja, sedangkan kebenaran yang diklaim manusia hanya “kebenaran relatif”
sebatas kemampuan akalnya dalam memahami dan menafsirkan “kebenaran
absolut” tersebut, manusia harus tetap menyadari keterbatasan dirinya,
temasuk keterbatasannya dalam menagkap dan memahami suatu kebenaran.
Dalam
membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis hanya memproritaskan
pada masalah-masalah yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli
Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat
awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., al-Baghdadi, 1987: 300-303):
1. Tentang ke-Maha Esaan Allah
Didalam
kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua golongan
dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan Allah itu
dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan lain-lain.
Ke-Maha
Esaan Allah didalam istilah Ilmu Kalam mencakup tiga macam, yaitu:
Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Af’al.
2. Nama dan Sifat Allah
Menurut
Asy’ariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat.
Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi berada pada Dzat-Nya. Hanya
saja menurut Asy’ariyah sifat-sifat Allah itu dibagi menjadi Sifat
Dzatiyah yang Qadim, Sifat Fi’liyah yang tidak Qadim atau tidak Azali.
Sedangkan Maturidiyah menganggap semua sifat Allah itu Qadim atau Azali.
3. Al-Quran Firman Allah
Firman
Allah, didalam pemahaman Ahl al-Sunnah, dibedakan dalam dua pengertian,
yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang abstrak tidak berbentuk) dan
Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang diturunkan kepada para Rasul, sudah
dalam bentuk huruf atau kata-kata).
4. Melihat Allah di Akhirat
Baik
Asy’ariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang Mukmin
mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya adalah
Surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena melihat kepada Tuhannya”.
5. Tentang Perbuatan Manusia
Asy’ariyah
maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih
dari perbuatan yang diciptakan Allah dan dilimpahkan pada manusia
sebagai “tempat perbuatan” tersebut. Teori Asy’ariyah dikenal dengan
al-Kasb, sedangkan menurut konsep Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri
dari dua macam, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya
kemampuan pada diri manusia (kholqu al-istitho’ati) dan perbuatan
menusia dalam bentuk pemakaian daya tersebut (isti’malu al-istitho’ati).
6. Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
Kaum
Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan dosa besar kemudian
meninggal sebelum melakukan tobat, maka hukumnya terserah kepada Allah.
Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tapi tidak kekal didalam neraka
karena masih memiliki iman. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam
surat an-Nisa’ ayat 48 dan 116 :
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…”
7. Tentang Kenabian dan Kewalian
Dikalangan
Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada Nabi lagi,
karena Beliau adalah Nabi Terakhir. Seperti Firman Allah dalam Surat
al-Ahzab ayat 40 :
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqß§ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$# 3
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
Termasuk sifat
para Nabi adalah ‘Ishmat al-Anbiya’ (keterjagaan para Nabi dari dosa).
Dalam teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang memperoleh hak “ishmah”
atau “ma’shum” itu hanya para Nabi atau Rasul saja, dan manusia lain
tidak ada yang ma’shum, termasuk para wali, paa Imam dan ulama maupun
para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang Nabi atau Rasul pernah
berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asy’ariyah memndang hal tersebut
bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak pendapat tersebut, andai
ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa kecil, maka itu terjadi
sebelum menjadi Nabi atau Rasul.
Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni
ada sekelompok orang yang mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat
maksiat meskipun tidak seperti para Nabi, mereka adalah “Auliya’”. Para
Wali itu tidak ma’shum seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu
dijaga (mahfudh) dari perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus
(tanpa melakukan tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja
melakukan kekeliruan atau kesalahan ringan.
8. Tentang Mukjizat dan Karomah
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah meyakini bahwa semua peristiwa dan kejadian
yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah. Tetapi secara
prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai dengan
“Sunnatullah”, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak biasa
atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul ‘aadah),
berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain “Amrullah”.
Singkat
kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali, yang dianggap
sebagian orang sebagai khariqul ‘aadah, adalah merupakan Amrullah, bukan
Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak berlaku umum, tetapi sangat
khusus sesuai dengan Kehendak Allah sendiri, karena ada tujuan-tujuan
khusus pula.
Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan
kebenaran da’wahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan publik
(masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu untuk
menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para Wali tidak
harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu karomah bukan
untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya, malah banyak para
Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena khawatir menimbulkan
fitnah.
9. Tentang Kepemimpinan Umat
Secara terang-terangan
Kaum Sunni mengakui dan membenarkan kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin,
yakni Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali
bin Abi Thalib r. anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya
berbeda-beda, tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad.
10. Tentang Metafisika dan Keakhiratan
Dalam
teologi Ahl al-Sunnah, banyak masalah ghoib (metafisika) ini yang wajib
diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh yang mempunyai
sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama jasadnya, Alam
Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, Siksa
Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Ba’ats, Hari Mahsyar, adanya
Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan (neraca), Shirat,
Syafa’at, Surga dan Neraka. Begitu juga hal-hal lain, seperti Malaikat,
Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain sebagainya yang
wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu semua.
III. Penutup
Kaum
Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam
yang pandangan-pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah
disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar
Kaum Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asy’ariyah
dan Maturidiyah.
Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak
masa para Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri
sendiri. Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Dalam kajian Ilmu Kalam
ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi
berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini
dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh
Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi sebagai
tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada
abad ke-3 H.
Adalah Imam Asy’ari, seorang pengikut dan murid dari Abu
Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada
usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori
suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa
tokoh Mutakallimun dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara
lain: al-Maturidi, al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan
al-Bazdawi.
Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi
pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara
samar-samar dikalangan masyarkat awam antara lain:
1. Tentang Ke-Maha Esaan Allah
2. Nama dan Sifat Allah
3. Al-Quran Firman Allah
4. Melihat Allah di Akhirat
5. Tentang perbuatan Manusia
6. Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
7. Tentang Kenabian dan Kewalian
8. Tentang Mukjizat dan Karomah
9. Tentang Kepemimpinan Umat
10. Tentang Metafisika dan Keakhiratan
Demikian
sedikit penjelasan tentang sejarah pemikiran Kalam Sunni serta
pemikirannya. Tentunya tak ada gading yang tak retak, karena
keterbatasan penulis dan kebenaran yang absolut hanya milik Allah saja.
Akhirnya, semoga bermanfaat. Amin.
KALAM SUNNI
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)
Makalah Revisi
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Suparman Syukur, M. A.
Maulana Malikuddin
115 112 038
PRORAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
2011
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim.
Amin, Ahmad, 1924, Fajar al –Islam, Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-Misriyah.
Anwar, Rosihan, dkk., 2001, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Asy’ari,
Imam Abu al-Hasan al-, 1987, Ushul Ahlissunnah Wal Jama’ah (Risalah
Ahli al-Tsaghr), Edisi Dr. Muhammad Sayid al-Hulainid, Kairo: Matba’at
at-Taqaddum.
Baghdadi, Ibn Thahir al-, 1987, Kitab al-Farq Bayn
al-Firaq wa Bayan al-Firqah al-Najiyah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah),
Beirut: Dar al-Jayl.
Ghazali, al-, 1970, al-Risalat al-Laduniyyah, Muhammad Musthafa Abu al-‘Ala (ed.), Juz I, Maktabat al-Jundi.
Ghorbal, Syafiq et.al. (ed.), 1965, Encyclopedies, al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah, Kairo: Dar al-Qolam.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Ahlussunah Wal-Jama’ah – Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press.
Jahja, Zukani, 1996, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid,
Nurcholish, 2000, Islam: Doktrin dan Peradaban,-Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta:
Paramadina.
Marmura, Michael, Sunni Islam: The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. 4.
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam, Jakarta: UI Press.
Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Samarani, Haji Muhammad Shalih ibn Umar, tt, Tarjamat Sabil al’Abid ‘ala Jawharut al-Tauhid.
Syahrastani al-, 1997, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr.
Syahrastani al-, 1968, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Kairo: al-Halabi.
Taimiyah,
Ibn, 1903, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa
al-Qadariyyah, vol. 1, Kairo: Matba’at al-Kubra al-Amiriyah.
Zahrah, Muhammad Abu, tt, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Juz I, Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.
Zarkasyi, K.H. Imam, 1994, Ushuluddin, Gontor Ponorogo; Tri Murti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar