Selasa, 11 Juni 2013

Arsip untuk Studi Pemikiran Mulla Shadra



Arsip untuk Studi Pemikiran kategori
Posted in Studi Pemikiran on Desember 1, 2010 by isepmalik






Rate This

Menurut Hossein Nasr (Sadr al-Din Shirazi and His Trancendent Theosophy: Background, Life and Works, Teheran, 1978), pemikir Is­lam Iran kontemporer, filsafat Islam dalam pandangan klasik Barat tak lebih dari sekedar dipandang sebagai jembatan antara filsafat klasik dan Abad Pertengahan Latin. Selanjutnya bergeser menjadi dipandang se­bagai Filsafat Arab. Sekarang, berkat perhatian dunia Barat kepada warisan metafisika India, perlahan-lahan dunia Barat juga mulai memperhatikan warisan metafisika Islam.
Sejak delapan abad yang lalu, dimulai sejak karya-karya Islam dapat diakses oleh Barat Latin, melalui karya-karya terjemahan di Kordova, filsafat Islam, yang biasa disebut saat itu sebagai Filsafat Arab, yaitu kar­ya-karya dari para filosof Muslim seperti al-Kindi (Alkindus), al-Farabi (Alfaribus), Ibnu Sina (Avicenna), al-Ghazali (Algazel) dan Ibnu Rushd (Averoes) dipandang sebagai tambahan alakadarnya bagi filsafat mereka. Sedangkan sekarang, sejak kematian Ibnu Rushd, yang alih-alih dipan­dang sebagai awal kematian filsafat Islam, justru dipandang sebagai awal kebangkitan fase filsafat Islam itu sendiri. Selain karya terkenal komentar Ibnu Rushd atas Aristoteles dikenal di dunia Barat, ia juga justru mulai hidup kembali di Persia, dan anak benua India.
Selanjutnya, ditemukannya oleh dunia Barat karya-karya pemikiran teosofik Shadr al-Din Syirazi (bi­asa juga dikenal dengan nama Mulla Shadra) merupakan tanggung jawab bagi kesadaran awal dunia Barat bahwa vitalitas filsafat Islam itu justru berlanjut setelah periode yang dise­but dengan abad pertengahan. Mulla Shadra atau Shadra, yang baru dike­nal di Barat pada awal abad ini, sangat terkenal di Persia, Afganistan dan anak benua India sejak satu abad yang lalu. Karya penting Barat yang menyebut karya Mulla Shadra adalah Comte de Gobineau di dalam karya klasiknya, Les philosophies et les religious dans l`Asie centrale. Per­hatian berikutnya kepada karya- karya Shadra, pada awal dekade abad ini, dilakukan oleh Muhammad Iqbal dan Islamisis Edward G. Browne dan Max Horten. Perkenalan serius para orientalis dan filosof Barat terhadap karya-karya Shadra ini baru dimulai sejak Henry Corbin berkenalan de­ngan karya Syuhrawardi, dalam perjalannya ke Persia setelah Perang Dunia II, dalam pencariannya mengenai ajaran-ajaran Syuhrawardi. Semula, Corbin tidak menyadari bahwa tradisi filsafat yang kaya dari dinasti Safawi itu akan mengantarkannya untuk menemukan dunia baru metafisika dan filsafat tradisional da­ri orang seperti Mir Damad dan Mulla Shadra, yang telah menyebabkannya lebih banyak menggunakan enerjinya, pada dua dekade yang lalu untuk meneliti kedua tokoh tersebut.
Sebagai peneliti pemikiran mereka, Corbin selain banyak melakukan banyak studi tentang Mulla Shadra, ia juga adalah satu-satunya sarjana Barat yang telah berhasil menerjemahkan sebuah karya lengkap Mulla Shadra ke bahasa Eropa (lihat Cor­bin, Le livre des penetrations metaphysiques, Teheran-Paris, 1964, yang memuat terjemahan lengkap Kitab Al-Mashai`r, dalam bahasa Prancis).
Mengikuti jejak karya Corbin di atas adalah karya Toshihiko Izutsu, khususnya dalam The Concept and Reality of Existence (Tokyo, 1971) dan Hossein Nasr dalam karyanya, Islamic Studies (Beirut, 1966); “Mulla Shadra” dalam Ensiklopedia Filsafat; dan “Mulla Sadra” dalam Commemoration Volume (Te­heran, 1961). Terakhir adalah karya sarjana Pakistan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullah Shadra (New York, 1975).[1] Sekarang ini, baik di Persia dan di dunia Barat, sejumlah studi, terjemahan dan analisa mengenai sejumlah aspek karya Shadra sedang dilakukan. Demikian juga di Indonesia, nama Mulla Shadra dan beberapa karyanya sayup-sayup mulai mendapat perhatian dan didiskusikan di kalangan yang masih sangat terbatas.
Menurut Hossein Nasr (1978, hlm. 13-15), studi mengenai karya-karya Mulla Shadra menghadapi empat kesulitan; meskipun penjelasan tentang kesulitan-kesulitan ini lebih dikaitkan dengan konteks studi pemi­kiran Mulla Shadra di dunia Barat, namun menurut hemat penulis hal demikian juga tidak terlalu berbeda kenyatannya untuk konteks dunia Islam, seperti juga untuk konteks In­donesia.
Kesulitan pertama adalah ke­sulitan menyangkut langkanya karya-karya dan Shadra itu sendiri. Hingga lima belas tahun yang lalu (baca: tahun 1963), menurut Nasr (1978) hanya karya-karya utama Shadra saja yang bisa didapat, seperti Asfar dan al-Syawahid al-Rububiyyah[2], karena kebanyakan karya-karya Shadra ma­sih dalam bentuk manuskrip. Oleh karena itu, edisi baru 9 jilid Asfar yang dikoreksi dan diedit oleh Thaba`thabai dan Jalaluddin Asythiyani secara kritis selama sepuluh tahun, sangatlah berharga. Empat puluh kar­ya Shadra, yang terdiri dari ribuan halaman itu, seperti ditegaskan oleh Nasr (1978, hlm. 13), adalah karya-karya yang membahas persoalan metafisika, kosmologi, eskatologi, teologi dan masalah-masalah yang terkait dengan semua itu. Karya-karya Shadra tidak hanya menyangkut filsafat tradisional tapi juga menyang­kut tafsir Al-Quran, hadis, dan ilmu-ilmu Islam yang lain. Sejauh me­nyangkut filsafat tradisional, karya-karya Shadra pun tidak hanya terbatas mencakup satu mazhab pemikiran tapi juga mencakup keseluruhan warisan pemikiran dan warisan intelektual Islam.
Kesulitan ke dua adalah menyangkut sulitnya doktrin-doktrin yang dikaji oleh Shadra (the innate difficulty of the doctrines involved). Nasr (hlm. 14) menulis,
“… have made it will might impossible for scholars who are even specialists in Mulla Sadra to have well-grounded knowledge of all of his writings. It takes nearly a lifetime to gain intimate knowledge of even one or two of his basic works. Prac­tically no scholar, including most of all the author of this words, could claim to have carefully studied and mastered all of his works. For a long time, Sadrian studies will continue to be different glimpses of a vast moun­tain from different perspectives ra­ther than an exhaustive survey of it. The most serious studies are those which penetrate in depth into certain aspects or particular works of the Master. One can hardly expect today a study which is at once profound and all embracing even by those who have spent a lifetime in the study in Mulla Sadra.”
Kesulitan ke tiga—terutama ditegaskan Nasr dalam konteks kepentingan studi Mulla Shadra di Barat (pen.)—adalah menyangkut realasinya terhadap keseluruhan pohon tradisional Islam. Mulla Shadra memang sering mengutip secara ekstensif buah pikiran para pemikir pra Sokrates, Pitagoras, Plato, Aristoteles, Plotinus, hingga para filsosof Muslim, sufi, iluminasionis, mutakallim (teolog Muslim), ahli syariat, terutama ahli Al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, menurut Nasr, seseorang tidak akan berhasil menjelaskan ajaran-ajaran Mulla Shadra tanpa mengacu kepada karya-karya seperti yang ditulis oleh Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, dan Mir Damad. Bagi peneliti Barat, untuk memahami pemikiran-pemikiran metafisis dan filosofis Mulla Shadra diperlukan terlebih dahulu penguasaan karya-karya mereka dan pemikiran-pemikiran Islam; sesuatu yang sekarang tidak terjadi demikian. Seorang pemikir, seperti Sadr al-Din Dashtaki, yang banyak dikutip oleh Sadra secara ekstensif, jangankan sudah dikenal oleh para peneliti Barat, bahkan ia masih tidak begitu dikenal hatta oleh para ahli filsafat Iran sekalipun (hlm. 14).
Kesulitan ke empat adalah menyangkut bahasa. Karya-karya Ib­nu Sina dan kaum Peripatetik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tidaklah begitu sulit untuk menemukan padanan kosakatanya dalam ba­hasa Eropa. Masalahnya tidak demikian dengan karya-karya Suhraw­ardi dan Ibnu Arabi. Selama beberapa abad, bahasa Barat tidak begitu peduli terhadap pemikiran-pemikiran metafisis dan doktrin gnostik mereka berikut mazhab leluhurnya yang memiliki arah berlawanan dengan peripatetisme. Kesulitan lebih bertambah lagi ketika persoalannya adalah menyangkut Mulla Shadra. Dikarenakan ketakpedulian total bahasa Eropa terhadap doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran Mulla Shadra. Pemahaman begitu saja bahasa Barat terhadap tradisi pemikiran Mulla Shadra akan menjadi sangat reduksionistik (the danger of reducing). Menurut Nasr, bahasa Barat sangat tidak memadai untuk menjelaskan doktrin dari metafisika sebesar Mulla Sadra, seperti terjadi pada kata filsafat itu sendiri yang oleh dunia Barat hanya dipahami murni sebagai sesuatu yang human dan profane.
Untuk sedikit mengatasi kesulitan-kesulitan di atas itu, maka Nasr bersama koleganya di Amerika banyak melakukan studi tentang pe­mikiran Mula Shadra dengan ditulis dalam bahasa Inggris, seperti dilakukannya untuk karyanya,. Sadr al-Din Shirazi and his Trancendent Theosophy: Background, Life and Works (1978), yang menurut janjinya akan dilanjutkannya dengan klasifikasi studi sebagai berikut: metafisika, teodisia, kosmologi, epistemologi, psikologi, dan eskatologi Mulla Shadra serta pengaruh ajarannya. Diakui oleh Nasr, karyanya tersebut juga lebih banyak mengacu kepada pengajaran-pengajaran oral yang dilakukan oleh Muhammad Kazim Asrar, Mirza Sayyid Abul-Hasan Rafi`i Qazwini, Allamah Sayyid Muham­mad Hussain Thaba`thab`i, Mirza Mahdi Ilahi Qumsha`i dan yang lain-lainnya. Sedangkan menyangkut pencetakannya Nasr dibantu oleh rekannya, Dr. H. Sharifi dan Dr. W. Chittick, penulis karya terkenal, Ibn al-`Arabi`s Metaphysics of Imagina­tion: The Sufi path of Knowledge (State University of New York Press, 1989).
Wallahu a`lam bi al-shawab
Agus Efendi, (2001), Kehidupan karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1] Karya Fazlur Rahman ini sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Munir Abdul Mu`in, dosen IAN SGD Bandung (Pustaka Salman, 2000).
[2] Sekarang di tangan penulis, sudah ada dua buah karya Shadra yang lainnya: Mafatih Al-Ghaib dan Tafsir Al-Quran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar