Minggu, 24 Maret 2013

Allamah Thabathaba'i

Allamah Thabathaba’i, Pemikir Sejati Sumber Inspirasi

Allamah Sayyed Muhammad Husain at-Thabathaba’i lahir pada tahun 1892 di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut Iran. Thabathaba’i dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia telah menempuh proses belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru besarnya seperti Mirza ‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis), Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fikh dan syari’ah), Sayyed Abu’l Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, The Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id milik ibn Turkah, dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah murid dari dua guru kondang pada masa itu, Sayyid Abu’l-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zinuni.
Pada tahun-tahun selanjutnya, ia lebih konsen untuk belajar dengan Henry Corbin dan Nasr. Mereka bukan hanya telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wakyu ke-Tuhan-an dan gnosis, namun juga keseluruhan disiplin yang di sebut oleh Nasr sebagai gnosis komparatif, yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama utama mengandung ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao Te Ching, Upanishads (salah satu seri teks sakral Hindu), Gospel of John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan dengan sufisme dan doktrin-doktrin pengetahuan islam secara umum.
Thabathaba’i adalah seorang Filusuf, penulis yang produktif, dan guru inspirator bagi para muridnya, yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk studi islam non-politik. Banyak dari muridnya yang diantaranya menjadi penggagas ideologi di Republik Islam Iran, seperti Morteza Motahhari, Dr. Beheshti, dan Dr. Muhammad Mofatteh. Sementara yang lainnya, seperti Nasr dan Hasanzadeh Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup intelektual non-politik.
Ketika berada di Najaf, Thabathaba’i mengembangkan kontribusi utamanya dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah. Dalam bidang filsafat, ia mempunyai sebuah karya penting, Usul-i falsafeh va ravesh-e-realism (The Principles of Philosophy and The method of Realism), yang mana telah diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh Morteza Motahhari. Deal-deal penerbitan tersebut dengan disertakannya islamic outlook dunia, tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang mengingkari realitas wujud dunia, namun juga dihadapkan pada konsep materialisme dunia, dengan mereduksi semua realitas menuju ambiguitas konsep mitos-mitos materialisme serta pemalsuannya. Poin tersebut menjadi mapan ketika sudut pandang dunia islam adalah realitas, sementara keduanya (pandangan idealistis dan materialistis) adalah tidak realistis.
Karya utama lainnya dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang merupakan seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan. Di samping itu dia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam filsafat. Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; the nature of man – before the world, in this world, and after this world. Filsafatnya terfokus pada pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan. Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya seputar doktrin-doktrin dan sejarah Shi’ah masih tetap tersimpan secara rapi. Satu dari beberapa risalahnya tersebut meliputi klarifikasi serta eksposisinya tentang madzhab Shi’ah dalam jawabannya atas pertanyaan yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal, Henry Cobin. Bukunya yang lain dalam tema ini adalah Shi’ah dar Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam judul Shi’ite Islam, yang dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah proyek dari Colgate University, Hamilton, New York, Amerika. Buku tersebut disajikan sebagai ikhtiar baik untuk meluruskan miss-konsepsi populer seputar Shi’ah yang juga dapat membuka jalan untuk memperbaiki pemahaman inter-sektarian antar sekolah-sekolah islam di Amerika.
Diantara karya Thabathaba’i yang paling terkemuka adalah al-Mizan fi Tafsiri al-Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Mizan, yang merupakan hasil dari kerja kerasnya yang cukup lama dalam ruang lingkup studi Qur’an. Metode, gaya, serta pendekatannya yang unik sangat berbeda dengan para mufassif besar lainnya. Tafsir al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa arab sebanyak 20 jilid. Edisi pertama al-Mizan dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan selanjutnya dicetak pula di Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih dari tiga edisinya dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan Beirut dalam bentuk besar. Dalam kitab tafsir tersebut, untuk pertama kalinya dunia tafsir dikenalkan dengan metodologi tafsir baru yaitu penafsiran ayat dengan ayat.
Allamah Thabathaba’i juga seorang penyair mahir. Dia telah menyusun sebagian besar syair-syairnya dalam bahasa Persia, namun adakalanya pula dalam bahasa arab yang indah. Di samping itu ia juga seorang penulis diberbagai rubrik artikel dan essai.
Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya tulisnya berkisar 44 judul. Tiga diantaranya adalah hasil kumpulan dari koleksi makalah-makalahnya dalam berbagai aspek keislaman dan al-Qur’an.
Pada tanggal 15 November 1982 Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i meninggal dunia dalam usianya yang ke-80. Demikianlah Allamah Thabathaba’i dikenal sebagai ulama yang memberikan warna kesegaran dalam dunia pengajaran keagamaan di hauzah ilmiah Iran.
SAYYID QUTHB (1)
Seratus satu tahun berlalu setelah kelahiran salah satu tokoh Islam Sayyid Quthb. Tokoh kelahiran 9 Oktober 1906 itu adalah penulis kitab monumental. Fii Zhilaal Al-Qur`an, Ma’aalim fi Thariiq, dan Al-Mustaqbal li haadzaa Ad Diin. Tiga buku itu semuanya sudah diterjemahkan dengan bahasa Indonesia oleh sejumlah penerbit. Dan ketiga buku itu juga mendapat pasar yang luas di kalangan Muslim Dunia.
Memang ada perdebatan tentang metode berpikir Sayyid Qutb dalam tulisan-tulisannya yang tegas menyatakan kejahiliyahan masyarakat modern terkait keharusan hakimiyah (penghakiman) yang tidak merujuk kepada Allah swt. Tapi bagaimanapun, peri hidup Sayyid Qutb tetaplah penting diulas sebagai bagian dari perjalanan seorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela tauhid yang diyakini kebenarannya.
Sepintas Kehidupan Sayyid Qutb Sayyid Quthb gugur di tiang gantungan pada tanggal 20 Agustus 1966. Ia dikenal sebagai tokoh yang totalitas berjuang untuk agamanya, menyerahkan seluruh hidupnya untuk Allah, seorang mukmin yang begitu kuat keyakinannya. Ia persembahkan nyawanya yang murah kepada keyakinan dan akidahnya. Ia lewati bertahun tahun usia terakhirnya di penjara. Ia tuangkan jiwa dan pikirannya yang luar biasa dalam lembar-lembar tulisan tangannya dengan untaian kata yang penuh makna dan bernilai sastra. Hampir semua orang yang membacanya, bisa merasakan getar ruhani dan pikirannya dari bunyi tulisan penanya yang tercantum hebat dalam karya-karya tulisnya.
Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal seluruh Al-Qur`an.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri At-Taswir Fanni Fil Qur’an pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk,Masyahidul Qiamah Fil Qur’an yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an.
Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.
Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai tahun wafatnya di tiang gantungan tahun 1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb bergabung bersama Al-Ikhwan Al Muslmun, dua tahun selah wafatnya Imam Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949. Mereka tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama 1906, dan dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.
Namun di antara mereka mempunyai kesatuan jiwa dan kesamaan orientasi berpikir. Sebelumnya, ketika Hasan Al-Banna membaca buku Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam, karangan Sayyid Qutb, ia menganggap pengarangnya adalah bagian dari Al-Ikhwan. Lalu, al-Banna telah mengatakan bahwa orang ini (Sayyid Qutb) tidak lama lagi akan bergabung bersama Al-Ikhwan.
Sayyid Qutb juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Hassan Al-Banna. Kematian Al-Banna sangat membekas dalam jiwanya, meski ia belum pernah bersama dengan Al-Banna. Berita kematian Al-Banna diterimanya dengan perasaan tragis saat ia dirawat di sebuah rumah sakit di Amerika. Karena orang-orang Amerika bergembira menyambut berita kematian Al-Banna. Pulang dari AS, Sayyid Qutb mengkaji kehidupan Al-Banna dan membaca seluruh risalah karangannya. Selanjutnya ia pun memutuskan untuk memikul amanah perjuangan Hassan al-Banna.
Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an. Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri (pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hakNya.
Pada13 Januari 1954, Revolusi Mesir melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena dituduh sedang kudeta. Tanpa bukti yang jelas, tujuh orang pimpinan tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan Hudhaibi, Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua sukarelawan Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi hukuman terhadap Hasan Hudhaibi dirubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.
Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara, Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb dituduh kembali merancang kudeta. Selain itu, Mahkamah Revolusi merujuk pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At Thariiq, yang mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang tidak berdasarkan Syari’at Allah.
Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; Telunjuk yang bersyahadah setiap kali dalam shalat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan.
Pagi hari Senin, 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islampun kehilangan salah satu pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid.
SAYYID QUTHB (2)
Dalam keyakinan kaum muslimin, Al-Qur`an adalah firman Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran yang terkandung di dalamnya pun telah dianggap muthlak oleh seluruh kaum muslimin baik oleh muslim koneservatif maupun oleh muslim radikalnya. Meskipun demikian, dalam lingkup kesehariannya kaum musimin dirasa banyak yang kurang mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur`an. Dan yang sangat disayangkan lagi adalah pandangan sebagian kelompok yang hanya memahami Al-Qur`an sebatas mencari pahala dengan sekedar membaca ataupun menghafalnya. Hal ini bukanlah tujuan inti diturunkannya Al-Qur`an untuk manusia. Al-Qur`an sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diturunkan Allah sebagai petunjuk sekaligus sebagai pegangan hidup yang dapat memberikan solusi atas pelbagai ketimpangan sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial. Oleh karena maksud tersebut, beberapa penafsiran telah berhasil ditelorkan oleh para ulama islam agar dapat memahamkan inti yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Sebagai hasil usaha-usaha yang dilakukan mereka, banyak kita jumpai berbagai macam kitab tafsir dengan kecenderungan berbagai paham yang diusung oleh para mufassir itu sendiri. Sebut saja tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`an karangan Abu Abdullah al-Qurthubi yang lebih menengedepankan pembahasan fikihnya dari pada segi balaghah Al-Qur`an, mengingat beliau adalah seorang ulama ahli fikih yang bermadzhab Maliki. Oleh karenanya sebagian orang menganggap kitab tersebut bukanlah kitab tafsir melainkan kitab fikih. Begitu halnya dengan kitab Mafâtih al-Ghaib, karangan Imam Fakhruddin ar-Razi yang lebih menonjolkan sisi teologisnya hingga tidak salah jika ada orang yang mengatakan, “Segala sesutu telah aku dapatkan dalam kitab tersebut kecuali tafsir.” Melihat berbagai macan metode penafsiran yang dirasa kurang mampu untuk diterapkan oleh masa sekarang, maka mulia muncullah beberapa penafsir modern yang berusaha menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat.
Diantara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran Al-Qur`an adalah Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an yang menjadi master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiaran sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran Al-Qur`an.
Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat denagn perjalanan hidupnya. Sebagai contohnya, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastera yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal in terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat asy-Syair fi al-Hayah” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal ats-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.
Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama dalam di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “at-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an (1945) dan Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mula membicarakan soal keadilan , kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan ‘Fi Zilal Al-Quran’ dan ‘Dirasat Islamiah’. Semasa dalam penjara yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan karya-karyanya. Diantara buku-buku yang berhasil ditulis beliua dalam penjara adalah ‘Hadza ad-Din’, ‘Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din’, ‘Khasais at-Tasawwur al-Islami wa Muqawwimatihi’ Islam wa Musykilah al-Hadarah’ dan ‘Fi Zhilal Al-Quran’ (lanjutannya).
Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abd Nasher. Menurut sumber, sebelum dilakukan eksekusi Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb

SAYYID QUTHB
Ketika beliau diadili pada tahun 1954 juga berkata: “Apabila tuan-tuan menghendaki kepala saya, inilah aku dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri!”
Tidak lama setelah penembakan terhadap Hasan Al-Banna, terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ihwanul Muslimin oleh rezim Nasser, yang beliau waktu itu menjabat Perdana Menteri dan Ketua Dewan Revolusi Mesir. Anggota Ikhwanul Muslimin yang ditangkap ketika itu sebanyak 10,000 (sepuluh ribu) anggota dan seluruhnya dimasukkan ke dalam penjara, termasuk mereka yang berjasa dalam perang melawan Inggris di Suez.
Baru 20 hari sejak penangkapan besar-besaran itu, terdapat 1,000 orang tahanan anggota Ikhwanul Muslimin yang mati akibat siksaan dan penganiayaan. Dan 6 (enam) orang yang dijatuhi hukuman mati.
Di antara anggota-anggota Ikhwanul Muslimin yang ditahan dalam penjara itu adalah Hakim Dr. Abdul Qadir Audah, Muhammad Faraghali, dan Sayyid Quthub. Para tahanan itu tidak sedikit yang dijatuhi hukuman penjara antara 15 tahun sampai seumur hidup, dan juga hukuman mati, dan kerja paksa memotong dan memecah batu-batu di gunung-ganang. Mereka yang membangkang mogok tidak mau kerja paksa kemudian ditembak. Pernah kejadian yang mogok itu ditembak sekaligus 22 orang dalam penjara mereka. Kejadian itu pada tahun 1977.
Adapun Sayyid Quthub, beliau pernah dihebahkan oleh pihak lnggris, barangsiapa yang dapat menangkapnya akan mendapat hadiah 2000 Poundsterling.
Sayyid Quthub ini lahir pada tahun 1903 di Musha, sebuah kota kecil di Asyut, Mesir. Beliau telah hafal Al-Quran 30 Juz sejak masih anak-anak, meraih gelar sarjana dalam tahun 1933 dari Universitas Cairo, kemudian bekerja pada Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan kemudiannya mengirim beliau untuk belajar di Amerika Serikat selama dua tahun.
Sepulang dari Amerika Serikat beliau ke Inggris, Swiss, dan Itali. Sepulangnya dari luar negeri beliau kemudian menyatakan keyakinannya bahawa Mesir harus membebaskan diri dari kebudayaan asing yang negatif dan merusak keperibadian Islam serta ketimuran itu.
Beliau adalah seorang penyair dan sastrawan yang hasil karyanya diperhatikan orang. Pada tahun 1946 beliau menulis buku berjudul Keadilan Sosial Di Dalam Islam. Buku ini amat populer dan cemerlang sehingga menjadikan beliau termasyhur. Apalagi setelah buku ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, beliau benar-benar seorang tokoh yang berwawasan. Terutama buku ini sebagai jawaban dari sikap Nasser yang mengumandangkan Sosialisme Arab itu.
Sebenarnya Sayyid Quthub ditahan jauh sebelum peristiwa Sandiwara Penentangan terhadap Nasser pada tanggal 26 Oktober 1954, yaitu dua hari setelah Ikhwanul Muslimin dilarang oleh Nasser. Adapun kesalahan beliau yang paling banyak ialah karena beliau mengarang dan menulis beberapa buku yang bersifat semangat Islam. Selain Keadilan Sosial Dalam Islam, juga buku Tonggak-tonggak Jalan yang isinya menolak kebudayaan jahiliyah moden dalam segala bentuk dan praktiknya.
Kekejaman terhadap para tahanan dan terhadap beliau dari penguasa mesir tak terkira. Melebihi Nazi Jerman. Hal ini telah diungkapkan oleh para bekas tahanan yang kemudian selamat kembali kepada keluarga mereka. Mereka banyak berkisah tentang kekejaman penguasa zaman Raja Farouk maupun oleh Pemerintah Nasser. Ramai para bekas tahanan itu yang bercerita sambil bercucuran air mata bila teringat kawan-kawannya yang mati disiksa dan dibantai di hadapan mata kepala mereka sendiri. Hukuman cambuk, cuci otak dengan alat-alat elektronik sehingga para korban menjadi hilang akal, dan sebagainya. Bermacam-macam tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan palsu, fitnah yang dibuat-buat, yang kesemuanya itu tidak ada kesempatan bagi para anggota Ikhwan untuk membela diri. Mereka tetap mengatakan Ikhwanul Muslimin salah, mengkhianati negara dan bangsa, dan sebagainya serta tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal.
Adik Sayyid Quthub yang bernama Muhammad Quthub meninggal dalam penjara. Dan Sayyid Quthub sendiri dibebaskan oleh penguasa pada tahun 1964 atas usaha Presiden lrak, Abdus Salam Aref almarhum. Selepas dari tahanan ini keluarlah buku beliau berjudul Tonggak-tonggak Islam, sehingga pada bulan Agustus 1965 beliau ditangkap dan ditahan lagi bersama 46,000 (empat puluh enam ribu) anggota Ikhwanul Muslimin.
Dalam pengadilan beliau berkata, “Aku tahu bahwa kali ini yang dikehendaki oleh pemerintah (Nasser) adalah kepalaku. Sama sekali aku tidak menyesali kematianku, sebaliknya aku berbahagia kerana mati demi cinta. Tinggal sejarah yang memutuskan, siapakah yang benar, Ikhwan ataukah rezim ini”.
Ketika beliau diadili pada tahun 1954 juga berkata: “Apabila tuan-tuan menghendaki kepada saya, inilah aku dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri!”
Pada bulan Agustus 1966 Mahkamah Militer menjatuhkan hukuman gantung kepada tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk beliau. Dengan sebuah senyum pada hari Senin, di waktu fajar menyingsing tanggal 29 Agustus 1966, beliau meninggal dunia di tiang gantung sebagai jalan untuk menemui Allah! Selama dalam masa penahanan, beliau menulis kitab tafsir Al-Quran yang sangat populer (Fi Zilalil Qur’an) yang saat ini banyak dijadikan kitab referensi dalam berbagai kajian Islam.
Demikianlah hukum yang terjadi di dunia ini, yang benar belum tentu menang dan yang salah belum tentu kalah. Namun pada umumnya yang berkuasa itulah yang dibenar-benarkan, karena pihak yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara karena bukan penguasa, walau tidak kuasa berkata bahwa dirinya benar. Dan Nasser merasa dirinya di pihak yang benar sehingga Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Padahal setiap Mesir ditimpa bahaya, penguasa selalu minta tolong kepada para anggota Ikhwanul Muslimin untuk tampil ke depan membela tanah air, tetapi setelah keadaan aman, Ikhwanul Muslimin dijauhkan dari kebenaran, dipinggirkan, dianggap sebagai organisasi yang najis dan ekstrim.
Demikianlah nasib para pejuang dalam membela kebenaran, bahawa risiko yang dihadapinya tidak sedikit dan bahkan sering membawa korban, disiksa, dianiaya dan demikian itulah cara Allah untuk mengetahui keimanan dan ketakwaan seseorang. Dengan demikian, jelaslah bahwa siapa saja yang tidak mau berjuang untuk membela kebenaran adalah orang yang lemah mentalnya, dan akan mendapat siksa di akhirat nanti.
Waallahu A’lam

Sayyid Quthb: Menjemput Ajal Karena Memurnikan Tauhid
Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan seluruhnya. Inilah prinsip hidup seorang laki-laki yang menjalani hidup dengan harga diri, dan menjemput maut dengan harga diri pula. Inilah teriakan lantang seorang anak manusia yang menggoncangkan tahta thaghut dimanapun dia berada. Inilah teriakan Sayyid Quthb kepada seluruh umat manusia.
Sayyid Quthb Ibrahim Husain, atau lebih dikenal dengan nama Sayyid Quthb, lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di datara tinggi Mesir. Kehidupannya dibangun di atas pondasi keislaman yang kuat. Karena pada usia 11 tahun, Beliau sudah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya dan menjadi seorang hafidz. Masa kecilnya juga penuh diwarnai oleh nuansa pergerakan yang kental karena ayahnya merupakan anggota Komisaris Partai Nasionalis di desanya. Sehingga rumahnya merupakan pusat informasi dan diskusi para aktivis partai.
Pada masa kuliah, Sayyid Quthb sangat terpengaruh oleh pemikiran Abbas Mahmud al Aqqad yang cenderung pada pemikiran Barat. Oleh karenanya, Beliau semakin akrab dan berinteraksi secara intensif dengan literatur-literatur Barat.
Berkat kualitas dan hasil kerjanya yang luar biasa, Sayyid Quthb diberi kesempatan oleh pemerintah Mesir untuk menimba ilmu mengenai metode pendidikan Barat di Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, Beliau belajar di 3 tempat sekaligus, yaitu Wilson’s Teacher’s College di Washington (sekarang bernama University of the District of Columbia), the University of Northern Colorado’s Teacher’s College, dan Stanford University di California.
Ketika berada di Amerika inilah, Sayyid Quthb mengalami titik balik kekagumannya terhadap Barat. Sayyid Quthb terpukul oleh fenomena kebebasan seksual dan pelacuran yang meruyak dalam masyarakat Amerika.
Pada tahun 1952, Sayyid Quthb kembali ke Mesir dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Dan sejak saat itulah, kekuatan pena Sayyid Quthb mulai melancarkan kritikan-kritikan pedas yang emerahkan telinga para penguasa Mesir. Hal inilah yang kemudian memaksa Beliau untuk keluar masuk tahanan hingga akhir usianya.
Ketika berada dalam penjara, berbagai macan siksaan, baik fisik dan mental, dialaminya. Namun ini tidak membuatnya berhenti berkarya. Dan dalam kondisi yang demikian, lahirlah kitab tafsir Fii Dzilal al-Qur’an yang merupakan masterpiece Sayyid Quthb.
Akhirnya pada taggal 12 Agustus 1965, Sayyid Quthb, bersama dengan dua pemuka Ikhwanul Muslimin lainnya, dijatuhi hukuman gantung. Meskipun banyak permohonan untuk membatalkan eksekusi mati tersebut datang dari para pemimpin Islam, termasuk Raja Faisal bin Abdul Azis dari Arab Saudi, pemerintah Mesir tetap tidak bergeming. Pada tanggal 29 Agustus 1969, Sayyid Quthb menjalani hukumannya dan menjemput syahid, Insya Allah, dalam lilitan tali gantungan.
Meskipun sudah hampir 40 tahun Sayyid Quthb berpulang, namun buah pemikirannya masih tetap hangat diperbincangkan dan menginspirasi banyak orang. Ada sebagian pihak menganggapnya berpaham takfir. Namun tidak sedikit pula yang mencoba berbaik sangka terhadap Sayyid Quthb.
Bagi Sayyid Quthb, tauhid adalah inti dari segalanya. Oleh karenanya, memurnikan tauhid adalah pokok perjuangannya. Tauhid tidak lagi hanya mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam pengakuan dzat ketuhanan dan tujuan penyembahan. Sayyid Quthb membawanya selangkah lebih jauh ke tauhid al-hakimiyyah. Yaitu pengakuan bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah yang berhak mengatur dan membuat hukum bagi alam semesta.
Sebagai konsekuensinya, syariat Islam adalah hal yang wajib adanya bagi setiap insan yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Masyarakat yang tidak berhukum dengan syariat Islam tidak ubahnya dengan masyarakat Arab sebelum masa kenabian. Saat itu, masyarakat Arab mengakui Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhannya namun mereka menyembah berhala-berhala. Itulah jahiliyah tempo dulu. Dan sekarang, manusia mempertuhankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyembah-Nya di masjid-masjid, namun mereka masih rela diatur dengan hukum-hukum buatan makhluk-Nya. Dan itulah jahiliyah modern.
Karena jahiliyah, menurut Sayyid Quthb, bukanlah pengingkaran terhadap risalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam semata. Namun juga karena manusia-manusia tidak memurnikan tauhidnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka tidak merasa berdosa jika hidup mereka diatur oleh hukum-hukum buatan manusia. Mereka inilah thaghut. Sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menganggap dirinya berhak menentukan mana yang halal dan mana yang haram.
Meskipun dalam karya-karyanya bertebaran kata-kata “jahiliyah” dan “thaghut”, namun tidak sedikitpun niatan Sayyid Quthb untuk mengkafirkan saudara-saudaranya yang seiman. Ini hanyalah gaya bahasa Beliau yang menghentak-hentak kesadaran, mendobrak kebekuan, dan membangunkan dari keterlenaan. Setidaknya inilah yang dituliskan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya tugas kita bukan untuk menghukum  manusia, ini kafir, ini Mukmin. Tapi tugas kita adalah mengenalkan hakikat tauhid – tiada tuhan selain Allah. Karena manusia tidak mengetahui konsekuensi kalimat tersebut, yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan”.
Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan seluruhnya. Sungguh saya malu dengan diri saya sendiri.
(Ringkasan dari Majalah Sabili No. 03 Th. XVI 21 Agustus 2008 / 19 Sya’ban 1429)

SAYYID QUTB, TOKOH INTELEKTUAL SEJATI
Tokoh Kita kali ini seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir. Sayyid Qutb namanya. Ia lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Qutb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal seluruh Al-Qur`an. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Qutb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.
Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Qutb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson’s Teacher’s College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.
Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri  “At-Taswir Fanni Fil Quran” pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Quran. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil Quran” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul “Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan system Islam.
Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur’an sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.
Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang beredar oleh pemerintah.
Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.
Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.
Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Telunjuk yang bersyahadah setiap kali dalam shalat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan. “ Dan Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, “MENGAPA SAYA DIHUKUM MATI.”
Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu. Semoga Allah memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Amin.
HIKAM:
Studi di banyak tempat yang dilakukannya, seperti Wilson’s Teacher’s College, di Washington, Greeley College di Colorado, Stanford University di California, Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya, tapi itu tak menyiram dahaganya. Akhirnya satu kesimpulan yang diperolehnya: HUKUM DAN ILMU ALLAH SAJA MUARANYA.Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Tanggal 29 Agustus 1969, beliau syahid. Memang, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar