Arsip
untuk Kebangkitan Di Akhirat kategori
Rate This
Di dalam Asfar, tepatnya,
dalam Jilid II (Dar Ihya Al-Turats Al-`Arabiy, cet. Ill, 1981),
pembahasan mengenai kebangkitan menjadi bab tersendiri, yang dibaginya menjadi
33 pasal pembahasan.
Sebelas Prinsip Filosofis
Pembahasan mengenai kebangkitan ini
oleh Shadra didahului oleh pembahasan mengenai prinsip-prinsip filosofis
mengenai wujud (ada, pengada). Dalam fasal pertama ini, Shadra
menunjukkan 11 prinsip filosifis bagi keyakinan adanya kebangkitan di akhirat.
Pertama, sesungguhnya setiap pengada merupakan prinsip bagi
kemengadaan (mawjudiyyah), sedangkan esensi mengikutinya; bahwa
hakikat setiap sesuatu itu adalah menyangkut orientasi kemengadaan khasnya itu
sendiri, tanpa esensinya. Ditegaskan Shadra, sejalan dengan keyakinan
filosofisnya terhadap prinsipalitas wujud (ashalat al-wujud), bahwa
wujud itu tidak termasuk ke dalam kategori pertama (al-maqulat al-tsaniyyah),
juga tidak bersifat sekunder, sebagaimana banyak diyakini filosof yang
lain; baginya, wujud merupakan kuiditas murni (huwiyyat `ayniyyat)yang
tidak tergapai oleh mental juga tidak dapat diisyaratkan kecuali melalui
pengetahuan ma`rifat kesaksian (`irfan syuhudi).
Kedua, personalitas sesuatu dan karaktersitiknya adalah wujud
khasnya itu sendiri; wujud dan personalitas sesungguhnya bersifat unik secara
personal dan berbeda secara konseptual (mafhum)dan nominal (`ism).
Apa yang dinamakan aksiden personal sesungguhnya hanya merupakan
kelaziman-kelaziman kuiditas personal wujud semata bukan sebagai diri dan
personalitasnya itu sendiri.
Ketiga, sesungguhnya tabiat wujud itu menerima kepadatan (syiddat;
density)dan ke-tidak padat-an (dhu`f) pada dirinya yang sederhana (basithat);
diri yang tidak memiliki kombinasi baik secara eksternal maupun mental.
Oleh karena itu, menurutnya, di antara kuantitas wujud dengan karakteristik
klasifikatif dirinya atau di antara aksiden atau personalitas tambahan atau
prinsip tabiat wujud tersebut tidak ada perbedaan; perbedaannya hanya terjadi
pada tingkat individual-individualnya dan satuan-satuannya; dalam hal kepadatan
dan ketidakpadatannya saja; dan yang dinamakan esensi itu berbeda dengan wujud
(dzat)baik dalam genus atau jenis atau aksiden. Oleh karena itu menurut
Shadra (h. 183) dikatakan, “Inna al-wujud mukhtalif al-anwa` wa inna maratib
al-asyadd wa al-adh`af anwa` mutakhalifat (Wujud itu berbeda jenis-jenisnya
dan bahwa martabat-martabat yang paling padat dan paling tidak padat itu
merupakan jenis-jenis yang berbeda-beda).”
Keempat, seungguhnya wujud itu menerima kememadatan (isytidad)
dan kemelemahan (tadha`uf); artinya wujud itu menerima gerak memadat;
bahwa subtasi adalah subtansinya, bahwa wujud subtantifnya itu menerima gerak
personal (istihalat al-dzatiyyat). Menurut Shadra, tegas bahwa
bagian-bagian dari satu gerak kontinum dan batas-batasnya itu ada secara
aktual, bahkan wujud keseluruhan itu pada prinsipnya adalah wujud yang satu.
Oleh karena itu, esensi-esensi yang menjadi lawan dari martabat-martabat wujud
tersebut tidaklah kemengadaanya itu secara aktual pada tingkat kemengadaan
detail, tapi kemengadaanya itu pada tingkat global, seperti pada bagian-bagian
batas [gerak—ae].
Kelima, sesungguhnya setiap [wujud—ae] kombinatif itu pada
gambarnya, bukan pada materinya; sebuah ranjang itu dikatakan ranjang karena
gambarnya, bukan karena materinya; sebuah pedang itu dikatakan pedang karena
ketajamannya, bukan karena bajanya; manusia itu dikatakan manusia karena
jiwanya, bukan karena fisikalitasnya. Materi, menurut Shadra, adalah pembawa
potensi sesuatu dan kontingensinya; ia merupakan tempat terjadinya gerak.
Dengan kata lain, menurut Shadra, nisbah materi kepada gerak adalah laksana
nisbah kekurangan kepada kesempurnaan; kekurangan membutuhkan kesempurnaan,
tapi kesempurnaan tidak memerlukan kekurangan. Oleh karena itu, Shadra mencontohkan,
bahwa berbicara/ berpikir (nathiq)sebagai ciri manusia merupakan prinsip
esensi jenis.
Keenam, sesungguhnya bahwa kesatuan personal pada setiap sesuatu itu
adalah wujudnya itu sendiri tidaklah tunggal, juga tidak satu derajat. Oleh
karena itu, kesatuan personal pada tingkat ukuran-ukuran kontinumnya adalah
kontinuitasnya; pada tingkat temporalitas adalah kemembaruannya; pada tingkat
kuantitas adalah multiplikasi aktualnya; pada fisik alam adalah keragaman
potensialnya. Oleh karena itu, satu tubuh mustahil akan menjadi korpus bagi
banyak sifat yang saling berbeda, seperti pada saat yang sama ketika ia hitam
ia juga adalah putih, atau ketika ia manis ia juga adalah pahit. Hal demikian
itu terjadi karena kekurangan wujudnya dan sempitnya ruang untuk banyak
persoalan yang berbeda-beda. Adapun subtansi jiwa, bersama keunikannya itu di
dalamnya terkandung gambar hitam dan putih dan kontradiksi-kontradiksi yang
lainnya. Oleh karena itu, Shadra menegaskannya seperti di bawah ini:
“Setiap kali seseorang meningkat
abstraksi dan subtansinya dan memadat potensi dan kesempurnaan [jiwanya—ae]
maka pengetahuannya tentang sesuatu akan menjadi lebih komprehensif dan
rekonsiliasinya bagi kontradiksi-kontradiksinya menjadi lebih sempurna; ia
mengalami gradasi kesempumaan sehingga dirinya menjadi memadai untuk gerak
wujud keseluruhannya. Dengan begitu, sehingga menurut Syeikh [panggilan Mulla
Shadra untuk Ibnu Sina—ae], di dalam al-Syifa` orang tersebut dapat
berubah menjadi seorang manusia yang berpengetahuan rasional (`aliman
ma`qulan), dapat menerima pengetahuan inderawi dan dapat memberi
kesaksian atas kebaikan mutlak (al-hasan al-muthlaq dan al-khayr al-muthlaq),keindahan
mutlak; ia menyatu dengannya dan menjadi manifestasinya, tercermin dalam
perilakunya dan menjadi subtansinya. Dengan penjelasan tersebut, sesungguhnya
orang yang mengetahui objek-objek pengetahuan inderawi, imajinatif dan
rasional, dan orang yang melakukan objek-objek tindakan alami, hewani dan
insani adalah jiwa orang itu sendiri. Jiwa memiliki kemampuan untuk turun ke
tingkat indera dan alat-alat alamiah sebagaimana juga pada saat yang sama ia
memiliki kemampuan untuk naik ke tingkat akal aktif dan yang lebih tinggi. Hal
demikian dapat terjadi karena keluasan wujudnya dan keterang-benderangan cahayanya
yang menebar….” Melalui prinsip ini, menurut Shadra, jelas bahwa sesuatu yang
terkait pada materi pada saat yang bisa terabstraksikan juga daripadanya.
Menurut Shadra, kesimpulan demikian berbeda dengan kesimpulan yang terkenal
dari kaum peripatetik yang berpendapat bahwa modus wujud korelatif dan merdeka
itu tidak dapat berkumpul pada sesuatu yang satu. Kritik Shadra atas pendapat
peripetetik tersebut adalah bahwa pendapat demikian tidak didasarkan pada
argumentatif.
Ketujuh, kuiditas badan dan personalitasnya adalah karena jiwanya
bukan karena tubuh-fisikalnya. Untuk itu, badan seseorang itu bertahan sejauh
bertahannya jiwa; jika jiwanya berubah, berubah juga kelazimannya baik
menyangkut temporal, kuantitatif, kualitatif, posisional, dan kapannya, seperti
menyangkut umurnya, Demikian juga analoginya, jika gambar alamiahnya berubah
menjadi gambar ideal, seperti terjadi di alam mimpi, alam kubur, alam barzakh
hingga hari kebangkitan atau menjadi gambar akhirat di akhirat nanti, maka
sesungguhnya kuiditas manusia itu, pada keseluruhan perubahannya tetap saja
satu, yaitu dirinya sendiri. Hal itu terjadi karena gerak kontinum yang unik
dan gradual (`ala sabil al-ittishal al-wahdaniy al-tadrijiy).
Kedelapan, potensi imajinatif merupakan subtansi yang berdiri tidak
pada korpus badan atau pada anggota tubuhnya; ia juga tidak mengada pada
orientasi alam fisikal; ia imanen terabstraksikan dari alam ini dan berada di
alam subtansi, yaitu alam antara alam akal diferensial (al-mufaraqqat
al-`aqliyyah) dan alam fisik material (alam al-thabi`iyyat al-madiyyat).
Kesembilan, sesungguhnya gambar-gambar imajinatif itu, bahkan gambar-
gambar kognitif, bukanlah kondisi yang terletak pada jiwa, juga bukan di tempat
lain, melainkan terjadi melalui jiwa secara aktual secara subjektif (bi
al-fa`il), bukan secara reseptif (bi al-qabil). Setelah
menyatakan bahwa menolak pendapat Al-Farabi, di dalam Al-Jam` Bayn
Al-Ra`yayn, dan pendapat Syuhrawardi, di dalam Hikmat Al- Isyrak,
mengenai hal tadi, Shadra menulis seperti di bawah ini:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya
selama jiwa itu melekat pada badan maka penglihatannya—bahkan
penginderaannya—bersifat mutlak, bukan imajinasinya. Sebab, yang pertama
(penginderaan) jiwa itu memerlukan materi eksternal dan syarat- syarat khusus,
sedangkan pada yang kedua (imajinasi) jiwa tidak membutuhkannya. Sedangkan
ketika jiwa itu sudah keluar dari alam ini maka antara imajinasi dan
penginderaan itu tidak lagi memiliki perbedaan. Karena potensi imajinatif, yang
merupakan khazanah indera, telah menguat dan keluar dari badan, sehingga
kelemahan dan kekurangannya telah tiada. Selanjutnya, potensi-potensi
imajinatif itu menyatu dan kembali kepada sumber serikatnya sehingga jiwa
menjadi dapat aktual sebagaimna aktualitasnya melalui yang lainya. Dengan
begitu, melalui mata imajinatifnya, jiwa itu dapat melihat apa yang dilihatnya
melalui inderanya; kekuatan, pengetahuan dan syahwatnya menjadi satu. Oleh
karena itu, pengetahuannya terhadap objek-objek yang menjadi kehendaknya adalah
kekuasaannya itu sendiri dan penghadirannya padanya dapat dilakukan olehnya.
Bahkan, yang ada di surga itu tidak lain adalah apa-apa yang dikehendaki jiwa (syahawat
al-nafs) tentang apa-apa yang dikehendakinya, sebagaimana Allah SWT
berfirman: “Di dalamnya ada segala yang dikehendaki jiwa-jiwa kalian”; “Di
dalamnya terdapat apa-apa yang disukai oleh semua jiwa dan dipandang lezat oleh
semua mata.”
Kesepuluh, sesungguhnya gambar-gambar ukuran, bentuk dan gerak kosmik,
bisa terjadi—dari pelaku—dengan penyertaan materi yang bersifat reseptif sesuai
dengan potensialitas-potensialitas yang dimilikinya, demikian juga bisa terjadi
sebaliknya, tanpa penyertaan materi. Alasannya, karena sebelum materi-materi
pertama (ajsam awwaliyyah) tidak ada materi-materi yang mendahuluinya.
Kesebelas, sesungguhnya jenis-jenis alam dan pertumbuhannya dan
kuantitasnya yang tak terbatas itu dapat dibagi menjadi tiga: pertama, alam
yang paling rendah yaitu alam gambar alam yang dapat mengalami kehancuran,
kedua adalah alam pertengahan yaitu alam pengetahuan-inderawi yang immaterial
dan potensial untuk mengandung kontradiksi, dan yang paling tinggi adalah alam
gambar rasional dan ideal-ilahiah. Sedangkan menyangkut manusia dalam
hubungannya dengan ketiga alam tersebut potensial untuk menggabungkan tiga
posisi, sebagai insan basyari (manusia pertama), insan nafsani (manusia
kedua) dan dan insan `aqli (manusia ketiga).
Kesimpulan
Kesimpulan Shadra mengenai kesebelas
prinsip filosofis tersebut ditulisnya khusus di dalam fasal 2. Menurut
kesimpulannya, pada prinsipnya bahwa siapa yang merenungkan secara mendalam
sepuluh [tampaknya Shadra lupa, karena sebelumnya Shadra menjelaskan sebelas
prinsip, bukan sepuluh prinsip—ae], akan sampai kepada kesimpulan bahwa yang
dibangkitkan itu adalah keseluruhan jiwa dan badan itu sendiri, berikut
personalitasnya masing-masing; bahwa yang dibangkitkan pada hari kiamat adalah
badan ini, bukan badan yang berbeda dengan badan hari ini secara elementer.
Inilah keyakinan yang benar dan sejalan dengan syari`ah, argumentasi dan
kearifan; siapa yang membenarkannya dan beriman kepada hari pembalasan maka
berarti ia adalah orang yang benar-benar beriman. Oleh sebab itu, Shadra
menasihatkan kepada kita untuk berbuat kebaikan, dengan mengutip ayat-ayat
sebagai berikut, “maka berlomba-lombalah kalian untuk mengerjakan kebaikan,
“walikulli wijhat[in] huwa muwalliha”.
Walhasil, menurut setiap orang itu akan menghadap kepada tujuan yang
dikehendaki yang dituntutkan kepadanya, hanya saja pembangkitan setiap hal itu
disesuaikan dengan kepantasan dan perhitungannya, baik manusia, binatang,
tetumbuhan maupun benda-benda abiotik lainnya. Untuk mendukung kesimpulannya
itu, selanjutnya, Shadra mengutip ayat-ayat Al-Quran.
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar