Rabu, 13 Maret 2013

MASYARAKAT YANG TERLUPAKAN

Bebepa hari terakhir ini, media Marak membicarakan tentang pengunduran Anas Urbaningrung sebagai ketua umum Partai Demokrat  23 Februari 2013. Pengunduran Anas dikarenakan tersangka kasus korupsi Wisma Atlet  Hambalang.
Ketika disuruh oleh bapakku membeli daging dijalan Bandang, saya melihat salah satu media koran yang tercecer didepan televisi pemilik pengusah daging. Lembaran demi lembaran Koran tersebut saya buka. Saya menemukan sebuah judul tulisan “ Pertemuan Jiwa Yang Menyerah”. Tulisan tersebut mengangkat sebuah cerita yang dari buku dan film “Habibei &  Ainun”. Dia menceritakan perjuangan Habibi yang yang ingin mempersembahkan cinta terbaik untuk negeri.
Namun, semua itu disisa-siakan oleh sejarah. Sejarah telah menghianatinya.Prof. Habibie telah menujukkan karya dan dedikasi terbaiknya mengantarkan Indonesia menjadi Negara mandiri yang disegani. Namun, ikhtiar suci itu akhirnya menemui batu sandungan setelah IMF melanggengkan intervensi. Industri Pesawat terbang kita tidak dibiarkan bertumbuh unjuk gigi.
Sepintas membaca tulisan tersebut, membuatku penasaran dan ingin mengabadikannya. Saya pun pulang ke rumah dan membawa daging yang telah saya beli. Setiba di rumah, saya mengajak sepupu dan ke keoponakanku menemaniku membeli Koran yang biasanya banyak dijual di  Fly Over.
Sore itu, tepat pada hari Ahad 24 Februari 2013. Saya menuju Fly Over untuk membeli Koran. Saya melihat dua orang anak yang umurnya sekitar 10 tahunan dan seorang nenek yang umurnya diatas 50-an menjual Koran.  Saya mendekatinya dan bertanya, “ ta’ berapa koranmu de?” ia pun menjawab,” kalo fajar Rp. 5000 dan Tribun Rp. 2000.”
“Napa mahal sekali, na soremi ini?” ujarku. “begitu memang ka,” jawabnya. Sang nenek pun medekatiku dan berkata,” tidak bisa kurang nak, karena kalo Fajar ta’ Rp. 3500 kami ambilkanki dan Tribun Rp. 1700, utungnya sedikit kasian,”
Masyarakat yang Terlupakan
"oleh : Ardiansyah"
“ untung kalo ada yang mau membeli, apalagi kalo sore seperti ini,” sang nenek menambahkan. Saya mendekati anak yang masih belia itu dan mengajaknya berbicang-bincang. Dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas tiga. Hari-harinya dihabiskan di jalan. Hatiku miris, piluh melihat anak tersebut. Anak yang seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan belajar dan bermain  namun diharuskan merasakan pahitnya kehidupan.
Koran Tribun yang mereka jual sore itu, seharga Rp 2000, hanya mendapat utung Rp.300 dan Fajar meraka jual seharga Rp.5000 dan utungnya hanya Rp.1500. itupun jikalau ada yang membeli maka syukurlah. Seharian mereka dijalan, asap, deru knalpot, terik matahari mewarnai hari-hari meraka demi menyambung hidup.
Saya membeli koran anak tersebut dan  mengelaurkan uang Rp. 10 ribuan. Saya pun berkata,” ada uang lima ribumu dua dek?” ia pun menjawab,” tidak ada kak,”. Tolong kamu tukar sama nenek itu,” kataku. Sang nenek pun berkata,” uangku hanya empat ribuh nak,”
Mendengar jawaban nenek itu, hati kecilku berkata, “sudah sore seperti ini, sang nenek baru mendapatkan hasil dari penjualan korannya empat ribu rupiah.” Sungguh keras perjuangan sang nenek untuk menyambung hidup. Matahari hampir terbenam akan tetapi uang yang didapatnya, membeli nasi bungkuspun tidak cukup. Apa tak lagi jikalau ada keluarga yang harus dihidupi di rumah.
Beda halnya dengan oknum polisi yang bertugas di jalan Nusantara. Gaji pokoknya sudah jelas, di tambah lagi jika ada pengendara yang melanggar pasti akan kena sanksi. Yang berujung pada uang yang harus dibayar kepada oknum polisi.
Tepat pada akhir pekan, minggu 24-02-2013. Saya berdiri di pinggir jalan nusantara. Memperhatikan aktifitas masyarakat Makassar. Ada ang sibuk membuka warung makannya, membuka toko, sang buruh sibuk mengangkat barang para penumpang kapal. Namun ada juga yang sibuk menjaga rambu lalulintas, yang bertanda di larang berbelok.
Saya salut dengan kinerja petugas lalu lintas tersebut. Akan tetapi ada oknum polisi manjadikan rambu lalulintas tersebut sebagai tempat mendulang rejeki. Mereka “oknum polisi” berdiri jauh dari rambu lalulintas tersebut, mereka baru keluar dari tempat “nonkrongnya”  ketika melihat ada yang melanggar. Yang melanggar pun ditahan, pak polisi lalu hormat dan mengatakan, “ siang pak, anda melanggar rambu yang disana.”. pengendara yang melanggar pun di ajak ke tempat “nongkrongnya” disodorkannya buku (daftar harg yang harus dibayar ketika melanggar salah satu peraturan yang telah ditentukan oleh pihak yang berwajib). Lobi-lobi pun terjadi, tapi intinya setelah bayar uang, kamu bebas.
Tak lama lagi kemudian, ada salah seorang yang melangar. Dia tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), tapi karena dia mempunyai seorang adik polisi dan sang adik pun komunikasi dengan oknum polisi melalui telefon selular. Akhirnya dia tidak terkena sanksi meskipun nyata-nyata melanggar.
Beberapa jam kemudian, ada pengendara yang melanggar. Tapi di termasuk anggota (Tentara) sehingga dia pun tidak kena sanksiya. Sanksi itu hanya di peruntutkan oleh masyarakat  biasa. Masyarakat biasa semakin tertidas oleh kaum borjuis sebagaimana yang diungkapkan oleh Kalr Max.
Pun saya membaca salah satu media Koran terbitan Minggu 24 Februari 2013 yang menyabutkan Wali kota Makassar kita berlinang  air matanya ketika tawaf di Tanah Suci. beliau memilih menenangkan diri dengan mengadakan Umrah untuk menenangkan diri. Memingat karna beberapa bulan terakhir ini, belau dinyatakan kalah dalam pemilihan gubernur dan menagujakan gugatan ke Mahkama Konstitusi (MK).
Betapa banyak kejadian-kejadian yang mengusik pikiranku hari ini. Di tambah lagi ketika meleihat poster yang terpangpang disepanjang pohon di jalan A.P Pettari yang di lakukan oleh tim yang akan maju di pemilihan Walikota Makassar. Nyata-nyata sudah jelas dilarang memasang poster, baliho, spanduk disepanjang jalan tersebut, namun masih ada saja oknum yang  melanggarnya. Menghabiskan banyak anggaran untuk percetakan spanduk, baliho poster dan sebagainya. Setiap sudut jalan kita menemukan foto kandidat.
Pernahkah kita sekilas menunduk ke bawah menyaksikan masyarakat yang menjual Koran di setiap sudut kota Makssar. demi uang Rp. 300 anak yang seharusnya menghabiskan waktunya belajar dan bermain, namun karena tuntutan kehidupan, dia rela menghabiskan waktunya di jalan sehabis pulang sekolah. Sang nenek yang seharusnya menghabiskan masa tuanya dengan banyak istirahat, tapi harus “berkelahi” melawan keadaan demi sesuap nasi.
Dia tidak bisa seperti pak Walikota yang memililih menenangkan dirinya dengan menghadap ke Baitullah. Melihat fenomena sosial itu, saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengabadikan kejadian itu dengan tulisan.

Makassar Ahad,24-02-2013

















"post Rudini filsafat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar