HIKMAH MUTA'ALIYAH MULLA SADRA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan
sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam.
Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi,
irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat
mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori
dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat
aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra
sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Aliran
filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan
kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan
melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu
menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak
mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut,
disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara
pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu
tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan
pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi
hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat,
agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas
dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran
dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama
tersebut.
Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah)
adalah sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi
metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan
diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang
rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra?
- Bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy,
yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla
Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta
pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun
979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan
terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya
al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan
pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik,
ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.[1]
Pada
sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan
baru diketahui kemudian ketikan `Alamah Sayyid Muhammad Hussein
Tabataba`i melakukan kereksi terhadap edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah
dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang ditulis oleh
pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara
subyek yang berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya
dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al-ma`qul), ditemukan kalimat
sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari
terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan
dengan 14 januari 1628), ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.[2]
Pendidikan
formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk
mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri
dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan
formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak
sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi
Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah
bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar
fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir
Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah
teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M).
Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai
orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan
Al-Farabi).[3] Tampkanya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).
Setelah
menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan
Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari
Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini, pengetahuan
yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta
menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga,
dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan
menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam
pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat
kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis -sebagaimana
disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya dia
peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah).[4]
Dengan
demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang
kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual
pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain
oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M
saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.[5]
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah
(Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali
terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas
tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi,
bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV
menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik).[6]
B. Konsep Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mulla Sadra
Para filosof muslim berbeda pendapat dalam menjelaskan konsep al-hikmah yang banyak tertera dalam al-Qur’an atau hadis. Berbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah hikmah menemukan konsep puncaknya melalui sentesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra, yang dinamakan dengan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Penyebutan al-Hikmah al-Muta'aliyah
sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan pertama kali oleh
salah seorang murid dan sekaligus menantunya yang bernama ‘Abd Al-Razzâq
Lahiji (w. 1072 H/1661 M).
Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra al-Hikmah al-Muta'aliyah
harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau
falsafah. Menurutnya, kedua istilah tersebut adalah identik, dan ketika
ia berbicara tentang hikmah atau falsafah dalam perspektifnya sendiri,
maka yang dimaksudkan tidak lain adalah al-Hikmah al-Muta'aliyah. Setelah melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla Shadra mendefinisikan falsafah sebagai:
استكمال
النفس الانسانية بمعرفة حقائق الموجودات على ما هي عليها والحكم بموجودات
تحقيقا بالبراهين لا أخدا بالظن والتقليد بقدر الوسع الإنساني وان شئت قلت
نظم العالم نظما عقليا على حسب الطاقة البشرية ليحصل التشبه بالباري تعالى[7]
“Kesempurnaan
jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang
ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang
dibangunkan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar
sangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan
yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan
jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta
sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang
dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”
Berdasarkan
pengertian hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra berusaha
mengkombinasikan dan mengharmoniskan berbagai pandangan terdahulu dengan pandangannya sendiri, melalui kreatifitas serta kejeniusan berpikirnya.
al-Hikmah al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom)
yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument-argumen
rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi
juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu
merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya
dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, al-Hikmah al-Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: Prinsip Wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial. [8]
Dalam
mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh, filosof yang
sangat tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam
menguasai ringkasan pemikiran
filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan
pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam
(kalam). Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan
para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif,
kalam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Shadramembuat sistesis
secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengna teosofi transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah).
Mulla Shadramerasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia
untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.[9]
C. Sumber-Sumber Pemikiran al-Hikmah al- Muta’aliyah Mulla Sadra
Sebagai sebuah konstruksi pemikiran, al-Hikmah al-Muta’aliyah tentu
saja tidak dibangun berdasarkan hasil kreasi individualistik Mulla
Shadra semata, tetapi bersumber pada bahan dan unsur yang telah tersedia
sebelumnya, baik yang bersifat tradisional maupun historis. Akan
tetapi, tidak bisa disimpulkan secara sederhana bahwa visi intelektual
yang diformulasikan oleh Mulla Shadra ini sekedar merupakan penggabungan
dari berbagai ide dan pemikiran yang mendahuluinya.[10]
Menurut
Jalaludin Rahmat, Sadra mengambil filsafat pra-Sokrates hingga berbagai
pikiran yang hidup pada zamannya. Namun, hanya ada tiga pemikiran yang
benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi bagi sistem pamikiran Mulla
Shadra. Pertama, pemikiran Ibnu Sina (980-1037 M). Ajaran Ibnu
Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan filsafat Shadra, sehingga
semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-Syaikh al-Rais
(guru kepala), gelar bagi Ibnu Sina. Ia juga mengambil
pendapat-pendapat Ibnu Sina untuk mendukung konsep-kosepnya sendiri,
seperti soal realitas wujud dan kelemahan esensi . Namun, Sadra juga
mengkritik dan memodifikasi filsafat Ibnu Sina. Menurut Rahmat, kritik
Shadra yang paling keras terhadap Ibnu Sina adalah dalam soal
epistemologi, yakni ketika Ibnu Sina menolak kesatuan absolut antara
subyek dan objek yang diketahui.[11]
Kedua,
pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Meski dalam beberapa
bagian Shadra mengkritik dan menolak ajaran Suhrawardi, tetapi pemikiran
tokoh ini memberi bentuk bagi pemikiran Sahdra yang khas. Pendangan
Suhrawardi bahwa esensi bukan realitas diambil Sadra dengan doktrinnya tentang ashal al-wujud (principiality of being) bahwa yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan esensi . Esensi adalah
sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya.
Sementara itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami
Shadra untuk memunculkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (garadation of being), bahwa meski realitas itu tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan manifestasi.[12]
Ketiga,
pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Yang diambil Shadra dalam tokoh ini
adalah soal tiga isu penting filsafat Islam, non-wujudnya esensi ,
realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologi-psikologis alam citra.
Gagasan tentang non-wujudnya esensi diambil
untuk mendukung gagasannya bahwa eksistensi adalah realitas
satu-satunya dan ia bukan esensi . Realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran
eskatologis-psikologis alam citra. Gagasan tentang non-wujudnya esensi diambil
untuk mendukung gagasannya bahwa eksestensi adalah realitas
satu-satunya dan ia bukan esensi . Doktrin tentang realitas sifat-sifat
Tuhan digunakan untuk melahirkan gagasannya tentang ‘kesatuan wujud
wujud yang menyingkapkan diri’, sedangkan ajaran ‘alam citra’ dipakai
untuk membuktikan ajaran kebangkitan jasmani seperti yang diyakini oleh
sebagian kaum teolog.[13]
Dengan
demikian, sistem pemikiran Mulla Shdra dibangun di atas pondasi Ibn
Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi dan dikaji berdasarkan isu-isu
penting yang disampaikan oleh Ibnu Arabi. Filsafat Mulla Shadra bukan
sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan kompromi atau
rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan
atas sebuah prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan
dalam sejarah filsafat Islam. Aliran filsafat baru ini, disamping
memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga
berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat
baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit
filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh aliran filsafat dan
teologi.
D. Filsafat Mulla Sadra
- Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah
Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama,
memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti
prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat
Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah).[14]
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.[15]
Para
filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini.
Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat
primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki
Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini,
keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu,
menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah
realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan.
Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya.[16]
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih
fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran
manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang
bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha
cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang
beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
Mulla
Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi
kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi
tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi
tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda
disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi
yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio,
karena rasio hanya mampun menangkap esensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah
gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun
demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai
cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental
yang abstrak pasti mengandung kesalahan.[17]
Dalam
kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap
wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek
kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman
intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya
antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara
langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya
kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah
juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa
dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui
pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan
pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif.
Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan
penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih
tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran
formal.[18]
Ringkasnya,
kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami
secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian
yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan
mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka
kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai
pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi
kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk
semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri
manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya,
yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri
manusia, yang terpusat pada kalbu.[19]
Pandangan
Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi,
membedakan Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa
benda-benda konkrit tersusun atas esensi dan
eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah.
Pandangan tersebut juga membedakan Sadra dengan Suhrawardi yang meyakini
esensi sebagai realitas dan
eksistensi sebagai abstraksi. Mulla Shadra mengadopsi prinsip ini dari
irfan teoritis dan menjabarkannya secara filosofis kemudian
meletakkannya sebagai pondasi filsafatnya.
- Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla
Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun
demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud
sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu.
Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat
gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas
ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan
perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan
realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.[20]
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta'aliyah,
wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya
memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan
filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara
esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan.
Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud.
Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan
wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
Pandangan
gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang garadasi
cahaya, tetapi Shadra mengubah prinsip tersebut secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada esensi seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa
eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi
yang sistematis, sebab kenyataanya wujud tidak statis melainkan bergerak
terus-menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang
umum, lebih tidak menetu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar
kepada bentuk-bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan
lebih menyatu. Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai
genus atau materi kemudian tertelan kedalam kekonkritan bentuk
sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong,
gerak universal ini adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong
segala sesuatu bergerak kea rah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak
dari yang kurang sempurna ke arah yang lebih sempurna ini tidak bisa
dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah bergerak kebelakang.[21]
Dalam
ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh
dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi
cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni
kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan
bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi
wujud.
3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah),
adalah sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran
ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi
wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi
tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla
Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion
tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta
senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan
keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan
kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam
gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama
dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan
terus menerus.[22]
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah)
melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa
gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn).
Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori
akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat
menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.[23]
Mulla
Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori
aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam
dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada
keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami
perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi
substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada
substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari
penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang
non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna
inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat
tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi
keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang
menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu
yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.[24]
BAB III
PENUTUP
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra,
tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen
filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing
kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian
dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
Karakteristik
al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil
kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para
Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual
dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian
rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan
pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan,
Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan
ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian,
kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam
konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ).
Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu:
argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis
Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.
Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jaluddin. 2001. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 1993. Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III.Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad Bandung : Mizan.
Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka
Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)
Husein
Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah
‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan, Surabaya :
Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj
[1] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42
[2] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 42
[3] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14
[4] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 14
[5] A. Khodhori Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 158
[6] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 159
[7] Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 143
[8] Jaluddin Rahmat., Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xv
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. Iii (Bandung : Remaja Rosdakarya,1993), hlm: 192
[10] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 106
[11] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160
[12] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160-161
[13] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 161
[14] Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51
[15] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 80
[16] Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25
[17] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3
[18] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 181-182
[19] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 182
[20] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 164
[21] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra..., hlm. 6-7
[22] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)
[23] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah..,
[24]
Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li
al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan
(Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj), hlm.63.
Assalamualaikum,
BalasHapusOm, bisa di share kah jika ada dalam bentuk soft copy, genuine karya hikmah mutaaliyah (asfar arbaah)
Salam,
Budi Santoso
(santos18@plasa.com)