Biografi Suhrawardi

Al-Suhrawardi
belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, yaitu Majduddin
Al-jili, guru Fakhruddin Al-Raji. Dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan
Al-Sawi, penyusun kitab Al-Bashair Al-Nashiriyyah. Selain itu ia juga
bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis. Dan di Halb ia
belajar kepada Al-Syafir Iftikharuddin.
Keberhasilan
Suhrawardi melahirkan aliran Illuminasionis ini berkat penguasaannya
yang mendalam tentang filsafat dan Tasawuf ditambah kecerdasannya yang
tinggi, dalam kitab Thabaqat Al-Athiba menyebutkan bahwa Suhrawardi
sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu
menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul Fiqih, begitu cerdas
pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.
Karena
kepiawaian Suhrawardi mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang
tandas, dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fiqih menimbulkan
reaksi keras yang dimotori oleh Abu Al-Barakat al- Baghdadi yang anti
Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb (Aleppo)
Suhrawrdi di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik
al-Zhahir Syah anak dari sultan Shalahuddin Al-Ayyubi al-Kurdi.
A. Karya Karya Suhrawardi
Karya
tulisan Suhrawardi tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan Gnostik
dalam bahasa arab dan persia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokan karya
Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu:
1. Berisi
pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penapsiran dan modipikasi
terhadap filsafat Paripatetis ada empat buku tentang hal ini yang
ditulis dalam bahasa arab, yaitu: Talwihat, Muqowamat, Mutharahat, dan
Hikmat Al-Isyraq. Hikmat Al-Isyraq merupakan karya terahir yang secara
seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah. Pembahasan buku ini
bertitik tekan pada cahaya Tuhan, setelah sebelumnya di lakukan kritik
terhadap Filsafat Paripatetik.
2. Karangan
pendek tentang Filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan
gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil Al-Nur, Al-Alwah al-
Imadiyah, Partaw-namah, fi Itiqadi al-Hukama, al-lamahat, yazdan
Syinakht, dan Bustan al-Qulub.
3. Karangan
pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya dibahas dalam
bahasa Persia, meliputi Aqli-Surkh, Awaj-i Par-i |Jibrail, al- Ghurbat
al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al- Thifuliyah, Ruji
Bajamaat-i Shufiyan, Risalah fi al-Miraj, dan Syafir-i Simurgh.
4. Komentar
dan terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan,
seperti Risalah al-thair karya ibnu Sina diterjemahkan kedalam bahasa
persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan
dalam Risalah fi Haqiqat al-Isyqi, yang terpusat pada Risalah ibn Sina
Fi al-Isyqi; serta sejumlah tafsir Al-Quran dan Hadis Nabi.
5. Doa-doa yang lebih dikenal dengan Al-Waridat wa Al-Taqdisat (Doa dan pensucian).
B. Filsafat Illuminasi Suhrawardi
Hikmah
Al-Suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiyah, yang bernama
illuminasi (Kasyf). Menurut suhrawardi, hikmah ini dikenal juga sebagai
hikmah masyriqiyah (kebijaksanaan timur), sebagaimana yang disebut-
sebut ibn Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan timur,
yaitu orang-orang Persia. Adapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada
illuminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecemerlangannya, dan
kelimpahannya pada jiwa sewaktu jiwa menjadi bebas.
Dalam
Filsafat Illuminasi Suhrawardi menyabutkan sumber dan hasil Illuminasi
sama-sama menggunakan istilah Nur (cahaya). Istilah susunan dan
cahaya-cahaya disamakan juga dengan susunan kemalaikatan. Istilah cahaya
dan gelap berati juga ruh dan materi.cahaya-cahaya (anwar) adalah nama
lain dari akal-akal, Al-Anwar al-Qahirah untuk menyebut akal-akal
Planet, al-Anwar al-Mujarradat untuk jiwa-jiwa manusia, dan Nur al-Nur
untuk menyebut Allah, al-Jauhar al-Ghasiq sebagai tubuh (Jism), dan alam
barjah-barjah sebagai alam tubuh-tubuh.
1. Metafisika dan Cahaya

2. Hubungan
antara cahaya dan gelap bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan
antara eksistensi dan noneksistensi.menegaskan cahaya, niscaya menerima
peniadaanya sebagai kenyataan, yaitu kegelapan,yang harus diteranginya
supaya ia menjadi dirinya sendiri. Cahaya primordial ini merupakan
sumber semua gerak. Tapi geraknya bukan perubahan tempat, hal itu
disebabakan cinta akan penerangan yang membentuk esensinya, dan
mendorongnya seakan-akan, mempercepat hidupnya segala sesuatu dengan
menumpahkan sinarnya sendiri kedalam kemaujudan mereka. Jumlah
penerangan yang mengalir darinya tidak terbatas. Penerangan yang semakin
terang, pada gilirannya, menjadi sumber penerang lain; dan skala
kecerahan berangsur turun kepenerangan yang terlalu lemah untuk
melahirkan lain, semua penerangan ini adalah media atau, dalam bahasa
Teologi,Malaikat, yang melaluinya segala keanekaragaman tak terbatas
maujud menerima kehidupan dan makanan dari cahaya pertama.
Penerangan cahaya Orisinil dapat dibedakan kepada dua, yaitu:
1. Cahaya
Abstrak (misalnya Intelek, Universal maupun Individual). Ia tidak
berbentuk, dan tidak pernah menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya
sendiri (substaqnsi). Darinya datang berbagai bentuk cahaya setengah
sadar, atau sadar akan dirinya, yang berbeda satu sama lain dalam jumlah
kilaunya, yang ditentukan oleh perbandingan kedekatan atau jarak mereka
dari sumber utama keberadaan mereka. Intelek atau jiwa individual
hanyalah suatu salinan yang lebih redup, atau suatu refleksi lebih jauh
cahaya pertama. Cahaya abstrak mengetahui dirinya melalui dirinya
sendiri, dan tidak memerlukan suatu non ego untuk mengungkapkan
eksistensinya kepada dirinyua sendiri. Kesadaran atau tahu diri,
karenanya, adalah esensi cahaya Abstrak, sebagai terkenali dari
peniadaan cahaya.
2. Cahaya
Aksiden (Atribut), yaitu cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu
menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (misalnya sinar
bintang, atau keterlihatan benda-benda angkasa lain), cahaya
aksiden, atau yang lebih tepatnya cahaya yang dapat diinderai, ialah
suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan oleh jaraknya, telah
kehilangan intensitasnya, atau kehilangan ciri substansi induknya.
Proses refleksi berkesinambungan adalah benar-benar suatu proses yang
melemah; penerangan yang berturut-turut berangsur-angsur kehilangan
intensitasnya sampai dalam rangkaian refleksi, kita mencapai penerangan
tertentu yang kurang kuat yang seluruhnya kehilangan watak mandirinya,
dan tidak ada kecuali dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain.
Penerangan-penerangan ini membentuk cahaya Aksiden, yaitu atribut yang
tidak mempunyai eksistensi mandiri. Karena itu hubungan antara cahaya
Aksiden dengan cahaya Abstrak ialah hubungan antara sebab dan akibat.
Namun, akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan
penyebabnya; akibat adalah suatu transformasi(perubahan bentuk), atau
suatu bentuk lebih lemah dari yang diduga sebagai penyebab itu sendiri.
Apapun selain Cahaya Abstrak (misalnya, hakikat benda yang terterangi
itu sendiri) tidak bisa menjadi penyebab cahaya aksiden; karena yang
disebut terahir ini, disebabkan semata-mata bergantung dan akibatnya
bisa tertiadakan, bisa dijauhkan dari benda-benda tanpa mempengaruhi
karakter benda-benda itu. Jika esensi, atau sifat benda yang tersinari,
telah menjadi penyebab cahaya aksiden, suatu proses tidak berpenerangan
tidak bisa menjadi mungkin.

Cahaya
segala cahaya bersifat Esa, cahaya niscaya ini menimbulkan melalui
suatu proses Emanasi, cahaya pertama (Nur al-Awwal), yang jumlahnya satu
dan tidak tersusun karena tidak mungkin bahwa sebuah Entitas yang
tersusun dari cahaya dan kegelapan, akan memancar dari sebuah realitas
yang sama sekali bebas dari kegelapan. Cahaya pertama ini berbeda dengan
sumbernya dalam tingkat kesempurnaan.
Cahaya
pertama memiliki watak ganda karena tergantung kepada cahaya segala
cahaya. Karena kekurangan yang sangat dalam dalam dirinya sendiri dan
limpahan karunia, melalui cahaya segala cahaya, ketika ia memahami
kekurangan atau sifat gelapnya, ia melahirkan bayangan pertama,
Suhrawardi menyebutnya “Ismus (barzah) tertinggi” (yaitu semacam, langit
terjauh dalam kosmologi. Neo-Platonis). Ketika ia memahami
kekurangannya dalam kaitan dalam sumbernya ia melahirkan cahaya kedua.
Yang terakhir kemudian melahirkan sebuah cahaya dan juga sebuah Ismus
(yaitu bola langit angkasa), dan proses itu terus berlangsung hingga
kita sampai kepada Ismus atau bola kesembilan dan dunia unsur-unsur
dibawahnya. Tentang rentetan cahaya yang memancar dari cahaya niscaya,
suhrawardi mengatakan bahwa rentetan itu tidak berhenti sampai yang
kesembilan (seperti yang dipertahankan kaum Neo-Platonis ; meskipun
begitu, ia tidak yakin bahwa rangkaian ini terbatas bilangannya.
Suhrawardi
merumuskan hubungan cahaya-cahaya yang lebih tinggi dengan yang lebih
rendah, dalam istilah-istilah dominasi (qahr, yang dapat disamakan
dengan neikos Empedoclean), adapun hubungan cahaya yang lebih rendah
dengan yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi
(menarik) atau cinta (‘isyaq : philia). Dua kekuatan, dominasi dan cinta
inilah yang mengatur dunia.
Suhrawardi
mengatakan “Bahwasanya dunia yang tersusun dari unsur-unsur dan yang
pada hakikatnya adalah panumbara cahaya segala cahaya yang dipancarkan
melalui semua tatanan unsur baik yang bercahaya maupun yang tidak
bercahaya menjadi abadi sebagaimana penciptanya. Dengan alasan yang pada
dasarnya keabadian ini berbau Aristotelian berpautan erat dengan
keabadian gerak setiap bagian gerak tergantung pada bagian sebelumnya.
Sebagai ukuran gerak juga bersifat abadi, tanpa awal maupun akhir.
Karena jika mempunyai suatu awal, maka haruslah didahului baik oleh
ketiadaan maupun oleh beberapa entitas atau yang lainnya dalam kedua hal
ini, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu.
Maka
alam semesta merupakan pancaran dalam (faidh) abadi dari prinsip petama
disamping rentetan substansi imaterial atau cahaya yang jumlahnya
tertentu seperti yang telah kita lihat, sebuah rentetan entitas-entitas
material yang lebih tinggi (benda-benda langit) memancar secara langsung
dari cahaya segala cahaya atau Tuhan. Dari benda-benda lngit ini
memancar benda-benda “elemental” dunia bawah bulan. Benda-benda ini
dikatakan elemental, karena mereka pada akhirnya berasal dari sebuah
“materi umum”, yang disebut oleh kaum Iluminasionis sebagai ismus
primordial. Bentuk-bentuk elemental yang sederhana, dan juga
bentuk-bentuk inorganik yang tidak sederhana atau organik, mempengaruhi
materi umum melalui rotasi ; udara diubah menjadi akhir, air menjadi
tanah, tanah menjadi udara, udar menjadi api. Kemampuan untuk
berubahini, menurut Al-Suhrawardi, membuktikan bahwa empat unsur utama
kaum paripatetik tidaklah utama, karena mereka tunduk kepada perubahan
(permutasian) yang tidak ada ujungnya ini dan, atas dasar itu, tidaklah
mengandung sifat atau bentuk esensial apapun.

percampuran
kualitas-kualitas yang berlawanan pada benda-benda tertentu, maka
entitas-entitas fisik dan terestrial muncul. Unsur yang paling dominan
dalam entitas-entitas itu adalah cahaya, yang disebut sfendarmudh, yang
azimat adalah tanah. Gabungan yang paling sempurna menghasilakn manusia,
yang kesempurnaanya berasal dari cahaya segala cahaya melaui
perantaraan ini. Roh suci menganugerahkan kepada embrio, segera setelah
ia menerimanya, cahaya manusia atau jiwa, yang disebut isfahbad
kemanusiaan. Ciptaan atau pancaran cahaya ini tidak mendahului pormasi
tubuh, karena manifestasinya dalam diri perseorangan tergantung pada
tubuh. Lagi pula, andaikan cahaya-cahaya itu abadi atau tidak dicipta
maka baik cahaya-cahaya itu maupun prototipenya dalam dunia imaterial
haruslah tidak terhingga tetapi yang demikian itu adalah mustahil.
Cahaya
manusia dapat disamakan dengan buah kecakapan jasmani : kegairahan
(passionate), yang prototipenya adalah daya dominasi, dan apetitip, yang
prototipenya adalah cinta. Daya-daya jasmani yang lebih rendah, seperti
memelihara dan berkembangbiak, timbul dari perhubungan tubuh yang
bermacam-macam denagn cahaya dan dapat dipandang sebagai
manifestasi-manifestasi ragawi yang begitu banyak dari cahaya terestrial
perbedaan antara cahaya dengan tubuh terjadi oleh keadaan hubungan
cahaya dengan tubuh itu.
Roh
adalah alat cahaya terestrial dalam mengarahkan tubuh. Roh meresap
kedalam tubuh dan menghubungkan, kepada berbagi organnya, cahaya yang
dikaruniakan oleh cahaya terestrial. Meskipun begitu perbedaan-perbedaan
dalam fungsi mereka tidaklah mengikut sertakan prbedaan organ atau
kecakapan, sehingga sensus communis, kecakapan estimatif dan imajinatif,
adalah berbeda dengan pernyataan ibn Sina, satu dan sama. Semua
fungsi-fungsi ini dapat dikembalikan kepada cahaya terestrial, yang
memahami objek-objek indra melalui pperantaraan organ-organ tubuh, yang
dapat disebut “indra dari indra”. Tetapi mungkin saja baginya terlepas
sama sekali dari organ-organ tubuh, seperti yang disokong oleh para
mistikus, yang telah mempunyai visi cahaya yang lebih tinggi, yang lebih
terang dari pada penglihatan fisik.
Penggabungan
cahaya terestrial dengan materi ditimbulkan oleh keterlibatanya dengan
“kekuatan-kekuatan gelap”. Akibatnya ia menjadi terasing dengan dunia
cahaya dan terpaksa tinggal dalam tubuh manusia, yang merupakan tempat
tinggalnya yang pertamadan tertinggi, menurut para bijaksanawan timur.
Dalam renkarnasinya yang belakangan, dapat tinggal dalam bentuk-bentuk
hewani yang lebih rendah, tetapi prosesitu tidak dapat dibalik.
Suhrawardi sepenuhnya menyadari adanya ketidak serasian pandangan ini
dengan pandangan Plato dan Pytagoras. Meskipun begitu ia menyingkirkan
kemungkinan-kemungkinan perpindahan jiwa, sekalipun ia menerima
implikasi pandangan Platonik. Pythagorean tentang pelepasan jiwa dari
“rantai kelahiran kembali” pada ahirnya. Oleh karena itu terlepasnya
cahaya-cahaya yang mengatur, yang tingal dalam tubuh dan mengarahkannya,
terjadi ketika tubuh itu bercerai. Perpidahan bukanlah persyaratan
niscaya dari pelepasan ini. Karena sampai tarap-tarap tertentu ketika
cahaya kaptif ini merindukan dunia cahaya yang lebih tinggi dan tidak
direndahkan olehunsur-unsur tubuh, ia akan mampu mencapai kontak
(ittishal) dengannya dan pada ahirnya bebas dari belenggu tubuh sama
sekali dan bergabung dengan barisan-barisan jiwa-jiwa suci didunia
cahaya murni. Meskipun sementara itu terjerat dalam dunia yang lebih
rendah ini, jiwa yang telah disucikan dapat menangkap lintasan dunia
yang lebih tinggi dan kemegahannya dan juga berbagai daya-daya
adikodrati tertentu, seperti meramal dan menguasai peristiwa-peristiwa
dimasa depan.
Maka
yang demikian itu merupakan pokok filsafat cahaya yang telah
dicanangkan ibn Sina dan dikembangkan oleh suhrawardi. Lepas dari unsur
mistik dan eksperienalyang merasuki filsafat ini, dasar (grounwork)
kosmologi dan metafisikanya tidaklah betul-betul asing. Ia pada
hakikatnya merupakan dasar Aviccenian, Neo-Platonik kemana unsur-unsur
mistik dan keagamaan tertentu, dari sumber-sumber Zorostrian dan timur
lainnya, ditambahkan. Apa yang membedakanya dari Neo-Platinisme
tradisional Islam adalah terutama upayanya untuk memanpaatkan sepenuhnya
tamsil cahaya, yang seperti telah kita lihat, untuk pertamakalinya
dibayangkan ibn Sina dan sepenuhnya dimasukan oleh Zoroastrinisme
kedalam pandangan dunia keagamaan dan metafisikanya.
Meskipun
ada perbedaan ungkapan atau tekanan-tekanan tersebut, namun pandangan
metafisik Suhrawardi pada dasarnya bersifat Aviccenian atau
Neo-Platonik. Hal ini dengan baik sekali terlukis dalam sebuah risalah
pendek yang berjudul “ Kepercayaan Para Filusuf”, dimana ia berusaha
mempertahankan kaum teosifis terhadap kecaman-kecaman dan fitnahan
masyarakat luas, yang menuduh mereka tidak berTuhan atau tidak
beragama.Suhrawari mengajukan alasan bahwa kaum teosofi percaya kepada
keesaan Tuhan, penciptaan dunia dan keputusanNya yang tidak dapat
ditawar. Entitas pertama yang diciptakan Tuhan adalah intelek pertama,
yang kemudian melalui proses emanasi, menimbulkan intelek lain, dari
mana jiwa dan tubuh langit pertama memancar. Proses tersebut terus
bergerak kebawah hingga kita sampai kepada intelek terahir dan dunia
pembentukan dan penghancuran yang ia kendalikan. Intelek yang palin
rendah ini disebut mereka “pemberi bentuk-bentuk” atau Roh Suci.
Makassar 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar