Senin, 06 Mei 2013

Teologi Sunni

                                                                 KALAM SUNNI
                                   (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)
I.    Pendahuluan
Ilmu kalam adalah salah satu sumber dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya yaitu Fiqh, Falsafah, dan Tasawwuf. Jika ilmu Fiqh menerangkan masalah peribadatan dan hukum, dan ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, serta ilmu Tasawwuf untuk penghayatan dan pengamalan keagamaan yang bersifat pribadi. Maka ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya pada hal-hal mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.
Tumbuhnya ilmu Kalam sebenarnya sudah muncul sejak masa Khulafaurrasyidin, tetapi belum menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri. Yaitu pada peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, yang terjadi pada peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering disebut al-Fitnah al-Kubra (Fitnah Besar). Maka ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Para pembunuh Usman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali karena Beliau menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyyah ibn Abu Sufyan, dalam Perang Shiffin. Sebab itulah mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Kaum yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij adalah kaum Mu’tazilah (Taymiyyah, Juz 4, 1903: 237).
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M), seorang sarjana dari kota Basrah di Irak yang terdidik dalam paham Mu’tazilah. Beliau lah yang kelak mempelopori berdirinya paham Asy’ariyah, yang sering dikenal sebagai Kaum Sunni.
II.    Pembahasan
A.    Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam
Ilmu kalam lahir dan melebarkan sayapnya di tengah-tengah komunitas umat Islam tidaklah secara frontal dan meraksasa begitu saja, namun ia ada secara gradual, butuh proses dan waktu yang membuatnya kian besar dari hasil akumulasi pergumulan pemikiran, pengaruh eksternal serta evolusi internal yang kemudian menggelora dan menjelma menjadi sebuah konstruk epistomologi yang mandiri.
Menelisik perkembangan embrio ilmu kalam dari masa ke masa, sejatinya sangat ditentukan oleh eskalasi sosial politik yang berkecamuk kala itu, sejarah mencatat pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, diawali dari permasalahan suksesi (khilafah) sampai terjadinya peristiwa besar al-fitnah al-kubra yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah ke-3 Usman bin Affan dan meletusnya perang Jamal dan Siffin, peristiwa ini semula bermuara pada perbedaan kebijakan politik, kemudian dengan sendirinya memunculkan kelompok-kelompok dan lambat laun bertambah fanatis. Berangkat dari titik tolak ini akhirnya menyuburkan benih benih kelompok kalam yang beraneka ragam.
Perjalanan sejarah kalam kian mengkristal dan mencapai klimaksnya di penghujung dinasti Umawiyah, hal itu ditandai dengan mengguritanya sekte-sekte Islam bernuansa politis disertai ambisi mengedepankan sebuah sekte diantara sekte lainnya, diawali oleh kelompok Syi’ah yang beranggapan bahwa khalifah yang layak setelah Nabi adalah Ali bin Abi Thalib dan mengkafirkan para sahabat karena dianggap merebut hak ekslusif Ali, Khawarij serentak menolak dan balik mengkafirkan Syi’ah, perseteruan dua kubu besar tak terelakkan lagi, kelompok kalam terus berdatangan merespon situasi yang kian mencuat, muncullah kemudian Murji’ah, Qadariyah, Jabariah, Jahmiyyah, Karamiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan kelompok lainnya disertai pandangan teologis mereka yang beragam.
Pembahasan kalam yang pada awalnya berkutat pada urusan politik lambat laun terseret pada wilayah akidah, teori-teori kalam terus ditawarkan dan dibumbuhi dengan idiom idiom agama yang turut mewarnai pembahasan disiplin ilmu ini, tak dipungkiri, munculnya Mu’tazilah sebagai madrasah kalam pertama yang melandaskan diri pada akal dalam berakidah ini, memberikan andil besar dalam melahirkan dan memperkaya beberapa tema sentral dalam ilmu kalam, ketidak-sepahaman Washil bin ‘Atha dengan Hasan Bashri dalam diskursus hukuman bagi pendosa besar dan perbuatan manusia (af’al al-insan) membuat Washil meninggalkan (i’tizal) dari gurunya dan manata bangunan teologis baru yang khas bagi mereka (elbaiquni.wordpress.com).
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Kalam Sunni, penulis akan sedikit membahas tentang sejarah Ilmu Tauhid secara garis besar. Dalam perkembangannya, Ilmu Tauhid ini telah melalui beberapa masa, yaitu:
1.    Masa Rasulullah ( dari tahun I kenabian s/d 10 H)
Pada masa Rasulullah, ilmu Tauhid belum berdiri sendiri dari ajaran Islam, ia masih sederhana dalam bentuk Rukun Iman, hanya tergambar dalam kehidupan umat, “ Tauhidul Aqidah, Ittihadul Ummah “ yang telah menjadi satu komponen yang utuh, sebab umat pada masa itu, faham betul tentang wahyu dan Sabda Nabi, dengan Lailaha Illallah, sebagai ‘aqidah , syari’ah dan manhaj hayahnya.
2.    Masa Khulafaur Rasyidin ( 11 H s/d 40 H ).
Pada mulanya, kondisi Ilmu Tauhid tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, namun separuh akhir masa Khulafaur Rasyidin, sebagian aqidah, mulai dibicarakan, seperti; taqdir, penetapan siapakah yang kafir dan yang bukan, akibat dari Tahkim (37 H) antara; Ali, Muawiyah, Amru bin Ash dan Imam Asy’ari, yang memicu timbulnya kelompok Syi’ah, yang sangat mencintai Ali, lalu ditentang Khawarij pimpinan al-Asya’ts ibnu Qais al-Qindi, sehingga muncul pula kaum netral Murjiah yang tidak menghukum kafir orang mukmin yang berdosa besar, dipelopori sebagian Sahabat Ghailan ad-Dimsyiqi. Lalu muncul faham Qadariyah; manusialah yang menentukan nasibnya, yang dipelopori oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan ad-Dimsyiqi. Disusul faham Jabariyah, yang dipelopori oleh Jahm bin Safwan dan Ja’ad bin Dirham, dengan faham serba tuhan. Kedua faham ini (Qadariyah dan Jabbariyah), terus tumbuh dan dianut sebagian umat pada zaman itu (38H–139H) (Amin, 1924: 72).
3.    Masa Bani Umaiyah (41 H s/d 131 H )
Pada masa ini, muncul pula faham Mu’tazilah yang diilhami dari faham Qadariyah terdahulu, yang tidak mengakui adanya Sifat Ma’âni Tuhan dan dengan konsepnya “manzilah baina manzilatain“ ada tempat diantara surga dan neraka bagi orang mukmin yang berdosa besar. Faham ini berjalan pada ( 80 H s/d 324 H ), dengan memupuk “Ilmu Kalam” sebagai disiplin ilmunya, sejak Wasil bin Atha’(w 131 H) dengan kawannya, Umar bin Ubaid (w 145 H). memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri (w 110 H), Oleh karena itu, maka diperkirakan gerakan Mu’tazilah ini, secara terkordinir mulai tahun 120 H , setelah Hasan Basri tiada, oleh kedua tokohnya tersebut. Maka, “Ilmu Tauhid” pada masa ini, menjelma dalam bentuk “Ilmu Kalam“, yang membicarakan kepercayaan Islam melalui logika, mantiq dan falsafat secara mendetail dan mendalam disamping dalil-dalil naqli yang mereka terima.
4.    Masa Bani Abbasiyah ( 132 H s/d 656 H )
Pada masa ini, “ Ilmu Tauhid “ muncul sebagai suatu disiplin Ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari Ilmu Kalam yang bukan sistem Tauhid Salaf, karena Ilmu Tauhid ini, berlandaskan dalil Naqli dan dalil ‘aqli, yang dasar-dasarnya telah disusun oleh; Imam Abul Hasan al-Asy’ari (w.324 H) dan Imam Abul Mansur al-Maturidi (w 333 H ) secara rinci.
Ilmu Tauhid sistem mereka inilah, yang dimasyhurkan dengan faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni), karena ulama Tauhid Salafi, berakhir pada masa Abdullah Ibnu Sa’id al-Kalabi, Abi al-Abbas al-Qalansi dan al-Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (300 H).
Ilmu Tauhid sistem khalaf (al-Asy’ari dan Maturidi), sebagai lawan salaf ini, mendapat dukungan pula dari ulama-ulama “Ahlussunnah”, seperti ; Imam al Ghazali (w 505 H) dan ar-Razi (w 606 H), yang kemudian dirampungkan oleh Imam as-Sanusi (833 H – 895 H), dengan melalui teori sifat dua puluh dan sifat Istighna’ dengan sifat Iftiqar itu. sehingga Ilmu Kalam berjalan sendiri, ilmu Tauhid Sunni lain pula. Sedangkan ilmu Tauhid Salafi mendapat pencerahan kembali, oleh Ibnu Taimiyah (661 H s/d 724 H) dan didukung oleh Ibnu Qayyim, yang tetap textbook , setelah + 400 tahun diimbangi oleh Tauhid Sunni (Asy-Syahrastani, 1997: 211-215).
Karena itu, masyhurlah sebagai peletak dasar–dasar Ilmu Tauhid Sunni yang disandarkan kepada dua Imam; yaitu Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, karena merekalah yang pertama menyusun, mengumpulkan ilmu ini dan menjelaskan dalil-dalilnya secara terperinci, yang berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu diantara berbagai ilmu-ilmu agama lainnya (Zarkasyi, 1994: 36).
B.    Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahl al-Sunnah sebagai berikut:
“Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut “Salaf”, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yakni generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam”. (Ghorbal et.al., 1965: 278).
Dari definisi ini, jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran. Karena itu, Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan mengatakan bahwa istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini menjadi rebutan banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “al-Jama’ah” dalam istilah ini karena mereka menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil –dalil syari’ah yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul. (Hasan, 2005: 3-4).
Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H.
Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga didasarkan pada beberapa hadis yang menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu golongan yang selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka yang melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya.
Pada uraian diatas tentang definisi Ahl al-Sunnah, mereka terbagi menjadi dua generasi, yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut memang terdapat banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat, utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata “yad” (tangan), “ain” (mata),”istawa” (bersemayam).
Generasi Salaf, mempercayai kebenaran kata-kata tersebut dan membenarkannya tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin Saad, tentang ayat-ayat yang berisi sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: Artikan seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana!. Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata “istawa” bagi Allah. Beliau menjawab: “Duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya itu tidak diketahui; mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan hal itu adalah bid’ah”. (Hasan, 2005: 10).
Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi keislaman yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan lain sebagainya. Lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Sa’id Al-Kullab (w. 240 H) yang dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255 H), mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang muncul sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi Kholaf menerima penggunaan dalil-dalil ‘aqli sebagai penyeimbang dalil naqli. Itulah yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11).
Generasi Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah. Penafsiran itu disebut “Ta’wil”, seperti kata “Yadullah” diartikan dengan “kekuasaan Allah”, “Ainullah” diartikan “pengawasan Allah”, kata “Istawa” diartikan “mengatur”.
C.    Sejarah Perkembangan Kalam Sunni
Matoritas umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut doktrin ini dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun demikian, secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik pada masa awal Islam. Ketegangan-ketegangan ini diekspresikan dalam istilah teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syi’ah. (Saleh, 2004: 97).
Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi Asy’ari, terdapat buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah dipergunakan jauh sebelum masa al-Asy’ari. Istilah ini telah dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari al-Quran dan Sunnah dalam soal-soal agama. Orang-orang tersebut, pada masanya lebih dikenal dengan Ahli Hadits dan terutama terdiri atas para Sahabat Nabi dan Tabi’in.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam pertumbuhannya, Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi, tetapi baru berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in yang dikenal memiliki aliran masing-masing, Kaum Sunni pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah, sampai kemudian terdapat empat mazhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Didalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental.
Perkembangan mazhab tersebut sangat pesat dikarenakan beberapa faktor, diantaranya:
1.    Pendapat mereka dibukukan, tidak seperti ulama salaf.
2.    Adanya murid yang menyebarkan, mempertahankan dan membela pendapat mereka.
3.    Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang diambil oleh hakim harus berasal dari suatu mazhab, sehingga dalam berpendapat tidak adanya dugaan yang negatif karena mengikuti hawa nafsu dalam mengadili.
Sedangkan masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum Sunni mengikuti Imam Asy’ari (yang kemudian disebut Asy’ariyah) dan al-Maturidi (disebut Mauridiyah).
Berikut sedikit ulasan tentang kedua tokoh tersebut, pemikiran mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut berperan dalam mengembangkan ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut:
1.    Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari
Lahir di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Imam Asy’ari semula menjadi pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor yang mejadikan Imam Asy’ari memisahkan diri dari paham Mu’tazilah antara lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asy’ari terhadap pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan wahyu atau nash.
Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, yang melakukan pemaksaan faham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama yang berpengaruh.
Ketiga, dalam pengasingan Imam Asy’ari selama lima belas hari (ada yang mengatakan selama empat puluh hari) melakukan perenungan dan istikharah. Konon beliau mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela as-Sunnah.
Pemikiran-pemikiran Imam Asy’ari antara lain: beliau menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asy’ari juga menentang faham “Keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa al-wa’id). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18).
Aliran Asy’ariyah ini memperoleh pengikut terbanyak dilingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu mazhab Syafi’i dan Maliki. Mengingat Imam Asy’ari sendiri dalam hal fiqh menjadi pengikut mazhab Syafi’i, sedangkan dukungan dari mazhab Maliki karena diantara sebagian tokoh-tokoh besar Asy’ariyah menganut mazhab Maliki, diantaranya al-Baqillani dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23). Ilmu Kalam Imam Asy’ari yang sering juga disebut sebagai paham Asy’ariyah, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya terdapat pada seseorang yang dalam masalah Kalam menganut paham Asy’ariyah. Mengenai hal ini, terdapat pendapat yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan sebutan Kyai Saleh Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat populer tentang perpecahan umat. Beliau mengatakan:
…Wus dadi prenca2 umat ingkang dihin2 ingatasé pitung puluh loro pontho, lan bésuk bakal pada prenca2 sira kabéh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabéh ing dalem neraka. Ana déné ingkang sewiji ingkang selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dén lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iyaiku ‘aqâ’idé Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah lan Mâturîdiyyah (Samarani, tt: 27-28).
Imam Asy’ari  mendapatkan kehormatan besar karena solusi yang ditawarkannya mengenai permasalahan klasik dibidang Ketuhanan antara kaum “liberal” dari golongan Mu’tazilah dan kaum “konservatif” dari golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori empat Imam Mazhab Fiqh). Salah satu solusi itu adalah tentang masalah manusia dan perbuatannya, Imam Asy’ari tidak bebas seperti paham Qadariyyah dan juga tidak terpaksa layaknya paham Jabariyyah, tetapi diantara keduanya. Imam Asy’ari  mengajukan teori Kasb (al-Kasb, acquisition, perolehan). Menurutnya perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keadaan terpaksa. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan oleh Allah, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggungjawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan Kasb, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan diputuskan sendiri. (Madjid, 2000: 210).
Ajaran-ajaran Imam Asy’ari dapat diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya setelah keluar dari Mu’tazilah, terutama dari kitab Al-luma’ fi ar-Raddi ‘ala Ahli az-Zaighi wa al-Bida’ dan kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, serta kitab Maqalat al-Islamiyin.
Ø    Al-Baqillani
Dia adalah salah satu tokoh yang mempunyai andil penting dalam penyebaran Asy’ariyah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia mempelajari ajaran-ajaran Asy’ariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu Hasan al-Bahili, keduanya adalah murid langsung Imam Asy’ari.
Tetapi dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara Imam Asy’ari dan al-Baqillani, diantaranya masalah “perbuatan Manusia”. Menurut Imam Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia diberi daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya tersebut tidak efektif jika tanpa kehendak Allah. Imam Asy’ari menyebutnya sebagai “Kasab”. Sedangkan menurut al-Baqillani manusia diberi oleh Allah daya dalam dirinya dan manusia dengan daya tersebut mempunyai peran yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. (Hasan, 2005: 19).
Ø    Al-Juwaini
Tokoh penting selanjutnya adalah al-Juwaini, yang dikenal dengan Imam al-Haramain. Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini dikenal sebagai pendukung dan pembela Asy’ariyah, namun dalam pandangan-pandangan Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asy’ari, antara lain: masalah antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia berpendapat bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah harus dita’wilkan.
Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit berbeda dengan al-Baqillani, menurutnya manusia diberi daya oleh Allah untuk mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari Allah (Hasan, 2005: 20).
Ø    Al-Ghazali
Pada awal abad ke-6 Hijriah, Kaum Sunni khususnya kalangan Asy’ariyah mendapat tokoh besar, yakni Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi (451-505 H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan, persia utara, propinsi yang telah banyak melahirkan orang-orang Islam yang jenius dalam berbagai macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64).
Al-Ghazali pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam Asy’ariyah terbesar pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika dikemudian hari dia menjadi pengikut aliran Asy’ariyah. Dengan modal logika yang diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang dialektikus di bidang agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan berpengaruh.
Meskipun al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang berlebihan dalam menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan ajaran aqidah Syari’ah maupun Tasawwuf, tapi al-Ghazali dengan cerdas membela ajaran Asy’ariyah yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah dan secara proporsional.
Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui mujadalah kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis, karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi debat-debat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang sia-sia (Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21).
Jasa al-Ghazali yang sangat besar adalah keberhasilannya mempertemukan tiga dimensi kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan Tasawwuf, dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya (Fuqaha’, Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama berabad-abad saling berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali diabadikan dalam karya agungnya Ihya’ Ulumiddin, dan secara praktis figur al-Ghazali merupakan teladan dan panutan.
Dikalangan Kaum Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah Ilmu Kalam yang banyak dipakai adalah al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan sebagai induknya adalah Ihya’ Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni lebih menempatkan al-Ghazali sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin karena dalam dua disiplin ilmu tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak bersifat analisa-analisa kritis daripada berupa paparan-paparan diskriptif yang lebih gampang dicerna (Jahja. 1996: 260-261).
Ø    As-Sanusi
Pada abad ke-9 H lahir tokoh Asy’ariyah yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal dengan Imam Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22). Penyebaran konsep kalamnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya sangat populer di Indonesia. Ia membaginya kedalam tiga macam, yaitu: Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu dikelompokkan menjadi:
Ø    Sifat Nafsiyah: Wujud
Ø    Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa’, Mukhalafah lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat.
Ø    Sifat Ma’ani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor dan Kalam.
Ø    Sifat Ma’nawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran dan Mutakalliman.
Karya-karyanya yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain: Syarah Tijan ad-Darari, Kifayatu al-Awam, ‘Aqidah al-Awam, Ummi al-Barahim dan lain-lain.
2.    Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu Manshur al-Maturidi. Dialah pendiri aliran yang dikenal oleh kaum Sunni dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi yang belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin Muqatil ar-Razi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 228 H). Al-Maturidi mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub al-Anshori (Hasan, 2005: 24).
Sebagaimana Imam Asy’ari, sebagai Kaum Sunni al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah). Namun apabila dibandingkan antara al-Maturidi dan Imam Asy’ari dalam penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan kebenaran, maka al-Maturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal itu dipengaruhi oleh visi dan wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi yang dikenal sebagai Mazhab Ahlu ar-Ra’yi. Para pengikut al-Maturidi lazim disebut aliran Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini sebagian besar dari pengikut mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh).
Al-Maturidi memberikan dua argumen mengapa kita perlu menggunakan dalil-dalil ‘aqli, yaitu: Pertama, al-Quran banyak sekali menganjurkan manusia menggunakan akal dan nalarnya secara kritis untuk memahami fenomena yang ada di alam ini atau pada diri mereka sendiri, untuk menuju ma’rifatullah.  Sebagai contoh, pada surat an-Nahl yang berturut-turut disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14 dan 15 diakhiri dengan kalimat:
لقوم يتفكرون
“…. bagi kaum yang berfikir”.
لقوم يعقلون
“…. bagi kaum yang memahami”
لقوم يتذكرون
“…. bagi kaum yang dapat mengambil pelajaran”
لعلكم تشكرون
“…. supaya kamu bersyukur”
لعلكم تهتدون
“…. supaya kamu mendapat petunjuk”

Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata bahwa sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam tersebut dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai “berfikir” sampai “mendapat petunjuk” adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas wawasan dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebagai hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27).
Kedua, kondisi lingkungan yang dihadapi al-Maturidi, merupakan tempat dan waktu dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral. Al-Maturidi mengatakan bahwa peranan akal untuk melengkapi dalil / hujjah agama, membuat analisa kemudian menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran dan membela keyakinan agama dari orang-orang mengingkari atau menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan, 2005: 28).
Ø    Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid al-Maturidi dan ia mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Walaupun al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia tidak selalu sepaham dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi sendiri) dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika Golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, maka Golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih dekat dengan Asy’ariyah (Hasan, 2005: 29).
Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara Golongan Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram maka perbedaan itu akan seperti berikut:
Keterbukaan Terhadap
        Peranan Akal

Asy’ariyah
Mu’tazilah
Maturidiyah
               Samarkand                     Bukhara

D.    Ulama-ulama pendukung Asy’ari dari zaman ke zaman:
1.    Al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani (w 403 H)
2.    Ibnu Faurak (w.406 H)
3.    Abdul Qahir al-Baghdadi (w 429 H)
4.    Al-Qadi Abu at-Taiyyib at-Tobari (w 450 H)
5.    Abu Bakr al-Bayhaqi (w 465 H.)
6.    Abu al-Qasim al-Qusyayri (w 465 H.)
7.    Abu Ishaq asy-Syairazi (w 476 H)
8.    Imam al-Haramayni al-Juwayni (419-478 H)
9.    Imam al-Ghazali (w 505 H)
10.    Ibnu Taumarat al-Maghribi (w 524 H)
11.    Asy-Syahrastani (w 548 H)
12.    Imam al-Fakhruddin ar-Razi (w 606 H)
13.    Al-Baidhawi (w 701 H)
14.    As-Said asy-Syarif al-Jurjani (w 816 H)
15.    Imam as-Sanusi (833-895 H), dan lain-lainnya yang tersebar di dunia Islam sampai sekarang (Anwar, 2001: 117).
E.    Pemikiran Kalam Sunni
Sepanjang perjalanan aliran Asy’ariyah maupun Maturidiyah, mereka selalu meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran), karena menyadari bahwa yang memegang “kebenaran absolut” hanyalah Allah saja, sedangkan kebenaran yang diklaim manusia hanya “kebenaran relatif” sebatas kemampuan akalnya dalam memahami dan menafsirkan “kebenaran absolut” tersebut, manusia harus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannya dalam  menagkap dan memahami suatu kebenaran.
Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis hanya memproritaskan pada masalah-masalah yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., al-Baghdadi, 1987: 300-303):
1.    Tentang ke-Maha Esaan Allah
Didalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua golongan dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan Allah itu dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan lain-lain.
Ke-Maha Esaan Allah didalam istilah Ilmu Kalam mencakup tiga macam, yaitu: Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Af’al.
2.    Nama dan Sifat Allah
Menurut Asy’ariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi berada pada Dzat-Nya. Hanya saja menurut Asy’ariyah sifat-sifat Allah itu dibagi menjadi Sifat Dzatiyah yang Qadim, Sifat Fi’liyah yang tidak Qadim atau tidak Azali. Sedangkan Maturidiyah menganggap semua sifat Allah itu Qadim atau Azali.
3.    Al-Quran Firman Allah
Firman Allah, didalam pemahaman Ahl al-Sunnah, dibedakan dalam dua pengertian, yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang abstrak tidak berbentuk) dan Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang diturunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk huruf atau kata-kata).
4.    Melihat Allah di Akhirat
Baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang Mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya adalah Surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7‹Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4’n<Î) $pkÍh5u‘ ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena melihat kepada Tuhannya”.
5.    Tentang Perbuatan Manusia
Asy’ariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai “tempat perbuatan” tersebut. Teori Asy’ariyah dikenal dengan al-Kasb, sedangkan menurut konsep Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia (kholqu al-istitho’ati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaian daya tersebut (isti’malu al-istitho’ati).
6. Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka hukumnya terserah kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki iman. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48 dan 116 :
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç„ ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o„
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…”
7.   Tentang Kenabian dan Kewalian
Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada Nabi lagi, karena Beliau adalah Nabi Terakhir. Seperti Firman Allah dalam Surat al-Ahzab ayat 40 :
$¨B tb%x. JptèC !$t/r& 7‰tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh‘ `Å3»s9ur tAqß™§‘ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
Termasuk sifat para Nabi adalah ‘Ishmat al-Anbiya’ (keterjagaan para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang memperoleh hak “ishmah” atau “ma’shum” itu hanya para Nabi atau Rasul saja, dan manusia lain tidak ada yang ma’shum, termasuk para wali, paa Imam dan ulama maupun para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asy’ariyah memndang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak pendapat tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa kecil, maka itu terjadi sebelum menjadi Nabi atau Rasul.
Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yang mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak seperti para Nabi, mereka adalah “Auliya’”. Para Wali itu tidak ma’shum seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu dijaga (mahfudh) dari perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukan tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukan kekeliruan atau kesalahan ringan.
8.    Tentang Mukjizat dan Karomah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah meyakini bahwa  semua peristiwa dan kejadian yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah. Tetapi secara prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai dengan “Sunnatullah”, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul ‘aadah), berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain “Amrullah”.
Singkat kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali, yang dianggap sebagian orang sebagai khariqul ‘aadah, adalah merupakan Amrullah, bukan Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak Allah sendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula.
Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan kebenaran da’wahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu untuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para Wali tidak harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu karomah bukan untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya, malah banyak para Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena khawatir menimbulkan fitnah.
9.    Tentang Kepemimpinan Umat
Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui dan membenarkan kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali bin Abi Thalib r. anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-beda, tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad.
10.    Tentang Metafisika dan Keakhiratan
Dalam teologi Ahl al-Sunnah, banyak masalah ghoib (metafisika) ini yang wajib diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh yang mempunyai sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama jasadnya, Alam Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, Siksa Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Ba’ats, Hari Mahsyar, adanya Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan (neraca), Shirat, Syafa’at, Surga dan Neraka. Begitu juga hal-hal lain, seperti Malaikat, Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain sebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu semua.
III.    Penutup
Kaum Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam yang pandangan-pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar Kaum Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak masa para Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri sendiri. Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Dalam kajian Ilmu Kalam ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H.
Adalah Imam Asy’ari, seorang pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa tokoh Mutakallimun dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara lain: al-Maturidi, al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan al-Bazdawi.
Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam antara lain:
1.    Tentang Ke-Maha Esaan Allah
2.    Nama dan Sifat Allah
3.    Al-Quran Firman Allah
4.    Melihat Allah di Akhirat
5.    Tentang perbuatan Manusia
6.    Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
7.    Tentang Kenabian dan Kewalian
8.    Tentang Mukjizat dan Karomah
9.    Tentang Kepemimpinan Umat
10.    Tentang Metafisika dan Keakhiratan
Demikian sedikit penjelasan tentang sejarah pemikiran Kalam Sunni serta pemikirannya. Tentunya tak ada gading yang tak retak, karena keterbatasan penulis dan kebenaran yang absolut hanya milik Allah saja. Akhirnya, semoga bermanfaat. Amin.

KALAM SUNNI
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)

Makalah Revisi
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Suparman Syukur, M. A.

Maulana Malikuddin
115 112 038

PRORAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
2011
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim.
Amin, Ahmad, 1924, Fajar al –Islam, Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-Misriyah.
Anwar, Rosihan, dkk., 2001,  Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Asy’ari, Imam Abu al-Hasan al-, 1987, Ushul Ahlissunnah Wal Jama’ah (Risalah Ahli al-Tsaghr), Edisi Dr. Muhammad Sayid al-Hulainid, Kairo: Matba’at at-Taqaddum.
Baghdadi, Ibn Thahir al-, 1987, Kitab al-Farq Bayn al-Firaq wa Bayan al-Firqah al-Najiyah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), Beirut: Dar al-Jayl.
Ghazali, al-, 1970, al-Risalat al-Laduniyyah, Muhammad Musthafa Abu al-‘Ala (ed.), Juz I, Maktabat al-Jundi.
Ghorbal, Syafiq et.al. (ed.), 1965, Encyclopedies, al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah, Kairo: Dar al-Qolam.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Ahlussunah Wal-Jama’ah – Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press.
Jahja, Zukani, 1996, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish, 2000, Islam: Doktrin dan Peradaban,-Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.
Marmura, Michael, Sunni Islam: The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. 4.
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam, Jakarta: UI Press.
Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Samarani, Haji Muhammad Shalih ibn Umar, tt, Tarjamat Sabil al’Abid ‘ala Jawharut al-Tauhid.
Syahrastani al-, 1997, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr.
Syahrastani al-, 1968, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Kairo: al-Halabi.
Taimiyah, Ibn, 1903, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyyah, vol. 1, Kairo: Matba’at al-Kubra al-Amiriyah.
Zahrah, Muhammad Abu, tt, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Juz I, Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.
Zarkasyi, K.H. Imam, 1994, Ushuluddin, Gontor Ponorogo; Tri Murti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar