Selasa, 11 Juni 2013

Arsip Kebangkitan di Akhirat Mulla Shadra



Arsip untuk Kebangkitan Di Akhirat kategori
Posted in Kebangkitan Di Akhirat on Desember 1, 2010 by isepmalik






Rate This

Di dalam Asfar, tepatnya, dalam Jilid II (Dar Ihya Al-Turats Al-`Arabiy, cet. Ill, 1981), pembahasan mengenai kebangkitan menjadi bab tersendiri, yang dibaginya menjadi 33 pasal pembahasan.
Sebelas Prinsip Filosofis
Pembahasan mengenai kebangkitan ini oleh Shadra didahului oleh pemba­hasan mengenai prinsip-prinsip filosofis mengenai wujud (ada, pengada). Dalam fasal pertama ini, Shadra menunjukkan 11 prinsip filosifis bagi keyakinan adanya kebangkitan di akhirat.
Pertama, sesungguhnya setiap pengada merupakan prinsip bagi kemengadaan (mawjudiyyah), sedangkan esensi mengikutinya; bahwa hakikat setiap sesuatu itu adalah menyangkut orientasi kemengadaan khasnya itu sendiri, tanpa esensinya. Ditegaskan Shadra, sejalan dengan keyakinan filosofisnya terhadap prinsipalitas wujud (ashalat al-wujud), bahwa wujud itu tidak termasuk ke dalam kategori pertama (al-maqulat al-tsaniyyah), juga tidak bersifat sekunder, sebagaimana banyak diyakini filosof yang lain; baginya, wujud merupakan kuiditas murni (huwiyyat `ayniyyat)yang tidak tergapai oleh mental juga tidak dapat diisyaratkan kecuali melalui pengetahuan ma`rifat kesaksian (`irfan syuhudi).
Kedua, personalitas sesuatu dan karaktersitiknya adalah wujud khasnya itu sendiri; wujud dan personalitas sesungguhnya bersifat unik secara personal dan berbeda secara konseptual (mafhum)dan nominal (`ism). Apa yang dinamakan aksiden personal sesungguhnya hanya merupakan kelaziman-kelaziman kuiditas personal wujud semata bukan sebagai diri dan personalitasnya itu sendiri.
Ketiga, sesungguhnya tabiat wujud itu menerima kepadatan (syiddat; den­sity)dan ke-tidak padat-an (dhu`f) pada dirinya yang sederhana (basithat); diri yang tidak memiliki kombinasi baik secara eksternal maupun mental. Oleh karena itu, menurutnya, di antara kuantitas wujud dengan karakteristik klasifikatif dirinya atau di antara aksiden atau personalitas tambahan atau prinsip tabiat wujud tersebut tidak ada perbedaan; perbedaannya hanya terjadi pada tingkat individual-individualnya dan satuan-satuannya; dalam hal kepadatan dan ketidakpadatannya saja; dan yang dinamakan esensi itu berbeda dengan wujud (dzat)baik dalam genus atau jenis atau aksiden. Oleh karena itu menurut Shadra (h. 183) dikatakan, “Inna al-wujud mukhtalif al-anwa` wa inna maratib al-asyadd wa al-adh`af anwa` mutakhalifat (Wujud itu berbeda jenis-jenisnya dan bahwa martabat-martabat yang paling padat dan paling tidak padat itu merupakan jenis-jenis yang berbeda-beda).”
Keempat, seungguhnya wujud itu menerima kememadatan (isytidad) dan kemelemahan (tadha`uf); artinya wujud itu menerima gerak memadat; bahwa subtasi adalah subtansinya, bahwa wujud subtantifnya itu menerima gerak personal (istihalat al-dzatiyyat). Menurut Shadra, tegas bahwa bagian-bagian dari satu gerak kontinum dan batas-batasnya itu ada secara aktual, bahkan wujud keseluruhan itu pada prinsipnya adalah wujud yang satu. Oleh karena itu, esensi-esensi yang menjadi lawan dari martabat-martabat wujud tersebut tidaklah kemengadaanya itu secara aktual pada tingkat kemengadaan detail, tapi kemengadaanya itu pada tingkat global, seperti pada bagian-bagian batas [gerak—ae].
Kelima, sesungguhnya setiap [wujud—ae] kombinatif itu pada gambarnya, bukan pada materinya; sebuah ranjang itu dikatakan ranjang karena gambarnya, bukan karena materinya; sebuah pedang itu dikatakan pedang karena ketajamannya, bukan karena bajanya; manusia itu dikatakan manusia kare­na jiwanya, bukan karena fisikalitasnya. Materi, menurut Shadra, adalah pembawa potensi sesuatu dan kontingensinya; ia merupakan tempat terjadinya gerak. Dengan kata lain, menurut Shadra, nisbah materi kepada gerak adalah laksana nisbah kekurangan kepada kesempurnaan; kekurangan membutuhkan kesempurnaan, tapi kesempurnaan tidak memerlukan kekurangan. Oleh karena itu, Shadra mencontohkan, bahwa berbicara/ berpikir (nathiq)sebagai ciri manusia merupakan prinsip esensi jenis.
Keenam, sesungguhnya bahwa kesatuan personal pada setiap sesuatu itu adalah wujudnya itu sendiri tidaklah tunggal, juga tidak satu derajat. Oleh karena itu, kesatuan personal pada tingkat ukuran-ukuran kontinumnya adalah kontinuitasnya; pada tingkat temporalitas adalah kemembaruannya; pada tingkat kuantitas adalah multiplikasi aktualnya; pada fisik alam adalah keragaman potensialnya. Oleh karena itu, satu tubuh mustahil akan menjadi korpus bagi banyak sifat yang saling berbeda, seperti pada saat yang sama ketika ia hitam ia juga adalah putih, atau ketika ia manis ia juga adalah pahit. Hal demikian itu terjadi karena kekurangan wujudnya dan sempitnya ruang untuk banyak persoalan yang berbeda-beda. Adapun subtansi jiwa, bersama keunikannya itu di dalamnya terkandung gambar hitam dan putih dan kontradiksi-kontradiksi yang lainnya. Oleh karena itu, Shadra menegaskannya seperti di bawah ini:
“Setiap kali seseorang meningkat abstraksi dan subtansinya dan memadat potensi dan kesempurnaan [jiwanya—ae] maka pengetahuannya tentang sesuatu akan menjadi lebih komprehensif dan rekonsiliasinya bagi kontradiksi-kontradiksinya menjadi lebih sempurna; ia mengalami gradasi kesempumaan sehingga dirinya menjadi memadai untuk gerak wujud keseluruhannya. Dengan begitu, sehingga menurut Syeikh [panggilan Mulla Shadra untuk Ibnu Sina—ae], di dalam al-Syifa` orang tersebut dapat berubah menjadi seorang ma­nusia yang berpengetahuan rasional (`aliman ma`qulan), dapat menerima pengetahuan inderawi dan dapat memberi kesaksian atas kebaikan mutlak (al-hasan al-muthlaq dan al-khayr al-muthlaq),keindahan mutlak; ia menyatu dengannya dan menjadi manifestasinya, tercermin dalam perilakunya dan menjadi subtansinya. Dengan penjelasan tersebut, sesungguhnya orang yang mengetahui objek-objek pengetahuan inderawi, imajinatif dan rasional, dan orang yang melakukan objek-objek tindakan alami, hewani dan insani adalah jiwa orang itu sendiri. Jiwa memiliki kemampuan untuk turun ke tingkat indera dan alat-alat alamiah sebagaimana juga pada saat yang sama ia memiliki kemampuan untuk naik ke tingkat akal aktif dan yang lebih tinggi. Hal demikian dapat terjadi karena keluasan wujudnya dan keterang-benderangan cahayanya yang menebar….” Melalui prinsip ini, menurut Shadra, jelas bahwa sesuatu yang terkait pada materi pada saat yang bisa terabstraksikan juga daripadanya. Menurut Shadra, kesimpulan demikian berbeda dengan kesimpulan yang terkenal dari kaum peripatetik yang berpendapat bahwa modus wujud korelatif dan merdeka itu tidak dapat berkumpul pada sesuatu yang satu. Kritik Shadra atas pendapat peripetetik tersebut adalah bahwa pendapat demikian tidak didasarkan pada argumentatif.
Ketujuh, kuiditas badan dan personalitasnya adalah karena jiwanya bukan karena tubuh-fisikalnya. Untuk itu, badan seseorang itu bertahan sejauh bertahannya jiwa; jika jiwanya berubah, berubah juga kelazimannya baik menyangkut temporal, kuantitatif, kualitatif, posisional, dan kapannya, seperti menyangkut umurnya, Demikian juga analoginya, jika gambar alamiahnya berubah menjadi gambar ideal, seperti terjadi di alam mimpi, alam kubur, alam barzakh hingga hari kebangkitan atau menjadi gambar akhirat di akhirat nanti, maka sesungguhnya kuiditas manusia itu, pada keseluruhan perubahannya tetap saja satu, yaitu dirinya sendiri. Hal itu terjadi karena gerak kontinum yang unik dan gradual (`ala sabil al-ittishal al-wahdaniy al-tadrijiy).
Kedelapan, potensi imajinatif merupakan subtansi yang berdiri tidak pada korpus badan atau pada anggota tubuhnya; ia juga tidak mengada pada orientasi alam fisikal; ia imanen terabstraksikan dari alam ini dan berada di alam subtansi, yaitu alam antara alam akal diferensial (al-mufaraqqat al-`aqliyyah) dan alam fisik material (alam al-thabi`iyyat al-madiyyat).
Kesembilan, sesungguhnya gambar-gambar imajinatif itu, bahkan gambar- gambar kognitif, bukanlah kondisi yang terletak pada jiwa, juga bukan di tempat lain, melainkan terjadi melalui jiwa secara aktual secara subjektif (bi al-fa`il), bukan secara reseptif (bi al-qabil). Setelah menyatakan bahwa menolak pendapat Al-Farabi, di dalam Al-Jam` Bayn Al-Ra`yayn, dan pendapat Syuhrawardi, di dalam Hikmat Al- Isyrak, mengenai hal tadi, Shadra menulis seperti di bawah ini:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya selama jiwa itu melekat pada badan maka penglihatannya—bahkan penginderaannya—bersifat mutlak, bukan imajinasinya. Sebab, yang pertama (penginderaan) jiwa itu memerlukan materi eksternal dan syarat- syarat khusus, sedangkan pada yang kedua (imajinasi) jiwa tidak membutuhkannya. Sedangkan ketika jiwa itu sudah keluar dari alam ini maka antara imajinasi dan penginderaan itu tidak lagi memiliki perbedaan. Karena potensi imajinatif, yang merupakan khazanah indera, telah menguat dan keluar dari badan, sehingga kelemahan dan kekurangannya telah tiada. Selanjutnya, potensi-potensi imajinatif itu menyatu dan kembali kepada sumber serikatnya sehingga jiwa menjadi dapat aktual sebagaimna aktualitasnya melalui yang lainya. Dengan begitu, melalui mata imajinatifnya, jiwa itu dapat melihat apa yang dilihatnya melalui inderanya; kekuatan, pengetahuan dan syahwatnya men­jadi satu. Oleh karena itu, pengetahuannya terhadap objek-objek yang menjadi kehendaknya adalah kekuasaannya itu sendiri dan penghadirannya padanya dapat dilakukan olehnya. Bahkan, yang ada di surga itu tidak lain adalah apa-apa yang dikehendaki jiwa (syahawat al-nafs) tentang apa-apa yang dikehendakinya, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Di dalamnya ada segala yang dikehendaki jiwa-jiwa kalian”; “Di dalamnya terdapat apa-apa yang disukai oleh semua jiwa dan dipandang lezat oleh semua mata.”
Kesepuluh, sesungguhnya gambar-gambar ukuran, bentuk dan gerak kosmik, bisa terjadi—dari pelaku—dengan penyertaan materi yang bersifat reseptif sesuai dengan potensialitas-potensialitas yang dimilikinya, demikian juga bisa terjadi sebaliknya, tanpa penyertaan materi. Alasannya, karena sebelum materi-materi pertama (ajsam awwaliyyah) tidak ada materi-materi yang mendahuluinya.
Kesebelas, sesungguhnya jenis-jenis alam dan pertumbuhannya dan kuantitasnya yang tak terbatas itu dapat dibagi menjadi tiga: pertama, alam yang paling rendah yaitu alam gambar alam yang dapat mengalami kehancuran, kedua adalah alam pertengahan yaitu alam pengetahuan-inderawi yang immaterial dan potensial untuk mengandung kontradiksi, dan yang paling tinggi adalah alam gambar rasional dan ideal-ilahiah. Sedangkan menyangkut manusia dalam hubungannya dengan ketiga alam tersebut potensial untuk menggabungkan tiga posisi, sebagai insan basyari (manusia pertama), insan nafsani (manusia kedua) dan dan insan `aqli (manusia ketiga).
Kesimpulan
Kesimpulan Shadra mengenai kesebelas prinsip filosofis tersebut ditulisnya khusus di dalam fasal 2. Menurut kesimpulannya, pada prinsipnya bahwa siapa yang merenungkan secara mendalam sepuluh [tampaknya Shadra lupa, karena sebelumnya Shadra menjelaskan sebelas prinsip, bukan sepuluh prinsip—ae], akan sampai kepada kesimpulan bahwa yang dibangkitkan itu adalah keseluruhan jiwa dan badan itu sendiri, berikut personalitasnya masing-masing; bahwa yang dibangkitkan pada hari kiamat adalah badan ini, bukan badan yang berbeda dengan badan hari ini secara elementer. Inilah keyakinan yang benar dan sejalan dengan syari`ah, argumentasi dan kearifan; siapa yang membenarkannya dan beriman kepada hari pembalasan maka berarti ia adalah orang yang benar-benar beriman. Oleh sebab itu, Shadra menasihatkan kepada kita untuk berbuat kebaikan, dengan mengutip ayat-ayat sebagai berikut, “maka berlomba-lombalah kalian untuk mengerjakan kebaikan, “walikulli wijhat[in] huwa muwalliha”.
Walhasil, menurut setiap orang itu akan menghadap kepada tujuan yang dikehendaki yang dituntutkan kepadanya, hanya saja pembangkitan setiap hal itu disesuaikan dengan kepantasan dan perhitungannya, baik manusia, binatang, tetumbuhan maupun benda-benda abiotik lainnya. Untuk mendukung kesimpulannya itu, selanjutnya, Shadra mengutip ayat-ayat Al-Quran.
Agus Efendi, (2001), Kehidupan karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar