Arsip
untuk Latar Belakang kategori
Rate This
Di antara aliran-aliran pemikiran
yang melatarbelakangi pemikiran Shadra adalah isyraqiyyah (filsafat
iluminasionis), filsafat peripatetik, Kalam, dan pemikiran tradisional
keislaman, seperti tafsir Al-Quran dan hadis.
Isyraqiyyah. Isyraq artinya iluminasi[1].
Dengan begitu, Mazhab Isyraqiyyah adalah mazhab epistemologi yang mendasarkan
diri pada keyakinan bahwa ilmu sejati dapat diperoleh melalui iluminasi,
penyingkapan. Mazhab epistemologi demikian diyakini oleh para sufi. Dan
seorang sufi sekaligus filosof yang dipandang sebagai pemuka mazhab ini adalah
Suhrawardi Al-Maqtul. Karenanya, ia disebut Syaikh Al-Isyraq (Guru
Cahaya) dan mazhab pemikirannya disebut dengan Mazhab Iluminasionisme atau
Mazhab Isyraqiyyah. Suhrawardi sendiri adalah orang Iran. la meninggal
(dibunuh) dalam penjara Malik Al-Zhahir, yang menurut Annemarie Schimmel adalah
seorang raja yang sangat mencintai para sufi dan kaum cendekiawan. Suhrawardi
dibunuh atas desakan para hakim agama yang takut pada filsafat-mistiknya,
dengan memakai otoritas Shalahuddin Al-Ayyubi, ayah sang raja.
Menurut Hossein Nasr, Suhrawardi
adalah penulis sejumlah karya filsafat dan gnostik berbahasa Arab dan Parsi.
Karya terpentingnya ialah Hikmah Al-Isyraq. Menurut Nasr, dalam magnum
opus-nyaini, Suhrawardi memulainya dengan sejumlah kritik atas filsafat
Peripatetik. la bukan hanya melontarkan kritik atas logika (di mana ia
menyederhanakan kategori Aristoteles menjadi empat), melainkan juga atas
filsafat alam, psikologi, dan metafisika.
Suhrawardi juga membicarakan secara
panjang lebar persoalan epistemologi. la menggunakan way of reason dengan
way of intuition. Keduanya dipandang sebagai saling melengkapi. Nalar
tanpa intuisi dan iluminasi, menurut Suhrawardi, adalah puerile (kekanak-kanakan,
red.) dan setengah buta serta tidak akan pernah mencapai sumber seluruh
kebenaran dan inteleksi yang transenden. Menurutnya, intuisi tanpa persiapan
logika, pelatihan, serta pengembangan fakultas rasional akan tersesat dan
selanjutnya tidak akan mampu mengekspresikan dirinya secara cermat dan
metodologis. Itulah sebabnya Hikmah Al-Isyraq dimulai dengan logika dan
diakhiri dengan sebuah judul mengenai ekstase dan kontemplasi mengenai
esensia-esensia selestial.
Doktrin-doktrin Suhrawardi
mendapatkan antusiasme di dunia Persia, terutama di kalangan Syi`ah. Alasannya
karena dunia Syi`ah telah berhasil mengembangkan filsafat Islam dan teosofi
fase sejarah sebelum Islam. Mazhab Suhrawardi adalah mazhab yang mensintesakan
filsafat Peripatetik, terutama yang diinterpretasikan oleh Ibn Sina dan
doktrin-doktrin gnostik mazhab Ibn Arabi. Di dunia Syi`ah, perspektif yang
berbeda ini akhirnya benar-benar terunifikasi pada abad ke-11 H/ke-17 M dalam
suatu sintesis yang dilakukan oleh Shadr Al-Din Muhammad Al-Syirazi atau lebih
dikenal dengan nama Mulla Shadra, seorang filosof sekaligus gnostik (`arif),
dan seorang ekspositor terbesar doktrin-doktrin metafisika dalam Islam.
Henry Corbin adalah satu-satunya
sarjana Barat yang serius mempelajari doktrin-doktrin Suhrawardi dan Mulla
Shadra dengan kombinasi St. Thomas Aquinas dan Jacob Bohme dalam konteks Islam.
Al-Hikmah Al-Muta`aliyah fi Al-Asfar Al-Arba`ah (9 jilid, selanjutnya
disebut Al-Asfar) karya Mulla Shadra, yang menurut Husein Nasr adalah
karya filsafat Islam yang paling monumental, di mana argumen- argumen rasional,
iluminasi yang diterima dan realisasi spiritual, dan ajaran-ajaran wahyu
diharmonisasikan dalam satu keseluruhan yang menggabungkan produk dari seribu tahun
aktivitas intelektual dunia Islam. Sangat terkenal bahwa Mulla Shadra
mendasarkan doktrinnya pada kesatuan wujud (wahdah al-wujud) dan gerak
trans- substansial konstan (al-harakah al-jawhariyyah).
Mengenai filsafat cahaya Suhrawardi,
Annemarie Schimmel mengatakan: “Ajaran yang menyinggung filsafat cahaya
diberikan pendasarannya oleh Suhrawardi di dalam hampir lima puluh buah buku
dalam bahasa Arab dan Persia. Isi buku itu menunjukkan pengaruh-pengaruh dan
kritik dari filsafat yang berkeliling… dari Ibn Sina. Dan yang sedikit
mengejutkan, namun kombinasi yang mengagumkan dari unsur Iran, Hellenisme, dan
Timur Kuno. Empat karya besarnya yang bersifat didaktis dan doktrinal berpuncak
pada Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Iluminasi); yang lebih pendek dan lebih
mudah dimengerti adalah sejumlah tulisannya dalam bahasa Arab dan Persia, di
antaranya Hayakil Al-Nur (Altar-altar Cahaya) yang sangat masyhur.
Suhrawardi menimba ilhamnya dari bermacam-macam sumber Islam. Antara lain,
pasti harus disebutkan: teologi Al-Hallaj. Nyatanya, orang dapat menemukan
kesamaan antara dua ahli mistik ini tidak hanya dalam dahsyatnya kematian
mereka, tetapi juga dalam ‘api Ilahi’ yang melahap nyawa Suhrawardi.
Pada waktu yang sama, Suhrawardi
menganggap dirinya penerus tradisi Iran Tua dan Mesir Kuno. la memperoleh ilmu
dari Hermes (dalam sumber-sumber Islam disebut Idris) dan menganggap dirinya
wakil sejati dari Hermes itu. Melalui filosof-filosof Yunani, yang berpuncak
pada Plato, aliran rohaniah ini mencapai Dzun Nun dan Sahl Al-Tustari; melalui
raja-raja imam dan aliran rohaniah itu diteruskan kepada Bayazid Bistami dan
Kharaqani, dan kepada Al-Hallaj. Upaya Suhrawardi mempersatukan dua aliran
besar teosofi pra-Islam membuat karyanya sangat penting bagi mereka yang
mempelajari religi.”[2]
Garis besar teori Suhrawardi,
menurut Annemarie Schimmel, dengan mengutip Seyyed Hossein Nasr dalam Three
Muslim Sages (Cambridge, Massachussetts, hlm. 269), adalah sebagai berikut:
“Hakikat dari Cahaya Mutlak Pertama, Tuhan, memberi terang terus menerus, orang
itu pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu raga, memberikan kehidupan
kepada segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya dan
mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan.”[3]
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic. Arabic-English, edited
by J. Milton Cowan, Librairie du Liban, 1980, him. 880 dan 468.
[2]
Annemarie Schimmel, Dimensi-dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986, him. 268-269)
[3]
Annemarie Schimmel, Ibid, him. 269.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar