Kearifan Puncak Mulla Shadra
“Mulla Shadra seorang filosof yang
sederajat dengan filosof Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq
Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain
sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam
sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti
Ibnu Arabi. Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan
tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan
masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama
Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak
waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala
sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan
kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.Mulla Shadra
berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid)
dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan
dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal,
ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.”
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan
terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di
bawah kekuasaan keturunan Shafawiyah yang secara resmi mengakui
kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan
salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.
Ayah Mulla Shadra –Khajah Ibrahim Qiwami–
seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang
melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah
menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi
nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Shadra, setelah dia
dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Shadra.
Sadruddin Muhammad (Shadra), merupakan
anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars,
hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk
anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar
oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Shadra seorang anak yang
cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia
menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia,
Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga
diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Shadra yang
belum balig waktu itu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam
bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari diarynya yang banyak tertulis
syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan
Attar.
Sebagian dari pelajaran di atas ia
pelajari di kota Syiraz dan sebagian lagi dipelajari sewaktu berumur
enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar dengan banyak guru dalam bidang
yang beragam dan menyelesaikannya dengan cepat mulai dari pelajaran
tingkat pertama, menengah sampai tingkat tinggi.
Mulla Shadra selama Di Qazwin bertemu
dengan guru-guru besar seperti Syaikh Bahauddin Amili dan Mir Damad dan
kemudian menuntut ilmu dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan
kecerdasan yang dimilikinya, ia dapat menguasai pelajaran dengan
sempurna dan menjadi murid yang paling dihormati dan dicintai oleh kedua
gurunya.
Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun 1006 H atau 1598 M)
Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya juga hijrah ke kota
tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada masa itu, Mulla
Shadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan semua
pelajarannya.
Tidak diketahui secara pasti selama
berapa tahun ia menetap di Ishfahan dan setelah itu ia ke kota mana.
Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H atau 1602 M ia hijrah dari
Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi warisan kekayaan ayahnya,
sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin dan beberapa bagian
diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.
Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi
yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Shadra
adalah salah seorang filosof ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi
secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat
Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.
Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani bertutur ihwal Mulla Shadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai
kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat
(eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan
cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah
dan kesucian jiwa.
Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah
(penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka
secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa
hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan
irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.
Kata Mulla Shadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk) dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah
atas apa yang telah diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat
dalam menghayati secara serius ayat-ayat Al-Quran dan sebaiknya orang
tersebut tidak mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti
ini sebaiknya mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa,
Sejarah, ilmu Ushul, ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian
besar masyarakat haram memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan
yang sangat dalam meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci,
cita-cita yang tinggi, keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.
Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, jika tidak maka dia tidak akan mungkin
sampai pada hakikat ilmu tersebut, bahkan sebaliknya akan menjauhkannya
dari jalan yang lurus dan tujuan suci. Seorang filosof yang bijaksana
tidak boleh mengajarkan dan mewariskan ilmu itu kepada orang seperti
ini.
Kelahiran dan wafat
Mulla Shadra lahir pada tahun 979 H atau
1571 M di kota Syiraz. Ayah Mulla Shadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami
Syirazi anak dari Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan
Muzaffar.
Syiraz saat itu merupakan kota yang
paling tenang dan paling indah di bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza
Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja
ini sangat mendukung penyebaran agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla
Shadra bekerja di kerajaan tersebut dan dihormati masyarakat karena
budi-baiknya.
Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu
karyanya menulis kisah tentang Mulla Shadra, dikisahkan suatu hari
ayahnya pergi dan melimpahkan satu pekerjaan kepadanya, setelah kembali
dari safar ia meminta laporan pertanggungjawaban keuangan selama
ditinggal, dalam laporannya tertulis ada sejumlah besar uang
disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang yang disumbangkan tersebut
setara dengan jumlah uang yang dinazarkan ayahnya kepada Tuhan ketika
memohon seorang anak. Ketika ayahnya menanyakan alasan penggunaan uang
sebanyak itu Mulla Shadra menjawab bahwa uang itu adalah uang nazar yang
mesti dibayarkan. Ia sangat terperanjat mendengar jawaban anaknya
karena hal itu tidak pernah disampaikan kepadanya.
Mulla Shadra dilahirkan di zaman dimana
cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana
kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk menyempurnakan dan
menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus secara bertahap
filosof-filosof untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikat-hakikat
yang lebih tinggi.
Filosof Ilahi ini meninggal tahun 1050 H
atau 1640 M di kota Basrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekah
dengan berjalan kaki. Filosof Sayyid Abul Hasan al-Qazwini berkata:
empat puluh tahun yang lalu saya bertanya tentang kuburan Mulla Shadra
kepada salah seorang Arab yang tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering
ke kota Basrah Iraq, orang Arab tersebut menjawab di kota Basrah ada
kuburan yang dikenal dengan kuburan Mulla Shadra Syirazi, tapi peneliti
sejarah tidak pernah menemukan tanda-tanda kuburan filosof tersebut
mungkin karena pengaruh perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan
tersebut hancur, wallahu a’lam bihaqayikil umur.
Guru-guru Mulla Shadra
Mulla Shadra belajar di Qazwin kepada
Syaikh Bahauddin Amili dan Mir Damad, setelah ibukota berpindah dari
Qazwin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1596 M iapun hijrah bersama
kedua gurunya ke kota tersebut dan menyelesaikan pelajaran tertingginya
seperti Logika, Filsafat dan Irfan di sana. Mulla Shadra banyak sekali
mengambil manfaat dari kedua gurunya tersebut.
- 1. Syaikh Bahauddin Amili
Syaikh Bahauddin (953 – 1030 H) walaupun
bukan guru pertama Mulla Shadra tetapi merupakan guru yang paling
penting dan berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya hingga mencapai
kesempurnaan akhlak dan ilmu.
Dia adalah anak dari salah seorang fuqaha
Libanon bernama Syaikh Husain bin Abd ash-Shamad Amili. Kota Jabal
Amil salah satu kota yang terletak di selatan dan penduduknya mayoritas
Syiah, saat itu di bawah kekuasaan pemerintah Jabbar Usmani yang
menyiksa dan membunuh banyak ulama-ulama Syiah, sehingga sebagian
ulama-ulama hijrah dan berlindung di bawah pemerintahan Iran Shafawi.
Syaikh Bahauddin yang saat itu berumur tujuh tahun bersama ayahnya juga
hijrah ke Iran. Ayahnya sebagai Syaikh al-Islam dan menjadi wakil ruhani
di kota Harat Khurosan dan Syaikh belajar dan menyelesaikan studinya di
Iran kemudian dengan cepat menjadi seorang ulama yang terkenal.
Syaikh menguasai berbagai cabang ilmu seperti Fiqih, Hadis, Tafsir, Adabiyat, Matematika dan Astronomi.
- 2. Mir Damad
Mir Muhammad Baqir Husaini yang dikenal
dengan Mir Damad adalah salah seorang ulama terbesar di zamannya dan
guru terkenal yang mengajarkan filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi),
Irfan, Fiqih dan ilmu keislaman. Ayahnya juga seorang faqih dari
Istarabad (sekarang Gurgon), di masa muda Mir Damad belajar di Madrasah
Khurasan setelah itu menjadi menantu (damad) ulama terkenal
dari Libanon Syaikh Ali Karaky yang di kenal sebagai Muhaqqiq kedua dan
penasihat agung raja Shafawi, karena ia menjadi menantu ulama tersebut
maka gelar Damad yang artinya menantu melekat padanya.
Ia dilahirkan di Khurasan tahun 969 H
atau 1562 M, dan menghabiskan masa remajanya di Masyhad ibukota
Khurasan. Dia sangat cerdas dan cepat menamatkan semua pelajaran dasar
kemudian berangkat ke Qazwin (saat itu ibukota Pars) untuk
menyempurnakan ilmunya. Semua tingkatan keilmuan dilalui dengan sempurna
dan menjadi seorang ulama dan guru yang terkenal.
Mulla Shadra semasa remaja bersama
ayahnya ke Qazwin bertemu dengan Mir Damad dan menjadi muridnya. Pada
tahun 1006 H atau 1596 M ibukota Pars berpindah dari Qazwin ke Ishfahan
maka Mir Damad pun memindahkan pengajarannya ke sana. Mulla Shadra
banyak mengambil manfaat dari gurunya dan menguasai secara sempurna ilmu
yang dimilikinya, ialah pewaris ilmu gurunya. Mulla Shadra sangat
menghormati dan mencintai gurunya sedemikian hingga hubungan dengan
gurunya sangatlah erat dan tak terputus.
Mir Damad pada tahun 1041 H atau 1631 M meninggal karena sakit dalam perjalanannya ke Iraq.
Tiga tahapan kehidupan Mulla Shadra
Kehidupan Mulla Shadra dibagi dalam tiga tahapan:
Tahapan pertama: masa
menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan
Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan
Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya.
Tahapan kedua: Karena
tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang hasad atas kemajuan
ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran
barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat
itu dia kemudian meninggalkan Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan
mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum.
Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Ia menjalani dengan cepat tingkatan-tingkatan suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M kembali ke Syiraz.
Tahapan ketiga: masa
menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua
tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya
lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan
sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Shadra kembali mengajar
setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk
(tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap baginya
hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini
dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw
dan Ahlulbait. Karena penafsiran-penafsiran beliau berdasarkan kedua
sumber tersebut – ilmu syuhudi dan hadis – tidak sesuai dengan
apa yang dipahami secara umum oleh banyak ulama dan fuqaha, akhirnya
membangkitkan kebencian dan kemarahan mereka yang berujung pada
pengkafiran (tafkir) dirinya dan pengharaman membaca karya-karyanya.
Mulla Shadra setelah melewati ketiga tahapan tersebut berkata:
Segala hal yang mengantarkan kami kepada inayah
(perhatian) dan hidayah Tuhan serta pengetahuan rahasia tauhid dan alam
akhirat, saya berkeyakinan bahwa tak satupun pengikut filsafat
peripatetik selain Aritoteles sampai kepada derajat pengetahuan tersebut
dan juga saya yakin tak satupun para sufi yang sampai pada mukasyafah (penyingkapan) irfani mampu mengargumentasikan segala hal yang didapati dari mukasyafah.
Putra-putri Mulla Shadra
Kemungkinan besar Mulla Shadra menikah
diumur 40 tahun dan dianugerahkan lima anak, dua laki-laki dan tiga
perempuan anak, berikut ini nama dan tahun kelahiran mereka:
- Ummu Kulsum lahir tahun 1019 H/1609 M
- Ibrahim lahir tahun 1021H/1611 M
- Zubaidah lahir tahun 1024 H/1614 M
- Nizamuddin Ahmad lahir tahun 1031 H/1621 M
- Ma’shumah lahir tahun 1033 H/1623 M
Murid-murid Mulla Shadra
Pada tahapan ketiga kehidupan Mulla
Shadra dikatakan bahwa dia kembali mengajar dan mendidik murid-muridnya
di madrasah Syiraz yang bernama Khan di bangun pada zaman pemerintahan
Syah Abbas Shafawi.
Di madrasah inilah dihasilkan banyak
murid-muridnya yang ternama dan kemudian menjadi filosof terkenal, di
bawah ini kami hanya menyebutkan murid-muridnya yang memiliki
karya-karya yang banyak, seperti:
- Mulla Muhsin Faidh Kasyani, menikah dengan Zubaidah anak ketiga Mulla Shadra
- Mulla Abdurazzaq Lahiji yang di gelari Fayyadh, menikah dengan Ummu Kulsum anak pertama Mulla Shadra.
- Mirza Syarafuddin Abu Ali Ibrahim, anak kedua Mulla Shadra
- Nizamuddin Ahmad, anak keempat Mulla Shadra
- Syaikh Husain Tankabi
- Syah Abul Wali Syiraz
- Mulla Muhammad Irwani
- Muhammad bin Ridha bin Ogho Jani
Karya-karya Mulla Shadra
- Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof. Kitab ini terbagi dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.
- Ittihâd al-Âqil wa al-Ma’qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.
- Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).
- Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Shadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filosof Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud..
- Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.
- Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.
- Aksirul ‘Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu—ilmu dan makrifat nafs (ilmu jiwa).
- At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.
- At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.
10. Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Shadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.
11. Ta’liqât ‘ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.
12. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-Hadid,
Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah,
al-Waqi’ah, at-Thariq, al-‘Ala dan az-Zalzalah.
13. Huduts al-‘Âlam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya alam materi.
14. Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.
15. Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Shadra.
16. Khalq al-‘Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis Ahlulbait As.
17. Diwâne Sy’er: kumpulan syair-syair Mulla Shadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.
18. Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma’ad jasmani.
19. Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.
20. Seh Asl: kitab ini
menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian ulama dan fuqaha
menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filosof dan ‘arif, dan
juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk ilmu dan amal.
21. Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.
22. Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.
23. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta’aliyyah.
24. Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada Tuhan.
25. Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.
26. Al-Lamâ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.
27. Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak.
28. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.
29. Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.
30. Al-Mizâj
31. Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.
32. Al-Masyâ’ir: Kitab ini
berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular
tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab
ini.
33. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari kemudian.
34. Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.
35. Al-Waridat al-Qalbiyyah:
kitab menjelaskan tentang penyingkapan irfani atas masalah ketuhanan,
tingkatan alam besar dan alam kecil (manusia) serta pentingnya pensucian
diri dan menjalani maqam-maqamnya.
36. Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Shadra kepada gurunya Mir Damad.
37. Ashalat j’al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.
Hikmah Muta’aliyah
Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.
Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta’aliyah dalam meraih
makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal),
penyingkapan (mukasyafah), Al-Quran dan hadis Ahlulbait, karenanya
dikatakan paling tingginya hikmah.
Dalam kitab Asfar dia berkata
bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan
tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan
rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai
hakim atau filosof ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan
dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama
yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka
akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang
diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar
maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
Menurut filosof ini fiqih untuk
mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka
kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan
makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi
kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran
berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf – tergabung
secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta’aliyah,
aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran
di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda.
Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri
sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Mulla Shadra mampu
menggabungkan antara dotrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran
dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap
persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu
kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya.
Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya
sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir
Al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.[
Tidak ada komentar:
Posting Komentar