Arsip
untuk Aristoteles kategori
Posted in Aristoteles,
Materi dan Sebab Material dengan kaitan (tags) aktual, aristotelian, ibn sina on Februari 22, 2012 by isepmalik
1 Vote
Karakteristik dari materi adalah
potensialitas dan pasif, dalam arti bahwa ia tidak aktif dan malah dikenai
aksi: “[kategori dari] menjadi untuk materi (al-infi’al li al-madda).”[1] Dari dua
kategori Aristotelian, yaitu bertindak dan ditindaklanjuti, materi mewakili
yang terakhir. Selain itu, gagasan bahwa materi bukan berasal dari dirinya
sendiri atau terputus dari bentuk, sejalan dengan gagasan: “materi qua
materi adalah penghilangan bentuk… jika hyle (hayula, materi
awal) dapat dipahami, kemungkinan ia dapat dipahami dengannya.”[2]
Sebagaimana akan terlihat, Ibn Sina menyamakannya dengan non-eksistensi atau
keberadaan yang tidak aktual. Oleh karena itu, karena materi berasosiasi dengan
kemungkinan dan potensialitas yang berdekatan dengan non-eksistensi: “Tidak
benar bahwa potensi (quwwa) adalah suatu hal yang aktif/ efisien atau
eksistensi aktif/ efisien. Potensialitas adalah non-eksistensialitas (‘adamiyya),
sedangkan tindakan (fi’il) adalah eksistensialitas (wujudiyya).”[3] Oleh
karena materi merupakan potensi, ia berhubungan dengan non-eksistensi. Dalam
kualitas wujud potensial (bukan efisien), ia adalah berupa murni penerimaan:
“Semua yang berwujud materi adalah penerimaan (qabul).”[4] Istilah
‘mungkin’ dan ‘potensi’ sering dipertukarkan Ibn Sina, tetapi ‘yang berpotensi’
lebih dekat pada eksistensi daripada ‘yang mungkin’. Sesuatu ‘yang berpotensi’
secara prinsip dapat menjadi eksistensi, sementara ‘yang mungkin’ tidak terikat
seperti itu.
Karena itu, materi tidak eksis
dengan sendirinya, tetapi melalui prinsip aktif. Prinsip tersebut adalah
bentuk. “Tidak ada sebab material, jika tidak ada bentuk yang merupakan
penyebabnya, yaitu sesuatu yang eksis dalam cara tertentu. Hyle (hayula,
materi pertama) hanya ada jika berhubungan dengan bentuk, sehingga jika
bentuk tidak eksis maka tidak ada yang dapat digambarkan sebagai sesuatu yang
memiliki hyle.”[5]
Materi tidak memiliki penyebab dalam
dirinya sendiri, tetapi hanya melalui bentuk atau penyebab formal. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, penyebab dapat dipahami dalam dua cara, yaitu
sebagai sesuatu yang efektif dan produktif atau hanya sebagai penjelasan.[6] Materi
tidak menjadi prinsip aktif, terutama dalam arti penjelasan. Bahkan, jika
diperlukan untuk menghasilkan substansi primer, ia tidak aktif menghasilkan
substansi tersebut.
Maka materi merupakan bagian
konstitutif dari setiap substansi fisik tertentu; ia menjadi konstituen pasif,
sementara bentuk adalah konstituen aktif:
Jika penyebab dari sesuatu adalah
bagian dari komposisinya dan bagian dari eksistensinya itu merupakan salah satu
bagian dari eksistensinya saja, maka tidak berarti bahwa ia kenyataannya
demikian, tetapi ia hanya berupa potensi yang disebut hyle (hayula,
materi pertama), atau ia adalah bagian yang eksistensinya menjadi kenyataan
yang disebut bentuk.[7]
Pada bagian ini, Ibn Sina
memperkenalkan konsep materi sebagai bagian dari substansi primer. Substansi
primer dalam istilah Aristoteles adalah eksisten tunggal, misalnya “orang ini”,
sedangkan substansi sekunder adalah bentuknya atau definisi manusianya, ide
tentang “manusia”, atau manusia keseluruhan.[8] Materi,
seperti bentuk, merupakan bagian integral dari substansi yang menjadi
penyebabnya. Keduanya disebut penyebab imanen atau terdekat, bukan penyebab
efisien atau final yang bersifat eksternal terhadap akibat keduanya. Sebagai
contoh, sebuah meja kayu tidak eksis tanpa materi berupa kayu dan bentuk
(bentuk atau definisi) yang menyertainya. Meja akan tetap demikian meskipun
tidak ada tukang kayu sebagai penyebab efisien. Juga, meja akan tetap demikian
meskipun tidak ada yang menggunakan dan tidak memenuhi fungsinya.
Materi menurut penjelasan di atas
merupakan potensialitas dan penerimaan dari substansi material. Ibn Sina di
sini mengatakan bahwa meskipun materi dianggap kompleks, tetapi tidak berarti
eksistensinya aktual, ia hanya memiliki potensi. Materi tidak dapat dianggap
berkontribusi terhadap eksistensi. Sebaliknya, bentuk adalah kondisi yang
diperlukan bagi eksistensi materi tersebut.
“Setiap elemen (‘unsur) dan qua
(dalam kapasitas atau fungsi dari) elemen hanya memiliki penerimaan (qabul).
Adapun untuk mencapai bentuk, elemen memperoleh dari luar dirinya.”[9]
Elemen (‘unsur) adalah nama
lain dari materi yang paralel dengan madda dan hayula.[10]
Selain itu, Ibn Sina memberitahu bahwa bentuk bukan merupakan bagian dari
materi tetapi ‘disatukan untuknya’. Nanti kita akan melihat bahwa entitas
bentuk adalah dilekatkan pada materi. Bentuk dan materi merupakan substansi
individual, yaitu senyawa material.
Disebutkan dalam fisika al-Syifa
gagasan dari sifat penerimaan dari materi: “Materi tidak berhasil (yufidu)
mengaktualitaskan sesuatu, melainkan memberikan kontribusi kepada potensi
eksistensi sesuatu itu. Selanjutnya, bentuk adalah yang mengubah sesuatu
menjadi aktual.[11]
Tidak seperti materi, bentuk
meminjamkan aktualitas dan menjadikan sesuatu eksis. Hubungan eksistensi dan
aktualitas sejalan dengan gagasan bahwa tidak ada yang benar-benar eksis dalam
potensinya, seperti: “Tidak ada potensialitas dari setiap aspek (min kull
jiha), maka tidak ada esensi dalam aktualitas. Suatu bagian [tertentu] yang
memiliki potensi [tentu] menjadi aktual.[12]
Penjelasan ini memuat dua hal penting. Pertama, potensi tidak sepenuhnya
mengaktual. Kedua,—menurut prinsip keberlimpahan Aristotelian—potensi ketika
mencapai titik tertentu (bentuk) akan menjadi aktual.[13] Hal ini
berarti, materi tidak pernah eksis dengan sendirinya. Ia (materi) hanya eksis
melalui bentuk. “Materi adalah sesuatu (ma’na) yang mendukung terhadap
dirinya tetapi tidak eksis dalam aktualitas. Ia hanya eksis dalam aktualitas
melalui bentuk.”[14] Dengan
demikian, jenis materi yang tanpa bentuk (materi utama) adalah abstraksi belaka
atau hanya teoritis belaka.
[1] Ibn Sina,
Al-Mubahathat, hal: 94 dan 185. Pandangan ini sesuai dengan filosofi
Aristotelian: Ibn Sina dan Ibn Rusyd menurunkan eksistensi “materi pertama”
dari transmutasi empat elemen dan keduanya menegaskan bahwa “potensialitas”
merupakan karakteristik yang utama (Hyman, Aristotle: “First Matter” dan
Avicenna’s and Averroes: “Corporeal Form” dalam Essay in medieval
Jewish and Islamic Philosophy, hal: 345.
[2] Ibn Sina,
Al-Mubahathat, hal: 276 dan 794. Hyle (hayula) biasanya
diartikan materi utama, yaitu jenis materi yang tidak memiliki bentuk dan
bentuk dihilangkan darinya. Lihat: Goichon, Lexique, hal: 413.
[3] Ibn Sina,
Al-Mubahathat, hal: 216 dan 640.
[4] Ibid,
hal: 92 dan 170. Lihat: Goichon, Distinction, hal: 423; Ibn Sina, al-Najat,
hal: 240.
[5] Ibn Sina,
Al-Mubahathat, hal: 296 dan 831.
[6] Lihat:
Kogan, Averroes and the Metaphysics of Causation, hal: 4.
[7] Ibn Sina,
al-Syifa, al-Ilahiyyat, hal: 258.
[8]
Aristotle, Categories, 2a11-2a19.
[9] Ibn Sina,
al-Syifa, al-Ilahiyyat, hal: 281.
[10] Lihat:
Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy, hal: 55-59.
[11] Ibn Sina,
al-Sama’i al-Tabi’i, hal: 36. (Al-Yasin, hal: 103).
[12] Ibid,
hal: 81. (Al-Yasin, hal: 131).
[13] Goodman
menyebutkan “tesis Aristoteles bahwa tidak ada kemungkinan yang belum
direalisasikan”, dalam Essay in medieval Jewish and Islamic Philosophy,
hal: 148.
[14] Ibn Sina,
Al-Ta’liqat, hal: 39. Lihat: Hyman, Aristotle: “First Matter”,
hal: 347 dan 356; Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy,
hal: 105-106.
Posted in Aristoteles,
Materi dan Kebetulan dengan kaitan (tags) alami, fenomena alam, ibn sina, syifa on Februari 20, 2012 by isepmalik
Rate This
Telah dijelaskan bahwa menurut Ibn
Sina kebetulan bukan penyebab yang berasal dari dirinya sendiri, dengan
demikian tidak memainkan peran yang efisien dalam penyingkapan fenomena alam.
Artinya, kebetulan berlangsung pada peristiwa yang jarang terjadi di alam.
Salah satu isu yang terkait dengan pembahasan kebetulan adalah sebab material:
pada akhir bab empat belas dari fisika al-Syifa, Ibn Sina membahas
materi dan posisinya dalam pengembangan substansi alami. Kejadian yang jarang
terjdi di alam, seperti deformasi fisik sebagai suatu ukuran yang tidak
mencukupi atau kelebihan karena “keengganan” materi untuk menerima suatu bentuk
tertentu; atau ketidakmampuan alam material untuk “memaksa” terhadap bentuk
tertentu pada materi.[1] Selain
itu, ada beberapa pandangan bahwa materi “layak” memiliki bentuk.[2] Terkait
gagasan ini—“keengganan” materi menerima bentuk dan “kelayakan” memiliki
bentuk—menunjukkan bahwa materi mungkin independen dari kekuatan deterministik
formal, dan Ibn Sina berulang-ulang menyatakan bahwa segala sesuatu sangat
ditentukan dari atas.
Gagasan-gagasan tersebut menunjukkan
kemungkinan materi membawa efek acak. Jika pernyataan “ketidaktaatan materi”
diterima secara harfiah, maka materi memiliki “pilihan” untuk tidak mengikuti
perintah yang berasal dari atas. Hal ini disebut “patuh” atau “bandel” terhadap
perintah; tetapi ketika bersikap tidak patuh, materi tidak memiliki daya aktif
secara independen. Ungkapan ini bukan sebagai bentuk terhadap perilaku materi;
Ibn Sina mengatakan bahwa alam tidak mampu menggerakkan materi menuju akhir, hal
ini hanya peristiwa yang “sesuai aturan” untuk materi.[3] Tidak
bisa dikatakan bahwa jika kekuatan materi benar-benar otonom, maka hal itu
merupakan batu sandungan yang serius bagi gagasan tentang kemahakuasaan Tuhan.
Selain itu, maka akan terjadi suatu dunia di mana materi terjebak dalam
kerusakan dirinya sendiri. Jika materi memang sebuah prinsip independen dari
kekuatan yang lebih tinggi, maka hal itu tidak memungkinkan untuk mengklaim
bahwa semua zat dan peristiwa di alam sudah ditentukan; ini adalah teori yang
ditekankan Ibn Sina pada bab tiga belas dan empat belas dalam Physics
serta Metaphysics al-Syifa. Bahkan jika ia tidak secara eksplisit
menganggap materi tidak memiliki peran aktif, apakah hal ini secara implisit
disarankan dalam filsafat? Dan apakah ada kontradiksi mengenai pembahasan
masalah ini di dalam tulisan-tulisan metafisika dan fisikanya?
Pernyataan Ibn Sina tentang materi
di atas seolah-olah membenarkan inkonsistensi atau kebimbangan pandangannya.
Menurut Alfred Ivry, atribut-atribut yang dianggap menjadi indeterminisme oleh
Ibn Sina yaitu mengenai dua konsepsi tentang materi:
[Ibn Sina] mengemukakan dua model
materi: salah satu materi sebagai murni penerimaan, hanya sebagai wadah yang
mencerminkan konsistensi dan materi lainnya sebagai prinsip yang nyata, sumber
dari kebetulan dan keburukan, diketahui dalam dirinya sendiri dan karenanya tak
terduga dalam kaitannya dengan bentuk.[4]
Akibatnya, pertanyaan yang harus
kita atasi adalah: apakah Ibn Sina mempertahankan kedua model materi tersebut?
Apakah ia mengakui bahwa materi adalah sebuah prinsip yang nyata? Apa hubungan
antara materi dengan kebetulan, kerusakan, dan keburukan? Apakah ada masalah
yang tak terduga dalam kaitannya dengan bentuk?
Dalam rangka untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan studi dokumentasi terhadap pandangan
Ibn Sina mengenai materi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan bahwa Ibn Sina
dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini di dalam karya-karyanya.
[1] Ibn Sina,
al-Sama’i al-Tabi’i, hal: 72, 73. (Al-Yasin, hal: 125-126).
[2] Ibid,
hal: 63. (Al-Yasin, hal: 119).
[3] Dalam
fisika al-Syifa digunakan pernyataan “ketaatan materi” (al-madda
al-mutawi’a), al-Sama’i al-Tabi’i, hal: 22. (Al-Yasin, hal: 94).
Dengan menyatakan alasan mengapa dalam kasus-kasus tertentu zat dari materi dan
bentuk tidak mengalami kerusakan, ia berkata: “Hal itu terjadi bagi yang
meninggal dunia (yafsidu) untuk bersatu ke bentuk yang tidak
bertentangan. Jadi, yang menyebabkan sesuatu tidak menjadi dan lenyap terletak
pada bentuknya yang mencegah materi dari apa yang ada di alam (yaitu untuk
menerima kebalikannya) kecuali pada bagian dari suatu materi yang taat.”
Terjemahan latinnya berbunyi: non ex parte materiae oboedentialis, yang
menunjukkan pembacaan la, bukan illa; yaitu bukan karena materi
mematuhi (atau tidak mematuhi). Pembacaan yang terakhir ini menunjukkan bahwa
dalam bentuk senyawa materi bertanggung-jawab dalam perubahan, dan peran materi
adalah pasif. Hal ini menolak pandangan bahwa kerusakan atau keburukan
materi terletak pada ketaatan atau sebaliknya.
[4] “Destiny
Revisited: Avicenna’s Concept of Determinism, hal: 167. Ivry mengidentifikasi
peran penting materi dalam perdebatan serta hubungannya dengan metafisika
Ibn Sina: “Teori Ibn Sina tentang kebijaksanaan dan determinisme bergantung
pada konsep-konsep potensialitas, kemungkinan, materi, keburukan, dan
semua di atasnya yang memungkinkan eksistensi konsep-konsep tersebut.” Ivry
tidak mengutip catatan-catatan mengenai kebetulan dalam fisika al-Syifa
untuk mendukung tesisnya, dan tidak jelas bagaimana dia dapat menyimpulkan
bahwa Ibn Sina mendukung pandangan materi bersifat positif.
Posted in Aristoteles,
Kebetulan dan Keburukan dengan kaitan (tags) al ghaya, ibn sina, tuhan on Februari 10, 2012 by isepmalik
Rate This
Api memiliki kualitas tertentu yang
memastikan bahwa ia selalu bertindak dalam cara dan situasi yang sama. Ia
membakar kayu dan material lainnya, pada sisi lain ia “hanya” melelehkan lilin.
Kualitas-kualitas yang melekat padanya tidak dapat diubah untuk tujuan-tujuan
tertentu. Api tidak akan membakar jika tidak berada dalam konsisi yang sesuai.
Dalam keadaan tertentu ia dapat menyebabkan suatu keburukan daripada kebaikan.
Sudah jelas bahwa api umumnya baik dalam dirinya sendiri dan sifatnya telah
dibuat seperti itu. Namun, dalam keadaan tertentu dan sebagian kecil peristiwa
ia dapat menyebabkan akhir yang merugikan. Akhir yang merugikan merupakan efek
samping dari penciptaannya. Tuhan merupakan penyebab dari suatu penyebab dan
pemurah, eksistensi real dari kejahatan harus dijelaskan sebagai non-entitas.
Kejahatan yang absolut adalah non-eksistensi. Teori Ibn Sina—sebagaimana
ditemukan dalam Aristoteles—menggabungkan pandangan negatif dari materi sebagai
benda pasif dan lembam dengan pandangan Plotinian sebagai tidak sempurna dan
sumber keburukan.[1]
Dalam Metaphysics tentang The
Healing, Ibn Sina menjelaskan bahwa kejahatan merupakan konsekuensi dari
penciptaan:
Hal itu diperlukan sebagai kreasi
Tuhan (al-ghaya al-ilahiya)—yang merupakan sifat pemurah (Jud)—bahwa
setiap kemungkinan eksistensi harus berasal dari eksistensi yang baik,
eksistensi makhluk terdiri dan berasal dari unsur-unsur, mereka memiliki
susunan dari unsur tanah, air, api, dan udara; api hanya mengarah pada akhir
maksud yang baik ketika membakar dan menghancurkan meskipun hal itu akan
membahayakan makhluk yang baik (salihin) dan menimbulkan kerusakan
lainnya.[2]
Realisasi dari tujuan keilahian
sebagai rancangan Tuhan bagi dunia menyiratkan bahwa makhluk harus mencapai
kesempurnaan di dalam level masing-masing. Tuhan berkuasa menciptakan hanya
alam superlunar, tetapi jika begini wujud tertentu mungkin akan kehilangan
kebaikan tertentu dan akan “mengurangi” kemurahan Tuhan. Makhluk yang eksis di
bawah lingkup bulan terdiri dari materi dan bentuk yang secara khusus terdiri dari
empat elemen, salah satunya adalah api. Tuhan menciptakan api dalam rangka
menjadikan makhluk materi. Karena sifatnya, api memiliki kekuatan efisien
berdasarkan cara bereaksi dengan jenis bahan yang kontak dengannya.
Bagian ini mengasumsikan bahwa ada
ketertiban di alam dan makhluk yang tidak dapat dikembalikan. Elemen tertentu
selalu memiliki sifat tertentu. Rantai kausalitas yang efisien dapat diamati.
Api membakar kayu atau pakaian jika terjadi kontak dan tidak ada yang
menghalanginya, sebagaimana dapat dilihat dengan mudah. Dalam pengertian ini,
penyebab efisien diutamakan daripada penyebab akhir esensial. Hal ini berarti,
meskipun penyebab efisien selalu aktif, tetapi akhir tidak akan menjadi hasil,
dan hasil ini terjadi pada peristiwa kebetulan. Namun demikian, ketika ada
penyimpangan dari penyebab akhir esensial yang mengarah kepada keburukan, hal
ini hanya terjadi pada peristiwa yang jarang dan selalu terjadi dalam tatanan
universal yang ditetapkan Tuhan. Hal ini juga mengindikasikan penyebab dari
kebetulan dan keburukan. Kita telah mengetahui hal ini dalam penjelasan tentang
materi.
Dalam Physics pada bab empat
belas ditutup dengan penegasan kembali bahwa materi ditentukan oleh bentuk dan
bukan sebaliknya, dan alam itu menuju akhir. Ini juga merupakan tema besar
Aristoteles ketika menganalisis konsep kebetulan. Selain menggabungkan
teori-teori Aristoteles, Ibn Sina menjelaskan keburukan dalam dua cara: di satu
sisi, keburukan adalah pengecualian dari aturan dan mempengaruhi individu,
bukan keseluruhan. Di sisi lain, kebetulan merupakan dari desain kasih sayang
Tuhan bagi alam semesta.
Kesimpulan
Analisis Ibn Sina tentang
kebetulan—bukan termasuk peristiwa yang acak—sesuai dengan definisi tentang
kebetulan (ittifaq) dalam Metaphysics al-Syifa.[3]
Menurutnya, kebetulan adalah sebuah koinsiden yang dihasilkan oleh benturan
dari dua entitas berbeda atau rantai kausal yang akhirnya dapat ditelusuri
kembali kepada Tuhan sebagai penyebab dari segala sebab. Koinsiden itu sendiri
memerlukan penyebab. Demikian pendapat Ibn Sina dalam fisik dan metafisik
ketika menjelaskan kebetulan bukan sebagai penyebab esensial.
Dalam filsafat Aristoteles, penyebab
bukan hanya diperlukan oleh akibat, tetapi penjelasannya lebih luas dari itu.
Penyebab, khususnya penyebab efisien, memiliki akibat yang menentukan terhadap
yang dihasilkan, tetapi juga sekaligus memberikan penjelasan untuk eksistensi
zat tertentu. Arti pertama dari kausalitas adalah mengenai ontologis karena
menyangkut eksistensi zat yang dihasilkan oleh sebab-sebab. Arti kedua adalah
mengenai epistemologis dan fokus pemahaman kita tentang substansi dan asal
penyebab, keduanya sering ditemukan bersama-sama. Kebetulan bukan merupakan
penyebab esensial, dan bukan prinsip aktif yang memunculkan eksistensi dari
penyebab sebenarnya yang akan dibahas selanjutnya secara rinci mengenai
komentar Ibn Sina terhadap tulisan Aristoteles tentang kebetulan. Sementara
itu, selalu ada penyebab efisien yang spesifik untuk setiap peristiwa dan hasil
dari suatu tindakan; karena hasil dari suatu tindakan tidak selalu menjadi apa
yang dimaksud oleh agen (subjek), maka salah satu ujung dari suatu tindakan
mungkin bukan apa yang dimaksud di awal. Salah satu dari akhir, berupa
aksidental sampai menjadi akhir yang real, dan ini menerangkan peristiwa
kebetulan, tetapi akhir aksidental itu sendiri bukan kekuatan penentu. Kekuatan
berasal dari penyebab efisien.
Ibn Sina memunculkan “teori
benturan”—yang bertentangan dengan teori Empedokles—untuk memperkuat
pandangannya tentang sistematisasi kausalitas efisien universal. Semua bagian
dunia—dalam satu atau banyak cara—saling terhubung dan mempengaruhi satu sama
lain melalui tindakan kemahakuasan Tuhan.
Dalam bab tiga belas dan empat belas
dari Physics al-Syifa, Ibn Sina memiliki tugas ganda: menyangkal
kemungkinan penyebab efisien esensial dalam peristiwa alam dan menekankan sifat
yang selalu bertindak untuk mencapai akhir. Ia berusaha menunjukkan bahwa
kebetulan hanya memiliki peran sekunder, atau peran aksidental. Ia konsisten
dalam menegaskan bahwa setiap peistiwa di alam memiliki penyebab efisien
esensial, dalam arti bahwa pemahaman tentang kebetulan mengungkapkan
penyangkalan terhadap determinisme. Determinisme ini diungkapkan dalam
terminologi filosofis dan disajikan oleh Aristotelian dan Neoplatonis yang
memiliki akar mendalam pada gagasan Islam tentang keputusan dan kehendak Tuhan
sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya. Untuk itu, dalam
rangka “menyelamatkan” kasih sayang Tuhan, ia berpendapat bahwa dalam segala
hal alam bertindak untuk mencapai akhir, dan materi beserta keburukan adalah
bersifat negatif.
Interpretasi Ibn Sina terhadap teks
Aristoteles sangat deterministik. Semua unsur ketidakpastian seperti model
statistik diabaikannya. Apapun yang terjadi memiliki penyebab. Selain itu,
tidak hanya terhadap setiap peristiwa tunggal, tetapi kebetulan atau kelompok
peristiwa dapat ditentukan. Mungkin tidak ada hubungan langsung antara dua
peristiwa, tetapi semuanya berasal dari Tuhan; kebetulan itu sendiri selalu
disebabkan.
Satunya elemen yang dapat
menimbulkan gangguan bagi teori kepastian adalah materi. Apakah Ibn Sina dalam Physicsmendukung
teori bahwa materi hanya bersifat pasif dan tidak memunculkan peristiwa secara
mandiri yang bersifat acak atau spontan? Apakah filsafat In Sina secara
konsisten mendukung pandangan ini? Hal ini adalah subjek pembahasan berikutnya.
[1] “[sesuai
dengan Plotinus], dalam satu cara, materi memang memiliki jenis eksistensi …
sebab ia bertentangan dengan bentuk dan tidak sempurna. Tetapi alam sendiri, ia
eksisten tidak terbatas. Jika ketidaksempurnaan materi dalam kapasitasnya untuk
menerima bentuk, apakah itu berarti keburukan turut serta dalam kebaikan?
Materi adalah keburukan dalam ketidaksempurnaannya bukan di dalam
partisipasinya. Memang, Plotinus menjelaskan lebih jauh dari hal tersebut:
materi tidak memiliki kebaikan, yang muncul darinya bukan berarti karena
partisipasinya”, Corrigan, Plotinus’ Theory of Matter-Evil, hal: 88-89.
Lihat juga: Ormsby, Theodicy in Islamic Thought, hal: 14.
[2] Ibn Sina,
al-Syifa, al-Ilahiyyat, hal: 289.
[3] Lihat:
hal: 22.
Posted in Aristoteles,
Kebetulan dan Keburukan dengan kaitan (tags) ibn sina, qasd on Februari 4, 2012 by isepmalik
Rate This
Setiap materi yang tercipta tidak
langsung argumentasinya dikembalikan kepada Tuhan, tetapi secara argumentatif
melalui rantai tidak terputus dari penyebab efisien, dan kemunculan materi
tersebut bukan merupakan prinsip ketidakpastian. Materi bukan merupakan penyebab
efisien maupun akhir, atau bukan pula penyebab final di alam ini. Materi
sendiri bersifat lembam; ia adalah elemen pasif yang terbuat dari materi dan
bentuk. Ibn Sina dalam konteks ini menjelaskan bahwa materi memperoleh dimensi
dan bentuk tertentu sehingga menjadi aktual hanya dengan cara berbentuk.[1] Namun, ia
tidak hanya membuktikan bahwa alam bertindak menuju akhir, tetapi harus
ditegaskan bahwa ia menjadi akhir yang baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai keburukan.
Hal ini menjadi jelas bahwa
pergerakan alami dari unsur-unsur material dengan cara tujuan alam (qasd)
ke tempat yang pasti (hadd mahdud), dan hal ini merupakan peristiwa yang
selalu atau sering terjadi; inilah yang dimaksud dengan istilah “akhir” (ghaya).
Maka jelas bahwa tujuan berasal dari alam ketika alam tidak menentang [itu] dan
tidak terjadi gangguan, terjadi dengan baik dan sempurna. Jika ia (tujuan alam)
menyebabkan akhir yang buruk pada peristiwa yang selalu atau sering terjadi,
bukan dengan cara demikian jiwa kita mencari penyebab keburukan, dan dikatakan,
“Apa yang membuat tunas kelapa layu?” dan “Apa yang membuat wanita keguguran?”
Jika hal ini terjadi, pergerakan alam tetap untuk kepentingan yang baik dan ini
tidak hanya [teramati] dalam pertumbuhan hewan dan tumbuhan, tetapi juga dalam
gerakan tubuh sederhana dan dalam tindakan yang berasal dari mereka oleh alam (bi
al-tab’). Mereka selalu bergerak menuju akhir (asalkan tidak ada gangguan)
menurut urutan tertentu (nizam mahdud) tanpa deviasi, kecuali ada
penyebab yang mengganggu.[2]
Dalam bagian sebelumnya telah
dijelaskan bagaimana akibat harus/ selalu mengikuti penyebab efisien ketika
tidak ada gangguan terhadap urutan kausal. Sekarang akan ditunjukkan bahwa di
alam berlaku hal yang sama untuk penyebab final. Proses alam selalu mengikuti
tujuan kecuali ada gangguan. Gangguan yang menghalangi pencapaian yang baik
atau kesempurnaan adalah materi. Maka materi bertanggung jawab terhadap
keburukan yang terjadi; bukan dalam arti bahwa ia secara aktif menghasilkan
keburukan, tetapi keburukan muncul karena penurunan derajat dari materi.[3]
Adapun mengenai deformasi materi dan
sejenisnya terjadi karena hal yang tidak baik, seperti: rusak, cacat,
kekurangan, dan akibat-akibat berlebihan dalam kaitannya dengan kealamiahan.
Rusak atau cacat adalah proses berkurangnya tindakan karena ketidaktaatan
materi. Kami tidak mengatakan bahwa alam memungkinkan untuk menggerakkan materi
sampai akhir dan tidak pula mengatakan bahwa tidak adanya tindakan alam adalah
untuk mengakhirinya, tapi kita mengatakan dengan pasti bahwa ia bersifat sesuai
dengan aturan (mawadd muti’a); ketika alam mencapai akhir, maka hal itu
tepat untuk alam.[4]
Bagaimana penjelasan untuk keburukan
alam? Ibn Sina berpendapat bahwa alam tidak bertindak sia-sia, tetapi
kadang-kadang alam tidak menggerakkan materi menuju akhir. Implikasinya adalah
alam selalu bertindak untuk mencapai tujuan, tetapi mungkin bisa gagal untuk
mencapai akhir karena materi tidak memiliki ukuran terhadap tugasnya.
Selanjutnya, kegagalan itu terletak pada apa yang oleh Ibn Sina sebut sebagai
“ketidaktaatan materi”(isyan al-madda). Ketika materi berlaku taat, maka
tindakan alam akan mengakhirinya. Penggunaan ungkapan “ketidaktaatan”
menunjukkan bahwa materi semata-mata tidak bersifat pasif. Namun, seperti telah
dijelaskan, penekanannya ditempatkan pada kekurangan materi daripada disebabkan
oleh kapasitas efisien dari alam. Dalam bagian ini, materi merupakan alasan
untuk setiap proses alami yang tidak mencapai akhir. Cacat muncul karena ada
sifat berlebih pada materi—seperti yang digambarkan oleh contoh jari keenam.
Keburukan adalah hasil dari ketidakaktifan materi; terdapat sifat yang tidak
aktif pada materi. Jadi, ketidaktaatan adalah sebuah metafora untuk menggambarkan
kekurangan materi. Bagian ini menjelaskan kejadian langka yang tidak
diharapkan, bahwa kejadian alam yang langka dikarenakan kekurangan materi.
Namun keburukan alam tertentu ada yang sudah menjadi aturan yang dikecualikan
seperti kematian. Bagaimana penjelasan Ibn Sina untuk jenis keburukan yang
tidak jarang terjadi tetapi diperlukan? Bagaimana ia menjelaskan pemecahan
kontradiksi antara eksistensi keburukan dan alam yang sebagian besarnya adalah
baik?
Kematian dan pembusukan terjadi
[karena] ketidakmampuan (qusur) alam material (al-tabi’a al-badaniya)
untuk memaksa bentuk materi dan melestarikan bentuk dalam masalah yang
dihadapi; materi tidak bisa memunculkan pengganti (badal) yang hancur.
Proses pembusukan juga tidak kondusif sampai akhir. Proses pembusukan memiliki
penyebab lain, tetapi yang bertanggung jawab adalah alam; penyebabnya adalah
panas yang disebabkan oleh alam. Masing-masing dari penyebab memiliki akhir.
Akhir dari panas adalah hilangnya kelembaban dan terjadinya transformasi. Untuk
materi, hal itu sesuai dengan urutan sampai mencapai akhir. Untuk sifat tubuh,
akhirnya adalah untuk melestarikan tubuh semaksimal mungkin. Karena memiliki
urutan dan mengarah ke akhir, maka pembusukan merupakan tindakan alam meskipun
alam tidak melakukan tindakan. Kami tidak menjamin bahwa setiap kasus/ situasi
(hal) dalam peristiwa alam tentu harus menjadi akhir bagi alam itu
sendiri, sebaliknya kita mengatakan bahwa setiap tindakan alam bermaksud untuk
mengakhiri kepemilikannya. Adapun tindakan lainnya, penyebab mungkin tidak
untuk mengakhiri dirinya, dan jika kematian, pembusukan, dan sejenisnya tidak
berguna untuk akhir dari tubuh Zaid, maka penyebab adalah ujung yang diperlukan
dalam urutan keseluruhannya.[5]
Di sini Ibn Sina memperluas
keberlangsungan tujuan proses alami dengan memasukkan kematian dan kerusakan,
sehingga ia mengambil pandangan yang berbeda dengan Empedokles. Beberapa tujuan
dan pertentangan sedang berlangsung di alam. Titik utama dari bagian ini adalah
perbedaan kontras antara kebaikan universal dan kebaikan individu. Apa yang
buruk bagi individu tertentu adalah akhir yang diperlukan dan bernilai baik
dalam konteks keseluruhan. Sebuah peristiwa tertentu mungkin tidak
menguntungkan individu, tetapi sesuai dengan tatanan universal; Ibn Sina juga
menyebutnya dengan tatanan yang baik karena berlangsung dalam realisasi desain
kasih sayang Tuhan bagi dunia.[6] Ibn Sina
selanjutnya mengatakan bahwa kematian dan sifat berlebihan materi adalah untuk
mengakhiri, dan alam selalu berusaha untuk mencapai hal tersebut. Adapun
mengenai kebutuhan materi yang ditemukan dalam siklus hujan, ia menekankan
bahwa Tuhan bertindak terhadap materi dan memaksakan berakhir di atasnya
(hujan). Dalam pengertian ini, kebutuhan materi tidak menjelaskan setiap proses
alami—seperti yang diklaim oleh Prasokrates—melainkan berupa tindakan Tuhan
yang secara tidak langsung mengubah bentuk materi dalam cara tertentu menuju
suatu tujuan. Hal ini menjadi jelas jika kita menunjukkan analogi antara materi
dan keburukan. Materi, seperti keburukan, tidak bersifat positif atau tidak
benar-benar eksis, hanya eksis ketika berkombinasi dengan bentuk. Materi murni,
atau materi utama, sebenarnya tidak eksis dengan sendirinya, semua materi hanya
dapat ditemukan pada substansi individu ketika berhubungan dengan bentuk.
Keburukan juga tidak dapat ditemukan dalam isolasi, tetapi hanya sebagai efek
samping dari tindakan. Keburukan, meskipun tidak diinginkan, merupakan efek
penting dari penciptaan. Hal ini ditegaskan dalam bagian dari al-Najat:
Tuhan menghendaki (yuridu)
sesuatu (al-asy-ya) dan juga menghendaki keburukan (al-syarr),
keburukan yang beragam disebabkan aksiden (‘ala al-wajh al-ladzi bi al-‘arad).
Kebaikan (al-khayr) ditetapkan (muqtadan) oleh dirinya (bi
al-dzat) dan keburukan ditetapkan oleh aksiden (bi al-‘arad), dan
semuanya sesuai dengan ketentuan Tuhan (bi qadar).[7]
Jelas, yang baik dan yang buruk
diciptakan menurut kehendak Tuhan; yang pertama muncul oleh keperluannya
sendiri dan yang terakhir bersifat aksidensial. Akhir aksidensial mengikuti
keperluan dari akhir esensial. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa segala
sesuatu, baik atau buruk, diperlukan karena ditentukan oleh Tuhan, lebih
jelasnya nanti dalam pembahasan mengenai ketentuan Tuhan (qadar).
Keburukan selalu mengikuti keperluan dari penciptaan, seolah-olah sebagai efek
samping. Hal ini diilustrasikan dalam contoh di bagian Physics:
Seseorang tidak harus kagum
[terhadap fakta] bahwa panas bertindak untuk membakar sesuatu, pembakaran dan
penghancuran bukan dari tindakan panas, dan api tidak dapat mengubah menjadi
sesuai dengan sifat dirinya sendiri. Kebetulan dan akhir aksidental muncul
dalam fakta bahwa pakaian orang miskin terbakar, misalnya. Ini tidak sesuai
dengan akhir esensial, karena panas tidak bertujuan untuk membakar pakaian
orang miskin. Juga, tidak ada kekuatan yang terdapat dalam api untuk membakar
materi [tertentu], bukan pula untuk mengubah benda yang menyentuh substansinya.
Pakaian bersentuhan dengan api; untuk peristiwa ini terdapat tujuan berupa
tindakan api di alam, jika api menyentuh objek [tertentu] maka ia terbakar.
Selain itu, eksistensi akhir aksidental tidak mencegah eksistensi akhir
esensial, bukan akhir dengan sendirinya mendahului akhir aksidental.[8]
[1] Ibid,
hal: 70-71. (Al-Yasin, hal: 123).
[2] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 71, bacalah: fa-bayyin oleh Zayid
dan Madkur dan fasil oleh Al-Yasin. (Al-Yasin, hal: 123).
[3] Konsepsi
Ibn Sina tentang keburukan, lihat: Michot, La destinee, hal: 59-68.
Michot memahami bahwa keburukan menurut Ibn Sina hanya ditemukan di dunia.
Selain di dunia ini, praktis tidak ada keburukan, hal: 61. Menurut Steel dalam
“Avicenna and Thomas Aquinas on Evil”: “Setelah menetapkan bahwa keburukan
mendatangkan akibat negatif, Ibn Sina menjelaskan bagaimana bentuk keburukan
yang terhubungan dengan materi dan itu hanya terjadi di bumi. Keburukan yang
berakibat negatif hanya terjadi pada makhluk yang rentan terhadap kekurangan,
yaitu makhkuk yang tidak dapat mengaktualkan potensinya karena didominasi
materi”, hal: 178. Hubungan antara potensialitas/posibilitas dan materi, lihat:
McGinnis, “The Relation between Essence, Possibility and Matter in the
Philosophy of Ibn Sina. Pandangan Ibn Sina tentang keburukan berakar
Neoplatonik/ Plotinian tentang teori keburukan sebagai kekurangan dan
hubungannya dengan materi. Dalam skema emanasi Neoplatonisme, materi muncul
paling akhir (Michot, La destinee, hal: 59). Tema utama
Neoplatonik mengenai emanasi dan degradasi progresif sebagai salah satu yang
bergerak menjauh dari Tuhan, hubungan keburukan degan materi, perlunya
keburukan; urutan keseluruhan tema ditetapkan Ibn Sina dalam komentarnya
terhadap “Theology of Aristotle”. Pandangan Plotinus mengenai hubungan antara
materi dan keburukan, lihat: “Plotini Opera, vol. 1, Ennead I.8.3-I.8.4 dan
I.8.6-I.8.7. Pengaruh pandangan Plotinian terhadap Ibn Sina mengenai materi,
lihat: Cruz Hernandez, “La Metafisica de Avicenna”, hal: 95-96.
[4] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 72-73. (Al-Yasin: 125).
[5] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 73. Baca: sabab, al-badan, dan wa’in
oleh Al-Yasin, dan fi’la-ha li-ghaya la-ha oleh Zayid dan Madkur.
(Al-Yasin, hal: 125).
[6] Ibid,
hal: 73. (Al-Yasin: 125). Untuk pembahasan mengenai tatanan universal, lihat: al-Ta’liqat,
hal: 46-47. Dalam bagian ini, Ibn Sina menjelaskan bagaimana dosa dan hukuman
orang berdosa merupakan bagian konstitutif dan diperlukan dalam tatanan
universal. (Michot, de Destinee, hal: 61-63).
[7] Ibn Sina,
al-Najat, hal: 325. Untuk teori bahwa keburukan termasuk dalam ciptaan
Tuhan, lihat: Michot, Lettre au Vizir Abu Sa’d, hal: 120-121. Pandangan
yang sama mengenai keburukan merupakan desain Tuhan bagi dunia dan diubah
menjadi baik oleh Tuhan, dapat ditemukan dalam al-Ta’liqat, hal: 47.
[8] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 74. Baca: yuta’ajjaba dan yuhraqa
oleh Zayid dan Madkur. (Al-Yasin: 126).
Posted in Aristoteles,
Kebetulan dan Keburukan dengan kaitan (tags) alam semesta, aliran filsafat, ibn sina, kasih sayang, syifa on Januari 30, 2012 by isepmalik
Rate This
Bab empat belas dalam al-Syifa
tentang Physics membahas isu berbeda tetapi berhubungan dengan konsep
kebetulan. Bab ini menyajikan dua pembahasan mengenai hubungan kebetulan dengan
kebijaksanaan Tuhan dan kebetulan dengan asal dunia. Seperti Aristoteles, Ibn
Sina pada bagian akhir argumennya berusaha menunjukkan bahwa alam secara umum
bertindak menuju akhir. Dalam rangka mempertahankan pandangan teleologis
tentang alam, ia menjelaskan masalah materi dan juga kerusakan. Ia menjelaskan
dan mengembangkan pandangan yang biasanya digunakan Plotinian. Dengan demikian,
ia memperkenalkan argumen yang didasarkan pada pandangan Aristotelian
Neoplatonik/ Plotinian mengenai materi dan kerusakan sebagai sesuatu yang
negatif.
Sebelum mengemukakan pandangannya
tentang kebetulan, Ibn Sina menyebutkan empat aliran filsafat pada masa Kuno
dan menganalisisnya dengan pendekatan argumen Aristoteles. Ibn Sina menemukan
kelemahan masing-masing aliran filsafat tersebut. Selain menjelaskan sifat
sebenarnya dari kebetulan, ia menunjukkan pada bagian kedua argumennya bahwa
alam semesta secara keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak muncul secara
kebetulan (acak) melainkan oleh kehendak yang bertujuan dan sifat kasih sayang,
orang Muslim mengindentifikasinya dengan kehendak Ilahi. Masalah paling sulit
yang harus Ibn Sina atasi adalah pertanyaan tentang bagaimana perubahan
kebaikan menjadi kerusakan (deformasi) dan kehancuran ke dalam model harmonik
dari alam semesta, khususnya peran materi dalam proses tersebut.
Pertama, ia menyebutkan kelompok
yang menyangkal bahwa antara keberuntungan dan kebetulan disertai penyebab (illa).[1] Kelompok
ini berpendapat bahwa:
Mustahil bagi kita menemukan
penyebab sesuatu, mengamatinya, menghindarinya, dan menyangkal bahwa ia adalah
penyebab (illa), dengan mencari untuk [sesuatu] alasan yang tidak
diketahui antara keberuntungan dan kebetulan. Sebab, jika seseorang menggali
sumur dan kemudian menemukan harta, maka orang bodoh akan mengatakan bahwa dia
beruntung; jika ia tergelincir dan kakinya patah, maka ia dikatakan bernasib
sial. [Kelompok ini menyatakan bahwa] orang ini sama sekali tidak beruntung.
Sebaliknya, siapapun yang menggali cukup dalam untuk mencapai sesutu di
dalamnya, ia akan mencapai hal itu; dan orang yang berdiri di tepian yang
licin, ia akan tergelincir. Jika demikian [menurut beberapa klaim], begitu
seseorang pergi ke pasar untuk melakukan bisnis dan mencari orang yang
berutang, maka ia akan memperoleh piutangnya, ini menjadi hasil dari
keberuntungan. [Kelompok ini, yang menolak kebetulan] menyangkal hal tersebut;
sebaliknya peristiwa ini [terjadi] karena ia bermaksud dan dengan indra
penglihatannya menemukan orang yang berutang.[2]
Kenyataan bahwa seseorang yang
menggali sumur menemukan harta karun tidak dapat disebut sebagai contoh dari
keberuntungan; untuk dapat dipahami bahwa menggali sumur pasti akan mengarah
kepada pencarian harta karun jika harta karun tersebut ada. Di sini ada penyebab
yang jelas. Ibn Sina keberatan bila faktor tujuan dan penyebab final diabaikan,
tentu saja keberatan yang sama mendasari kritikan dari aliran lain. Lebih
lanjut, pengikut aliran ini mengklaim bahwa:
Bahkan jika tujuannya untuk pergi
bukan begitu, itu tidak berarti pergi ke pasar bukan penyebab nyata untuk
menemukan orang yang berutang, maka bagi suatu tindakan mungkin untuk memiliki
banyak tujuan. Memang tindakan harus demikian, tetapi terjadi, [sehingga]
pelaku menetapkan satu tujuan sebagai tujuannya, dan [tujuan] yang lainnya
ditangguhkan karena ia menetapkan satu tujuan [sebagai tujuannya] dengan
mengabaikan yang lain. Jika orang ini menyadari bahwa orang yang berutang ada
di sana, lalu pergi mencarinya dan memperoleh piutangnya, hal itu berarti apa yang
telah terjadi bukan karena keberuntungan.[3]
Argumen ini sebenarnya sangat dekat
dengan Ibn Sina, karena ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi
memiliki sebab yang pasti, namun ia ingin menunjukkan bahwa penyebab final
memainkan peran dalam hasil suatu tindakan. Sebagaimana telah kita lihat, Ibn
Sina tidak mengabaikan sama sekali kebetulan sebagai ilusi belaka. Ia membantah
kelompok ini mengenai penyebab efisien, karena penyebab efisien ini menegaskan
hubungannya dengan penyebab final. Juga, kebetulan terikat dengan harapan
tindakan dari subjek, dan harapan ini atau penyebab final esensial dari subjek
memiliki peran aktif:
Apakah Anda tidak melihat bahwa niat
akan membuat orang bertindak dalam suatu peristiwa yang sering dan langka
terjadi lainnya? Orang pergi kepada yang berutang setelah mengetahui
keberadaannya, tetapi orang yang tidak mengetahui [keberadaannya] ketika pergi
ke suatu toko seringkali tidak menemukan orang yang berutang kepadanya. Karena
jika perbedaan dalam niat menyiratkan perubahan dalam penilaian frekuensi
masalah ini, maka penilaian akan menentukan apakah masalah ini terjadi secara
kebetulan atau tidak.[4]
Aristoteles menyatakan bahwa
kebetulan yang terjadi dikesampingkan dalam peristiwa yang selalu atau sering
terjadi; mengikuti argumen ini Ibn Sina menyatakan bahwa kejadian langka adalah
yang paling tak terduga, ia merespon kelompok pertama ini yang menyatakan bahwa
niat subjek tidak memainkan peran penting dalam menentukan frekuensi dari suatu
tindakan sehingga di situ terletak peristiwa kebetulan atau tidak. Jika niat
atau penyebab final—karena baginya niat adalah penyebab final meskipun
kadang-kadang hasil akhir mungkin belum diniatkan—menentukan keberhasilan, maka
frekuensi tindakan juga menentukan apakah itu muncul secara kebetulan.
Kelompok kedua membela bahkan memuji
adanya kebetulan, dan percaya hal itu berasal dari Tuhan dan ajaib. Hal ini
tidak dapat dipahami oleh akal. Pandangan ini hanya disebut secara singkat dan
Ibn Sina mengabaikan dengan tidak memberikan bantahan secara rinci.[5]
Kelompok ketiga yang diwakili
Demokritus dan para pengikutnya menyebutkan bahwa kebetulan merupakan penyebab
alami. Dunia muncul secara kebetulan, bukan oleh suatu desain. Makhluk
terbentuk ketika partikel terkecil yang bergerak dalam ruang hampa saling
melakukan tumbukan. Hal ini menjelaskan asal-usul dunia dan bagian-bagiannya,
dan tumbukan ini terjadi secara kebetulan.
Kelompok keempat diwakili Empedokles
dan para pengikutnya tidak mengklaim bahwa dunia keseluruhan muncul secara
kebetulan. Tetapi makhluk (partikular) muncul secara kebetulan dari unsur-unsur
alam, khususnya materi.
Empedokles dan pengikut pandangannya
menyatakan bahwa partikular muncul secara kebetulan yang bercampur dengan
kebutuhan. Mereka berpikir bahwa materi muncul karena kebetulan dan memiliki
bentuk sesuai kebutuhan. Misalnya, mereka mengatakan bahwa gigi seri bagian
tengah tidak tajam untuk memotong makanan, tapi kebetulan ada makanan yang
memerlukan ketajamannya, akibatnya bagian gigi tersebut menjadi tajam karena
kebutuhan. Dalam masalah ini mereka mengemukakan argumen yang lemah: Bagaimana
alam dapat bertindak demi sesuatu ketika ia tidak memiliki pembicaraan (rawiya)?
Mustahil alam bertindak demi sesuatu yang tidak akan ada deformasi,
pertumbuhan, dan kerusakan sama sekali di dalamnya. Kondisi ini bukan untuk
sebuah tujuan (bi-qasd), tetapi begitu terjadi masalah yang mengarah
disposisi (hala) demikian maka peristiwa akan diikuti oleh materi. Dan
semua peristiwa alam yang terjadi melibatkan beberapa keuntungan.[6] Apapun
unsur yang muncul dibentuk oleh prinsip-prinsip secara kebetulan dan bentuk
dari komposisi kebetulan itu sesuai untuk kelangsungan hidup.[7] Bahkan
jika mengakui pertumbuhan dan kemunculan itu mengikuti suatu ketertiban, maka
sebaliknya akan ada ketertiban yang mengakibatkan kerusakan yang tidak kalah
hebatnya dengan ketertiban tersebut; itu adalah kerusakan ketertiban dari awal
hingga akhir, sebaliknya [partikular sesuai] untuk ketertiban dari pertumbuhan.
Maka akan diperlukan kerusakan demi sesuatu, misalnya kematian.[8]
Argumen ini seperti yang pertama;
menolak peristiwa alam yang memiliki tujuan. Karena jika sesuatu yang survive
itu karena kebetulan sesuai untuk kelangsungan hidupnya, bukan karena
dihasilkan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Kelangsung hidup dari hal-hal
yang dilakukan adalah bertahan secara serampangan sejauh itu bukan karena
tindakan yang bertujuan. Menurut pandangan ini, jika alam benar-benar bertindak
sesuai dengan tujuan dan dengan maksud untuk beberapa manfaat, maka kematian
yang bukan merupakan kejadian langka tetapi pasti terjadi bagi semua makhluk
tentu tidak akan ada. Jika proses alami menuju kematian, maka ia akan menjadi
tujuan. Dalam interpretasi ini semuanya mengikuti materi, bukan disebabkan
tujuan atau penyebab final. Kesimpulan ini menimbulkan banyak masalah terutama mengenai
teleologi di alam dan akibatnya; terutama bagi filsuf Muslim seperti Ibn Sina
dan juga anggapan bahwa dunia dikuasai sesuai dengan desain kasih sayang Tuhan.
Argumen Empedoklean menggambarkan bahwa dunia tidak memiliki nilai-nilai “etis”
atau penyebab final. Proses secara umum dan kerusakan bukan hanya
mengenai baik atau buruk, ia bersifat sederhana dengan proses seperti itu.
Ibn Sina membantah semua argumen
tersebut. Ketika melakukan bantahan, ia menggali lebih dalam mengenai hubungan
antara empat penyebab dengan konsep kebetulan.[9]
[1] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 60. (Al-Yasin, hal: 118)
[2] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 60. Bacalah: rijlu-hu, kull, dan kana
dalam Al-Yasin, hal: 118. Contoh pertama dibuat oleh Ibn Sina, Aristoteles
mencontohkan tentang orang yang pergi ke pasar dan kebetulan menemukan orang
yang berutang. Lihat: Physics, 196a3-196a5, al-Tabi’iyyat, hal:
111-112.
[3] Ibid,
hal: 60-61. (Al-Yasin, hal: 118). Menurut Sorabji dalam studinya tentang
Aristoteles menyatakan bahwa contoh ini seperti ditunjukkan Demokritus: “Kami
menyatakan mengenai hubungan seorang pria menemukan harta karun ketika menggali
lubang untuk tanaman. Demokritus berkata (atau akan mengatakan) di sana ada
penyebab, yaitu menggali atau menanam zaitun. Dia telah menyatakan bahwa segala
sesuatu terjadi karena kebutuhan. Dan salah satu sumber menyatakan kepadanya
bahwa kebetulan adalah sebab dan disebut “kebetulan” hanya karena penyebabnya
tidak jelas bagi pikiran manusia,” Necessity, Cause, and Blame, hal: 17.
[4] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 68. Bacalah: laysa dalam Al-Yasin, hal:
122.
[5] Ibn Sina
membatas dirinya dalam mengomentari Aristoteles tentang kelompok ini dalam
196b5-196b7, hal: 116 dari versi terjemahan bahasa Arab. Sesuai edisi Ross
tentang Physics karya Aristoteles, Stagirite merujuk kepada sekte
Yunani Kuno yang populer dengan Dewi Fortuna, hal: 515. Pandangan yang sama
diungkapkan oleh Judson, Aristotle on Necessity, hal: 179.
[6] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 69. (Al-Yasin, hal: 123).
[7] Ibid,
hal: 61. (Al-Yasin, hal: 118-119).
[8] Ibid,
hal: 69. (Al-Yasin, hal: 123).
[9]
Aristoteles mengacu pada aliran filsafat yang berbeda dengan urutan sebagai
berikut: aliran yang menolak kebetulan pada peristiwa apapun yang terjadi,
aliran yang berpandangan bahwa kebetulan terjadi pada peristiwa tertentu,
aliran yang menganggap pembentukan surga secara kebetulan, dan aliran yang
mengganggap kebetulan sebagai tindakan Tuhan, lihat: Physics,
196a1-196b9, hal: 111-116 dalam versi terjemahan bahasa Arab.
Posted in Aristoteles,
Konsep Kebetulan dengan kaitan (tags) hanya satu, hewan, ibn sina, peristiwa alam, sukarela, syifa on Januari 28, 2012 by isepmalik
Rate This
Sebuah peluang terjadi dari suatu
tindakan atau peristiwa yang memiliki tujuan dan mengarah ke hasil tak terduga
lainnya dari tujuan yang diharapkan. Hasil ini dapat dikatakan sah apabila
tindakan agen memiliki tujuan.[1] Karena
itu, elemen ‘kebetulan’ terikat dengan hasil yang diharapkan dari suatu
tindakan, bukan dengan penyebab esensial dari tindakan itu. Menurut Ibn Sina,
untuk tindakan yang selalu memiliki penyebab esensial, tidak diperlukan
kriteria untuk mengklasifikasikan peristiwa ‘kebetulan’. Apakah contoh ini
berarti ‘kebetulan’ hanya terbatas pada tindakan sukarela berupa aktivitas yang
melibatkan pengetahuan? Bagaimana dengan peristiwa alam, atau peristiwa yang
melibatkan hewan? Dalam proses alami atau hewan, ‘kebetulan’ terkait dengan
kebiasaan yang dilakukan dan tujuannya. Definisi lain mengenai ‘kebetulan’
sebagaimana yang terdapat dalam al-Syifa mengenai Physics adalah
“akhir yang disengaja (ghaya) dari proses alami, proses sukarela (amr),
atau bahkan peristiwa yang dipaksa.”[2]
Kutipan ini untuk melengkapi
penjelasan ‘kebetulan’. ‘Kebetulan’ tidak secara eksklusif dikatakan muncul
dari tindakan yang memiliki tujuan, khususnya berhubungan dengan penyebab
final. ‘Kebetulan’ melekat pada penyebab final, bukan pada penyebab efisien,
karena ‘kebetulan’ adalah sebuah akhir, namun tidak hanya satu yang
dimaksudkan.[3] Penyebab
efisien dapat ditentukan dalam hal apapun, dan ‘kebetulan’ memiliki hubungan
kuat dengan penyebab final. Dalam filsafat Ibn Sina, penyebab efisien (dan
final) adalah tiga bentuk: alami, sukarela, dan ‘kebetulan’. Dengan menyatakan
bahwa penyebab pertama di dunia adalah alam atau kehendak, Ibn Sina menegaskan
bahwa penyebab pertama bukan ‘kebetulan.’[4]
Tetapi di sini masih menyisakan
kontradiksi. Pada bagian tertentu, ia menyatakan bahwa ‘kebetulan’ berkaitan
dengan peristiwa yang jarang terjadi, pada bagian yang lain ia mengatakan bahwa
peristiwa yang selalu terjadi sebagai ‘kebetulan’. Kontradiksi ini dipecahkan:
“Ketika sesuatu yang tidak diantisipasi atau tidak diharapkan muncul, karena
tidak selalu atau jarang terjadi, maka tepat untuk mengatakan bahwa penyebab
utamanya adalah ‘kebetulan’ atau keberuntungan.[5] Kontradiksi
ini dapat dpecahkan dengan mengatakan bahwa peristiwa yang jarang terjadi
adalah ‘kebetulan’ karena tak terduga dan karenanya dianggap anomali oleh agen
dari peristiwa. Bagaimanapun, ini tidak berarti aktual, atau objek yang jarang,
atau anomali. Model statistik yang menghubungkan ‘kebetulan’ dengan frekuensi
suatu peristiwa berlaku untuk kasus yang melibatkan harapan pada bagian agen
saat melakukan suatu tindakan. Hal ini berlaku untuk makhluk hidup dan benda
mati. Namun, bila tidak melibatkan makhluk rasional digunakan istilah
‘kebetulan’ (ittifaq), sedangkan keberuntungan (bakht) dipakai
untuk tindakan yang melibatkan manusia.
Jelas, sesuatu yang merupakan
peristiwa langka seperti jari keenam, tidak terduga dan cenderung di bawah
kategori peristiwa ‘kebetulan.’ ‘Kebetulan’ biasanya berupa peristiwa yang
jarang terjadi karena ia berubah menjadi tak terduga, tapi itu tidak berarti
bahwa peristiwa yang sering terjadi tidak dapat digolongkan sebagai
‘kebetulan.’ Jika kita mengambil semua elemen-elemen sebagai dalil, maka
‘kebetulan’ adalah penyebab final aksidental dan terjadi hanya ketika hasilnya
tak terduga. Contoh-contoh yang dikemukakan Ibn Sina berfungsi untuk
menjelaskan definisinya.
Jika kita mengambil rujukan ke
penyebab aksidental sebagai kausalitas final, maka menemukan harta karun adalah
penyebab final aksidental. Dengan kata lain, menemukan harta karun dikatakan
sebagai hasil tak terduga ketika seseorang menggali lubang di kebunnya, karena
menggali lubang tidak selalu menghasilkan harta karun. Penyebab final esensial,
yaitu niat agen (subjek) akan menjadi sebuah penjelasan yang tepat. Namun,
sejauh sebagai penyebab efisien, menggali dianggap sebagai penyebab efisien
esensial untuk menemukan harta karun itu. Penyebab esensial dalam terminologi Aristotelian
adalah yang menetapkan akibat dalam gerakan menggali dengan temuan harta karun
tersebut. Karena dalam contoh ini ada satu penyebab efisien dan ‘kebetulan’
tidak dijadikan dasar penyebab efisien, maka ia tidak berhubungan dengan
penyebab efisien atau sumber dari peristiwa. Sebaliknya, dalam penafsiran Ibn
Sina hal itu berhubungan dengan tujuan dan hasil nyata.
Jika sesuatu tidak mengakibatkan
apa-apa dan tidak ada hubungan kausal antara dua peristiwa, maka tidak bisa
dikatakan sebagai penyebab aksidental. Seperti seseorang duduk saat gerhana
bulan, “tidak bisa dikatakan bahwa seseorang duduk secara ‘kebetulan’ (ittifaq
an kana) menjadi penyebab gerhana bulan, tetapi yang benar adalah begitu
duduk (pada waktu yang sama) terjadi gerhana bulan.”[6] Duduk
bukanlah penyebab gerhana meskipun terjadi pada waktu yang sama dengan gerhana
bulan—murni koinsiden temporal. Pada contoh ini, tidak ada penyebab final
aksidental dalam hubungan antara duduk dan gerhana bulan, maka ini bukan
peristiwa ‘kebetulan.’ Namun, karena kedua rantai sebab-akibat, satu mengarah
ke gerhana bulan dan yang lain duduk, maka hasil akhirnya berasal dari Tuhan
meskipun antara keduanya tidak ada hubungan langsung sebab-akibat.
Penyebab peristiwa aksidental
berhubungan dengan penyebab final, hanya saja jarang mengarah kepada akhir
aksidental. Apa artinya mengatakan bahwa ‘kebetulan’ merupakan penyebab final
aksidental? Ada banyak kemungkinan hasil ketika seseorang menggali di kebunnya,
dan semua hasil mungkin penyebab final. Setelah agen tunggal keluar untuk
menggali di kebun, maka niat menjadi penyebab final esensial dan jika terdapat
hasil lain, maka akan menjadi penyebab final aksidental. Sebaliknya, dalam kasus
menemukan orang yang berutang setelah ditetapkan maksud untuk menemukannya,
tidak dapat dikatakan bahwa itu adalah peristiwa ‘kebetulan.’ Sejak berniat
untuk menemukan orang yang berutang maka hasilnya bisa tidak terduga. Di sini
penyebab akhir esensial muncul kepada hasil daripada penyebab final aksidental,
yaitu berupa beberapa kemungkinan tujuan dari peristiwa. Sebagaimana telah kita
ketahui, sebuah peristiwa langka atau substansi terikat dengan satu-satunya
‘kebetulan’ jika secara bersamaan tak terduga. Sebagai contoh, dalam kasus
eksistensi zamrud, penyebab esensial atau substansial menentukan bahwa hal itu
eksis karena penyebab tersebut diperlukan untuk pembentukannya. Oleh sebab itu,
muncul gagasan secara tersirat bahwa dalam semua peristiwa selalu ada penyebab
efisien esensial pada setiap peristiwa ‘kebetulan’ serta penyebab final
esensial untuk mencapai tujuan yang diinginkan meskipun hal tersebut mungkin
atau tidak mungkin menjadi kenyataan.[7]
Hal ini penting untuk memikirkan
konsep ‘aksiden’ karena terkait erat dengan ‘kebetulan.’ Peristiwa ‘aksidental’
biasanya merupakan entitas yang eksistensinya muncul dari sesuatu yang lain.
Definisi ‘aksiden’ dalam al-Syifa tentang logic adalah “yang ada
dalam suatu peristiwa tanpa menjadi bagian dari peristiwa tersebut, subsisten (qiwam)
dari yang tidak benar tanpa ia didalamnya.”[8] ‘Aksiden’
tidak berada dalam isolasi, tetapi hanya melalui sesuatu substansi atau
peristiwa dalam peristiwa ‘kebetulan.’ Pada akhirnya, substansi “terpisah dari
‘aksiden’ dan subsisten diperoleh tanpa itu.”[9] Suatu
substansi tidak tergantung pada ‘aksiden’ untuk eksistensinya, meskipun
kebalikannya berlaku.
Dalam Logic, ‘aksiden’
berlawanan dengan esensi. ‘Aksiden’ esensial selalu bersamaan dengan subjek
yang ditautkan, seperti tiga-dimensi dalam tubuh. ‘Aksiden’ non-esensial atau
predikat dicontohkan dengan ‘putih’ pada seseorang. Namun, ‘warna’ umumnya
adalah aksiden esensial dari tubuh, karena tubuh harus berwarna. Dalam
ontologi, ‘aksiden’ beriringan dengan substansi, dalam arti bahwa hal itu
melekat pada sebuah subjek tanpa menjadi bagian darinya. Dalam pengertian ini,
sembilan kategori selain substsnai adalah ‘aksiden.’[10] Beberapa
‘aksiden’ ada yang permanen dan non-permanen. Dalam logika dan ontologi
disebutkan bahwa permanen atau non-permanen, ‘aksiden’ bukan bagian dari
substansi atau esensi. “Substansi membentuk ‘aksiden.’ Sedangkan, ‘aksiden’
tidak meninggalkan [substansi] dalam arti ia (‘aksiden’) tidak eksis tanpanya
(substansi), eksistensi ‘aksiden’ tidak terpisah secara mandiri.”[11]
Selanjutnya, jika kita
memperhitungkan pembagian antara atribut permanen/ esensial dan non-permanen,
konsep ‘aksiden’ disebut Ibn Sina dalam konteks pembahasan ‘kebetulan’ sebagai
‘aksiden aksidental’ (‘aksiden non-permanen), lawan dari aksiden substansial/
esensial.[12] Hubungan
antara ‘kebetulan’ dan ‘aksiden aksidental’ sangat jelas karena ‘kebetulan’
terkait dengan peristiwa yang jarang terjadi, sedangkan gagasan aksiden
esensial menyiratkan selalu menyertai substansi/ esensi.
Mentransfer konsep ‘aksiden
aksidental’ pada teori penyebab ‘kebetulan’ dapat dikatakan bahwa penyebab
‘kebetulan’ tidak berdiri sendiri, karena ia hanya ditemukan pada
peristiwa-peristiwa yang memiliki penyebab esensial dan substansial, sedangkan
dirinya sendiri tidak menentukan peristiwa terjadi. Jadi, “penyebab ‘kebetulan’
muncul untuk kepentingan sesuatu, tetapi penyebab menghasilkan akibat melalui
‘aksiden’ dan ujung-ujungnya berakhir dengan ‘aksiden’ karena ia termasuk dalam
kelompok penyebab yang melalui ‘aksiden’.”[13]
Relativitas aksidental vis-à-vis
penyebab esensial diilustrasikan dengan batu jatuh.[14] Jika batu
jatuh membuat retak kepala [seseorang], mungkin batu akan berhenti atau mungkin
jatuh ke tempat lain secara alami. Jika mencapai tujuan alaminya, hal ini
berhubungan dengan penyebab esensial dan tujuan aksidental (al-ghaya
al’aradiyya) yang merupakan penyebab secara ‘kebetulan.’ Jika tidak
mencapai tempat alami, batu jatuh adalah penyebab secara ‘kebetulan’ yang
berhubungan dengan tujuan aksidental, dan hal ini menggagalkan (batil)
hubungan dengan tujuan esensial.[15]
Akhir yang tak disengaja akibat batu
jatuh yang meretakkan kepala seseorang itu bukan tujuan karena kecenderungan
alaminya tidak demikian. Maksud dari contoh adalah bahwa benda berat seperti
batu secara alami jatuh ke tanah. Ketika mau menimpa kepala, batu bisa jatuh ke
tanah yang menjadi tujuan esensialnya. Jika tidak demikian, berarti melesat
dari target alaminya. Jatuh adalah penyebab aksidental terhadap retaknya kepala
karena kepala retak itu bukan tujuan esensial dari jatuhnya batu. Penyebab aksidental
(‘kebetulan’) muncul secara terpasang kepada penyebab esensial, tetapi ia hanya
muncul dalam hubungannya dengan penyebab esensial, tidak pernah muncul dengan
sendirinya. Argumentasi Ibn Sina dan contoh-contohnya secara konsisten
mendukung suatu kausalitas deterministik yang efisien di alam. Kita harus ingat
bahwa contoh jatuhnya batu adalah ilustrasi dari kausalitas final aksidental,
hal itu masuk akal jika kita menganggapnya sebagai kausalitas final aksidental
yang alami. Kausalitas efisien bukan yang dimaksud dari contoh tersebut. Fakta
bahwa batu adalah penyebab efisien esensial dari retaknya kepala tidak
diperdebatkan.
Satu yang dapat menentukan hubungan
antara ‘kebetulan’ dan penyebab efisien berdasarkan fakta bahwa penyebab
efisien adalah yang memproduksi hasil ‘kebetulan’, meskipun hal itu jarang
terjadi. Namun, bagi Ibn Sina ‘kebetulan’ adalah urutan penyebab final karena
ia merupakan hasil yang tak terduga dari suatu peristiwa, apalagi bila hal itu
disebabkan oleh penyebab efisien. Secara umum mengatakan ‘kebetulan’ adalah
penyebab aksidental berarti bahwa ‘kebetulan’ sendiri tidak memperhitungkan
peristiwa, tetapi hanya dalam hubungannya dengan penyebab esensial.
Pada penutup penjelasannya, Ibn Sina
membedakan antara ‘kebetulan’ (ittifaq) dan keberuntungan (bakht)
dengan menegaskan bahwa keberuntungan hanya ditemukan dalam tindakan yang
dilakukan manusia dan peristiwa ‘kebetulan’ lebih umum dan mencakup totalitas
dari proses alami.
‘Kebetulan’ (ittifaq) lebih
umum daripada keberuntungan (bakht), untuk setiap [contoh] keberuntungan
adalah [contoh] ‘kebetulan, tetapi tidak setiap [contoh] ‘kebetulan’ adalah
[contoh] keberuntungan. Keberuntungan adalah apa yang menyebabkan suatu hal
yang diharapkan, dan prinsip ini merupakan bagian dari kehendak orang dewasa
yang rasional yang dikaruniai dengan pilihan. Jika keberuntungan dikatakan
sebagai sesuatu yang lain atau jika kata tersebut untuk sesuatu yang lain [dari
manusia], misalnya sepotong kayu; setengahnya untuk membangun masjid dan
setengah lainnya untuk membangun toilet umum. Setengah yang pertama dikatakan
beruntung (sa’id) dan setengah yang kedua dikatakan tidak beruntung, ini
sebuah metafora. Prinsip alam (mabda) tidak dikatakan muncul oleh
keberuntungan (bi al-bakht) melainkan muncul secara spontan (min
tilqa’i nafsi-hi) kecuali bila terhubung dengan prinsip sukarela.[16]
Oleh karena itu, ‘kebetulan’ terjadi
secara spontan atau koinsidental—seperti telah ditunjukkan, istilah ittifaqsecara
harfiah berarti ‘kebetulan.’
[1] Hal ini
juga tidak dimaksud sebagai hasil ‘kebetulan’ menurut Aristoteles, tetapi bisa
dianggap sebagai tujuan, Physics, 196b32-196b34, hal: 119-120 menurut
versi terjemahan dalam bahasa Arab, dan menyerupai penyebab final yang benar.
[2] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 68. (Al-Yasin, hal: 122).
[3] Seperti
untuk kasus ‘kebetulan’ dan itu adalah akhir tertentu (ghaya),
disebutkan dalam Physics (al-Tabi’iyyat). Ibn Sina, al-Syifa,
al-Ilahiyyat, hal: 284.
[4] Ibn Sina,
Danishnamah, al-Ilahiyyat, hal: 57-58. Le Livre de Science, hal:
172-173.
[5] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 64. (Al-Yasin, hal: 120).
[6] Versi
terjemahan bahasa Arab Physics contoh tersebut berupa orang memasuki
kamar mandi ketika terjadi gerhana bulan, lihat hal: 131, dan Physics,
197b27-197b28.
[7] Menurut
Ibn Sina, peristiwa ‘kebetulan’ selalu memiliki penyebab sebelumnya, lihat: al-Sama
wa al-‘Alam, hal 61. Untuk penjelasan bahwa penyebab final mendahului
penyebab lainnya, lihat: Wisnovsky, Notes of Avicenna’s Concept of Thingness,
hal: 201 dan 207-211.
[8] Ibn Sina,
al-Maqulat, hal: 28.
[9] Ibid,
hal: 32.
[10] Goichon,
A. M., Lexique de la langue philosophique d’Ibn Sina, (Paris, 1938),
hal: 216-219 dan 422.
[11] Ibn Sina,
al-Maqulat, hal: 37.
[12] Ibn Sina,
al-Madkhal, hal: 86. Contoh dari aksiden esensial ketika genus
dipredikatkan sebagai spesies, seperti ‘warna’ dinisbahkan kepada ‘putih.’ Hal
ini bertentangan dengan aksiden aksidental, seperti ‘putih’ dinisbahkan kepada
‘Zaid.’ Putihnya Zaid tidak berhubungan dengan esensinya, hal: 85.
[13] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 65. Lihat: min haythu dengan Zayid dan
Madkur. (Al-Yasin, hal: 120). Penyebab aksiden dijelaskan dalam Bab 12 dalam al-Sama’
al-Tabi’i. Contoh klasik dari penyebab efisien aksidental adalah dokter
yang membangun rumah. Dokter esensialnya adalah menyembuhkan orang, sedangkan
bangunan tidak sesuai dengan atribut esensialnya, maka aktivitas membangun
rumah tidak dikatakan sebagai esensial, hal: 55-56. (Al-Yasin, hal: 100-101).
Akhir aksidental dapat dikatakan dengan cara yang berbeda: sesuatu yang
bertujuan tetapi tidak untuk kepentingan dirinya, yaitu alat untuk mencapai
tujuan seperti minum obat agar sembuh; sesuatu yang menyertai akhir atau
menimpa aksidentalnya, seperti makan untuk menghilangkan lapar dan keindahan
tubuh dalam kaitannya dengan olahraga; terakhir, arah gerakan yang tidak
diarahkan, tetapi berlangsung di jalur gerak itu sendiri, seperti posisi kepala
di jalur jatuhnya batu, hal 58. (Al-Yasin, hal: 101).
[14] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 65-66. (Al-Yasin, hal: 121).
[15] Ibn Sina,
Ibid., hal: 65-66. (Al-Yasin, hal: 121). Lihat: versi terjemahan karya
Aristoteles mengenai “contoh ini [yaitu, spontan] adalah batu jatuh dan
membunuh (seseorang). Batu jatuh tidak bukan demi membunuh; karena itu adalah
spontan [terjadinya] jika jatuhnya baru berakibat membunuh, atau jatuhny batu
dilemparkan seseorang dengan tujuan membunuh, hal: 131-132. Lihat: Aristoteles,
Physics, 197b30-197b31.
[16] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 66. (Al-Yasin, hal: 121). Ibn Sina menyesuaikan
contoh untuk pembaca Muslim. Versi terjemahan Arab dari karya Aristoteles
menyatakan bahwa batu patung yang dibuat hanya keberuntungan yang bersifat
metaforis, hal: 129. Lihat: Aristoteles, Physics, 197b9-197b11.
Posted in Aristoteles,
Konsep Kebetulan dengan kaitan (tags) anomali, eksklusif, fenomena alam, Filsafat Barat, frekuensi, ibn sina on Januari 26, 2012 by isepmalik
Rate This
Namun, klasifikasi peristiwa
terkadang tidak terlalu ketat, Ibn Sina menyatakan suatu peristiwa dapat
dianggap sering terjadi dan memiliki frekuensi ‘kebetulan’ yang sama terhadap
hal yang lain. Misalnya, jari keenam adalah peristiwa yang jarang terjadi pada
manusia, tetapi jika ada peristiwa lebih dari lima jari dan “jika daya Ilahi
yang mengalir ke dalam tubuh menemukan kondisi yang lengkap (isti’dad tamm)
secara alami memenuhi kepantasan bentuk (sura mustahaqqa), maka kekuatan
Ilahi tidak menghilangkan bentuk materi dan menghasilkan jari keenam” dan “jika
ini adalah peristiwa yang jarang ditemukan berkaitan dengan sifat universal
atau bersifat anomali yang berkaitan dengan sebab-sebab yang telah disebutkan.
Memang hal itu berlaku demikian.[1] Bahkan
jika ada sesuatu yang umumnya dianggap peristiwa jarang terjadi dan
‘kebetulan’, hal itu akan berubah menjadi ‘memerlukan’ berdasarkan penyebabnya
dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa spontan. Ibn Sina
menekankan bahwa untuk setiap fenomena alam, bahkan yang tampaknya tidak wajar
karena tidak biasa atau jarang terjadi, tetap memerlukan penyebab. Implikasinya
bahwa penyimpangan di alam memang memerlukan faktor lain dan memang harus
begitu. Hal ini karena setiap peristiwa tunggal di alam ditentukan oleh
penyebabnya.
Ibn Sina melanjutkan dengan
mengatakan, “sepanjang eksistensi suatu hal tidak berasal dari penyebab dan
tidak mengindikasikan sifat yang memungkinkan untuk muncul, maka ia tidak
muncul dari bentuknya sendiri.”[2] Hal
demikian merujuk kepada filsafat-pertama, metafisika. Salah satu prinsip
fundamental dari ontologi mengenai kemungkinan dan yang ‘memerlukan’dalam
metafisika Ibn Sina bahwa kemungkinan diperlukan manakala sesuatu menjadi
eksis. Kemungkinan dan eksistensi aktual bagi Ibn Sina merupakan dua istilah
yang menandakan hubungan eksklusif. Setiap eksistensi aktual adalah mungkin
memerlukan: dirinya sendiri, hal lain (di luar dirinya), penyebab, dengan
pengecualian Tuhan.
Jika segala sesuatu yang terjadi di
alam ‘memerlukan’ faktor lain, di mana ‘kebetulan’? Apa artinya mengatakan
sesuatu terjadi secara ‘kebetulan’? Menurut Aristoteles, ‘kebetulan’ ada dalam
peristiwa yang jarang atau sering terjadi; pandangan ini terkadang didukung Ibn
Sina sendiri.[3] Dalam al-Najat,
Ibn Sina memberikan definisi mengenai peristiwa ‘kebetulan’ yang mendukung
pandangan Aristotelian:
Peristiwa ‘kebetulan’ (umur
ittifaqiyya) adalah peristiwa yang jarang atau sering terjadi.
Peristiwa di alam itu selalu, sering, dan tidak terjadi secara ‘kebetulan’ (ittifaqiyya).
Peristiwa yang sering terjadi dengan sendirinya mengharuskan demikian kecuali
ia memiliki gangguan (aiq).[4]
Ini adalah definisi standar
Aristoteles mengenai ‘kebetulan’: yang tidak selalu (jarang) atau sering
terjadi. Selain itu, penting untuk diperhatikan mengenai perbedaan antara alam
dan ‘kebetulan’. Pada interpretasi ini, proses-proses alam adalah yang tidak
selalu atau sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa ‘kebetulan’ adalah
sesuatu yang melampaui (beyond) alam, bersifat supernatural atau monstrous,
dan tidak bisa dijelaskan oleh prinsip-prinsip ilmiah. Kita telah melihat bahwa
menurut Ibn Sina peristiwa alami terjadi tanpa ketiadaan gangguan dan akibat
alami yang langka juga sudah dijelaskan. Gangguan akan menentukan terhadap
peristiwa yang sering terjadi daripada terhadap peristiwa yang selalu terjadi,
ia mengatakan demikian dalam al-Najat. Seperti Aristoteles, Ibn Sina
menyangkal bahwa ‘kebetulan’ adalah akar dari peristiwa yang selalu atau sering
terjadi. Aristoteles mengklaim bahwa hal itu ditemukan dalam peristiwa yang
jarang terjadi. Baginya, ‘kebetulan’ secara objektif fihubungkan dengan
frekuensi dari suatu peristiwa.[5] Dengan
demikian, ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang jarang atau konstan
(terus-menerus). Peristiwa konstan misalnya gerakan bintang-bintang yang
mengikuti pola tertentu dan abadi.[6]
Contoh peristiwa yang sering terjadi
atau teratur adalah curah hujan di musim dingin. Dapat dengan mudah disebut
peristiwa ‘kebetulan’; bandingkan dengan peristiwa hujan di musim panas, tidak
diperlukan teori kausalitas secara ketat. Lebih jauh Ibn Sina menyatakan bahwa
kemenjadian diperlukan pada peristiwa yang berlangsung. Dengan membingkai teori
‘kebetulan’ dalam teori memerlukan atau kausalitas sistematis, di mana setiap
peristiwa memerlukan sebab, secara otomatis ‘kebetulan’ tidak termasuk penyebab
atau bukan penjelasan yang dapat menjelaskan suatu peristiwa. Dengan demikian
ia memenuhi teori yang mendefinisikan bahwa ‘kebetulan’ ditentukan oleh
frekuensi kejadian, dan hal ini awalnya dari teori Aristoteles. Penjelasan Ibn
Sina mengenai peristiwa yang selalu, sering, atau jarang terjadi merupakan
bentuk penolakan terhadap model statistik yang menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada
dalam peristiwa yang jarang terjadi tanpa kualifikasi apapun. Bahkan,
‘kebetulan’ tidak secara objektif terhubung dengan frekuensi terjadinya satu
peristiwa. Contoh jari keenam berfungsi untuk menunjukkan bahwa semua
peristiwa, substansi, dan alam secara umum adalah tidak mungkin; bukan
memerlukan faktor lain yang ditentukan oleh tujuan dan karenanya harus begitu.
Setiap peristiwa alami atau substansi diperlukan jika seseorang menganalisa
penyebab utama untuk itu.[7] Jika
semua peristiwa diperlukan, mengapa Ibn Sina kesulitan untuk menjelaskan
‘kebetulan’ dengan menggunakan klasifikasi Aristoteles mengenai peristiwa yang
sesuai frekuensi? Dia tampaknya mengecualikan ‘kebetulan’ dari semua peristiwa
alami, bukan hanya peristiwa yang selalu dan sering terjadi saja tetapi juga
menyangkut peristiwa yang jarang terjadi. Ia menyangkal bahwa ‘kebetulan’ ada
pada peristiwa yang jarang terjadi. Namun, itu bukan berarti bahwa ia
menyangkal ‘kebetulan’ sama sekali. Ini adalah salah satu definisi yang
diberikan dalam Physics mengenai The Healing:
‘Kebetulan’ merupakan penyebab
peristiwa alami dan tiada kehendak (amr) yang tidak mengharuskan selalu
atau sering terjadi, berkaitan dengan demi sesuatu (tujuan) dan tidak memiliki
penyebab yang mengharuskan secara esensial.[8]
Argumen di atas secara eksplisit
menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang memiliki sebab final,
sebanyak ia memiliki sebab final itu. Artinya, ‘kebetulan’ tidak muncul pada
peristiwa yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, Ibn Sina mengikuti pandangan
Aristotelian bahwa ‘kebetulan’ tidak muncul pada peristiwa yang selalu atau
sering terjadi, seperti yang dilakukannya dalam bagian al-Najat yang
dikutip di atas. Dia juga tampaknya menerima bahwa tidak ada penyebab esensial
untuk peristiwa ‘kebetulan.’ Juga, menurut definisi ini, ‘kebetulan’ menjadi
penyebab yang tidak selalu atau sering memerlukan faktor lain. Dalam
argumen-argumennya, Ibn Sina tampak berbeda-beda dan bertentangan dalam
mendefinisikan ‘kebetulan’; kadang-kadang menerima model statistik, pada
kesempatan lain menolaknya. Pada kutipan berikut, ia tampak menolaknya:
Kita dapat mengatakan bahwa
[peristiwa] ini dan itu terjadi secara ‘kebetulan’ bahkan jika peristiwa (al-amr)
digunakan untuk peristiwa yang sering terjadi; seperti perkataan seseorang,
“Aku mencari Zaid untuk berbisnis dan ia ditemukan di rumah.” Fakta bahwa Zaid
sering ditemukan di rumah tidak mencegah [orang ini] untuk melontarkan
perkataan di atas. Jawabannya adalah orang ini mengatakan hal itu tidak
berkaitan dengan apa yang diucapkannya, melainkan dengan apa yang dia percaya
tentang hal itu. Karena jika pendapat umum bahwa Zaid harus di rumah, orang
tersebut tidak akan mengatakan bahwa ia ‘kebetulan’ [menemukan Zaid].
Sebaliknya, akan dikatakan terjadi secara ‘kebetulan’ jika orang tersebut tidak
menemukannya.[9]
Dalam contoh di atas, Ibn Sina
mempertahankan ‘kebetulan’ yang tidak objektif dihubungkan dengan frekuensi
dari suatu peristiwa, tetapi hanya subjektif. ‘Kebetulan’ terjadi dalam situasi
di mana subjek bertindak dengan hasil yang spesifik dan hasil dari tindakan
adalah hal lain dari apa yang diharapkan.
[1] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. Bacalah idha, bagian 1 hal: 14, dan wujud,
bagian 1 hal: 15 dengan Zayid dan Madkur. (Al-Yasin, hal: 119-120). Pada bagian
lain, Ibn Sina menyatakan bahwa kebanyakan orang terlahir kidal. Lihat: Ibn
Sina, al-Hayawan, hal: 172.
[2] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. (Al-Yasin, hal: 120).
[3]
Aristoteles, Physics, 197a31-197a35. Oposisi antara ‘kebetulan’ dan
peristiwa yang selalu atau sering terjadi juga dinyatakan dalam: Ibn Sina, al-Syifa
tentang al-Burhan (On Demonstration) sehubungan dengan
pandangannya tentang eksperimentasi.
[4] Ibn Sina,
al-Najat, hal: 251-252.
[5]
Aristoteles, Physics, 197a19-197a20. Lihat juga bagian: 198b34-198b36.
[6]
Aristoteles terlihat berhati-hati dalam membedakan antara realitas di bumi dan
alam ghaib yang berhubungan dengan ‘kebetulan’; ia menekankan bahwa peristiwa
‘kebetulan’ hanya dapat diamati dalam bentuk.
[7] Ketika
Ibn Sina berbicara tentang peristiwa-peristiwa “yang sering terjadi”, ia tidak
lepas dari teori “memerlukan”. Adapun pengecualian terhadap keteraturan alam,
karena gangguan dalam hal itu dapat dijelaskan secara kausal. Marmura, The
Metaphysics of Efficient Causality in Avicenna, hal: 185.
[8] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120). Aristoteles
menyatakan bahwa ‘kebetulan’ merupakan penyebab peristiwa yang memiliki tujuan
dalam peristiwa yang tidak mengharuskan selalu atau sering terjadi. Lihat
terjemahan dalam bahasa Arab untuk: Physics, 197a13-197a14,
197a31-197a32, masing-masing hal: 122 dan 124.
[9] Ibid,
hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120).
Posted in Aristoteles,
Konsep Kebetulan dengan kaitan (tags) ibn sina on Januari 25, 2012 by isepmalik
Rate This
Kebetulan dan Frekuensi Kejadian
Sesuai dengan Aristoteles, Ibn Sina
membedakan antara peristiwa yang selalu (sesuai situasi), sering (sebagian
besar), dan jarang terjadi. Asumsinya bahwa penyebab efisien selalu
menghasilkan akibat yang tidak terhalangi. Misalnya, api membakar kayu jika
sebagian besarnya melakukan kontak dengan kayu itu, seseorang sering
meninggalkan rumah menuju kebunnya.[1]
Contoh pertama menggambarkan suatu
proses alami yang terjadi ketika dua zat bertemu berdasarkan sifat
masing-masing, dan contoh kedua menggambarkan kejadian di mana tujuan tercapai
sebagai hasil dari tindakan yang disengaja. Makna “sebagian besar” bukan
berarti peristiwa harus terjadi secara teratur atau sebab dan akibat biasanya
ditemukan bersama-sama, tapi biasanya terdapat akibat dari sebab jika semua
kondisi normal.
Ibn Sina menjelaskan ketiga jenis
peristiwa di atas; selalu terjadi, sebagian besar atau sering, dan jarang
terjadi. Menurut Ibn Sina, interpretasi Aristoteles mengenai peristiwa yang
selalu terjadi tidak ada permasalahan sama sekali. Tetapi, mengenai peristiwa
yang sebagian besar (sering) terjadi terdapat permasalahan.[2]
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diingat bahwa penyebab dari peristiwa yang
sering terjadi atau yang berasal dari internalnya dapat membawa akibat dan
perlu menentukan sebab-sekunder untuk menentukannya. Berikut ini ringkasan
sifat dasar atau proses dari peristiwa yang selalu, sering dan jarang terjadi.
Kemunculan menjadi [dari peristiwa
yang sering terjadi] hasil dari terganggunya urutan sebab itu sendiri atau bisa
juga tidak. Jika tidak, memerlukan sebab-sekunder, atau menghilangkan gangguan,
atau tidak memerlukannya. Jika penyebab tidak memerlukan ini, akibat tidak
mungkin berasal dari sebab. Jika penyebab tidak memerlukan sebab-sekunder, ia
harus membentuk suatu urutan yang tidak terputus dengan dirinya dan itu akan
mengarah kepada akibat; jika tidak demikian maka akan ada pertentangan. Selalu
berlaku seperti demikian jika tidak ada gangguan yang menghalangi. Perbedaan
antara peristiwa yang selalu terjadi dan sering terjadi: peristiwa yang selalu
terjadi tidak memiliki sesuatu yang berlawanan sama sekali dan terhadap
peristiwa yang sering terjadi akan ada gangguan. Peristiwa yang sering terjadi
diperlukan hilangnya ganggungan, dan ini di alam semesta terjadi tanpa
kehendak.[3]
Ibn Sina memulai dengan menjelaskan
perbedaan antara peristiwa yang selalu dan sering terjadi. Kita akan melihat
penekanan pada penyebab efisien untuk menghasilkan akibat, dan ini berarti
atribut akibat harus berasal dari penyebab jika kondisi yang tepat terpenuhi
dan tidak adanya gangguan. Jika kondisi yang tepat tidak terpenuhi (yaitu,
penyebab tidak memerlukan hal lain), maka tidak akan menghasilkan akibat; boleh
jadi penyebabnya cukup menghasilkan akibat atau akibat memang tidak dihasilkan.
Ibn Sina terlihat menggunakan gagasan kontingensi ketika menjelaskan tidak
adanya prinsip deterministik dan kemungkinan untuk hal yang harus atau tidak
harus terjadi. Tetapi Ibn Sina menolak kontingensi bagi eksistensi yang niscaya
ada, hal itu menyiratkan bahwa akibat tidak mungkin dihasilkan pada keadaan
demikian. Dalam kasus ini, prinsip deterministik diperlukan untuk akibat yang
mengikuti penyebabnya; ia bisa menjadi penyebab atau sebab-sekunder. Oleh sebab
itu peristiwa yang sering terjadi adalah kebalikan dari peristiwa yang jarang
terjadi.[4] Namun,
menurut Ibn Sina, peristiwa yang jarang terjadi juga memerlukan penyebab. Oleh
karena itu dalam kondisi yang sama dan tidak adanya gangguan, penyebab yang
sama akan selalu menghasilkan akibat yang sama. Kita dapat menafsirkan kembali
contoh terdahulu mengenai api. Api akan selalu membakar kayu ketika terjadi
kontak jika ada ada halangan untuk penyebab efisien, dan orang yang pergi ke
taman akan mencapainya kecuali sesuatu atau seseorang mencegahnya. Gagasan
penting lainnya yang diperkenalkan di sini adalah bahwa adanya urutan yang
terganggu (ittirad); hal itu berarti penyebab tidak selalu menghasilkan
akibat yang tepat, tetapi gangguan apapun yang muncul penyebab selalu
menghasilkan akibat (lain). Jika sepotong kayu bakar tidak terbakar karena
munculnya hambatan—misalnya air atau kelembaban—maka keduanya menjadi penyebab
kegagalan kayu terbakar. Apa yang biasanya terjadi sebenarnya selalu terjadi
jika tidak ada halangan; yang biasa terjadi dan pengecualiannya adalah sebab.
Pandangan ini secara eksplisit
dinyatakan dalam karya-karya lainnya Ibn Sina, misalnya dalam Metaphysics
dari al-Syifa: “segala sesuatu yang muncul memiliki sebab, dan apa yang
tidak muncul pun memiliki sebab. Kemungkinan sesuatu eksis berkenaan dengan dirinya
sendiri, tetapi eksistensi dan non-eksistensi karena penyebab (bi-illa).[5]
Kemungkinan sesuatu eksis tersebut selain Tuhan, sebagaimana akan dijelaskan
nanti.
Faktor penentu (deterministik) itu
adalah penyebab efisien, bersama dengan penyebab tambahan (sekunder) jika
diperlukan, dan tidak adanya gangguan atau hambatan. Bila kondisi tepat,
penyebab efisien akan menghasilkan akibat yang tepat; hal itu mengindikasikan
bahwa penyebab mungkin gagal atau sesuatu dapat muncul tanpa sebab. Ia
menyatakan bahwa hal demikian jarang terjadi jika kondisinya sudah tepat,
pahamilah: “memang yang jarang terjadi akan menjadi sesuatu diperlukan (wajib)
jika didalamnya sudah ditetapkan dan keadaannya dinyatakan demikian.[6]
Contoh yang diberikan dalam hal ini
adalah mengenai jari keenam, sebagai peristiwa yang jarang terjadi. Kembali ke
permasalahan: apa hubungan antara frekuensi dan ‘kebetulan’ dari suatu
peristiwa? Seperti Aristoteles, Ibn Sina mengklaim bahwa ‘kebetulan’ tidak
dapat ditemukan dalam peristiwa-peristiwa yang selalu atau sering terjadi.
‘Kebetulan’ adalah urutan peristiwa yang jarang terjadi. Oleh sebab itu, peristiwa
yang digolongkan sebagai ‘kebetulan’, frekuensinya jarang terjadi.
Masih harus dianalisa bahwa ada
peristiwa ‘kebetulan’ yang memiliki frekuensi yang sama (ma yakunu bi
al-tasawi). Dalam hal ini, Ibn Sina terlibat perdebatan dengan Peripatetik
mengenai kesahihan argumen Aristoteles. Aristotelian mengklaim bahwa
‘kebetulan’ hanya dapat ditemukan dalam peristiwa yang jarang terjadi, bukan
pada peristiwa yang memiliki frekuensi yang sama. Argumen Ibn Sina
berbeda dari Aristoteles yang menyatakan bahwa ‘kebetulan’ tidak dapat
ditemukan dalam peristiwa yang selalu atau sering terjadi. Ibn Sina membahas
teori—yang tidak dibahas Aristoteles tetapi dikemukakan Peripatetik-akhir—dan
tidak setuju dengan mereka mengenai peristiwa yang dikatakan memiliki frekuensi
yang sama, terutama peristiwa yang tidak dikehendaki. Dia menunjuk pada
kesejajaran antara peristiwa alami dan tidak dikehendaki sejauh keduanya diatur
oleh prinsip-prinsip sebab-akibat yang ketat. Apakah ia menganggap rantai
sebab-akibat menjadi independen dari rantai alami adalah masalah lain.
Peripatetik-akhir menganggap bahwa berjalan atau tidaknya seseorang, makan atau
tidaknya seseorang memiliki frekuensi ‘kebetulan’ yang sama. Ibn Sina
menegaskan bahwa “jika seseorang berjalan atau makan dengan kehendaknya, tidak
bisa dikatakan terjadi secara ‘kebetulan’.”[7] Ketika
berjalan dan makan dikembalikan kepada suatu tindakan yang dikehendaki,
“tindakan berjalan dan makan tersebut bergeser dari frekuensi ‘kebetulan’ yang
sama menjadi (peristiwa) yang sering terjadi.”[8]Secara
teori ini berarti bahwa berjalan dan makan memiliki frekuensi ‘kebetulan’ yang
sama, tapi begitu faktor deterministik muncul, maka faktor indeterministik
menjadi hilang.
[1] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 62. Bacalah: Fi-akhtar al-‘amr dengan
Zayid dan Madkur (Al-Yasin, hal: 119). Dua contoh mengenai kayu bakar dan orang
yang meninggalkan rumah menuju ke taman tidak terdapat dalam tradisi
Arab-Aristoteles. Ibn Sina menjelaskan peristiwa paralel, yang pertama
menggambarkan suatu proses alami di mana zat selalu bereaksi dengan cara yang
sama ketika kontak dengan zat lain, dan yang kedua berupa suatu tindaka yang
tidak berkehendak.
[2] Perlu
diketahui bahwa Aristoteles dalam Buku II dari Physics menyatakan bahwa
peristiwa tertentu selalu berperilaku begitu sesuai dengan sifatnya kecuali
munculnya gangguan (199a9-199a11, 199b17-199b18; masing-masing hal: 147 dan
155, terjemahan bahasa Arab oleh Hunayn bin Ishaq). Tetapi Ibn Sina membuat hubungan
sistematik antara peristiwa yang selalu terjadi tanpa pengecualian dan
peristiwa yang tidak munculnya gangguan.
[3] Ibid.,
hal: 62. Bacalah: Yakunu dengan Zayid dan Madkur. (Al-Yasin, hal: 119).
[4] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 62. (Al-Yasin, hal: 119).
[5] Ibn Sina,
al-Syifa, al-Ilahiyyat, hal: 38. Marmura menerjemahkan bi-i’tibari
dhati-hi (with regard to itself) sebagai when considered in
itself, hal: 31. Lihat: Marmura, M., “The Metaphysics of Efficient
Causality in Avicenna (Ibn Sina)”, dalam Islamic Theology and Philosophy:
studies in honor of George F. Hourani, ed. M. Marmura (Albany, SUNY, 1984).
Untuk Ibn Sina yang menggunakan kata illa dan sabab, lihat:
Kennedy-Day, K., Book of Definition in Islamic Philosophy. The Limit of
words, (London, 2003), hal: 56.
[6] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. (Al-Yasin, hal: 119).
[7] Ibid.,
hal: 63. (Al-Yasin, hal: 119).
[8] Dalam hal
ini, tindakan tersebut bukan peristiwa ‘kebetulan’ karena memerlukan penyebab
efisien. Apakah tindakan dilakukan secara otonom atau ditentukan oleh faktor
eksternal adalah masalah yang sama sekali berbeda. Dalam bagian ketentua Tuhan,
Ibn Sina menunjukkan bahwa segala sesuatu berada di bawah ketentuan Tuhan,
termasuk kehendak manusia. Hal ini dijelaskan pada pembahasan mengenai qadar
dan qada dalam Risala al-Qada, teks asli bahasa Arab terdapat
dalam Lettre au Vizir Abu Sa’d, hal: 105-108.
Posted in Aristoteles,
Konsep Kebetulan dengan kaitan (tags) ibn sina, ittifaq, pemikiran aristoteles, syifa on Januari 23, 2012 by isepmalik
Rate This
Pendahuluan: Kebetulan dan
Kausalitas
Konsep ‘kebetulan’ (ittifaq)
dianalisa dan dikembangkan Ibn Sina dalam al-Syifa sebagaimana Physics
(al-Sama’ al-Tabi’i) dalam hubungannya dengan konsep ‘keberuntungan’ (bakht).
Ada dua bab yang didedikasikan untuk membahas konsep ‘kebetulan’. Bab tiga
belas edisi Kairo dengan berjudul: “On fortune and chance and the divergence
[of opinions] regarding them; clarification of their true nature,”
berisikan empat pandangan dari aliran pemikiran berbeda yang khusus membahas
konsep ‘kebetulan.’ Bab empat belas dengan judul: “Critique of the arguments
of those who erred regarding the issue of chance and fortune and
refutation of their doctrines,” Ibn Sina menyanggah empat aliran pemikiran
tersebut dan memperkenalkan isu-isu mendasar terkait konsep ‘kebetulan’ dan
peran materi.[1]
Pembahasan dimodelkan pada eksposisi
Aristoteles tentang ‘kebetulan’ dalam buku kedua dari Physics
(195b31-200b8): Ibn Sina membahas topik dan menggunakan contoh yang sama seperti
Aristoteles. Seperti Aristoteles, ia memperlihatkan gagasan bahwa dunia secara
keseluruhan atau bagian-bagiannya muncul secara kebetulan dan bukan untuk
tujuan akhir.
Uraian yang panjang mengenai gagasan
ini dimaksudkan untuk menegaskan kebertujuan alam dan tatanan universal. Ibn
Sina mengkritik Peripatetik yang salah mengartikan pemikiran Aristoteles dan
menjelaskan kualifikasi dan posisi Aristoteles. Hal ini menunjukkan
keinginannya untuk mempertahankan arti sebenarnya dari pemikiran Aristoteles.
Tetapi ia tidak memberikan komentar secara harfiah terhadap pemikiran
Aristoteles. Sebaliknya, ia mengambil substansi pemikiran Aristoteles dan
menguraikan dengan argumennya sendiri. Hasilnya terdapat perbedaan, meskipun
tidak berbeda dengan pemikiran mendasar Aristoteles. Hal yang paling jelas
adalah maksud dari Ibn Sina sangat jelas dan sistematis mengenai konsep
‘kebetulan’ sebagai penyebab esensial atau substansial selain empat penyebab
alami lainnya. Perbandingan antara teks Aristoteles dan pemikiran Ibn Sina
mengenai ‘kebetulan’ dan ‘keberuntungan’ terungkap bahwa Ibn Sina tidak menolak
‘kebetulan’ secara lebih sistematis. Ibn Sina menggunakan istilah ittifaq,
bukan min tilqa’i nafsi-hi (spontan) untuk menunjukkan konsep
‘kebetulan.’ Istilah ittifaq (coincidence) tidak mengecualikan
pandangan deterministik bahwa setiap peristiwa memiliki sebab dan tidak berlaku
sebaliknya, sementara min tilqa’i nafsi-hi bersifat indeterministik jauh
lebih kuat karena menunjukkan sesuatu yang datang dengan sendirinya, tanpa alasan.
Tentu saja pembahasan ini bukan untuk menentukan kebenaran Aristoteles yang
telah lama menjadi subjek perdebatan, tetapi hanya membuat perbandingan dengan
teks Aristoteles yang merupakan dasar dari argumen Ibn Sina.
Argumen yang dibuat Ibn Sina tentang
konsep ‘kebetulan’ melambangkan agenda deterministiknya, sebagaimana tercantum
dalam Metaphysics al-Syifa. Definisi ‘kebetulan’ (ittifaq)
dalam Metaphysics al-Syifa, “kebetulan muncul dari perjuangan (musadamat),
dan jika semua materi dianalisis [akan terlihat] bertumpu pada prinsip-prinsip
tersebut yang datang dari Tuhan yang paling tinggi.[2] Definisi
ini berisi unsur-unsur utama ‘kebetulan’ dalam pandangan Ibn Sina: ‘kebetulan’
yang dihasilkan oleh perjuangan dua tubuh atau rantai kausal akhirnya dapat
ditelusuri kepada kepada Tuhan, Penyebab dari segala sebab.
Posisi deterministik Ibn Sina
tentang filsafat alam berasal dari dan menegaskan posisi metafisiknya dapat
disimpulkan bahwa ia merujuk kepada filsafat-pertama, sebagaimana dikenal dalam
terminologi metafisika Aristoteles. Keterhubungan Ibn Sina dalam menetapkan
determinisme metafisik dan fisik terlihat dari dua konsep kunci seperti
kekuatan Tuhan yang dalam metafisika dikembangkan menjadi teori deterministik,
khususnya dalam pembahasan ketentuan Tuhan (qadar).[3]
Penting untuk tidak melupakan
pertanyaan mendasar: apakah ‘kebetulan’ itu penyebab? Jika iya, bagaimana
hubungannya dengan empat penyebab: agen, bentuk, materi, dan tujuan/akhir?
Diskusi mengenai ‘kebetulan’ baik
menurut Aristoteles dan Ibn Sina diikuti dengan penjelasan atas empat penyebab
di alam. Penyebab alami terdiri dari empat faktor. Penyebab efisien paling
dekat dengan akal kita, merupakan penyebab paling umum yang menghasilkan
sesuatu. Faktor ini untuk perubahan dan gerakan. Penyebab material muncul dari
sesuatu yang dibuat, seperti hubungan kayu dengan meja. Penyebab akhir muncul
dalam tujuan, atau demi sesuatu yang dilakukan. Penyebab formal mendefinisikan
karakteristik yang benar-benar diinginkan.[4]
Setelah menguraikan empat penyebab,
Ibn Sina menjelaskan posisi ‘kebetulan’ dalam skema suatu peristiwa. Pada
pembukaan bab tiga belas, ia memperkenalkan masalah sebagai berikut:
Kita telah berbicara tentang
penyebab, ‘keberuntungan’, ‘kebetulan’, dan spontan (min tilqa’i nafsi-hi)
yang dianggap salah satu penyebab, tepat sekali untuk tidak mengabaikan
pertimbangan konsep (ma’na), yaitu: apakah mereka salah satu penyebab
atau bukan, dan jika mereka adalah salah satu sebab, bagaimana posisi
[menemukan] mereka diantara penyebab?[5]
Kedua bab (13 dan 14) menganalisis
cara ‘kebetulan’ berhubungan dengan empat penyebab. Argumen dibagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama menganalisis hubungan antara ‘kebetulan’ dan penyebab
efisien. Bagian ini dibahas dalam 13 bab. Bagian kedua dibahas dalam 14 bab,
menganalisis hubungan antara ‘kebetulan’ dan penyebab akhir.
Menurut Ibn Sina, ‘kebetulan’ bukan
penyebab efisien. ‘Kebetulan’ memiliki posisi dalam skema umum peristiwa dalam
hubungan sebab-akibat dengan penyebab akhir. ‘Kebetulan’ menjadi penyebab
peristiwa dalam tindakan yang memiliki tujuan, yaitu dalam peristiwa yang
memiliki sebab final, dan sebanyak peristiwa tersebut memiliki tujuan.
[1] Istilah
‘keberuntungan’ dan ‘kebetulan’ berasal dari kata Yunani tuch dan to automaton.
Ekspresi min tilqa’i nafsi-hi (spontan) setara dengan to automaton.
Ishaq ibn Hunayn menerjemahkan to automaton dengan min tilqa’i nafsi-hi.
Lihat: Aristoteles, al-Tabi’iyyat, terjemahan bahasa Arab oleh Ishaq ibn
Hunayn, hal: 111-135. Namun, ia menggunakan kata kerja ittafaqa untuk menunjukkan
kejadian ‘kebetulan’, hal: 114; dan istilah ittifaq untuk tuch, hal: 115
dan 125, dan to automaton pada hal: 130.
[2] Ibn Sina,
al-Syifa, al-Ilahiyyat, hal: 439. Marmura menggunakan ‘idha’
untuk ‘when’ bukan ‘if’, hal: 362.
[3] Di sini
tidak dinyatakan bahwa argumen yang diajukan dalam Physics al-Syifa
secara harfiah berdasarkan Metaphysics dalam karya yang sama, karena
menurut Gutas dan Michot buku al-Syifa ini adalah bagian dari komposisi al-Syifa
yang mendahului Metaphysics al-Syifa. Lihat: Gutas, Avicenna and the
Aristotelian Tradition, hal: 21. Karena sistem filsafat Ibn Sina adalah
sekelompok asumsi metafisis, mudah untuk melihat bagaimana pandangannya tentang
‘kebetulan’ juga didasarkan pada keputusan yang diambil pada tingkat metafisika
yang lebih abstrak. Pada setiap tingkat ia tidak merujuk kepada filsafat-pertama
dalam pembahasan tentang ‘kebetulan’.
[4] Mengenai
interpretasi Ibn Sina tentang empat penyebab menurut Aristoteles, lihat:
Jolivet, La repartition des causes chez Aristote et Avicenna: le sens d’un
deplacement, hal: 49-65. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan Jolivet
dibantah Wisnovsky dalam Towards a History of Avicenna’s Distinction between
Immanent and Trancendent Causes, dalam Before and After Avicenna
(ed. D. Reismen), hal: 49-68.
[5] Ibn Sina,
al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 60. Lihat juga karya yang sama dalam beberapa
edisi lainnya, al-Sama’ al-Tabi’i, (dari al-Syifa), ed. Ja’far
Al-Yasin, hal: 118. (Edisi selanjutnya hanya menyebutkan nama editor).
Aristoteles menjelaskan bagaimana hubungan ‘kebetulan’ dan ‘spontan’ dengan
empat penyebab, Ibn Sina menambahkan pertanyaan apakah ‘kebetulan’ menghasilkan
beberapa hubungan dengan empat penyebab. Lihat: Aristoteles, Physics,
195b33-195b36 dan al-Tabi’iyyat, hal: 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar