Allamah Thabathaba’i, Pemikir Sejati Sumber Inspirasi
Allamah Sayyed Muhammad Husain
at-Thabathaba’i lahir pada tahun 1892 di Azerbaijani, sebutan dari kota
Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut Iran. Thabathaba’i
dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia telah
menempuh proses belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru
besarnya seperti Mirza ‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis), Mirza Muhammad
Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fikh dan
syari’ah), Sayyed Abu’l Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik),
sebagaimana ia juga belajar standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn
Sina, The Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id
milik ibn Turkah, dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah
murid dari dua guru kondang pada masa itu, Sayyid Abu’l-Hasan Jilwah dan
Aqa’ ‘Ali Mudarris Zinuni.
Pada tahun-tahun selanjutnya, ia lebih
konsen untuk belajar dengan Henry Corbin dan Nasr. Mereka bukan hanya
telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wakyu ke-Tuhan-an dan gnosis,
namun juga keseluruhan disiplin yang di sebut oleh Nasr sebagai gnosis
komparatif, yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama
utama mengandung ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao
Te Ching, Upanishads (salah satu seri teks sakral Hindu), Gospel of
John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan dengan sufisme dan
doktrin-doktrin pengetahuan islam secara umum.
Thabathaba’i adalah seorang Filusuf,
penulis yang produktif, dan guru inspirator bagi para muridnya, yang
telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk studi islam non-politik.
Banyak dari muridnya yang diantaranya menjadi penggagas ideologi di
Republik Islam Iran, seperti Morteza Motahhari, Dr. Beheshti, dan Dr.
Muhammad Mofatteh. Sementara yang lainnya, seperti Nasr dan Hasanzadeh
Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup intelektual
non-politik.
Ketika berada di Najaf, Thabathaba’i
mengembangkan kontribusi utamanya dalam bidang tafsir (interpretation),
filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah. Dalam bidang filsafat, ia
mempunyai sebuah karya penting, Usul-i falsafeh va ravesh-e-realism (The
Principles of Philosophy and The method of Realism), yang mana telah
diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh
Morteza Motahhari. Deal-deal penerbitan tersebut dengan disertakannya
islamic outlook dunia, tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang
mengingkari realitas wujud dunia, namun juga dihadapkan pada konsep
materialisme dunia, dengan mereduksi semua realitas menuju ambiguitas
konsep mitos-mitos materialisme serta pemalsuannya. Poin tersebut
menjadi mapan ketika sudut pandang dunia islam adalah realitas,
sementara keduanya (pandangan idealistis dan materialistis) adalah tidak
realistis.
Karya utama lainnya dalam bidang filsafat
adalah ulasan luasnya terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya
Mulla Sadra, yang merupakan seorang pemikir muslim besar Persia terakhir
pada abad pertengahan. Di samping itu dia juga menulis secara ekstensif
seputar tema-tema dalam filsafat. Pendekatannya secara humanis dapat
terlihat dari ketiga karyanya; the nature of man – before the world, in
this world, and after this world. Filsafatnya terfokus pada pendekatan
sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan. Dua
hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat
al-Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat
islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya
seputar doktrin-doktrin dan sejarah Shi’ah masih tetap tersimpan secara
rapi. Satu dari beberapa risalahnya tersebut meliputi klarifikasi serta
eksposisinya tentang madzhab Shi’ah dalam jawabannya atas pertanyaan
yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal, Henry Cobin. Bukunya
yang lain dalam tema ini adalah Shi’ah dar Islam yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam
judul Shi’ite Islam, yang dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah
proyek dari Colgate University, Hamilton, New York, Amerika. Buku
tersebut disajikan sebagai ikhtiar baik untuk meluruskan miss-konsepsi
populer seputar Shi’ah yang juga dapat membuka jalan untuk memperbaiki
pemahaman inter-sektarian antar sekolah-sekolah islam di Amerika.
Diantara karya Thabathaba’i yang paling
terkemuka adalah al-Mizan fi Tafsiri al-Qur’an yang lebih dikenal dengan
Tafsir al-Mizan, yang merupakan hasil dari kerja kerasnya yang cukup
lama dalam ruang lingkup studi Qur’an. Metode, gaya, serta pendekatannya
yang unik sangat berbeda dengan para mufassif besar lainnya. Tafsir
al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa arab sebanyak 20 jilid. Edisi
pertama al-Mizan dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan
selanjutnya dicetak pula di Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih dari
tiga edisinya dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan Beirut dalam
bentuk besar. Dalam kitab tafsir tersebut, untuk pertama kalinya dunia
tafsir dikenalkan dengan metodologi tafsir baru yaitu penafsiran ayat
dengan ayat.
Allamah Thabathaba’i juga seorang penyair
mahir. Dia telah menyusun sebagian besar syair-syairnya dalam bahasa
Persia, namun adakalanya pula dalam bahasa arab yang indah. Di samping
itu ia juga seorang penulis diberbagai rubrik artikel dan essai.
Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya
tulisnya berkisar 44 judul. Tiga diantaranya adalah hasil kumpulan dari
koleksi makalah-makalahnya dalam berbagai aspek keislaman dan
al-Qur’an.
Pada tanggal 15 November 1982 Allamah
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i meninggal dunia dalam usianya yang
ke-80. Demikianlah Allamah Thabathaba’i dikenal sebagai ulama yang
memberikan warna kesegaran dalam dunia pengajaran keagamaan di hauzah
ilmiah Iran.
SAYYID QUTHB (1)
Seratus satu tahun berlalu setelah
kelahiran salah satu tokoh Islam Sayyid Quthb. Tokoh kelahiran 9 Oktober
1906 itu adalah penulis kitab monumental. Fii Zhilaal Al-Qur`an,
Ma’aalim fi Thariiq, dan Al-Mustaqbal li haadzaa Ad Diin. Tiga buku itu
semuanya sudah diterjemahkan dengan bahasa Indonesia oleh sejumlah
penerbit. Dan ketiga buku itu juga mendapat pasar yang luas di kalangan
Muslim Dunia.
Memang ada perdebatan tentang metode
berpikir Sayyid Qutb dalam tulisan-tulisannya yang tegas menyatakan
kejahiliyahan masyarakat modern terkait keharusan hakimiyah
(penghakiman) yang tidak merujuk kepada Allah swt. Tapi bagaimanapun,
peri hidup Sayyid Qutb tetaplah penting diulas sebagai bagian dari
perjalanan seorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela tauhid
yang diyakini kebenarannya.
Sepintas Kehidupan Sayyid Qutb Sayyid
Quthb gugur di tiang gantungan pada tanggal 20 Agustus 1966. Ia dikenal
sebagai tokoh yang totalitas berjuang untuk agamanya, menyerahkan
seluruh hidupnya untuk Allah, seorang mukmin yang begitu kuat
keyakinannya. Ia persembahkan nyawanya yang murah kepada keyakinan dan
akidahnya. Ia lewati bertahun tahun usia terakhirnya di penjara. Ia
tuangkan jiwa dan pikirannya yang luar biasa dalam lembar-lembar tulisan
tangannya dengan untaian kata yang penuh makna dan bernilai sastra.
Hampir semua orang yang membacanya, bisa merasakan getar ruhani dan
pikirannya dari bunyi tulisan penanya yang tercantum hebat dalam
karya-karya tulisnya.
Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama
di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar
ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai
menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal
seluruh Al-Qur`an.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah
mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan
kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis
beberapa seri At-Taswir Fanni Fil Qur’an pada tahun 1939. Tulisan ini
mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada
tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk,Masyahidul Qiamah Fil Qur’an
yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an.
Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb
menghasilkan sebuah buku berjudul Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam
atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan
bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat
menerapkan sistem Islam.
Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb
berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah
Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai tahun wafatnya di tiang gantungan tahun
1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah
mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb
bergabung bersama Al-Ikhwan Al Muslmun, dua tahun selah wafatnya Imam
Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949.
Mereka tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama
1906, dan dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.
Namun di antara mereka mempunyai kesatuan
jiwa dan kesamaan orientasi berpikir. Sebelumnya, ketika Hasan Al-Banna
membaca buku Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam, karangan Sayyid Qutb,
ia menganggap pengarangnya adalah bagian dari Al-Ikhwan. Lalu, al-Banna
telah mengatakan bahwa orang ini (Sayyid Qutb) tidak lama lagi akan
bergabung bersama Al-Ikhwan.
Sayyid Qutb juga mempunyai perasaan yang
sama terhadap Hassan Al-Banna. Kematian Al-Banna sangat membekas dalam
jiwanya, meski ia belum pernah bersama dengan Al-Banna. Berita kematian
Al-Banna diterimanya dengan perasaan tragis saat ia dirawat di sebuah
rumah sakit di Amerika. Karena orang-orang Amerika bergembira menyambut
berita kematian Al-Banna. Pulang dari AS, Sayyid Qutb mengkaji kehidupan
Al-Banna dan membaca seluruh risalah karangannya. Selanjutnya ia pun
memutuskan untuk memikul amanah perjuangan Hassan al-Banna.
Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya
adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish
tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an.
Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah
konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid
Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri
(pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah
adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di
atas muka bumi Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada
hakNya.
Pada13 Januari 1954, Revolusi Mesir
melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena
dituduh sedang kudeta. Tanpa bukti yang jelas, tujuh orang pimpinan
tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan Hudhaibi,
Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua sukarelawan
Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi hukuman
terhadap Hasan Hudhaibi dirubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid
Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.
Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah
dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi
Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah
Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara,
Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb
dituduh kembali merancang kudeta. Selain itu, Mahkamah Revolusi merujuk
pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At Thariiq, yang
mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang
tidak berdasarkan Syari’at Allah.
Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh
anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden
Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden
Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia
dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; Telunjuk yang
bersyahadah setiap kali dalam shalat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang
disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah
Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku
dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika aku dipenjara secara batil,
aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan.
Pagi hari Senin, 29 Agustus 1966, Sayyid
Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf
Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islampun kehilangan salah satu
pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid.
SAYYID QUTHB (2)
Dalam keyakinan kaum muslimin, Al-Qur`an
adalah firman Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran yang
terkandung di dalamnya pun telah dianggap muthlak oleh seluruh kaum
muslimin baik oleh muslim koneservatif maupun oleh muslim radikalnya.
Meskipun demikian, dalam lingkup kesehariannya kaum musimin dirasa
banyak yang kurang mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam Al-Qur`an. Dan yang sangat disayangkan lagi adalah pandangan
sebagian kelompok yang hanya memahami Al-Qur`an sebatas mencari pahala
dengan sekedar membaca ataupun menghafalnya. Hal ini bukanlah tujuan
inti diturunkannya Al-Qur`an untuk manusia. Al-Qur`an sendiri telah
menegaskan bahwa dirinya diturunkan Allah sebagai petunjuk sekaligus
sebagai pegangan hidup yang dapat memberikan solusi atas pelbagai
ketimpangan sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial. Oleh
karena maksud tersebut, beberapa penafsiran telah berhasil ditelorkan
oleh para ulama islam agar dapat memahamkan inti yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Qur`an. Sebagai hasil usaha-usaha yang dilakukan mereka,
banyak kita jumpai berbagai macam kitab tafsir dengan kecenderungan
berbagai paham yang diusung oleh para mufassir itu sendiri. Sebut saja
tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`an karangan Abu Abdullah al-Qurthubi
yang lebih menengedepankan pembahasan fikihnya dari pada segi balaghah
Al-Qur`an, mengingat beliau adalah seorang ulama ahli fikih yang
bermadzhab Maliki. Oleh karenanya sebagian orang menganggap kitab
tersebut bukanlah kitab tafsir melainkan kitab fikih. Begitu halnya
dengan kitab Mafâtih al-Ghaib, karangan Imam Fakhruddin ar-Razi yang
lebih menonjolkan sisi teologisnya hingga tidak salah jika ada orang
yang mengatakan, “Segala sesutu telah aku dapatkan dalam kitab tersebut
kecuali tafsir.” Melihat berbagai macan metode penafsiran yang dirasa
kurang mampu untuk diterapkan oleh masa sekarang, maka mulia muncullah
beberapa penafsir modern yang berusaha menafsirkan Al-Qur`an yang
berangkat dari realita masyarakat.
Diantara para ulama kontemporer yang
sangat concern terhadap penafsiran Al-Qur`an adalah Sayyid Qutb
(1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan
al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an yang
menjadi master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab
tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya
dengan pemikiaran sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah
sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena
keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam
tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah
mewarnai corak penafsiran Al-Qur`an.
Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai
tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat
sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga
akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam
Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian
mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap
kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena
terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam
pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A
untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan
berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di
Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan
California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan
kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Qutb melihat bahwa
sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains
dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh
karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama
belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam
pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak
kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di
negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan
Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga
banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari
organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran
Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan
al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali
syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk
menjalankan Syariat islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini
bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal
kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah
menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang.
Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat denagn perjalanan
hidupnya. Sebagai contohnya, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau
banyak menulis buku-buku sastera yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal
in terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat asy-Syair fi al-Hayah”
pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal ats-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun
1939.
Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai
menerapkan unsur-unsur agama dalam di dalam karyanya. Hal itu terlihat
pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “at-Tashwîr al-Fanni fi
al-Qur`an (1945) dan Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mula
membicarakan soal keadilan , kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci
menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam
wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan ‘Fi Zilal
Al-Quran’ dan ‘Dirasat Islamiah’. Semasa dalam penjara yaitu mulai dari
tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan
karya-karyanya. Diantara buku-buku yang berhasil ditulis beliua dalam
penjara adalah ‘Hadza ad-Din’, ‘Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din’, ‘Khasais
at-Tasawwur al-Islami wa Muqawwimatihi’ Islam wa Musykilah al-Hadarah’
dan ‘Fi Zhilal Al-Quran’ (lanjutannya).
Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis
hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal
Abd Nasher. Menurut sumber, sebelum dilakukan eksekusi Gamal Abdul
Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang
hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb
SAYYID QUTHB
Ketika beliau diadili pada tahun 1954
juga berkata: “Apabila tuan-tuan menghendaki kepala saya, inilah aku
dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri!”
Tidak lama setelah penembakan terhadap
Hasan Al-Banna, terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap anggota
Ihwanul Muslimin oleh rezim Nasser, yang beliau waktu itu menjabat
Perdana Menteri dan Ketua Dewan Revolusi Mesir. Anggota Ikhwanul
Muslimin yang ditangkap ketika itu sebanyak 10,000 (sepuluh ribu)
anggota dan seluruhnya dimasukkan ke dalam penjara, termasuk mereka yang
berjasa dalam perang melawan Inggris di Suez.
Baru 20 hari sejak penangkapan
besar-besaran itu, terdapat 1,000 orang tahanan anggota Ikhwanul
Muslimin yang mati akibat siksaan dan penganiayaan. Dan 6 (enam) orang
yang dijatuhi hukuman mati.
Di antara anggota-anggota Ikhwanul
Muslimin yang ditahan dalam penjara itu adalah Hakim Dr. Abdul Qadir
Audah, Muhammad Faraghali, dan Sayyid Quthub. Para tahanan itu tidak
sedikit yang dijatuhi hukuman penjara antara 15 tahun sampai seumur
hidup, dan juga hukuman mati, dan kerja paksa memotong dan memecah
batu-batu di gunung-ganang. Mereka yang membangkang mogok tidak mau
kerja paksa kemudian ditembak. Pernah kejadian yang mogok itu ditembak
sekaligus 22 orang dalam penjara mereka. Kejadian itu pada tahun 1977.
Adapun Sayyid Quthub, beliau pernah
dihebahkan oleh pihak lnggris, barangsiapa yang dapat menangkapnya akan
mendapat hadiah 2000 Poundsterling.
Sayyid Quthub ini lahir pada tahun 1903
di Musha, sebuah kota kecil di Asyut, Mesir. Beliau telah hafal Al-Quran
30 Juz sejak masih anak-anak, meraih gelar sarjana dalam tahun 1933
dari Universitas Cairo, kemudian bekerja pada Kementerian Pendidikan.
Kementerian Pendidikan kemudiannya mengirim beliau untuk belajar di
Amerika Serikat selama dua tahun.
Sepulang dari Amerika Serikat beliau ke
Inggris, Swiss, dan Itali. Sepulangnya dari luar negeri beliau kemudian
menyatakan keyakinannya bahawa Mesir harus membebaskan diri dari
kebudayaan asing yang negatif dan merusak keperibadian Islam serta
ketimuran itu.
Beliau adalah seorang penyair dan
sastrawan yang hasil karyanya diperhatikan orang. Pada tahun 1946 beliau
menulis buku berjudul Keadilan Sosial Di Dalam Islam. Buku ini amat
populer dan cemerlang sehingga menjadikan beliau termasyhur. Apalagi
setelah buku ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, beliau
benar-benar seorang tokoh yang berwawasan. Terutama buku ini sebagai
jawaban dari sikap Nasser yang mengumandangkan Sosialisme Arab itu.
Sebenarnya Sayyid Quthub ditahan jauh
sebelum peristiwa Sandiwara Penentangan terhadap Nasser pada tanggal 26
Oktober 1954, yaitu dua hari setelah Ikhwanul Muslimin dilarang oleh
Nasser. Adapun kesalahan beliau yang paling banyak ialah karena beliau
mengarang dan menulis beberapa buku yang bersifat semangat Islam. Selain
Keadilan Sosial Dalam Islam, juga buku Tonggak-tonggak Jalan yang
isinya menolak kebudayaan jahiliyah moden dalam segala bentuk dan
praktiknya.
Kekejaman terhadap para tahanan dan
terhadap beliau dari penguasa mesir tak terkira. Melebihi Nazi Jerman.
Hal ini telah diungkapkan oleh para bekas tahanan yang kemudian selamat
kembali kepada keluarga mereka. Mereka banyak berkisah tentang kekejaman
penguasa zaman Raja Farouk maupun oleh Pemerintah Nasser. Ramai para
bekas tahanan itu yang bercerita sambil bercucuran air mata bila
teringat kawan-kawannya yang mati disiksa dan dibantai di hadapan mata
kepala mereka sendiri. Hukuman cambuk, cuci otak dengan alat-alat
elektronik sehingga para korban menjadi hilang akal, dan sebagainya.
Bermacam-macam tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan palsu, fitnah yang
dibuat-buat, yang kesemuanya itu tidak ada kesempatan bagi para anggota
Ikhwan untuk membela diri. Mereka tetap mengatakan Ikhwanul Muslimin
salah, mengkhianati negara dan bangsa, dan sebagainya serta
tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal.
Adik Sayyid Quthub yang bernama Muhammad
Quthub meninggal dalam penjara. Dan Sayyid Quthub sendiri dibebaskan
oleh penguasa pada tahun 1964 atas usaha Presiden lrak, Abdus Salam Aref
almarhum. Selepas dari tahanan ini keluarlah buku beliau berjudul
Tonggak-tonggak Islam, sehingga pada bulan Agustus 1965 beliau ditangkap
dan ditahan lagi bersama 46,000 (empat puluh enam ribu) anggota
Ikhwanul Muslimin.
Dalam pengadilan beliau berkata, “Aku
tahu bahwa kali ini yang dikehendaki oleh pemerintah (Nasser) adalah
kepalaku. Sama sekali aku tidak menyesali kematianku, sebaliknya aku
berbahagia kerana mati demi cinta. Tinggal sejarah yang memutuskan,
siapakah yang benar, Ikhwan ataukah rezim ini”.
Ketika beliau diadili pada tahun 1954
juga berkata: “Apabila tuan-tuan menghendaki kepada saya, inilah aku
dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri!”
Pada bulan Agustus 1966 Mahkamah Militer
menjatuhkan hukuman gantung kepada tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk
beliau. Dengan sebuah senyum pada hari Senin, di waktu fajar menyingsing
tanggal 29 Agustus 1966, beliau meninggal dunia di tiang gantung
sebagai jalan untuk menemui Allah! Selama dalam masa penahanan, beliau
menulis kitab tafsir Al-Quran yang sangat populer (Fi Zilalil Qur’an)
yang saat ini banyak dijadikan kitab referensi dalam berbagai kajian
Islam.
Demikianlah hukum yang terjadi di dunia
ini, yang benar belum tentu menang dan yang salah belum tentu kalah.
Namun pada umumnya yang berkuasa itulah yang dibenar-benarkan, karena
pihak yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara karena bukan
penguasa, walau tidak kuasa berkata bahwa dirinya benar. Dan Nasser
merasa dirinya di pihak yang benar sehingga Ikhwanul Muslimin dianggap
sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Padahal setiap Mesir ditimpa
bahaya, penguasa selalu minta tolong kepada para anggota Ikhwanul
Muslimin untuk tampil ke depan membela tanah air, tetapi setelah keadaan
aman, Ikhwanul Muslimin dijauhkan dari kebenaran, dipinggirkan,
dianggap sebagai organisasi yang najis dan ekstrim.
Demikianlah nasib para pejuang dalam
membela kebenaran, bahawa risiko yang dihadapinya tidak sedikit dan
bahkan sering membawa korban, disiksa, dianiaya dan demikian itulah cara
Allah untuk mengetahui keimanan dan ketakwaan seseorang. Dengan
demikian, jelaslah bahwa siapa saja yang tidak mau berjuang untuk
membela kebenaran adalah orang yang lemah mentalnya, dan akan mendapat
siksa di akhirat nanti.
Waallahu A’lam
Sayyid Quthb: Menjemput Ajal Karena Memurnikan Tauhid
Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan
seluruhnya. Inilah prinsip hidup seorang laki-laki yang menjalani hidup
dengan harga diri, dan menjemput maut dengan harga diri pula. Inilah
teriakan lantang seorang anak manusia yang menggoncangkan tahta thaghut
dimanapun dia berada. Inilah teriakan Sayyid Quthb kepada seluruh umat
manusia.
Sayyid Quthb Ibrahim Husain, atau lebih
dikenal dengan nama Sayyid Quthb, lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di
Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di datara tinggi Mesir.
Kehidupannya dibangun di atas pondasi keislaman yang kuat. Karena pada
usia 11 tahun, Beliau sudah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya dan
menjadi seorang hafidz. Masa kecilnya juga penuh diwarnai oleh nuansa
pergerakan yang kental karena ayahnya merupakan anggota Komisaris Partai
Nasionalis di desanya. Sehingga rumahnya merupakan pusat informasi dan
diskusi para aktivis partai.
Pada masa kuliah, Sayyid Quthb sangat
terpengaruh oleh pemikiran Abbas Mahmud al Aqqad yang cenderung pada
pemikiran Barat. Oleh karenanya, Beliau semakin akrab dan berinteraksi
secara intensif dengan literatur-literatur Barat.
Berkat kualitas dan hasil kerjanya yang
luar biasa, Sayyid Quthb diberi kesempatan oleh pemerintah Mesir untuk
menimba ilmu mengenai metode pendidikan Barat di Amerika Serikat. Tidak
tanggung-tanggung, Beliau belajar di 3 tempat sekaligus, yaitu Wilson’s
Teacher’s College di Washington (sekarang bernama University of the
District of Columbia), the University of Northern Colorado’s Teacher’s
College, dan Stanford University di California.
Ketika berada di Amerika inilah, Sayyid
Quthb mengalami titik balik kekagumannya terhadap Barat. Sayyid Quthb
terpukul oleh fenomena kebebasan seksual dan pelacuran yang meruyak
dalam masyarakat Amerika.
Pada tahun 1952, Sayyid Quthb kembali ke
Mesir dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Dan sejak saat itulah,
kekuatan pena Sayyid Quthb mulai melancarkan kritikan-kritikan pedas
yang emerahkan telinga para penguasa Mesir. Hal inilah yang kemudian
memaksa Beliau untuk keluar masuk tahanan hingga akhir usianya.
Ketika berada dalam penjara, berbagai
macan siksaan, baik fisik dan mental, dialaminya. Namun ini tidak
membuatnya berhenti berkarya. Dan dalam kondisi yang demikian, lahirlah
kitab tafsir Fii Dzilal al-Qur’an yang merupakan masterpiece Sayyid Quthb.
Akhirnya pada taggal 12 Agustus 1965,
Sayyid Quthb, bersama dengan dua pemuka Ikhwanul Muslimin lainnya,
dijatuhi hukuman gantung. Meskipun banyak permohonan untuk membatalkan
eksekusi mati tersebut datang dari para pemimpin Islam, termasuk Raja
Faisal bin Abdul Azis dari Arab Saudi, pemerintah Mesir tetap tidak
bergeming. Pada tanggal 29 Agustus 1969, Sayyid Quthb menjalani
hukumannya dan menjemput syahid, Insya Allah, dalam lilitan tali
gantungan.
Meskipun sudah hampir 40 tahun Sayyid
Quthb berpulang, namun buah pemikirannya masih tetap hangat
diperbincangkan dan menginspirasi banyak orang. Ada sebagian pihak
menganggapnya berpaham takfir. Namun tidak sedikit pula yang mencoba
berbaik sangka terhadap Sayyid Quthb.
Bagi Sayyid Quthb, tauhid adalah inti
dari segalanya. Oleh karenanya, memurnikan tauhid adalah pokok
perjuangannya. Tauhid tidak lagi hanya mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dalam pengakuan dzat ketuhanan dan tujuan penyembahan. Sayyid Quthb
membawanya selangkah lebih jauh ke tauhid al-hakimiyyah. Yaitu pengakuan
bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah yang berhak mengatur dan membuat hukum bagi alam semesta.
Sebagai konsekuensinya, syariat Islam adalah hal yang wajib adanya bagi setiap insan yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Masyarakat yang tidak berhukum dengan syariat Islam tidak ubahnya
dengan masyarakat Arab sebelum masa kenabian. Saat itu, masyarakat Arab
mengakui Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhannya namun
mereka menyembah berhala-berhala. Itulah jahiliyah tempo dulu. Dan
sekarang, manusia mempertuhankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
menyembah-Nya di masjid-masjid, namun mereka masih rela diatur dengan
hukum-hukum buatan makhluk-Nya. Dan itulah jahiliyah modern.
Karena jahiliyah, menurut Sayyid Quthb, bukanlah pengingkaran terhadap risalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam semata. Namun juga karena manusia-manusia tidak memurnikan tauhidnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mereka tidak merasa berdosa jika hidup mereka diatur oleh hukum-hukum
buatan manusia. Mereka inilah thaghut. Sesembahan-sesembahan selain
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menganggap dirinya berhak menentukan mana yang halal dan mana yang haram.
Meskipun dalam karya-karyanya bertebaran
kata-kata “jahiliyah” dan “thaghut”, namun tidak sedikitpun niatan
Sayyid Quthb untuk mengkafirkan saudara-saudaranya yang seiman. Ini
hanyalah gaya bahasa Beliau yang menghentak-hentak kesadaran, mendobrak
kebekuan, dan membangunkan dari keterlenaan. Setidaknya inilah yang
dituliskan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya tugas kita bukan untuk
menghukum manusia, ini kafir, ini Mukmin. Tapi tugas kita adalah
mengenalkan hakikat tauhid – tiada tuhan selain Allah. Karena manusia
tidak mengetahui konsekuensi kalimat tersebut, yaitu menerapkan hukum
Islam dalam seluruh dimensi kehidupan”.
Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan seluruhnya. Sungguh saya malu dengan diri saya sendiri.
(Ringkasan dari Majalah Sabili No. 03 Th. XVI 21 Agustus 2008 / 19 Sya’ban 1429)
SAYYID QUTB, TOKOH INTELEKTUAL SEJATI
Tokoh
Kita kali ini seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir.
Sayyid Qutb namanya. Ia lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di
sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Dengan tradisi yang
seperti itu, maka tak heran jika Qutb kecil menjadi seorang anak yang
pandai dalam ilmu agama. Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama di
rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar ke
sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai
menghafal Al-Quran. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal
seluruh Al-Qur`an. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak
disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Qutb. Berbekal persedian dan
harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga
sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota
Mesir, Cairo.
Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih
berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan
kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya.
Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah
Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang
bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi
salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933,
Qutb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja
sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama
bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga
ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari
sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika,
tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di
negeri Paman Sam itu. Wilson’s Teacher’s College, di Washington ia
jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford
University di California tak ketinggalan diselami pula.
Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan
yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali,
Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun
tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi
satu kesimpulan pada Sayyid Qutb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya.
Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara.
Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang
ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai
agama.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah
mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan
kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis
beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil Quran” pada tahun 1939. Tulisan ini
mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Quran. Pada
tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil
Quran” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an.
Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul
“Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam.
Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati
hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan system Islam.
Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid
Qutb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang,
pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur’an sudah sejak lama
mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan
bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah
Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan
ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun
1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul
Muslimin.
Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai
anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain
dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang
penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah.
Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal,
mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian,
tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian
Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua
bulan, karena dilarang beredar oleh pemerintah.
Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah
sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras
Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid
Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan
negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman
penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang
dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan
hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman
yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp
penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah
yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.
Hal itu terus di alaminya sampai
pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul
Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk
membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas
tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian,
pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru
lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa
ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah,
serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.
Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul
Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh
Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh
pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.
Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang
pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan
seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski berbagai kalangan dari dunia
internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap
saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia
syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum hukuman gantung
dilaksanakan, Presiden Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb.
Melalui utusan itu Presiden Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis
pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan
tegas menjawab; “Telunjuk yang bersyahadah setiap kali dalam shalat
menegaskan bahwa Tiada Ilah yang disembah dengan sesungguhnya melainkan
Allah dan Muhamad adalah Rasulullah, dan aku takkan menulis satu
perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika
aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat daripada
kebatilan. “ Dan Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani,
Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan
dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul,
“MENGAPA SAYA DIHUKUM MATI.”
Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa
dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu. Semoga Allah memberikan tempat
yang mulia di sisi-Nya.
Amin.
HIKAM:
Studi di banyak tempat yang dilakukannya, seperti Wilson’s Teacher’s College, di Washington, Greeley College di Colorado, Stanford University di California, Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya, tapi itu tak menyiram dahaganya. Akhirnya satu kesimpulan yang diperolehnya: HUKUM DAN ILMU ALLAH SAJA MUARANYA.Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Tanggal 29 Agustus 1969, beliau syahid. Memang, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.
Studi di banyak tempat yang dilakukannya, seperti Wilson’s Teacher’s College, di Washington, Greeley College di Colorado, Stanford University di California, Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya, tapi itu tak menyiram dahaganya. Akhirnya satu kesimpulan yang diperolehnya: HUKUM DAN ILMU ALLAH SAJA MUARANYA.Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Tanggal 29 Agustus 1969, beliau syahid. Memang, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar