Murtadha Muthahhari Ulama Filosof dan Pejuang
Pemikiran filsafat Islam, dalam makna
luas, tampaknya memang belum berkembang dengan semestinya di tanah air.
Pernyataan ini lahir dengan fakta bahwa belum pernah ada filsuf yang
berasal dari warga negara Indonesia. Kalau melirik kembali sejarah
bangsa Indonesia, sebenarnya pemikiran filosofis pernah hidup di negeri
ini sehingga membuat peradaban Islam Nusantara mencapai titik klimaks.
Sebut saja
misalnya, pemikiran Hamzah Fanshuri (w. 1600 M), dan muridnya,
Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1630 M), telah dengan fasih mengembangkan
ajaran Gnosis Ibn ‘Arabi (w. 1240 M).
Aliran filsafat ‘Arabian’ ini adalah
salah satu aliran filsafat terpenting di Dunia Islam. Tema utama dari
aliran Gnosis ini adalah wahdatul wujud dan Insan Kamil.
Ajaran Gnosis Ibn Arabi ini memadukan visi mistis dan rasional, selain
banyak terminologi filsafat yang digunakan dalam aliran ini. Aliran ini
berkembang di Nusantara pada abad-abad XVI-XVII M.
Sekaitan dengan itu, berarti pemikiran
Hamzah Fanshuri dan para muridnya bisa dikatakan sebagai pemikiran
filsafat Islam, meskipun pemikirannya ‘bercampur’ dengan ajaran Gnosis
Ibn ‘Arabi. Dalam perspektif lain, banyak ahli memasukkan aliran Gnosis
Ibn Arabi sebagai salah satu aliran filsafat Islam terbesar di Dunia
Islam. Dengan alasan ini, maka Hamzah Fanshuri bisa dikatakan sebagai
salah seorang filsuf Muslim pertama di tanah air. Pelekatan predikat
filsuf ini kepada Hamzah Fanshuri tentu bisa memunculkan perdebatan
yang panjang. Fakta historis ini membuktikan bahwa pemikiran filsafat
Islam pernah mengalami kejayaan ketika negara Indonesia masih terdiri
atas kerajaan-kerajaan sekitar abad XVI-XVII M. Sejak penduduk
Nusantara dijajah oleh bangsa Eropa, bahkan hingga mereka berhasil
meraih kemerdekaannya, pemikiran filsafat Islam semakin hilang dari
perederannya, jika tidak ingin mengatakannya mati.
Hingga kini, pemikiran filsafat Islam
memang mulai menyinari kembali bumi Indonesia dalam skala terbatas.
Namun demikian, prosesnya masih dalam tahap gagasan awal. Sebagai sebuah
gagasan awal, penumbuhan kembali pemikiran filsafat di Nusantara masih
mengalami problematika serius. Selain minimnya para pakar filsafat
Islam dalam arti yang sesungguhnya atau tidak adanya filsuf terkemuka
di negeri ini, buku-buku daras filsafat Islam pun masih sangat minim
dikarang oleh para pemikir Muslim di kawasan jambrut khatulistiwa ini.
Bahkan kuantitas buku-buku filsafat klasik standart masih sangat
terbatas, bahkan masih banyak belum diterjemahkan secara besar-besaran.
Dalam kasus terakhir, karya-karya
pemikir lokal memang belum ada yang mengulas secara signifikan tentang
tema-tema filsafat Islam. Sebagai sebuah bagian dari kajian filsafat
Islam, karya-karya tentang epistemologi Islam pun sangat jarang
ditemukan di Indonesia. Sekali lagi, karya-karya tentang epistemologi
yang ada hanya masih berupa gagasan awal, sehingga harus terus
dikembangkan lebih lanjut. Fenomena ini membuat para pelajar filsafat di
Indonesia harus menggunakan karya-karya filsuf Muslim benua lain.
Tragisnya lagi, tidak sedikit pelajar filsafat di negeri ini menggunakan
karya-karya filsuf Barat, yang sebenarnya pandangan mereka memiliki
sejumlah prinsip yang berbeda dengan ideologi Islam. Akan tetapi, usaha
mereka dalam upaya mempelajari filsafat Islam dari karya pemikir luar
itu tetap harus didukung, karena upaya mereka itu bisa dijadikan sebagai
batu loncatan tahap awal menuju penumbuh-segaran kembali kajian
filsafat Islam di kawasan Nusantara.
Di sinilah letak signifikansi kajian
pemikiran Muthahhari tentang epistemologi Islam. Beliau memang belum
pernah hadir secara fisik ke Indonesia, namun pemikirannya telah hadir
di kawasan ini sejak era 1980-an. Bahkan pemikiran filsafatnya, terutama
tentang masalah epistemologi, telah memperkaya khazanah pemikiran
filsafat di Indonesia. Tentu saja, kajian ini secara langsung ataupun
tidak langsung akan turut memperkaya karya-karya filsafat Islam yang
telah ada, terutama karya tentang epistemologi Islam, di Nusantara.
Tulisan ini akan memfokuskan kajiannya kepada pemikiran epistemologi
Murtadha Muthahhari. Sebelum menguraikan pandangannya tentang hal ini,
makalah ini akan berupaya memotret biografi tokoh dari negeri Mullah
ini.
Sketsa Biografi
Murtadha Muthahhari, begitu nama
lengkapnya, lahir 2 Februari 1919 di pojok dusun kecil yang bernama
Fariman, propinsi Khurasan, Iran. Ayahnya adalah Hujjatul Islam
Muhammad Husein Muthahhari, salah seorang ‘ulama besar di kampung
halamannya. Keluarganya adalah keluarga Muslim yang menganut mazhab
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah Ushuliya’. Selain belajar ilmu dasar
Islam seperti teologi kepada ayahnya, Muthahhari juga belajar di
madrasah Fariman, sebuah madrasah tradisional yang mengajarkan membaca,
menulis, juz ‘ammah, dan sastra Arab. Pendidikan dasarnya ini
berlangsung hingga beliau berusia sekitar dua belas tahun.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya,
Muthahhari langsung berangkat ke Hawzah Mashyad untuk melanjutkan
studi religinya pada 1932. Hawzah Masyhad adalah salah satu pusat
pendidikan keagamaan Syi’ah, selain Hawzah Qom (Iran); serta Hawzah
Najaf dan Karbala di Irak. Di Hawzah Masyhad tersebut, Muthahhari telah
menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam upaya mempelajari ilmu-ilmu
Islam. Di sana, beliau juga telah menunjukkan minat besar terhadap
filsafat dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak terinspirasi oleh
kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu, Mirza
Mehdi Syahidi Razavi.
Pada tahun 1936, Muthahhari meninggalkan
Masyhad lalu berangkat ke Hawzah Qom guna melanjutkan studinya. Beliau
hijrah ke kota Qom ini dikarenakan oleh beberapa faktor. Pertama, guru yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga,
adanya tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja
Reza Khan, terhadap seluruh lembaga-lembaga keislaman, termasuk Hawzah
Mashyad. Kerajaan Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi
berbagai institusi Islam tersebut dapat mengganggu stabilitas politis
negara.
Kepergiannya dari Masyhad bukannya tanpa
bekas, sebab kota ini telah memberikan pengaruh intelektual bagi
Muthahhari berupa kesadaran diri untuk mencintai ilmu sepanjang
hayatnya. Kendati guru yang menjadi pusat perhatiannya itu wafat dan
beliau belum cukup umur untuk mengikuti kuliah-kuliah yang disampaikan
oleh guru tersebut, namun beliau telah menemukan kecintaan mendalam
terhadap teologi, filsafat, dan Irfan.
Pada tahun 1937, Muthahhari telah menetap
di Qom. Di kota ini, beliau menjadi salah satu pelajar agama yang
cukup cerdas. Di kota ini, beliau pun sangat apresiatif terhadap mata
pelajaran filsafat. Secara mendalam, beliau mempelajari ilmu ini
melalui ‘Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i. Gurunya
ini mengenalkan kepada Muthahhari secara komprehensif tentang berbagai
bentuk pemikiran sejak Aristoteles hingga Sartre. Thabathaba’i
merupakan Mufassir, Teosof, dan Filosof terbesar pada abad ke-20 M.
Sayyid Husein Nasr yang merupakan murid Thabathaba’i, mengungkapkan
bahwa ‘Allamah Thabathaba’i memiliki kelebihan sebagai seorang
Syaikh dalam bidang syari’ah dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang
Filosof terkemuka. Selain belajar filsafat kepada Thabathaba’i,
Muthahhari pun mempelajarinya dari Ayatullah Al-Astiyani, dan Syaikh Mahdi Al-Mazandarani.
Pada tahun 1941, Muthahhari berangkat ke Isfahan untuk mempelajari kitab Nahjul Balaghah.
Kitab ini merupakan kumpulan dari pidato dan surat-surat Imam pertama
mazhab Syi’ah, Imam ‘Ali bin Abi Thalib. Kitab ini sangat sarat dengan
pengetahuan filosofis dan spiritual. Karena itulah, beliau berminat
mengkaji kitab ini, sehingga membuatnya harus menemui Mirza Ali Aqa
Shirazi Isfahani di Isfahan. Mirza Ali adalah salah seorang guru yang
memiliki otoritas untuk naskah-naskah Syi’ah Klasik, khususnya kitab Nahjul Balaghah.
Sebagai seorang pelajar filsafat, beliau telah banyak membaca kitab-kitab filsafat, seperti kitab Syarh-i Manzumah,
sebuah naskah filosofis karya Mulla Hadi Sabzewari. Beliau mempelajari
kitab tersebut di bawah bimbingan Imam Khomeini sejak tahun 1945.
Muthahhari sangat memahami karya itu, sehingga beliau dikenal sebagai
pensyarah buku Syarh-i Manzhumah tersebut. Kemudian pada tahun 1946, beliau mempelajari Kifayah Al Ushul,
sebuah kitab hukum dari Akhun Khorasani di bawah bimbingan Imam
Khomeini. Melalui kitab ini, kemudian beliau pun memulai komitmennya
untuk mempelajari filsafat Marxisme. Kajian filsafatnya pun terus
berjalan dengan mempelajari kitab Al-Asfar Al-Arba’ah karya
Mulla Shadra. Beliau mulai mengkaji kitab ini sejak tahun 1949 di bawah
asuhan Imam Khomeini. Teman sekelasnya dalam mempelajari kitab Mulla
Shadra tersebut antara lain AyatullahMontezari, Hajj Aqa Reza
Shadr dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri. Pemahaman Muthahhari yang sangat baik
tentang filsafat Shadra tersebut turut menjadikannya seorang ahli
teosofi Mulla Shadra. Pada tahun 1950, Muthahhari pun mempelajari kitab
filsafat Marxisme karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy,
tetapi hanya melalui terjemahannya dalam bahasa Persia. Di samping
itu, bersama dengan Montezari dan Behesyty, Muthahhari juga mempelajari
berbagai kitab filosofis karya dari Ibn Sina kepada ‘Allamah Thabathaba’i.
Muthahhari juga mempelajari ilmu fiqih
dan ushul fiqh di Qom. Dalam bidang ini, yang merupakan mata pelajaran
pokok kurikulum tradisional di Hawzah, beliau mempelajarinya melalui Ayatullah
Burujerdi, pengganti Syekh Abdul Karim Yazdi sebagai direktur lembaga
pengajaran di Qom. Tak cukup pada seorang guru, Muthahhari juga
mendapatkan pelajaran tersebut dari Ayatullah Hujjat Kuhkamari,Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Gulpayagani, dan Ayatullah
Haji Sayyid Shadr Al-Din Shadr. Kesuksesannya dalam mempelajari mata
pelajaran ini ditandai dengan kelulusannya pada ujian untuk meraih
gelar Ayatullah di hadapan para ulama besar seperti Ayatullah Shadr,Ayatullah Muhammad Muhaqqiq, dan Ayatullah Muhammad Hujjat.
Selain itu, Muthahhari juga mempelajari
ilmu Akhlaq. Pada tahun 1362 H, beliau berangkat ke kota Burujur untuk
mengikuti pelajaran akhlaq dari Ayatullah Sayyid Hussein
Burujerdi, yang ketika itu bermukim di sana. Setelah itu, beliau kembali
ke kota Qom bersama gurunya tersebut pada bulan Muharram tahun 1364 H.
Untuk mendalami ilmu ini, Muthahhari juga berguru kepada Syaikh Ali
Al-Syirazi Al-Ishfahani.
Tidak sampai di sini, Muthahhari pun mempelajari Irfan. Untuk itu, beliau berguru kepada Ayatullah Al-‘Uzhma Ruhullah Khomeini. Oleh karena Imam Khomeini juga seorang Marja-i Taqlid,
Muthahhari pun mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqih darinya, di
samping juga aktif mengikuti kuliah-kuliah filsafat yang digelar
pemimpin Revolusi Islam Iran ini.
Seperti ‘Allamah Thabathaba’i,
Muthahhari juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan modern. Beliau cukup
berantusias dalam mempelajari ilmu pengetahuan modern ini. Buku-buku
yang ditulis oleh Will Durrant, Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert
Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel, Charles Darwin, Immanuel Kant, dan
pemikiran filosof Barat lainnya beliau telaah secara seksama dan
serius. Kendati demikian, beliau tidak rendah diri dan malu-malu untuk
lebih menonjolkan filsafat Islam. Ini dibuktikan dengan
analisis-kritisnya terhadap pemikiran Barat Modern. Karena itulah,
beliau dikenal sebagai salah satu kritikus filsafat Barat terkemuka pada
masanya.
Kemudian, beliau pun juga menaruh
perhatian khusus kepada filsafat Materialisme. Beliau mempelajari
pengetahuan tersebut dari berbagai sumber sekunder. Pada tahun 1946,
beliau mulai mempelajari filsafat Materialisme yang diperolehnya dari
buku dan pamflet dalam bahasa Persia yang dibuat oleh partai Tudeh. Dia
juga sering membaca karya-karya yang ditulis oleh ilmuan Partai Tudeh
tersebut, seperti karya Taqi Arani, maupun penerbitan-penerbitan Marxis
dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Selain itu, beliau juga
banyak mempelajari filsafat Materialisme dari Allamah
Thabathaba’i, melalui sebuah diskusi rutin pada setiap hari Kamis.
Diskusi tersebut berlangsung selama tiga tahun yaitu antara tahun 1950
sampai 1953, hingga menghasilkan sebuah buku berjudul Ushul el Filsafat wa Ravesh-e Realisme, karya ‘Allamah
Thabathaba’i. Mutahhhari kemudian mengedit buku ini, sembari
menambahkan banyak catatan sebagai syarahan terhadap buku itu. Karena
itulah, buku tersebut menjadi lebih tebal dari naskah aslinya. Buku itu
pun secara bertahap diterbitkan dalam rentang waktu antara tahun 1953
hingga 1985.
Pada masa berikutnya, Muthahhari
berangkat ke Teheran pada tahun 1952. Di kota inilah beliau mulai
membina rumah tangga dengan istri pilihannya. Istrinya tersebut adalah
puteri dari seorang ‘ulama ternama bernama Ayatullah Ruhani.
Demikianlah masa-masa di mana Muthahhari
mengenyam pendidikan. Beliau tidak hanya mendalami sebuah disiplin
ilmu, tetapi juga mencoba menguasai seluruh disiplin ilmu pengetahuan.
Tak pelak lagi, beliau pun berhasil. Keseriusannya dalam studi keagamaan
telah menjadikan beliau seorang mujtahid, baik dalam bidang tafsir,
fiqih, ushul fiqh, filsafat, maupun ‘Irfan.
Karir Akademis dan Politis
Muthahhari adalah sosok pemikir Islam
Iran legendaris. Beliau berkecimpung tidak hanya dalam bidang akademis
tetapi juga berperan secara aktif dalam bidang politik. Dalam bidang
akademis, beliau sangat aktif memberikan pengajaran baik untuk para
mahasiswa maupun masyarakat awam, selain banyak menulis buku-buku dalam
bidang keilmuan yang beraneka ragam. Dalam bidang politik, beliau pun
aktif berkecimpung dalam berbagai organisasi. Hal itu dilakukan dalam
rangka berjuang menggulingkan pemerintahan tirani rezim Pahlevi,
bersama para ‘ulama, mahasiswa, dan masyarakat Iran yang tertindas; di
mana Imam Khomeini menjadi pemimpin mereka.
Sejarah telah mencatat bagaimana
Muthahhari memberikan dedikasinya terhadap dunia pendidikan di Iran.
Sejak tahun 1953, beliau mendirikan sebuah sekolah agama dan mengajar
mata pelajaran filsafat, sebagai mata pelajaran favoritnya sejak
masa mudanya. Sekolah bercorak keagamaan tersebut bernama Madrasa-yi
Marvi. Sekolah agama tersebut digunakan sebagai fasilitas untuk
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, terutama filsafat, bagi para pemuda
Islam Iran.
Namun itu bukanlah karir perdananya di
bidang pendidikan. Sebab, beliau pun pernah mengajar pelbagai macam
pengetahuan seperti filsafat, logika, teologi, danfiqih pada
saat masih berstatus pelajar di Qom. Beberapa tahun kemudian, beliau
juga pernah diamanahkan untuk mengajar pengetahuan yang sama di fakultas
Teologi dan Ilmu-Ilmu Keislaman, Universitas Teheran. Bahkan pihak
universitas memberikan kepadanya jabatan strategis, seperti
mengangkatnya menjadi Ketua Jurusan Filsafat di Universitas
tersebut. Beliau bergabung dengan Universitas itu sejak tahun 1954
hingga kelak diangkat menjadi guru besar filsafat. Meskipun
sebelumnya, pada tahun 1964, promosi gelar professor untuk Muthahhari
ditolak. Ini tidak lain karena keterlibatan Muthahhari dalam bidang
politik dengan mendukung revolusi politik Imam Khomeini. Tidak bisa
dipungkiri pula bahwa beberapa koleganya di Universitas Teheran juga
kurang menyukainya.
Selain mengajar dan memberikan ceramah
di berbagai tempat, Muthahhari juga aktif dalam kegiatan jurnalistik.
Sejak tahun 1953, beliau menjadi penulis tetap di jurnal filsafat Al-Hikmah.
Dalam jurnal ilmiah tersebut, beliau mulai menyampaikan berbagai
gagasan dan pemikiran briliannya. Tulisan-tulisannya memang banyak
digemari oleh masyarakat, sehingga menjadikannya terkenal.
Selain aktif dalam bidang akademis,
beliau juga aktif dalam bidang politik. Pada masanya, pemerintahan
negara dikuasai oleh pemerintahan Pahlevi. Melihat kemungkaran yang
terus dilakukan rezim itu, bersama Imam Khomeini dan masyarakat, beliau
turut berjuang melawan kekuatan pemerintah yang tidak kecil. Karena
oposisinya terhadap pemerintah ini, beliau bersama Imam Khomeini pernah
dipenjarakan oleh pemerintah pada tahun 1963. Setelah Imam Khomeini di
buang ke Turki, Muthahhari pun dibebaskan. Namun atas perintah Imam
Khomeini, lantas Muthahhari memimpin perjuangan Revolusi Iran yang juga
didukung masyarakat dan ‘ulama Iran. Selanjutnya, pada tahun 1971,
beliau bertanggung jawab guna menentukan rencana-rencana politik
ideologi di masjid Al-Jawad. Untuk mengambil berbagai kebijakan, beliau
pun selalu meminta nasehat kepada Imam Khomeini, terutama dalam
persoalan politik yang penting.
Agar perjuangan politiknya semakin solid, maka Muthahhari pun aktif mendirikan organisasi. Beliau pernah mendirikan Husainiyah Irsyad
bersama para koleganya. Organisasi ini adalah sebuah lembaga di Teheran
Utara yang bertujuan merekrut kaum muda berpendidikan sekuler agar
setia kepada Islam. Organisasi ini didirikan sejak tahun 1965. Jauh
sebelum organisasi ini berdiri, Muthahhari juga aktif mengikuti
organisasi lain. Beliau pernah bergabung dengan Organisasi Keislaman
Profesional yang berada di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan AyatullahTaleqani.
Organisasi ini menyelenggarakan berbagai kuliah kepada para anggota
mereka seperti dokter, insinyur, serta dokter. Kemudian, beliau
pernah bergabung dengan organisasi ‘ulama Teheran bernama ‘Masyarakat
Keagamaan Bulanan’ sejak tahun 1960. Beliau juga pernah diamanahkan
untuk memimpin organisasi ini. Salah satu pengurus organisasi ini
adalah teman kuliah Muthahhari di Qum, yaituAyatullah Behesyti.
Para anggota kelompok ini mengorganisasikan kuliah-kuliah umum bulanan
yang dirancang secara serempak, untuk memaparkan relevansi Islam
dengan masalah-masalah kontemporer, dan untuk menstimulasikan pemikiran
reformis di kalangan ‘ulama.Terakhir, Ayatullah Muthahhari pun
juga pernah berkecimpung dengan organisasi ‘Jam’iyah Ulama Militan’,
sebuah organisasi Islam penting waktu itu. Melalui berbagai
organisasi inilah, kelak Mutahhari semakin dikenal luas dan menjadi
tokoh yang cukup diperhitungkan Pemerintah.
Aktifitas politik Muthahhari juga dapat
dilihat dari perannya dalam mengisi panggung politik internasional. Pada
tahun 1969, beliau bersama Ayatullah Zanjani dan‘Allamah Thabathaba’i
mengeluarkan pernyataan keras untuk mengutuk agresi pemerintah Amerika
dan Israel ke Palestina. Tidak sekedar itu, beliau pun aktif mengumpulkan dana yang diperlukan oleh para pengungsi Palestina sejak agresi tersebut.
Pemerintah akhirnya menilai bahwa
aktifitas politis Muthahhari membahayakan stabilitas kekuasaan kerajaan.
Karena itu, pada tahun 1972, kegiatan-kegiatan intelektual pusat-pusat
kebudayaan Islam, terutama Husainiyah Irsyad dan mesjid
Al-Jawad dilarang beraktifitas oleh rezim Shah. Akhirnya, beliau
dipenjarakan untuk kesekian kalinya sebagai akibat kegiatan politiknya
itu meski tidak lama kemudian beliau dibebaskan tanpa syarat.
Menjelang kemenangan Revolusi Islam
Iran, Muthahhari mendapat tugas mulia dari Imam Khomeini. Beliau
ditugaskan untuk mengorganisir masyarakat ‘Ulama Mujahidin’ dan memimpin
‘Dewan Revolusi’. Setelah Revolusi Islam di Iran berhasil
menggulingkan pemerintahan Pahlevi, Muthahhari tetap menjadi pembantu
setia Imam Khomeini. Muthahhari pun terus memberikan dedikasinya
kepada masyarakat dan negaranya. Untuk itulah beliau tetap memimpin
‘Dewan Revolusi’.
Sebagai seorang politisi, tentu
Muthahhari memiliki lawan politik. Sikap tegasnya dalam memperjuangkan
Revolusi Islam dengan berbagai manuver politik, membuat lawannya gerah.
Kelompok Furqan yang tidak menyukai Muthahhari, melakukan upaya
pembunuhan terhadap dirinya. Rencana pembunuhan itu berhasil
dilaksanakan pada hari selasa malam tanggal 1 Mei 1979, dan Muthahhari
pun ditembak mati oleh kelompok tersebut. Peristiwa penembakan itu
dilakukan pada saat Muthahhari ingin pulang ke rumahnya, setelah selesai
mengadakan rapat di rumah Yadullah Shahabi, salah satu anggota Dewan
Revolusi. Pada saat itu beliau berjalan sendirian menuju ke tempat
parkir mobilnya. Belum sampai ke mobilnya, beliau mendengar suara asing
memanggilnya. Ketika beliau melirik ke arah suara tersebut, seketika
sebuah peluru menembus kepalanya, masuk di bawah cuping telinga kanan
dan keluar di atas alis mata kiri. Beliau memang sempat dilarikan ke
rumah sakit terdekat, namun beliau telah syahid dalam perjalanan.
Muthahhari pun tidak dapat mengabdi
kepada bangsanya lagi. Pada hari rabu, tanggal 2 Mei 1979, negara Iran
berkabung. Para penyiar radio dengan suara perlahan mengumumkan
syahidnya Muthahhari diiringi pembacaan beberapa petikan dari
tulisannya. Beliau pun disemayamkan di rumah sakit. Hingga hari
kamis, di tengah-tengah perkabungan luas, jasadnya dibawa ke beberapa
tempat untuk dishalatkan. Yang pertama sekali ke Universitas Teheran,
lalu ke Qom, untuk kemudian dimakamkan di sebelah makam Syaikh Abdul
Karim Ha’iri Yazdi, yang juga tidak jauh dari makam Sayyidah Fathimah
Al-Ma’shumah.
Sebuah poster pernah dibuat untuk
mengabadikan sosok Muthahhari. Poster itu bergambar seorang yang wajah
bercambang dengan kacamata tebal dan lingkaran sorban menyeruak di sela
buku tebal dan menara mesjid pada latar belakang, juga ada merpati yang
tengah terbang dengan punggung dihiasi sabda Rasulullah SAW;Tinta ‘ulama lebih utama dari pada darah segar Syuhada’.
Meskipun secara fisik telah tiada, namun
secara intelektual Muthahhari tetap hidup. Sebab, kini buah fikirnya
tetap hidup dalam menghiasi blantika pemikiran Islam Kontemporer.
Beberapa karya tulisnya adalah seperti: A Discourse in the Islamic
Republic; Al-‘Adl Al-Ilahiy; Al-‘Adl fi Al-Islam; Akhlaq; Allah fi Hayat
al-Insan; An Introduction to ‘Ilm Kalam; An Introduction to ‘Irfan;
Attitude and Conduct of Prophet Muhammad; The Burning of Library in Iran
and Alexandria; The Concept of Islamic Republic (An Analysis of the
Revolution in Iran); Al-Dawafi’ Nahw Al Maddiyah; Al-Dhawabit
Al-Khuluqiyah li al Suluk al Jins; Durus min Al-Quran, The End of
Prophethood; Eternal Life; Extracts from Speeches of Ayatullah
Muthahhari; Glimses on Nahj al-Balaghah; Fi Rihab Nahj al-Balaghah; The
Goal of Life; Al-Hadaf al-Samiy li al Hayat al-Insan; Happiness;
History and Human Evolution; Human Being in the Quran; Ijtihad in the
Imamiyah Tradition; Ijtihad fi al Islam; Al Imdad al-Ghaybi; Al-Islam
wa Iran; Islam Movement of the Twentieth Century; ‘Isyrun Haditsan;
Jihad; Jurisprudence and its Principles; Logic; Al-Malaqat
al-Falsafiyah; Man and Faith; Man and His Destiny; Al-Insan wa al-Qadr;
Mans Social Evolution; Al-Takamul al-Ijtima’iy li al Insan; Maqalat
Islamiyah; The Martyr; Al Syahid Yatahaddats ‘an Al Syahid; Master and
Mastership; Wilayah; The Sation of the Master; Al- Waly wal- Wilayah;
Al Naby Al Ummy; The Nature of Imam Husein’s Movement; Haqiqah
al-Nahdhah al-Huseiniyah; On the Islamic al-Hijab; Mas’alah al-Hijab;
Philosophy; Polarization around the character of Ali bin Abi Thalib;
Qashash al-Abrar; Religion and the World;, Recpecting Rights and
Despising the World; Ihtiram al-Huquq wa Tahqir al-Dunya; Reviving
Islamic Ethos; Ihya al-Fikr al-Diniy; Right of Woman in Islam; Huquq
al-Mar’ah fi’al Islam; The Role of Ijtihad in Legislation; The Role of
Reason in Ijtihad; The Saviour’s Revolution; Al-Mahdiy wa Falsafah
al-Tarikh; Sexual Etichs in Islam; Al-Suluk al-Jinsy baina al-Islam wa
al-Gharb; Society and History; Social and Historical Change;
Al-Mujtama’ wa al Tarikh; Spirit, Matter, and Life; Spiritual Sayings;
Al-Tafkir fi al-Tashawwur al-Islami; Al-Takamul al-Ijtima’iy al-Insan;
Al-Tahsil, Al-Taqwa, Understanding the Quran; Ushul Falsafah wa Madzhab
al-Waqi’iy; The World View of Tawhid; Al Mafhum al-Tawhidiy li
al-‘Alam; dan Al-Wahy wa an Nubuwah. Yang perlu di catat, ini
hanya merupakan sebagian dari karya Muthahhari. Masih banyak karya lain
dari tokoh ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam makalah
ini. Ini pula membuktikan bahwa meskipun beliau disibukkan oleh
perjuangan Revolusi Islam Iran, di samping aktifitas lainnya, namun
beliau tetap menyempatkan diri untuk menggoreskan pemikirannya ke dalam
sebuah kertas putih.
Metode Berfikir
Setiap pemikir besar memiliki metode
berfikir tertentu dalam setiap wujud pemikirannya. Metode berfikir itu
biasanya mewarnai seluruh hasil pemikirannya, dan bahkan merupakan ‘akar
tunggal’ dari seluruh pendekatan dan gagasan yang dikedepankannya.
Demikian pula dengan Ayatullah Muthahhari, yang secara pasti memiliki sebuah metode berfikir tertentu.
Umum dikenal bahwa pada abad XX, Hawzah Qom telah diwarnai beberapa akademi. Salah satu dari beberapa akademi tersebut adalah akademi “Rasionalisme-Tekstualisme”.
Dalam hal ini, Muhsin Labib menerangkan bahwa Muthahhari sebagai salah
satu pemikir besar Iran, termasuk ke dalam aliran pemikiran atau
akademi tersebut. Kenyataan ini juga yang memberikan gambaran bahwa
corak berfikir Muthahhari adalah Rasionalisme-Tekstualisme.
Akademi ini adalah sebuah
aliran yang menjadikan rasio (akal) sebagai landasan pemikiran dan
menggunakan teks-teks agama sebagai argumen pembenar dari landasan yang
telah dikonstruk oleh akal tersebut. Metode berfikir ini memang sangat
kentara dalam berbagai karya Muthahhari. Dalam berbagai karyanya yang
terkenal itu tampak bahwa beliau memang senantiasa memulai pembahasan
dengan menggunakan dalil-dalil rasional dan pada akhirnya, untuk
mendukung pemikirannya itu, beliau menggunakan teks-teks agama.
Dalam konteks ini, bahwa tampak Muthahhari sangat cukup apresiatif terhadap akal. Beliau selalu menggunakan dalil-dalil akal (dalil aqli) dalam membahas sebuah permasalahan. Setelah itu, beliau pun mencari dalil-dalil wahyu (dalil naqli)
untuk mendukung pemikiran yang telah dibangunnya melalui akal
tersebut. Sebab itulah, sebagaimana diungkap Muhammad Ja’far, bahwa
filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri di atas fundamental
kekuatan nalar rasio, mendapatkan tempat yang cukup istimewa dalam
semua lini konsepsi pemikiran Muthahhari. Kendati begitu, bukan berarti
sosok Muthahhari mengesampingkan nash-nash agama dan dimensi
spiritualitas serta hanya bertumpu pada rasio belaka. Beliau pun
mengecam pemikir yang hanya sepenuhnya bertumpu dan berorientasi pada
akal atau rasio, tanpa mempertimbangkan nash-nash agama dan
spiritualitas.[41] Boleh jadi sikap Muthahhari ini ingin membuktikan
bahwa dalil-dalil akal tidak bertolak belakang dengan nash-nash agama,
tetapi memiliki kaitan erat, bahkan saling mendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar