Arsip
untuk Studi Pemikiran kategori
Rate This
Menurut Hossein Nasr (Sadr al-Din
Shirazi and His Trancendent Theosophy: Background, Life and Works, Teheran,
1978), pemikir Islam Iran kontemporer, filsafat Islam dalam pandangan klasik
Barat tak lebih dari sekedar dipandang sebagai jembatan antara filsafat klasik
dan Abad Pertengahan Latin. Selanjutnya bergeser menjadi dipandang sebagai
Filsafat Arab. Sekarang, berkat perhatian dunia Barat kepada warisan metafisika
India, perlahan-lahan dunia Barat juga mulai memperhatikan warisan metafisika
Islam.
Sejak delapan abad yang lalu,
dimulai sejak karya-karya Islam dapat diakses oleh Barat Latin, melalui
karya-karya terjemahan di Kordova, filsafat Islam, yang biasa disebut saat itu
sebagai Filsafat Arab, yaitu karya-karya dari para filosof Muslim seperti
al-Kindi (Alkindus), al-Farabi (Alfaribus), Ibnu Sina (Avicenna), al-Ghazali
(Algazel) dan Ibnu Rushd (Averoes) dipandang sebagai tambahan alakadarnya bagi
filsafat mereka. Sedangkan sekarang, sejak kematian Ibnu Rushd, yang alih-alih
dipandang sebagai awal kematian filsafat Islam, justru dipandang sebagai awal
kebangkitan fase filsafat Islam itu sendiri. Selain karya terkenal komentar
Ibnu Rushd atas Aristoteles dikenal di dunia Barat, ia juga justru mulai hidup
kembali di Persia, dan anak benua India.
Selanjutnya, ditemukannya oleh dunia
Barat karya-karya pemikiran teosofik Shadr al-Din Syirazi (biasa juga dikenal
dengan nama Mulla Shadra) merupakan tanggung jawab bagi kesadaran awal dunia
Barat bahwa vitalitas filsafat Islam itu justru berlanjut setelah periode yang
disebut dengan abad pertengahan. Mulla Shadra atau Shadra, yang baru dikenal
di Barat pada awal abad ini, sangat terkenal di Persia, Afganistan dan anak
benua India sejak satu abad yang lalu. Karya penting Barat yang menyebut karya
Mulla Shadra adalah Comte de Gobineau di dalam karya klasiknya, Les
philosophies et les religious dans l`Asie centrale. Perhatian berikutnya
kepada karya- karya Shadra, pada awal dekade abad ini, dilakukan oleh Muhammad
Iqbal dan Islamisis Edward G. Browne dan Max Horten. Perkenalan serius para
orientalis dan filosof Barat terhadap karya-karya Shadra ini baru dimulai sejak
Henry Corbin berkenalan dengan karya Syuhrawardi, dalam perjalannya ke Persia
setelah Perang Dunia II, dalam pencariannya mengenai ajaran-ajaran Syuhrawardi.
Semula, Corbin tidak menyadari bahwa tradisi filsafat yang kaya dari dinasti
Safawi itu akan mengantarkannya untuk menemukan dunia baru metafisika dan
filsafat tradisional dari orang seperti Mir Damad dan Mulla Shadra, yang telah
menyebabkannya lebih banyak menggunakan enerjinya, pada dua dekade yang lalu
untuk meneliti kedua tokoh tersebut.
Sebagai peneliti pemikiran mereka,
Corbin selain banyak melakukan banyak studi tentang Mulla Shadra, ia juga
adalah satu-satunya sarjana Barat yang telah berhasil menerjemahkan sebuah
karya lengkap Mulla Shadra ke bahasa Eropa (lihat Corbin, Le livre des
penetrations metaphysiques, Teheran-Paris, 1964, yang memuat terjemahan
lengkap Kitab Al-Mashai`r, dalam bahasa Prancis).
Mengikuti jejak karya Corbin di atas
adalah karya Toshihiko Izutsu, khususnya dalam The Concept and Reality of
Existence (Tokyo, 1971) dan Hossein Nasr dalam karyanya, Islamic Studies
(Beirut, 1966); “Mulla Shadra” dalam Ensiklopedia Filsafat; dan “Mulla
Sadra” dalam Commemoration Volume (Teheran, 1961). Terakhir adalah
karya sarjana Pakistan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullah Shadra (New
York, 1975).[1]
Sekarang ini, baik di Persia dan di dunia Barat, sejumlah studi, terjemahan dan
analisa mengenai sejumlah aspek karya Shadra sedang dilakukan. Demikian juga di
Indonesia, nama Mulla Shadra dan beberapa karyanya sayup-sayup mulai mendapat
perhatian dan didiskusikan di kalangan yang masih sangat terbatas.
Menurut Hossein Nasr (1978, hlm.
13-15), studi mengenai karya-karya Mulla Shadra menghadapi empat kesulitan;
meskipun penjelasan tentang kesulitan-kesulitan ini lebih dikaitkan dengan
konteks studi pemikiran Mulla Shadra di dunia Barat, namun menurut hemat
penulis hal demikian juga tidak terlalu berbeda kenyatannya untuk konteks dunia
Islam, seperti juga untuk konteks Indonesia.
Kesulitan pertama adalah kesulitan menyangkut langkanya karya-karya dan
Shadra itu sendiri. Hingga lima belas tahun yang lalu (baca: tahun 1963),
menurut Nasr (1978) hanya karya-karya utama Shadra saja yang bisa didapat,
seperti Asfar dan al-Syawahid al-Rububiyyah[2],
karena kebanyakan karya-karya Shadra masih dalam bentuk manuskrip. Oleh karena
itu, edisi baru 9 jilid Asfar yang dikoreksi dan diedit oleh
Thaba`thabai dan Jalaluddin Asythiyani secara kritis selama sepuluh tahun,
sangatlah berharga. Empat puluh karya Shadra, yang terdiri dari ribuan halaman
itu, seperti ditegaskan oleh Nasr (1978, hlm. 13), adalah karya-karya yang
membahas persoalan metafisika, kosmologi, eskatologi, teologi dan
masalah-masalah yang terkait dengan semua itu. Karya-karya Shadra tidak hanya
menyangkut filsafat tradisional tapi juga menyangkut tafsir Al-Quran, hadis,
dan ilmu-ilmu Islam yang lain. Sejauh menyangkut filsafat tradisional,
karya-karya Shadra pun tidak hanya terbatas mencakup satu mazhab pemikiran tapi
juga mencakup keseluruhan warisan pemikiran dan warisan intelektual Islam.
Kesulitan ke dua adalah menyangkut sulitnya doktrin-doktrin yang dikaji oleh
Shadra (the innate difficulty of the doctrines involved). Nasr
(hlm. 14) menulis,
“… have made it will might
impossible for scholars who are even specialists in Mulla Sadra to have
well-grounded knowledge of all of his writings. It takes nearly a lifetime to
gain intimate knowledge of even one or two of his basic works. Practically no
scholar, including most of all the author of this words, could claim to have
carefully studied and mastered all of his works. For a long time, Sadrian
studies will continue to be different glimpses of a vast mountain from
different perspectives rather than an exhaustive survey of it. The most serious
studies are those which penetrate in depth into certain aspects or particular
works of the Master. One can hardly expect today a study which is at once
profound and all embracing even by those who have spent a lifetime in the study
in Mulla Sadra.”
Kesulitan ke tiga—terutama ditegaskan Nasr dalam konteks kepentingan studi
Mulla Shadra di Barat (pen.)—adalah menyangkut realasinya terhadap keseluruhan
pohon tradisional Islam. Mulla Shadra memang sering mengutip secara ekstensif
buah pikiran para pemikir pra Sokrates, Pitagoras, Plato, Aristoteles,
Plotinus, hingga para filsosof Muslim, sufi, iluminasionis, mutakallim (teolog
Muslim), ahli syariat, terutama ahli Al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu,
menurut Nasr, seseorang tidak akan berhasil menjelaskan ajaran-ajaran Mulla
Shadra tanpa mengacu kepada karya-karya seperti yang ditulis oleh Ibnu Sina,
Suhrawardi, Ibnu Arabi, dan Mir Damad. Bagi peneliti Barat, untuk memahami
pemikiran-pemikiran metafisis dan filosofis Mulla Shadra diperlukan terlebih
dahulu penguasaan karya-karya mereka dan pemikiran-pemikiran Islam; sesuatu
yang sekarang tidak terjadi demikian. Seorang pemikir, seperti Sadr al-Din
Dashtaki, yang banyak dikutip oleh Sadra secara ekstensif, jangankan sudah
dikenal oleh para peneliti Barat, bahkan ia masih tidak begitu dikenal hatta
oleh para ahli filsafat Iran sekalipun (hlm. 14).
Kesulitan ke empat adalah menyangkut bahasa. Karya-karya Ibnu Sina dan kaum
Peripatetik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tidaklah begitu sulit
untuk menemukan padanan kosakatanya dalam bahasa Eropa. Masalahnya tidak
demikian dengan karya-karya Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Selama beberapa abad,
bahasa Barat tidak begitu peduli terhadap pemikiran-pemikiran metafisis dan
doktrin gnostik mereka berikut mazhab leluhurnya yang memiliki arah berlawanan
dengan peripatetisme. Kesulitan lebih bertambah lagi ketika persoalannya adalah
menyangkut Mulla Shadra. Dikarenakan ketakpedulian total bahasa Eropa terhadap
doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran Mulla Shadra. Pemahaman begitu saja bahasa
Barat terhadap tradisi pemikiran Mulla Shadra akan menjadi sangat
reduksionistik (the danger of reducing). Menurut Nasr, bahasa
Barat sangat tidak memadai untuk menjelaskan doktrin dari metafisika sebesar
Mulla Sadra, seperti terjadi pada kata filsafat itu sendiri yang oleh dunia
Barat hanya dipahami murni sebagai sesuatu yang human dan profane.
Untuk sedikit mengatasi
kesulitan-kesulitan di atas itu, maka Nasr bersama koleganya di Amerika banyak
melakukan studi tentang pemikiran Mula Shadra dengan ditulis dalam bahasa
Inggris, seperti dilakukannya untuk karyanya,. Sadr al-Din Shirazi and his
Trancendent Theosophy: Background, Life and Works (1978), yang menurut
janjinya akan dilanjutkannya dengan klasifikasi studi sebagai berikut: metafisika,
teodisia, kosmologi, epistemologi, psikologi, dan eskatologi Mulla
Shadra serta pengaruh ajarannya. Diakui oleh Nasr, karyanya tersebut juga lebih
banyak mengacu kepada pengajaran-pengajaran oral yang dilakukan oleh Muhammad
Kazim Asrar, Mirza Sayyid Abul-Hasan Rafi`i Qazwini, Allamah Sayyid Muhammad
Hussain Thaba`thab`i, Mirza Mahdi Ilahi Qumsha`i dan yang lain-lainnya.
Sedangkan menyangkut pencetakannya Nasr dibantu oleh rekannya, Dr. H. Sharifi
dan Dr. W. Chittick, penulis karya terkenal, Ibn al-`Arabi`s Metaphysics of
Imagination: The Sufi path of Knowledge (State University of New York
Press, 1989).
Wallahu a`lam bi al-shawab
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1]
Karya Fazlur Rahman ini sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Munir Abdul Mu`in, dosen IAN SGD Bandung (Pustaka Salman, 2000).
[2]
Sekarang di tangan penulis, sudah ada dua buah karya Shadra yang lainnya: Mafatih
Al-Ghaib dan Tafsir Al-Quran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar