Sabtu, 30 Maret 2013

kata mutiara Imam Ali

Kata mutiara ali bin abi thalib r.a
Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib R.A - anda bisa membaca beberapa kumpulan kata-kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib R.A ini di bawah ini :


“Selemah-lemahnya manusia adalah orang yang tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yang telah dicari!”. (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani.” (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal: kepercayaan; cinta; dan rasa hormat.” (Dari Ali Bin Abi Thalib).

“Penyakit jiwa sifatnya jauh lebih buruk daripada penyakit raga.” (Dari Ali Bin Abi Thalib).

“Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.” (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yang mensia-siakan sahabat yg telah dicari.” (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Perkataan sahabat yang jujur lebih besar harganya daripada harta benda yang diwarisi dari nenek moyang.” (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Barangsiapa yang tidak menguasai matanya, maka hatinya tidak akan ada harganya.” (Dari Ali Bin Abi Thalib). 

“Sesungguhnya ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.” (Dari Ali Bin Abi Thalib).



"Setiap orang yang sedang disusul oleh kematian meminta lebih banyak waktu. 
Sementara semua orang yang masih memiliki waktu membuat alasan untuk menunda-nunda". (Ali bin Abi Thalib)


"Pengetahuan adalah teman saya, adalah dengan aku kemanapun aku pergi. Hatiku adalah wadah, bukan rak buku". (Ali bin Abi Thalib)

'Ilm (pengetahuan) tanpa' aql (kecerdasan) adalah seperti memiliki sepatu tanpa kaki. Dan 'Aql tanpa' ilm adalah seperti memiliki kaki tanpa sepatu. (Ali bin Abi Thalib)

"Teman sejati Anda adalah orang yang berpartisipasi dalam usaha Anda dan demi keuntungan Anda, dan siap untuk menderita kerugian". (Ali bin Abi Thalib)

"Kemarahan dimulai dengan kegilaan dan berakhir dengan penyesalan. (Ali bin Abi Thalib)

"Seorang teman tidak bisa dianggap teman sampai ia diuji dalam tiga kesempatan; di saat membutuhkan, di belakang Anda, dan setelah kematian Anda. (Ali bin Abi Thalib)


"Kemurahan hati Allah terhubung ke rasa syukur, dan syukur adalah terkait dengan peningkatan kemurahan-Nya. Kemurahan hati Allah tidak akan berhenti meningkatkan kecuali rasa terima kasih dari hamba berhenti. (Ali bin Abi Thalib
"Orang yang berpikir dan mengembangkan mencerminkan pandangan ke depan dan Visi. (Ali bin Abi Thalib)


"Apakah aku tidak memberitahu Anda siapa Faqeeh sebenarnya? Dia adalah salah satu yang tidak membuat orang putus asa rahmat Allah, namun ia tidak memberikan mereka konsesi untuk tidak mematuhi Allah. Dia tidak membuat mereka merasa aman dari rencana Allah dan dia tidak meninggalkan Al-Qur'an. (Ali bin Abi Thalib)



"Di antara perbuatan, ada empat yang paling sulit untuk menghiasi diri dengan: 1) Pengampunan ketika marah; 2) Kedermawanan di masa sulit; 3) Kesucian saat sendirian; Dan 4) Berbicara kebenaran dengan salah satu yang ketakutan itu. (Ali bin Abi Thalib)

"Diam adalah jawaban terbaik untuk orang bodoh
Kerendahan hati adalah hasil dari pengetahuan.
Forgivness adalah mahkota kebesaran.
Untuk membantu salah untuk menindas kanan.
Persahabatan tidak mungkin dengan seorang pembohong.
Permusuhan adalah pendudukan bodoh.
Kebanggaan blok kemajuan dan kebesaran kerusakan.
Menawarkan masalah dari pikiran kecil.
Tidak ada yang lebih dihormati daripada orang saleh.
Lidah Anda berbicara tahu apa itu terbiasa.
Perilaku seseorang adalah indeks ke pikiran seseorang. (Ali bin Abi Thalib)

"Kesabaran (Al-Sabar) menuju kepercayaan (Al-Iman) adalah seperti kepala ke seluruh tubuh: jika kepala terputus, maka tubuh akan membusuk. Dan orang yang memiliki kesabaran, memiliki iman. (Ali bin Abi Thalib)

Makassar 30 Maret 2013

Rabu, 27 Maret 2013

Suhrawardi

Biografi Suhrawardi


Syaikh Syihab Al-Din Abu al-futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, Iran Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. ia dikenal dengan syaikh al-isyraq atau Master of illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan Al-Maqtul (Yang Terbunuh). Julukan Al-Maqtul bekaitan dengan kematiannya yang dieksekusi.
Al-Suhrawardi belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, yaitu Majduddin Al-jili, guru Fakhruddin Al-Raji. Dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan Al-Sawi, penyusun kitab Al-Bashair Al-Nashiriyyah. Selain itu ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis. Dan di Halb ia belajar kepada Al-Syafir Iftikharuddin.
Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan Tasawuf ditambah kecerdasannya yang tinggi, dalam kitab Thabaqat Al-Athiba menyebutkan bahwa Suhrawardi sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul Fiqih, begitu cerdas pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.
Karena kepiawaian Suhrawardi mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas, dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fiqih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu Al-Barakat al- Baghdadi yang anti Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb (Aleppo) Suhrawrdi di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zhahir Syah anak dari sultan Shalahuddin Al-Ayyubi al-Kurdi.
A.     Karya Karya Suhrawardi
Karya tulisan Suhrawardi tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan Gnostik dalam bahasa arab dan persia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokan karya Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu:
1.      Berisi pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penapsiran dan modipikasi terhadap filsafat Paripatetis ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa arab, yaitu: Talwihat, Muqowamat, Mutharahat, dan Hikmat Al-Isyraq. Hikmat Al-Isyraq merupakan karya terahir yang secara seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah. Pembahasan buku ini bertitik tekan pada cahaya Tuhan, setelah sebelumnya di lakukan kritik terhadap Filsafat Paripatetik.
2.      Karangan pendek tentang Filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil Al-Nur, Al-Alwah al- Imadiyah, Partaw-namah, fi Itiqadi al-Hukama, al-lamahat, yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub.
3.      Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya dibahas dalam bahasa Persia, meliputi Aqli-Surkh, Awaj-i Par-i |Jibrail, al- Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al- Thifuliyah, Ruji Bajamaat-i Shufiyan, Risalah fi al-Miraj, dan Syafir-i Simurgh.
4.      Komentar dan terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-thair karya ibnu Sina diterjemahkan kedalam bahasa persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-Isyqi, yang terpusat pada Risalah ibn Sina Fi al-Isyqi; serta sejumlah tafsir Al-Quran dan Hadis Nabi.
5.      Doa-doa yang lebih dikenal dengan Al-Waridat wa Al-Taqdisat (Doa dan pensucian).
B.     Filsafat Illuminasi Suhrawardi
Hikmah Al-Suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiyah, yang bernama illuminasi (Kasyf). Menurut suhrawardi, hikmah ini dikenal juga sebagai hikmah masyriqiyah (kebijaksanaan timur), sebagaimana yang disebut- sebut ibn Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan timur, yaitu orang-orang Persia. Adapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada illuminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecemerlangannya, dan kelimpahannya pada jiwa sewaktu jiwa menjadi bebas.
Dalam Filsafat Illuminasi Suhrawardi menyabutkan sumber dan hasil Illuminasi sama-sama menggunakan istilah Nur (cahaya). Istilah susunan dan cahaya-cahaya disamakan juga dengan susunan kemalaikatan. Istilah cahaya dan gelap berati juga ruh dan materi.cahaya-cahaya (anwar) adalah nama lain dari akal-akal, Al-Anwar al-Qahirah untuk menyebut akal-akal Planet, al-Anwar al-Mujarradat untuk jiwa-jiwa manusia, dan Nur al-Nur untuk menyebut Allah, al-Jauhar al-Ghasiq sebagai tubuh (Jism), dan alam barjah-barjah sebagai alam tubuh-tubuh.
1.    Metafisika dan Cahaya
Inti Filsafat Illuminasi adalah sifat dan penyebaran cahaya, dan cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tidak dapat didefinisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak memerlukan definisi, maka jelaslah cahaya, seperti entitas yang paling terang di dunia ini tidak membutuhkan definisi juga sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus menembus kedalam susunan setiap entitas, baik fisik maupun nonfisik, sebagai sebuah komponen yang esensial darinya. Segala ssuatu selain cahaya murni adalah tersusun dari sesuatu yang tidak membutuhkan subtratum yang merupakan substansi gelap, atau dari bentuk substansi ini, yaitu adanya kegelapan parse, dan sejauh benda-benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, ia dapat disebut ismus-ismus (bentuk tunggalnya:barjah). Yang dipandang dari dirinya sendiri bahwa setiap ismus itu adalah gelap dan cahaya apa pun yang dimilikinya harus berasal dari sumber luar.
2.      Hubungan antara cahaya dan gelap bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan antara eksistensi dan noneksistensi.menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaanya sebagai kenyataan, yaitu kegelapan,yang harus diteranginya supaya ia menjadi dirinya sendiri. Cahaya primordial ini merupakan sumber semua gerak. Tapi geraknya bukan perubahan tempat, hal itu disebabakan cinta akan penerangan yang membentuk esensinya, dan mendorongnya seakan-akan, mempercepat hidupnya segala sesuatu dengan menumpahkan sinarnya sendiri kedalam kemaujudan mereka. Jumlah penerangan yang mengalir darinya tidak terbatas. Penerangan yang semakin terang, pada gilirannya, menjadi sumber penerang lain; dan skala kecerahan berangsur turun kepenerangan yang terlalu lemah untuk melahirkan lain, semua penerangan ini adalah media atau, dalam bahasa Teologi,Malaikat, yang melaluinya segala keanekaragaman tak terbatas maujud menerima kehidupan dan makanan dari cahaya pertama.
Penerangan cahaya Orisinil dapat dibedakan kepada dua, yaitu:
1.      Cahaya Abstrak (misalnya Intelek, Universal maupun Individual). Ia tidak berbentuk, dan tidak pernah menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (substaqnsi). Darinya datang berbagai bentuk cahaya setengah sadar, atau sadar akan dirinya, yang berbeda satu sama lain dalam jumlah kilaunya, yang ditentukan oleh perbandingan kedekatan atau jarak mereka dari sumber utama keberadaan mereka. Intelek atau jiwa individual hanyalah suatu salinan yang lebih redup, atau suatu refleksi lebih jauh cahaya pertama. Cahaya abstrak mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri, dan tidak memerlukan suatu non ego untuk mengungkapkan eksistensinya kepada dirinyua sendiri. Kesadaran atau tahu diri, karenanya, adalah esensi cahaya Abstrak, sebagai terkenali dari peniadaan cahaya.
2.      Cahaya Aksiden (Atribut), yaitu cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (misalnya sinar bintang, atau keterlihatan benda-benda angkasa lain), cahaya aksiden, atau yang lebih tepatnya cahaya yang dapat diinderai, ialah suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan oleh jaraknya, telah kehilangan intensitasnya, atau kehilangan ciri substansi induknya. Proses refleksi berkesinambungan adalah benar-benar suatu proses yang melemah; penerangan yang berturut-turut berangsur-angsur kehilangan intensitasnya sampai dalam rangkaian refleksi, kita mencapai penerangan tertentu yang kurang kuat yang seluruhnya kehilangan watak mandirinya, dan tidak ada kecuali dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain. Penerangan-penerangan ini membentuk cahaya Aksiden, yaitu atribut yang tidak mempunyai eksistensi mandiri. Karena itu hubungan antara cahaya Aksiden dengan cahaya Abstrak ialah hubungan antara sebab dan akibat. Namun, akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan penyebabnya; akibat adalah suatu transformasi(perubahan bentuk), atau suatu bentuk lebih lemah dari yang diduga sebagai penyebab itu sendiri. Apapun selain Cahaya Abstrak (misalnya, hakikat benda yang terterangi itu sendiri) tidak bisa menjadi penyebab cahaya aksiden; karena yang disebut terahir ini, disebabkan semata-mata bergantung dan akibatnya bisa tertiadakan, bisa dijauhkan dari benda-benda tanpa mempengaruhi karakter benda-benda itu. Jika esensi, atau sifat benda yang tersinari, telah menjadi penyebab cahaya aksiden, suatu proses tidak berpenerangan tidak bisa menjadi mungkin.
Dari segi hubungan, cahaya dapat dibedakan kepada cahaya bagi dirinya dan cahaya yang menyinari hal-hal yang lain diluar dirinya. Selain itu, cahaya murni memiliki Chierarki Vertikal (thabaqat thul). Pada puncak sekala cahaya murni berdiri cahaya niscaya, kepadanya tergantung seluruh rentetan cahaya yang ada dibawahnya. Sebagai asal atau sumber segala cahaya yang lain, cahaya ini harus ada secara niscaya. Rentetan cahaya itu haruslah berjuang pada cahaya pertama atau niscaya, sebab tidak mungkin ada suatu gerak mundur yang tidak terbatas. Suhrawardi menyebutkan cahaya niscaya sebagai Cahaya Segala cahaya, cahaya yang mandiri, cahya suci, dan sebagainya.
Cahaya segala cahaya bersifat Esa, cahaya niscaya ini menimbulkan melalui suatu proses Emanasi, cahaya pertama (Nur al-Awwal), yang jumlahnya satu dan tidak tersusun karena tidak mungkin bahwa sebuah Entitas yang tersusun dari cahaya dan kegelapan, akan memancar dari sebuah realitas yang sama sekali bebas dari kegelapan. Cahaya pertama ini berbeda dengan sumbernya dalam tingkat kesempurnaan.
Cahaya pertama memiliki watak ganda karena tergantung kepada cahaya segala cahaya. Karena kekurangan yang sangat dalam dalam dirinya sendiri dan limpahan karunia, melalui cahaya segala cahaya, ketika ia memahami kekurangan atau sifat gelapnya, ia melahirkan bayangan pertama, Suhrawardi menyebutnya “Ismus (barzah) tertinggi” (yaitu semacam, langit terjauh dalam kosmologi. Neo-Platonis). Ketika ia memahami kekurangannya dalam kaitan dalam sumbernya ia melahirkan cahaya kedua. Yang terakhir kemudian melahirkan sebuah cahaya dan juga sebuah Ismus (yaitu bola langit angkasa), dan proses itu terus berlangsung hingga kita sampai kepada Ismus atau bola kesembilan dan dunia unsur-unsur dibawahnya. Tentang rentetan cahaya yang memancar dari cahaya niscaya, suhrawardi mengatakan bahwa rentetan itu tidak berhenti sampai yang kesembilan (seperti yang dipertahankan kaum Neo-Platonis ; meskipun begitu, ia tidak yakin bahwa rangkaian ini terbatas bilangannya.

Suhrawardi merumuskan hubungan cahaya-cahaya yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dalam istilah-istilah dominasi (qahr, yang dapat disamakan dengan neikos Empedoclean), adapun hubungan cahaya yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi (menarik) atau cinta (‘isyaq : philia). Dua kekuatan, dominasi dan cinta inilah yang mengatur dunia.
Suhrawardi mengatakan “Bahwasanya dunia yang tersusun dari unsur-unsur dan yang pada hakikatnya adalah panumbara cahaya segala cahaya yang dipancarkan melalui semua tatanan unsur baik yang bercahaya maupun yang tidak bercahaya menjadi abadi sebagaimana penciptanya. Dengan alasan yang pada dasarnya keabadian ini berbau Aristotelian berpautan erat dengan keabadian gerak setiap bagian gerak tergantung pada bagian sebelumnya. Sebagai ukuran gerak juga bersifat abadi, tanpa awal maupun akhir. Karena jika mempunyai suatu awal, maka haruslah didahului baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas atau yang lainnya dalam kedua hal ini, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu.
Maka alam semesta merupakan pancaran dalam (faidh) abadi dari prinsip petama disamping rentetan substansi imaterial atau cahaya yang jumlahnya tertentu seperti yang telah kita lihat, sebuah rentetan entitas-entitas material yang lebih tinggi (benda-benda langit) memancar secara langsung dari cahaya segala cahaya atau Tuhan. Dari benda-benda lngit ini memancar benda-benda “elemental” dunia bawah bulan. Benda-benda ini dikatakan elemental, karena mereka pada akhirnya berasal dari sebuah “materi umum”, yang disebut oleh kaum Iluminasionis sebagai ismus primordial. Bentuk-bentuk elemental yang sederhana, dan juga bentuk-bentuk inorganik yang tidak sederhana atau organik, mempengaruhi materi umum melalui rotasi ; udara diubah menjadi akhir, air menjadi tanah, tanah menjadi udara, udar menjadi api. Kemampuan untuk berubahini, menurut Al-Suhrawardi, membuktikan bahwa empat unsur utama kaum paripatetik tidaklah utama, karena mereka tunduk kepada perubahan (permutasian) yang tidak ada ujungnya ini dan, atas dasar itu, tidaklah mengandung sifat atau bentuk esensial apapun.

Gerak benda-benda terestrian dapat dirujukan baik kepada cahaya tertinggi, yang merupakan sumber segala wujud, maupun kepada cahaya yang lebih rendah dari hierarki bercahaya yang memancar darinya. Panas mempunyai peranan utama dalam proses alamiah ; yang menjadi sebab jatuhnya batu, menyerapnya air, menguapnya uap air ketiak hujan, terjadinya halilintar dan kilat, bukanlah alam, seperti yang dituntut kaum paripatetik melainkan panas. Baik panas maupun gerak, yang sangat dekat dengan panas , pada akhirnya bersumber pada sebuah cahaya tertentu. Satu-satunya entitas yang menyebabkan jauh dekatnya sesuatu adalah cahaya. Dan karena cinta dan dominasi berasal dari cahaya, dan gerakan serta panas dihasilkan olehnya, maka cahaya adalah dasar bagi nafsu, selera dan marah, dan keinginan terus-menerus untuk menimbulkan gerak. Dengan alasan ini, dan karena kemuliaannya, api bersama-sama dengan cahaya, patut menerima penyembahan atau pemujaan, seperti yang dipraktekkan oleh orang persia.
percampuran kualitas-kualitas yang berlawanan pada benda-benda tertentu, maka entitas-entitas fisik dan terestrial muncul. Unsur yang paling dominan dalam entitas-entitas itu adalah cahaya, yang disebut sfendarmudh, yang azimat adalah tanah. Gabungan yang paling sempurna menghasilakn manusia, yang kesempurnaanya berasal dari cahaya segala cahaya melaui perantaraan ini. Roh suci menganugerahkan kepada embrio, segera setelah ia menerimanya, cahaya manusia atau jiwa, yang disebut isfahbad kemanusiaan. Ciptaan atau pancaran cahaya ini tidak mendahului pormasi tubuh, karena manifestasinya dalam diri perseorangan tergantung pada tubuh. Lagi pula, andaikan cahaya-cahaya itu abadi atau tidak dicipta maka baik cahaya-cahaya itu maupun prototipenya dalam dunia imaterial haruslah tidak terhingga tetapi yang demikian itu adalah mustahil.
Cahaya manusia dapat disamakan dengan buah kecakapan jasmani : kegairahan (passionate), yang prototipenya adalah daya dominasi, dan apetitip, yang prototipenya adalah cinta. Daya-daya jasmani yang lebih rendah, seperti memelihara dan berkembangbiak, timbul dari perhubungan tubuh yang bermacam-macam denagn cahaya dan dapat dipandang sebagai manifestasi-manifestasi ragawi yang begitu banyak dari cahaya terestrial perbedaan antara cahaya dengan tubuh terjadi oleh keadaan hubungan cahaya dengan tubuh itu.
Roh adalah alat cahaya terestrial dalam mengarahkan tubuh. Roh meresap kedalam tubuh dan menghubungkan, kepada berbagi organnya, cahaya yang dikaruniakan oleh cahaya terestrial. Meskipun begitu perbedaan-perbedaan dalam fungsi mereka tidaklah mengikut sertakan prbedaan organ atau kecakapan, sehingga sensus communis, kecakapan estimatif dan imajinatif, adalah berbeda dengan pernyataan ibn Sina, satu dan sama. Semua fungsi-fungsi ini dapat dikembalikan kepada cahaya terestrial, yang memahami objek-objek indra melalui pperantaraan organ-organ tubuh, yang dapat disebut “indra dari indra”. Tetapi mungkin saja baginya terlepas sama sekali dari organ-organ tubuh, seperti yang disokong oleh para mistikus, yang telah mempunyai visi cahaya yang lebih tinggi, yang lebih terang dari pada penglihatan fisik.

Penggabungan cahaya terestrial dengan materi ditimbulkan oleh keterlibatanya dengan “kekuatan-kekuatan gelap”. Akibatnya ia menjadi terasing dengan dunia cahaya dan terpaksa tinggal dalam tubuh manusia, yang merupakan tempat tinggalnya yang pertamadan tertinggi, menurut para bijaksanawan timur. Dalam renkarnasinya yang belakangan, dapat tinggal dalam bentuk-bentuk hewani yang lebih rendah, tetapi prosesitu tidak dapat dibalik. Suhrawardi sepenuhnya menyadari adanya ketidak serasian pandangan ini dengan pandangan Plato dan Pytagoras. Meskipun begitu ia menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan perpindahan jiwa, sekalipun ia menerima implikasi pandangan Platonik. Pythagorean tentang pelepasan jiwa dari “rantai kelahiran kembali” pada ahirnya. Oleh karena itu terlepasnya cahaya-cahaya yang mengatur, yang tingal dalam tubuh dan mengarahkannya, terjadi ketika tubuh itu bercerai. Perpidahan bukanlah persyaratan niscaya dari pelepasan ini. Karena sampai tarap-tarap tertentu ketika cahaya kaptif ini merindukan dunia cahaya yang lebih tinggi dan tidak direndahkan olehunsur-unsur tubuh, ia akan mampu mencapai kontak (ittishal) dengannya dan pada ahirnya bebas dari belenggu tubuh sama sekali dan bergabung dengan barisan-barisan jiwa-jiwa suci didunia cahaya murni. Meskipun sementara itu terjerat dalam dunia yang lebih rendah ini, jiwa yang telah disucikan dapat menangkap lintasan dunia yang lebih tinggi dan kemegahannya dan juga berbagai daya-daya adikodrati tertentu, seperti meramal dan menguasai peristiwa-peristiwa dimasa depan.
Maka yang demikian itu merupakan pokok filsafat cahaya yang telah dicanangkan ibn Sina dan dikembangkan oleh suhrawardi. Lepas dari unsur mistik dan eksperienalyang merasuki filsafat ini, dasar (grounwork) kosmologi dan metafisikanya tidaklah betul-betul asing. Ia pada hakikatnya merupakan dasar Aviccenian, Neo-Platonik kemana unsur-unsur mistik dan keagamaan tertentu, dari sumber-sumber Zorostrian dan timur lainnya, ditambahkan. Apa yang membedakanya dari Neo-Platinisme tradisional Islam adalah terutama upayanya untuk memanpaatkan sepenuhnya tamsil cahaya, yang seperti telah kita lihat, untuk pertamakalinya dibayangkan ibn Sina dan sepenuhnya dimasukan oleh Zoroastrinisme kedalam pandangan dunia keagamaan dan metafisikanya.
Meskipun ada perbedaan ungkapan atau tekanan-tekanan tersebut, namun pandangan metafisik Suhrawardi pada dasarnya bersifat Aviccenian atau Neo-Platonik. Hal ini dengan baik sekali terlukis dalam sebuah risalah pendek yang berjudul “ Kepercayaan Para Filusuf”, dimana ia berusaha mempertahankan kaum teosifis terhadap kecaman-kecaman dan fitnahan masyarakat luas, yang menuduh mereka tidak berTuhan atau tidak beragama.Suhrawari mengajukan alasan bahwa kaum teosofi percaya kepada keesaan Tuhan, penciptaan dunia dan keputusanNya yang tidak dapat ditawar. Entitas pertama yang diciptakan Tuhan adalah intelek pertama, yang kemudian melalui proses emanasi, menimbulkan intelek lain, dari mana jiwa dan tubuh langit pertama memancar. Proses tersebut terus bergerak kebawah hingga kita sampai kepada intelek terahir dan dunia pembentukan dan penghancuran yang ia kendalikan. Intelek yang palin rendah ini disebut mereka “pemberi bentuk-bentuk” atau Roh Suci. 
Makassar 28 Maret 2013

Minggu, 24 Maret 2013

Jalaluddin Rumi

Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi

“Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.
Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon.
Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
(The Mastnawi 4:30)
Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”
Pembahasan tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan “Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit.” Dengan mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.
Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 53)
Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan ma’rifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”
Maulawi Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.”
Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia ?
Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, “Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar.”Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :
“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”
Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon. Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.
Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan. Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”
Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan menginginkan tubuh betapa  pekebun itu akan menanam pohon.”
Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.
Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.”
Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam, karena alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.
Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat, debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya. Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?
Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.
Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.
“…Setiap individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.”
Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?
Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.
Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya. Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap. Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.
Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :
“Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.”
Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.
Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia. Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :
“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, “aku bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.”

Mulla Shadra

Kearifan Puncak Mulla Shadra

“Mulla Shadra seorang filosof yang sederajat dengan filosof Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti Ibnu Arabi. Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.”
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyah yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.
Ayah Mulla Shadra –Khajah Ibrahim Qiwami– seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Shadra,  setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Shadra.
Sadruddin Muhammad (Shadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Shadra seorang anak yang cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia, Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Shadra yang belum balig waktu itu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari diarynya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.
Sebagian dari pelajaran di atas ia pelajari di kota Syiraz dan sebagian lagi dipelajari sewaktu berumur enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar dengan banyak guru dalam bidang yang beragam dan menyelesaikannya dengan cepat mulai dari pelajaran tingkat pertama, menengah sampai tingkat tinggi.
Mulla Shadra selama Di Qazwin bertemu dengan guru-guru besar seperti Syaikh Bahauddin Amili  dan Mir Damad dan kemudian menuntut ilmu dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia dapat menguasai pelajaran dengan sempurna dan menjadi murid yang paling dihormati dan dicintai oleh kedua gurunya.
Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun 1006 H atau 1598 M) Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya juga hijrah ke kota tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada masa itu, Mulla Shadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan semua pelajarannya.
Tidak diketahui secara pasti selama berapa tahun ia menetap di Ishfahan dan setelah itu ia ke kota mana. Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H atau 1602 M ia hijrah dari Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi warisan kekayaan ayahnya, sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin dan beberapa bagian diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.
Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Shadra adalah salah seorang filosof ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.
Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani bertutur ihwal Mulla Shadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.
Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah (penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.
Kata Mulla Shadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk) dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah atas apa yang telah diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat dalam menghayati secara serius ayat-ayat Al-Quran dan  sebaiknya orang tersebut tidak mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti ini sebaiknya mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa, Sejarah, ilmu Ushul, ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian besar masyarakat haram memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan yang sangat dalam meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci, cita-cita yang tinggi, keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.
Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, jika tidak maka dia tidak akan mungkin sampai pada hakikat ilmu tersebut, bahkan sebaliknya akan menjauhkannya dari jalan yang lurus dan tujuan suci. Seorang filosof yang bijaksana tidak boleh mengajarkan dan mewariskan ilmu itu kepada orang seperti ini.
Kelahiran dan wafat
Mulla Shadra lahir pada tahun 979 H atau 1571 M di kota Syiraz. Ayah Mulla Shadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar.
Syiraz saat itu merupakan kota yang paling tenang dan paling indah di bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja ini sangat mendukung penyebaran agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla Shadra bekerja di kerajaan tersebut dan dihormati masyarakat karena budi-baiknya.
Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu karyanya menulis kisah tentang Mulla Shadra, dikisahkan suatu hari ayahnya pergi dan melimpahkan satu pekerjaan kepadanya, setelah kembali dari safar ia meminta laporan pertanggungjawaban keuangan selama ditinggal, dalam laporannya tertulis ada sejumlah besar uang disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang yang disumbangkan tersebut setara dengan jumlah uang yang dinazarkan ayahnya kepada Tuhan ketika memohon seorang anak. Ketika ayahnya menanyakan alasan penggunaan uang sebanyak itu Mulla Shadra menjawab bahwa uang itu adalah uang nazar yang mesti dibayarkan. Ia sangat terperanjat mendengar jawaban anaknya karena hal itu tidak pernah disampaikan kepadanya.
Mulla Shadra dilahirkan di zaman  dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus secara bertahap filosof-filosof untuk menyiapkan lahan  demi menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi.
Filosof Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di kota Basrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekah dengan berjalan kaki. Filosof Sayyid Abul Hasan al-Qazwini  berkata: empat puluh tahun yang lalu saya bertanya tentang kuburan Mulla Shadra kepada salah seorang Arab yang tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering ke kota Basrah Iraq, orang Arab tersebut menjawab di kota Basrah ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Mulla Shadra Syirazi, tapi peneliti sejarah tidak pernah menemukan tanda-tanda kuburan filosof tersebut mungkin karena pengaruh perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan tersebut hancur, wallahu a’lam bihaqayikil umur.
Guru-guru Mulla Shadra
Mulla Shadra belajar di Qazwin kepada Syaikh Bahauddin Amili dan Mir Damad, setelah ibukota berpindah dari Qazwin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1596 M iapun hijrah bersama kedua gurunya ke kota tersebut dan menyelesaikan pelajaran tertingginya seperti Logika, Filsafat dan Irfan di sana. Mulla Shadra banyak sekali mengambil manfaat dari kedua gurunya tersebut.
  1. 1. Syaikh Bahauddin Amili
Syaikh Bahauddin (953 – 1030 H) walaupun bukan guru pertama Mulla Shadra tetapi merupakan guru yang paling penting dan berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya hingga mencapai kesempurnaan akhlak dan ilmu.
Dia adalah anak dari salah seorang fuqaha Libanon bernama Syaikh  Husain bin Abd ash-Shamad Amili. Kota Jabal Amil salah satu kota yang terletak di selatan dan penduduknya mayoritas Syiah, saat itu di bawah kekuasaan pemerintah Jabbar Usmani yang menyiksa dan membunuh banyak ulama-ulama Syiah, sehingga sebagian ulama-ulama hijrah dan berlindung di bawah pemerintahan Iran Shafawi. Syaikh Bahauddin yang saat itu berumur tujuh tahun bersama ayahnya juga hijrah ke Iran. Ayahnya sebagai Syaikh al-Islam dan menjadi wakil ruhani di kota Harat Khurosan dan Syaikh belajar dan menyelesaikan studinya di Iran kemudian dengan cepat menjadi seorang ulama yang terkenal.
Syaikh menguasai berbagai cabang ilmu seperti Fiqih, Hadis, Tafsir, Adabiyat, Matematika dan Astronomi.
  1. 2. Mir Damad
Mir Muhammad Baqir Husaini yang dikenal dengan Mir Damad adalah salah seorang ulama terbesar di zamannya dan guru terkenal yang mengajarkan filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi), Irfan, Fiqih dan ilmu keislaman. Ayahnya juga seorang faqih dari Istarabad (sekarang Gurgon), di masa muda Mir Damad belajar di Madrasah Khurasan setelah itu menjadi menantu (damad) ulama terkenal dari Libanon Syaikh Ali Karaky yang di kenal sebagai Muhaqqiq kedua dan penasihat agung raja Shafawi, karena ia menjadi menantu ulama tersebut maka gelar Damad yang artinya menantu melekat padanya.
Ia dilahirkan di Khurasan tahun 969 H atau 1562 M, dan menghabiskan masa remajanya di Masyhad ibukota Khurasan. Dia sangat cerdas dan cepat menamatkan semua pelajaran dasar kemudian berangkat ke Qazwin (saat itu ibukota Pars) untuk menyempurnakan ilmunya. Semua tingkatan keilmuan dilalui dengan sempurna dan menjadi seorang ulama dan guru yang terkenal.
Mulla Shadra semasa remaja bersama ayahnya ke Qazwin bertemu dengan Mir Damad dan menjadi muridnya. Pada tahun 1006 H atau 1596 M ibukota Pars berpindah dari Qazwin ke Ishfahan maka Mir Damad pun memindahkan pengajarannya ke sana. Mulla Shadra banyak mengambil manfaat dari gurunya dan menguasai secara sempurna ilmu yang dimilikinya, ialah pewaris ilmu gurunya. Mulla Shadra sangat menghormati dan mencintai gurunya sedemikian hingga hubungan dengan gurunya sangatlah erat dan tak terputus.
Mir Damad pada tahun 1041 H atau 1631 M meninggal karena sakit dalam perjalanannya ke Iraq.

Tiga tahapan kehidupan Mulla Shadra

Kehidupan Mulla Shadra dibagi dalam tiga tahapan:
Tahapan pertama: masa menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya.
Tahapan kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang hasad atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum.
Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Ia menjalani dengan cepat tingkatan-tingkatan suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M kembali ke Syiraz.
Tahapan ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Shadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw dan Ahlulbait. Karena penafsiran-penafsiran beliau berdasarkan kedua sumber tersebut – ilmu syuhudi dan hadis – tidak sesuai dengan apa yang dipahami secara umum oleh banyak ulama dan fuqaha, akhirnya membangkitkan kebencian dan kemarahan mereka yang berujung pada pengkafiran (tafkir) dirinya dan pengharaman membaca karya-karyanya.
Mulla Shadra setelah melewati ketiga tahapan tersebut berkata:
Segala hal yang mengantarkan kami kepada inayah (perhatian) dan hidayah Tuhan serta pengetahuan rahasia tauhid dan alam akhirat, saya berkeyakinan bahwa tak satupun pengikut filsafat peripatetik selain Aritoteles sampai kepada derajat pengetahuan tersebut dan juga saya yakin tak satupun para sufi yang sampai pada mukasyafah (penyingkapan) irfani mampu mengargumentasikan segala hal yang didapati dari mukasyafah.

Putra-putri Mulla Shadra

Kemungkinan besar Mulla Shadra menikah diumur 40 tahun dan dianugerahkan lima anak, dua laki-laki dan tiga perempuan anak, berikut ini nama dan tahun kelahiran mereka:
  1. Ummu Kulsum lahir tahun 1019 H/1609 M
  2. Ibrahim lahir tahun 1021H/1611 M
  3. Zubaidah lahir tahun 1024 H/1614 M
  4. Nizamuddin Ahmad lahir tahun 1031 H/1621 M
  5. Ma’shumah lahir tahun 1033 H/1623 M
Murid-murid Mulla Shadra

Pada tahapan ketiga kehidupan Mulla Shadra dikatakan bahwa dia kembali mengajar dan mendidik murid-muridnya di madrasah Syiraz yang bernama Khan di bangun pada zaman pemerintahan Syah Abbas Shafawi.
Di madrasah inilah dihasilkan banyak murid-muridnya yang ternama dan kemudian menjadi filosof terkenal, di bawah ini kami hanya menyebutkan murid-muridnya yang memiliki karya-karya yang banyak, seperti:
  1. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, menikah dengan Zubaidah anak ketiga Mulla Shadra
  2. Mulla Abdurazzaq Lahiji yang di gelari Fayyadh, menikah dengan Ummu Kulsum anak  pertama Mulla Shadra.
  3. Mirza Syarafuddin Abu Ali Ibrahim, anak kedua Mulla Shadra
  4. Nizamuddin Ahmad, anak keempat Mulla Shadra
  5. Syaikh Husain Tankabi
  6. Syah Abul Wali Syiraz
  7. Mulla Muhammad Irwani
  8. Muhammad bin Ridha bin Ogho Jani
Karya-karya Mulla Shadra
  1. Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof. Kitab ini terbagi dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.
  2. Ittihâd al-Âqil wa al-Ma’qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.
  3. Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).
  4. Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Shadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filosof Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud..
  5. Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.
  6. Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.
  7. Aksirul ‘Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu—ilmu dan  makrifat nafs (ilmu jiwa).
  8. At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.
  9. At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.
10.  Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Shadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.
11.  Ta’liqât ‘ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.
12.  At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah, at-Thariq, al-‘Ala dan az-Zalzalah.
13.  Huduts al-‘Âlam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya  alam materi.
14.  Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.
15.  Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Shadra.
16.  Khalq al-‘Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis Ahlulbait As.
17.  Diwâne Sy’er: kumpulan syair-syair Mulla Shadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.
18.  Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma’ad jasmani.
19.  Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.
20.  Seh Asl: kitab ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian ulama dan fuqaha menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filosof dan ‘arif, dan juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk ilmu dan amal.
21.  Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.
22.  Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.
23.  Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta’aliyyah.
24.  Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada Tuhan.
25.  Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.
26.  Al-Lamâ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.
27.  Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak.
28.  Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.
29.  Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.
30.  Al-Mizâj
31.  Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.
32.  Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.
33.  Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari kemudian.
34.  Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.
35.  Al-Waridat al-Qalbiyyah: kitab menjelaskan tentang penyingkapan irfani atas masalah ketuhanan, tingkatan alam besar dan alam kecil (manusia) serta pentingnya pensucian diri dan menjalani maqam-maqamnya.
36.  Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Shadra kepada gurunya Mir Damad.
37.  Ashalat j’al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.

Hikmah Muta’aliyah

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.
Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), Al-Quran dan hadis Ahlulbait, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filosof ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
Menurut filosof ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf – tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta’aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Mulla Shadra mampu menggabungkan antara dotrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.[

Al-Kindi

Filosof Islam Pertama

Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
”Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.
Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.
Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.
Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.
Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah – perpustakaan pribadi itu – dikembalikan lagi.
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.
Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Kitab Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.
Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.
Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.

Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.
Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
Al-Farabi: Maha Guru Kedua (Digelar Aristoteles kedua)
Tulisan ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran ahli falsafah Islam. Salah seorang ahli falsafah Islam yang terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut ialah Al-Farabi.
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al-Farabi. Beliau lahir pada tahun 874 M (260 H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki. Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu tidak menghalanginya untuk mendapat pendidikan di Baghdad. Beliau telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn al-Sariy.
Selepas beberapa waktu, beliau berpindah ke Damsyik sebelum meneruskan perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau telah berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan gaji empat dirham sehari. Hal ini menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang serba kekurangan.
Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gila akan harta dan cinta akan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin hingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950 M (339 H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia berkemampuan menguasai berbagai bahasa.
Selain itu, dia juga merupakan seorang pemusik yang handal. Lagu yang dihasilkan meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai kemampuan untuk bermain musik, beliau juga telah mencipta satu jenis alat musik yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang pengobatan, sains, matematik, dan sejarah. Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang ulung, lebih dalam di bidang falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Dalam membicarakan teori politiknya, beliau berpendapat bahwa akal dan wahyu adalah satu hakikat yang padu. Sebuah percobaan dan usaha untuk memisahkan kedua-dua elemen tersebut akan melahirkan sebuah negara yang pincang serta masyarakat yang kacau balau. Olehnya itu, akal dan wahyu perlu dijadikan sebagai dasar pada pembinaan sebuah negara yang kuat, stabil serta makmur.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka tidak heranlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah Aristoteles. Dia juga merupakan seorang yang mengawali menulis mengenai ilmu logik Yunani secara teratur dalam bahasa Arab.
Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya daripada sains dan politik. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi seorang ahli falsafah yang sempurna.
Tanpa sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justru, seorang ahli falsafah yang tulen tidak akan menemukan pandangan yang begitu berbeda di antaranya dengan pemerintah yang tertinggi, karena keduanya merupakan komponen yang saling melengkapi. Dalam hal ini beliau memprogramkan agar diwujudkan sebuah negara yang baik dan tenteram yang dipimpin oleh ahli falsafah.
Pandangan falsafahnya yang kritikal telah meletakkannya sejajar dengan ahli falsafah Yunani yang lain. Dalam kalangan ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali sebagai Aristoteles kedua. Bagi Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan harus diletakkan pada kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan sebuah negara.
Pandangan Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai persamaan dengan falsafah dan ajaran Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan pada tingkat hirarki yang tertinggi di dalam sistem sosial sebuah negara.
Di samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan banyak pandangan yang mendahului zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa keadilan itu merupakan sifat semula jadi manusia, manakala pertarungan yang berlaku antara manusia merupakan gejala sifat semula jadi tersebut.
Pemikiran, ide, dan pandangan Al-Farabi mengenai falsafah politik terkandung dalam karyanya yang berjudul “Madinah al-Fadhilah“. Pembicaraan mengenai ilmu falsafah zaman Yunani dan falsafah Plato serta Aristoteles telah disentuhnya dalam karya ” Ihsa’ al-Ulum” dan “Kitab al-Jam“.
Terdapat dua buku tidak dapat disiapkan oleh Al-Farabi di zamannya. Buku-buku itu ialah “Kunci Ilmu” yang disiapkan oleh anak muridnya yang bernama Muhammad Al Khawarismi pada tahun 976 M dan “Fihrist al-Ulum” yang diselesaikan oleh Ibnu Al-Nadim pada tahun 988 M.
Al-Farabi juga telah menghasilkan sebuah buku yang mengandung pengajaran dan teori musik Islam, yang diberikan judul “Al-Musiqa” dan dianggap sebagai sebuah buku yang terpenting dalam bidang tersebut.
Sebagai seeorang ilmuwan, Al-Farabi turut memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang pengobatan. Walaupun kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya telah memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu pengobatan di zamannya.
Salah satu pandangannya yang menarik ialah mengenai betapa jantung adalah lebih penting berbanding otak dalam kehidupan manusia. Ini disebabkan jantung memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan otak hanya menyelaraskan kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan.
Sesungguhnya Al-Farabi merupakan seorang tokoh falsafah yang serba bisa. Banyak dari pemikirannya masih relevan dengan perkembangan dan kehidupan manusia hari ini. Sementara itu, pemikirannya mengenai politik dan negara banyak dikaji serta dibicarakan di tingkat universitas bagi orang mencari penyelesaian dan sintesis terhadap segala kemelut yang berlaku pada hari ini.