Arsip
untuk Mulla Shadra kategori
Rate This
Di dalam Asfar, tepatnya,
dalam Jilid II (Dar Ihya Al-Turats Al-`Arabiy, cet. Ill, 1981),
pembahasan mengenai kebangkitan menjadi bab tersendiri, yang dibaginya menjadi
33 pasal pembahasan.
Sebelas Prinsip Filosofis
Pembahasan mengenai kebangkitan ini
oleh Shadra didahului oleh pembahasan mengenai prinsip-prinsip filosofis
mengenai wujud (ada, pengada). Dalam fasal pertama ini, Shadra
menunjukkan 11 prinsip filosifis bagi keyakinan adanya kebangkitan di akhirat.
Pertama, sesungguhnya setiap pengada merupakan prinsip bagi kemengadaan
(mawjudiyyah), sedangkan esensi mengikutinya; bahwa hakikat
setiap sesuatu itu adalah menyangkut orientasi kemengadaan khasnya itu sendiri,
tanpa esensinya. Ditegaskan Shadra, sejalan dengan keyakinan filosofisnya
terhadap prinsipalitas wujud (ashalat al-wujud), bahwa wujud itu
tidak termasuk ke dalam kategori pertama (al-maqulat al-tsaniyyah), juga
tidak bersifat sekunder, sebagaimana banyak diyakini filosof yang lain;
baginya, wujud merupakan kuiditas murni (huwiyyat `ayniyyat)yang tidak
tergapai oleh mental juga tidak dapat diisyaratkan kecuali melalui pengetahuan
ma`rifat kesaksian (`irfan syuhudi).
Kedua, personalitas sesuatu dan karaktersitiknya adalah wujud
khasnya itu sendiri; wujud dan personalitas sesungguhnya bersifat unik secara
personal dan berbeda secara konseptual (mafhum)dan nominal (`ism).
Apa yang dinamakan aksiden personal sesungguhnya hanya merupakan
kelaziman-kelaziman kuiditas personal wujud semata bukan sebagai diri dan
personalitasnya itu sendiri.
Ketiga, sesungguhnya tabiat wujud itu menerima kepadatan (syiddat;
density)dan ke-tidak padat-an (dhu`f) pada dirinya yang sederhana (basithat);
diri yang tidak memiliki kombinasi baik secara eksternal maupun mental.
Oleh karena itu, menurutnya, di antara kuantitas wujud dengan karakteristik
klasifikatif dirinya atau di antara aksiden atau personalitas tambahan atau
prinsip tabiat wujud tersebut tidak ada perbedaan; perbedaannya hanya terjadi
pada tingkat individual-individualnya dan satuan-satuannya; dalam hal kepadatan
dan ketidakpadatannya saja; dan yang dinamakan esensi itu berbeda dengan wujud
(dzat)baik dalam genus atau jenis atau aksiden. Oleh karena itu menurut
Shadra (h. 183) dikatakan, “Inna al-wujud mukhtalif al-anwa` wa inna maratib
al-asyadd wa al-adh`af anwa` mutakhalifat (Wujud itu berbeda jenis-jenisnya
dan bahwa martabat-martabat yang paling padat dan paling tidak padat itu
merupakan jenis-jenis yang berbeda-beda).”
Keempat, seungguhnya wujud itu menerima kememadatan (isytidad)
dan kemelemahan (tadha`uf); artinya wujud itu menerima gerak memadat;
bahwa subtasi adalah subtansinya, bahwa wujud subtantifnya itu menerima gerak
personal (istihalat al-dzatiyyat). Menurut Shadra, tegas bahwa
bagian-bagian dari satu gerak kontinum dan batas-batasnya itu ada secara
aktual, bahkan wujud keseluruhan itu pada prinsipnya adalah wujud yang satu.
Oleh karena itu, esensi-esensi yang menjadi lawan dari martabat-martabat wujud
tersebut tidaklah kemengadaanya itu secara aktual pada tingkat kemengadaan
detail, tapi kemengadaanya itu pada tingkat global, seperti pada bagian-bagian
batas [gerak—ae].
Kelima, sesungguhnya setiap [wujud—ae] kombinatif itu pada
gambarnya, bukan pada materinya; sebuah ranjang itu dikatakan ranjang karena
gambarnya, bukan karena materinya; sebuah pedang itu dikatakan pedang karena
ketajamannya, bukan karena bajanya; manusia itu dikatakan manusia karena
jiwanya, bukan karena fisikalitasnya. Materi, menurut Shadra, adalah pembawa
potensi sesuatu dan kontingensinya; ia merupakan tempat terjadinya gerak.
Dengan kata lain, menurut Shadra, nisbah materi kepada gerak adalah laksana
nisbah kekurangan kepada kesempurnaan; kekurangan membutuhkan kesempurnaan,
tapi kesempurnaan tidak memerlukan kekurangan. Oleh karena itu, Shadra
mencontohkan, bahwa berbicara/ berpikir (nathiq)sebagai ciri manusia
merupakan prinsip esensi jenis.
Keenam, sesungguhnya bahwa kesatuan personal pada setiap sesuatu itu
adalah wujudnya itu sendiri tidaklah tunggal, juga tidak satu derajat. Oleh
karena itu, kesatuan personal pada tingkat ukuran-ukuran kontinumnya adalah
kontinuitasnya; pada tingkat temporalitas adalah kemembaruannya; pada tingkat
kuantitas adalah multiplikasi aktualnya; pada fisik alam adalah keragaman
potensialnya. Oleh karena itu, satu tubuh mustahil akan menjadi korpus bagi
banyak sifat yang saling berbeda, seperti pada saat yang sama ketika ia hitam
ia juga adalah putih, atau ketika ia manis ia juga adalah pahit. Hal demikian
itu terjadi karena kekurangan wujudnya dan sempitnya ruang untuk banyak
persoalan yang berbeda-beda. Adapun subtansi jiwa, bersama keunikannya itu di
dalamnya terkandung gambar hitam dan putih dan kontradiksi-kontradiksi yang
lainnya. Oleh karena itu, Shadra menegaskannya seperti di bawah ini:
“Setiap kali seseorang meningkat
abstraksi dan subtansinya dan memadat potensi dan kesempurnaan [jiwanya—ae]
maka pengetahuannya tentang sesuatu akan menjadi lebih komprehensif dan
rekonsiliasinya bagi kontradiksi-kontradiksinya menjadi lebih sempurna; ia
mengalami gradasi kesempumaan sehingga dirinya menjadi memadai untuk gerak
wujud keseluruhannya. Dengan begitu, sehingga menurut Syeikh [panggilan Mulla
Shadra untuk Ibnu Sina—ae], di dalam al-Syifa` orang tersebut dapat
berubah menjadi seorang manusia yang berpengetahuan rasional (`aliman
ma`qulan), dapat menerima pengetahuan inderawi dan dapat memberi
kesaksian atas kebaikan mutlak (al-hasan al-muthlaq dan al-khayr al-muthlaq),keindahan
mutlak; ia menyatu dengannya dan menjadi manifestasinya, tercermin dalam
perilakunya dan menjadi subtansinya. Dengan penjelasan tersebut, sesungguhnya
orang yang mengetahui objek-objek pengetahuan inderawi, imajinatif dan
rasional, dan orang yang melakukan objek-objek tindakan alami, hewani dan
insani adalah jiwa orang itu sendiri. Jiwa memiliki kemampuan untuk turun ke
tingkat indera dan alat-alat alamiah sebagaimana juga pada saat yang sama ia
memiliki kemampuan untuk naik ke tingkat akal aktif dan yang lebih tinggi. Hal
demikian dapat terjadi karena keluasan wujudnya dan keterang-benderangan
cahayanya yang menebar….” Melalui prinsip ini, menurut Shadra, jelas bahwa
sesuatu yang terkait pada materi pada saat yang bisa terabstraksikan juga
daripadanya. Menurut Shadra, kesimpulan demikian berbeda dengan kesimpulan yang
terkenal dari kaum peripatetik yang berpendapat bahwa modus wujud korelatif dan
merdeka itu tidak dapat berkumpul pada sesuatu yang satu. Kritik Shadra atas
pendapat peripetetik tersebut adalah bahwa pendapat demikian tidak didasarkan
pada argumentatif.
Ketujuh, kuiditas badan dan personalitasnya adalah karena jiwanya bukan
karena tubuh-fisikalnya. Untuk itu, badan seseorang itu bertahan sejauh
bertahannya jiwa; jika jiwanya berubah, berubah juga kelazimannya baik
menyangkut temporal, kuantitatif, kualitatif, posisional, dan kapannya, seperti
menyangkut umurnya, Demikian juga analoginya, jika gambar alamiahnya berubah
menjadi gambar ideal, seperti terjadi di alam mimpi, alam kubur, alam barzakh
hingga hari kebangkitan atau menjadi gambar akhirat di akhirat nanti, maka
sesungguhnya kuiditas manusia itu, pada keseluruhan perubahannya tetap saja
satu, yaitu dirinya sendiri. Hal itu terjadi karena gerak kontinum yang unik
dan gradual (`ala sabil al-ittishal al-wahdaniy al-tadrijiy).
Kedelapan, potensi imajinatif merupakan subtansi yang berdiri tidak
pada korpus badan atau pada anggota tubuhnya; ia juga tidak mengada pada
orientasi alam fisikal; ia imanen terabstraksikan dari alam ini dan berada di
alam subtansi, yaitu alam antara alam akal diferensial (al-mufaraqqat
al-`aqliyyah) dan alam fisik material (alam al-thabi`iyyat al-madiyyat).
Kesembilan, sesungguhnya gambar-gambar imajinatif itu, bahkan gambar-
gambar kognitif, bukanlah kondisi yang terletak pada jiwa, juga bukan di tempat
lain, melainkan terjadi melalui jiwa secara aktual secara subjektif (bi
al-fa`il), bukan secara reseptif (bi al-qabil). Setelah
menyatakan bahwa menolak pendapat Al-Farabi, di dalam Al-Jam` Bayn
Al-Ra`yayn, dan pendapat Syuhrawardi, di dalam Hikmat Al- Isyrak,
mengenai hal tadi, Shadra menulis seperti di bawah ini:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya selama
jiwa itu melekat pada badan maka penglihatannya—bahkan penginderaannya—bersifat
mutlak, bukan imajinasinya. Sebab, yang pertama (penginderaan) jiwa itu
memerlukan materi eksternal dan syarat- syarat khusus, sedangkan pada yang
kedua (imajinasi) jiwa tidak membutuhkannya. Sedangkan ketika jiwa itu sudah
keluar dari alam ini maka antara imajinasi dan penginderaan itu tidak lagi
memiliki perbedaan. Karena potensi imajinatif, yang merupakan khazanah indera,
telah menguat dan keluar dari badan, sehingga kelemahan dan kekurangannya telah
tiada. Selanjutnya, potensi-potensi imajinatif itu menyatu dan kembali kepada
sumber serikatnya sehingga jiwa menjadi dapat aktual sebagaimna aktualitasnya
melalui yang lainya. Dengan begitu, melalui mata imajinatifnya, jiwa itu dapat
melihat apa yang dilihatnya melalui inderanya; kekuatan, pengetahuan dan
syahwatnya menjadi satu. Oleh karena itu, pengetahuannya terhadap objek-objek
yang menjadi kehendaknya adalah kekuasaannya itu sendiri dan penghadirannya
padanya dapat dilakukan olehnya. Bahkan, yang ada di surga itu tidak lain
adalah apa-apa yang dikehendaki jiwa (syahawat al-nafs) tentang apa-apa
yang dikehendakinya, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Di dalamnya ada
segala yang dikehendaki jiwa-jiwa kalian”; “Di dalamnya terdapat apa-apa yang
disukai oleh semua jiwa dan dipandang lezat oleh semua mata.”
Kesepuluh, sesungguhnya gambar-gambar ukuran, bentuk dan gerak kosmik,
bisa terjadi—dari pelaku—dengan penyertaan materi yang bersifat reseptif sesuai
dengan potensialitas-potensialitas yang dimilikinya, demikian juga bisa terjadi
sebaliknya, tanpa penyertaan materi. Alasannya, karena sebelum materi-materi
pertama (ajsam awwaliyyah) tidak ada materi-materi yang mendahuluinya.
Kesebelas, sesungguhnya jenis-jenis alam dan pertumbuhannya dan
kuantitasnya yang tak terbatas itu dapat dibagi menjadi tiga: pertama, alam
yang paling rendah yaitu alam gambar alam yang dapat mengalami kehancuran,
kedua adalah alam pertengahan yaitu alam pengetahuan-inderawi yang immaterial
dan potensial untuk mengandung kontradiksi, dan yang paling tinggi adalah alam
gambar rasional dan ideal-ilahiah. Sedangkan menyangkut manusia dalam
hubungannya dengan ketiga alam tersebut potensial untuk menggabungkan tiga
posisi, sebagai insan basyari (manusia pertama), insan nafsani (manusia
kedua) dan dan insan `aqli (manusia ketiga).
Kesimpulan
Kesimpulan Shadra mengenai kesebelas
prinsip filosofis tersebut ditulisnya khusus di dalam fasal 2. Menurut
kesimpulannya, pada prinsipnya bahwa siapa yang merenungkan secara mendalam
sepuluh [tampaknya Shadra lupa, karena sebelumnya Shadra menjelaskan sebelas
prinsip, bukan sepuluh prinsip—ae], akan sampai kepada kesimpulan bahwa yang
dibangkitkan itu adalah keseluruhan jiwa dan badan itu sendiri, berikut
personalitasnya masing-masing; bahwa yang dibangkitkan pada hari kiamat adalah
badan ini, bukan badan yang berbeda dengan badan hari ini secara elementer.
Inilah keyakinan yang benar dan sejalan dengan syari`ah, argumentasi dan
kearifan; siapa yang membenarkannya dan beriman kepada hari pembalasan maka
berarti ia adalah orang yang benar-benar beriman. Oleh sebab itu, Shadra
menasihatkan kepada kita untuk berbuat kebaikan, dengan mengutip ayat-ayat
sebagai berikut, “maka berlomba-lombalah kalian untuk mengerjakan kebaikan, “walikulli
wijhat[in] huwa muwalliha”.
Walhasil, menurut setiap orang itu akan menghadap kepada tujuan yang
dikehendaki yang dituntutkan kepadanya, hanya saja pembangkitan setiap hal itu
disesuaikan dengan kepantasan dan perhitungannya, baik manusia, binatang,
tetumbuhan maupun benda-benda abiotik lainnya. Untuk mendukung kesimpulannya
itu, selanjutnya, Shadra mengutip ayat-ayat Al-Quran.
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Kehendak (Iradat)Tuhan
Tentang Penciptaan Alam
Mengutip dari analis Maqashid
al-Isyarat, Shadra mengatakan bahwa menyangkut persoalan kebaruan alam ini
para mutakallim terbagi kepada tiga pendapat, seperti di bawah ini:
Pertama, pendapat kaum Mu`tazilah dan yang sependapat. Mereka berpendapat
adanya pengkhususan waktu penciptaan dengan cara baru (bi al-huduts)karena
adanya sebab bagi pengkhususan tersebut, selain Allah; mereka berpendapat
bahwa pengkhususan waktu penciptaan tersebut berdasarkan prinsip preferensial,
bukan prinsip imperatif (`ala sabil al-uluyah dun al–wujud).
Kedua, pendapat yang mengatakan adanya pengkhususan bagi waktu
penciptaan alam dengan cara yang imperatif; mereka berpendapat bahwa penciptaan
alam bukan pada waktu itu bersifat tertolak, dengan alasan karena tidak ada
waktu selain waktu itu. Pendapat ini dipegang oleh Abu al-Qasim al-Balkhi, yang
dikenal dengan al-Ka`bi, dan yang sependapat dengannya.
Ketiga, pendapat yang menolak adanya pengkhususan waktu penciptaan,
untuk menghindari ta`lil (pengalasan; pemegapaan; why-ness);mereka
berpendapat bahwa keterciptaan waktu tidak terkait dengan waktu dan tidak
dengan sesuatu yang lain, selain Allah SWT; Dia tidak bisa ditanya tentang apa
yang dikerjakan-Nya (wa huwa la yus`alu ma yaf`al);atau mereka
berpendapat adanya waktu penciptaan tapi menolak kewajiban penyandarannya
kepada sebab selain pelaku (fa`il), bahkan mereka berpendapat
bahwa pelaku yang merdeka untuk memilih di antara salah satu dari objek-objek
kekuasaan-Nya tanpa pengkhusus, seumpama seorang yang dahaga yang dihadapkan
kepada dua buah gelas yang berisi air yang nisbah kedua gelas tersebut
kepadanya sama dari berbagai segi.
Tak pelak lagi, Shadra mengajukan
keberatan-keberatan atas pendapat- pendapat di atas. Kritik pedas Shadra
terutama terhadap akibat dari pendapat adanya pengkhususan waktu penciptaan
alam. Pendapat demikian menurut Shadra harus menyimpulkan adanya kevakuman (ta`thil)pada
diri Tuhan, bahkan tajsim dan tarkib pada diri Tuhan.
Shadra juga mengajukan keberatan
atas pendapat yang mengatakan adanya pengkhususan waktu penciptaan dan bahwa
penciptaan alam itu untuk alasan preferensi, bukan alasan imperatif, baik
persoalannya membedakan antara Diri dengan sifat Tuhan, seperti menurut
Mu`tazilah, maupun tidak, seperti menurut Asy`ariyah. Alasannya, menurut Shadra,
watak kemungkinan itu menuntut preferensi imperatif.
Sedangkan terhadap pendapat yang
adanya pengkhusus imperatif yang berbeda bagi diri pelaku, baik kemaslahatannya
kembali kepada alam atau sesuatu yang lain, seperti waktu itu sendiri,
sebagaimana menurut al-Ka`bi, Shadra pun mengajukan keberatan, bahwa pendapat
demikian pun tidak dapat dibenarkan. Adapun menyangkut kemaslahatan yang
kembali kepada selain pelaku yang melakukan suatu perbuatan melalui kekuasaan
mungkinnya yang bernisbah sama kepada masing-masing objek kekuasaan maka itu
pun tidak dapat dibenarkan sebagai pengkhusus bagi salah satu dari kedua objek
kekuasaan tersebut. Masalahnya, menurut Shadra, bagaimana masalah jika di
antara keduanya itu tidak ada yang lebih memiliki preferensi, bagaimana Dia
akan melakukan yang satu dengan melakukan yang lain, sementara antara keduanya
memiliki nisbah yang sama? Jika hal itu dilakukan, hal itu menunjukkan bahwa
Tuhan memilih salah satunya dan dengan demikian berarti perbuatan Tuhan itu
menunjukkan preferensi dan membutuhkan kesempurnaan bagi diri-Nya melalui
manfaat tindakan-Nya itu, padahal Tuhan Maha Suci dari sifat seperti itu.
Selanjutnya, menyangkut pendapat
yang mengatakan tidak adanya waktu pengkhusus dan pendapat yang menafikan
adanya ta`lil (argumentasi) pada perbuatan Tuhan, yang berpegang pada
firman-Nya “la yus`alu `amma yaf`al”, menurut Shadra pendapat demikian
bersifat distortif (mughalathah). Alasannya, menurut Shadra,
diri sejati sesuatu tidak disebabkari oleh sesuatu, dan tidak diragukan oleh
filosof manapun yang bertauhid dan oleh gnostik mana pun yang `arif bahwa
perbuatan Tuhan itu melalui Diri-Nya sendiri bukan melalui sesuatu perkara yang
menjadi tambahan bagi diri-Nya. Demikian juga motif-Nya dalam menciptakan alam
adalah ilmu-Nya itu sendiri dalam bentuknya yang paling paripurna, yang juga
merupakan Diri-Nya itu sendiri.
Wallahu a`lam bi al-shawab
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Perbedaan Makna Kekuasaan Pada Tuhan
dan Manusia
Menurut Shadra, kekuasaan pada Tuhan
adalah aktivitas dan kewajiban (`ayn al-wujud) itu sendiri, sedangkan
kekuasaan pada manusia adalah potensi dan kontingensi (`ayn al-quwwat wa
al-imkari)itu sendiri.
Jiwa manusia dan jiwa seluruh
binatang, menurut Shadra, dalam melakukan perbuatannya itu bersifat terpaksa.
Demikian juga seluruh geraknya. Karena, kedua-duanya bersifat tunduk (taskhiri),
seperti perbuatan alam dan geraknya. Seluruh perbuatan dan gerak tersebut
tidak akan terjadi kecuali karena berdasarkan tujuan-tujuan dan motif-motif
yang bersifat eksternal. Mengenai hal ini, Shadra menegaskan sebuah kaidah
teosofisnya, “Setiap yang merdeka selain Al-Wajib Al-Awwal kemerdekaannya
itu bersifat terpaksa, dan [oleh karena itu—ae] terpaksa dalam
perbuatan-perbuatannya”; “Kemerdekaan tidak akan terjadi dan tidak sah dengan
sesungguhnya kecuali pada wajib al-wujud semata. Dan perbuatan lainnya
dari mereka yang merdeka tidak akan terjadi kecuali terpaksa dalam bentuk
mereka yang terpaksa”. Dengan begitu, menurutnya, kekuasaan yang ada pada diri
kita artinya adalah potensi itu sendiri untuk melakukan perbuatan. Tidak ada
suatu kemerdekaan kecuali bersumber dari Tuhan Yang Maha Benar. Menurut Shadra,
sebagai contoh, gerak-gerak jiwa-jiwa planet itu terjadi karena tarikan
kerinduan yang memaksanya; oleh karena itu, gerak-gerak tersebut merupakan
gerak-gerak yang tunduk (taskhiri). Demikian juga jiwa-jiwa
binatang bumi, semuanya berbuat dan bergerak semata-mata bukan karena kekuasaan
sejati melainkan karena demi tujuan-tujuan dan motif-motif. Ditegaskan oleh
Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya, Al-Ta`liqat, seperti dikutip
Shadra, “Menurut Mu`tazilah bahwa [perbuatan—ae] merdeka itu (ikhtiyar)terjadi
karena stimulasi atau suatu sebab, dan [perbuatan—ae] merdeka yang karena motif
seperti itu bersifat terpaksa. Sedangkan kemerdekaan Tuhan dan perbuatan-Nya
tidaklah disebabkan oleh suatu motif (da`[in])”.Dikutip lagi oleh
Shadra, bahwa di tempat lain Ibnu Sina juga mengatakan sebagai berikut:
“Makna wajib al-wujud sesungguhnya
adalah kewajiban itu sendiri, dan bahwa wujud dirinya dan sifat-sifatnya itu
secara aktual tidak memiliki potensi, probabilitas dan kesiapan.
[Pernyataan—ae] bahwa Dia Merdeka itu sama dengan bahwa Dia Berkuasa…
[Pengertian merdeka dan berkuasa pada Tuhan—ae] tidak seperti pengertian
keduanya menurut kebanyakan orang dimana pengertian merdeka menurut umum
adalah sesuatu yang berdasarkan potensi dan membutuhkan preferant yang
mengeluarkan kemerdekaannya dari potensi kepada aksi, baik karena melalui motif
yang menstimulasinya untuknya, baik dari dalam dirinya maupun dari luar
dirinya. Oleh karena itu, hukum merdeka pada kita [manusia—pen] adalah merdeka
dalam pengertian terpaksa. Sedangkan [pengertian merdeka yang—ae] pertama (kemerdekaan
pada Tuhan), tidaklah berdasarkan motif dari luar diri dan kebaikan-Nya yang
menstimulasinya untuk melakukan kemerdekaan tersebut; Dia tidak merdeka secara
potensial kemudian merdeka secara aktual, tetapi secara aktual Dia merdeka
sejak awal. Artinya, bahwa Dia tidak pernah memaksa Diri-Nya untuk melakukan
apa yang diperbuat-Nya, akan tetapi Dia melakukan perbuatan-Nya itu untuk
Diri-Nya dan kebaikan-Nya sendiri, bukan untuk selain-Nya. Dan di sana tidak
ada dua kekuatan yang saling berkontradiksi—sebagaimana terjadi pada diri
kita….”
Selanjutnya, menurut Ibnu Sina,
kekuatan pada manusia itu berupa potensi. Oleh sebab itu, tidak mungkin akan
keluar sesuatu dari kekuasaan kita itu kecuali karena ada motif; menurut Ibnu
Sina, pada diri manusia itu memiliki kekuasaan antagosnistik. Ketika suatu
perbuatan itu sah bersumber dari kekuaaan kita maka sah pula keluarnya dua
jenis perbuatan yang saling bertentangan secara bersamaan dari satu orang
manusia dalam kondisi yang sama. Oleh karena itu, menurut kesimpulan Ibnu Sina,
kekuasaan manusia bersifat potensial, sedangkan kekuasaan Tuhan bersifat tidak
potensial; sifat kekuasaan yang melekat pada Tuhan selamanya equivalen dengan
sifat aktualnya. Sebab, meskipun kita telah mengatakan “[kami akan melakukannya—ae]
kapan kami bisa” ungkapan tersebut tetap saja bersifat potensial, tidak aktual;
sebab, kita pun berkuasa untuk berkehendak, padahal kehendak yang ada pada diri
kita pun bersifat potensial. Oleh karena itu, menurut Ibnu Sina, kekuasaan pada
diri manusia adalah kekuasaan yang sesekali terjadi pada jiwa dan sesekali lagi
bisa terjadi pada anggota tubuh; kekuasaan yang terjadi pada jiwa adalah
kekuasaan atas kehendak, sedangkan kekuasaan yang terjadi pada anggota tubuh
adalah kekuasaan atas gerak. Oleh karena itu pula, Shadra selanjutnya
menyimpulkan bahwa sesungguhnya potensi dan kontingensi itu terjadi pada
sesuatu yang material (madiyyat), sedangkan [kekuasaan—ae] yang
pertama [kekauasaan pada Tuhan—ae] adalah aktualitas mutlak, maka bagaimana itu
merupakan potensi? Dengan begitu, akal-akal aktif (al-`uqul al-fa`alat)itu
seperti yang pertama dalam kemerdekaan dan kekuasaan, karena keduanya tidak
menuntut kebaikan yang dianggap tetapi kebaikan yang sejati, dan tuntutan di
sini mustahil ada yang dapat menghalangmya seperti yang terjadi pada diri
manusia.
Menyangkut persoalan di atas, Mulla
Shadra sendiri menegaskan bahwa kekuasaan Tuhan itu bersiafat azali dan tetap,
sedangkan objek-objek kekuasaan Tuhan bersifat baru (haditsat)dan baru
kejadiannya. Namun demikian, tidaklah saling meniadakan antara keyakinan bahwa ijad
(penciptaan) itu abadi dengan wujud yang pengaruhnya itu dikatakan baru
dalam menciptakan sesuatu yang dalam menuju keberadaannya itu tidak lain adalah
berupa kemembaruan (tajaddud). Begitulah semua yang terjadi di
alam fisika ini. Sedangkan gambar-gambar diferensia (al-shuwar al-mufaraqat)
yang merupakan gambar-gambar dari nama-nama Tuhan dalam alam keputusan
azali-Nya tidaklah termasuk perbuatan-perbuatan eksternal, tetapi termasuk ke
dalam sifat-sifat Tuhan dan hijab-hijab cahayawi serta rahasia-rahasia
keagungan-Nya, dan semua itu tidak dinamai dengan “alam” atau nama “selain
Allah”. Oleh karena itu, menurut Shadra, mereka yang tidak fanatik buta, mereka
yang meninggalkan taqlid dan mereka memiliki kearifan akan memahami bahwa
kehendak Allah itu bersifat wajib al-wujub sebagaimana Diri-nya, karena
kekuasaan Tuhan adalah Diri-Nya sendiri yang maha Ahad; “anna wajib al-wujud bi
al-dzat wajib al-wujud min jami’ al-jihat,” tegas Shadra; dan kehendak itu
menurut Shadra bukanlah maksud penciptaan, terutama penciptaan mutlak atau
penciptaan awal bagi objek-objek tercipta yang paling dekat kepada-Nya atau
kosmos paling mulia dari-Nya, karena maksud kepada sesuatu itu setelah sesuatu
yang dimaksud itu telah tercapai. Dengan begitu tegas Shadra, “kehendak Allah
SWT maknanya bukanlah maksud tapi maknanya bahwa Allah SWT itu murid[an] (Maha
Berkehendak).” Artinya, menurut Shadra “annahu (subhanahu wata`ala) ya`qilu
dzatahu ya`qilu nizham al-khayr al-mawjud fi al-kull min dzatih.” Menurut
Shadra, sistem tersebut bersifat eksistensial dan emanatif, tidak menafikan
Diri Sumber Awal, sebab Diri-Nya itu merupakan keseluruhan kebaikan
eksistensial. Diktum filosofis yang banyak disebut Shadra berkaitan dengan
kesimpulannya seperti itu adalah “al-basith al-haq kull al-asy-ya`
al-wujudiyyah.” Mengacu kepadanya maka menurut Shadra suatu sistem yang
paling paripurna bagi kosmos mungkin itu mengikuti sistem Tuhan yang paling
mulia. Demikianlah pengetahuan Tuhan yang equivalen dengan kekuasan-Nya itu
sendiri. Begitulah kehendak Tuhan yang tidak mengandung kekurangan dan
kemungkinan. Makna kekuasaan seperti itulah yang menafikan penafsiran kekuasaan
yang membolehkan dan tidaknya suatu perbuatan, sebagaimana yang dilakukan oleh
mereka yang tidak memiliki kedalaman menyangkut hikmah dan `irfan. Walhasil,
Shadra, ketika menutup pembahasan persaolan ini, lagi-lagi menegaskan, “… inna
ma siwallah min al-mukhtarin mudhtharr fi ikhtiyarih majbur fi iradatih.”
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Persoalan kekuasaan dalam teologi
Islam dikatakan sebagai salah satu dari apa yang disebut dengan prinsip empat (al-mabadi`
al-arba`ah)yaitu `Ilm, masyiyyat, iradat, dan qudrat (kekuasaan).
Masyiyyat sendiri berbeda dari iradat. Menurut Thabathaba`i,
nisbah masyiyyat adalah esensi akibat, sedangkan nisbah iradat adalah
keberadaannya, wujudnya; masyiyyat adalah kehendak universal (al-`azm
al-kulliy), sedangkan iradat adalah kehendak partikular (al-`azm
al-juziy).
Berkaitan dengan pembahasan tema
kekuasaan Tuhan, sebenarnya banyak sub tema yang dibahas oleh Mulla Shadra
sejauh menyangkut tema tersebut. Namun pada tulisan ini, penulis hanya kan
menjelaskan tiga hal saja: pertama, hal yang menyangkut pengertian
kekuasana itu sendiri; kedua, hal yang menyangkut perbedaaan makna
kekuasaan pada Tuhan dan manusia; dan ketiga, hal yang menyangkut
kehendak (iradat)Tuhan tentang penciptaan alam. Sumber tulisan ini
adalah magnum opus Mulla Shadra sendiri yaitu al-Hikmah
al-Muta`aliyyah fi al-Asfar al-`Aqliyyah al-`Arba`ah (Penerbit: Dar Ihya
Al-Turats Al-Arabiyy, cet. III, 1981, jilid I, h. 305-327).
Pengertian Kekuasaan
Sebagai sifat Tuhan, kekuasaan (qudrat)termasuk
ke dalam sifat-sifat kesempurnaan (al-shifat al-kamaliyat)Tuhan dan
sifat-sifat utama-Nya yang eksistensial (al-fadhail al-wujudiyyat).
Menurut Shadra ada dua pengertian
terkenal tentang kekuasaan (qudrat)Tuhan: pengertian teologis dan
pengertian filosofis. Para teolog mengartikan kekuasaan dengan “sihhat
al-fi`l” (dibenarkannya atau dibolehkannya suatu tindakan oleh Tuhan), sebagai
lawan dari “al-tark” (ditinggalkannya suatu tindakan oleh Tuhan). Sedangkan
menurut filosof kekuasaan adalah “kedudukan subjek pada dirinya di mana jika ia
mengendaki sesuatu ia dapat melakukannya dan jika tidak menghendakinya juga dapat
meninggalkannya”. Menurut Shadra, penegasan pengertian yang kedua otomatis
melazimkan penegasan yang pertama.
Pengertian teologis kekuasaan Tuhan
di atas menurut Shadra mengandung kerancuan dan kesalahan (khalath dan khabath).
Pengertian teologis kekuasaan Tuhan demikian, juga kebalikannya, menurut
Shadra, acuan keduanya adalah al-imkan al-dzatiy (kontingensi wajib).
Mengacu kepada aksioma fiolosofis dari para fllosof, menurut Shadra, pengertian
demikian bersifat mustahil terjadai pada diri Tuhan. Alasannya, karena Tuhan
itu sebagai “ada tanpa tiada” (wujud bila `adam); wajib tanpa
mungkin (wujub bila imkan); aktivitas tanpa potensi (fi`liyyah
bila quwwah). Anggapan tentang kekurangan-kekurangan demikian
menurutnya hanya akan terjadai pada orang yang meyakini bahwa sifat-sifat Tuhan
itu sebagai tambahan-tambahan pada Diri-Nya, seperti yang diyakini oleh
Asy`arisme. Sedangkan bagi orang yang mengesakan dan menyucikan Tuhan dari syawa`ib
al-katsrat wa al-imkan, kehendak yang terkait dengan wujud dan emanasi
(ifadhah) itu merupakan diri-Nya Sendiri melalui Diri-Nya, tanpa ada perbedaan
(taghayur) di antara Diri dan kehendak-Nya, baik pada tingkat realitas
maupun mental; dengan kata lain, menurut Shadra, Diri Tuhan adalah kehendak-Nya
itu sendiri (al-dzat hiya al-masyiyyah), begitu juga sebaliknya, al-masyiyyah
hiya al-dzat.
Menyangkut pengertian kekuasaan
Tuhan di atas, Shadra mendukung pengertian kekuasaan Tuhan dari para filosof.
Sedangkan mengenai proposisi- proposisi kondisional yang mengatakan, “in sya`a
fa`ala” dan “in lam yasya` lam yaf `al,” menurut Shadra dapat dibenarkan dengan
pengertian sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut ini, “… fashadaqa
al-qadhiyyat al-syarthiyyat al-qa`illat `in sya`a fa `ala’, la yunafi
wujub al-muqaddam wa dharurat al- al`aqd al-hamliy lah dharurat ajaliyyat
da`imat; wa kadzalik al-syarthiyyah al-qa`illat `in lam yasya` lam yaf`al la
yunafi istihalat al-muqadam imtina`an dzatiyyan wa dharurat azaliyyat. Fa
`ulima anna al-tafsir al-tsani shadiq `inda al-hukama` duna al-tafsir al-awwal”[al-tafsir
`inda al-mutakallimin—ae].[1]
Sedangkan menurut Fakhrur Razi,
seperti dijelaskan oleh Shadra sendiri, mengenai pengertian tentang kekuasaan
Tuhan ini tidak terjadi perbedaan pendapat di antara para teolog dan filosof.
Menurut al-Razi, kalaupun terjadi perbedaan pendapat, hal itu hanya bersifat
verbal, dengan alasan bahwa perbedaan antara kedua penafsiran tersebut di atas
itu hanya menyangkut persoalan etimologis saja (al-`ibarat wa al-lafzh), bukan
menyangkut persoalan terminologis dan konseptual (al-ma`na wa al-mafhum). Menurut
al-Razi pendapat demikian itu didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan pendapat
antara para teolog dan filosof itu disebabkan oleh perbedaan di antara mereka
mengenai keabadian dan kebaruan alam; karena para teolog membenarkan bahwa alam
itu dipandang azali sejauh azalinya itu disebabkan oleh sebab yang azali (`illat
azaliyyat). Namun, menurut al-Razi, mereka menolak adanya sebab dan akibat
yang bersifat azali dengan argumentasi ini, tapi dengan argumentasi wajibnya
yang mempengaruhi (al-mu`atstsir) terhadap keberadaan alam ini sebagai
yang kuasa. Sedangkan para filosof, menurut al-Razi, mereka telah bersepakat
bahwa sesuatu yang azali itu mustahil menjadi perbuatan (fi`l) bagi
pelaku yang merdeka (fa `il mukhtar). Dengan begitu, menurut kesimpulan
al-Razi, telah terjadi kesepakatan bahwa sesuatu yang azali itu pasti menafikan
kebutuhannya kepada pelaku yang merdeka, dan hal itu tidak menafikan
kebutuhannya kepada sebab yang mewajibkan (al-`illat al-mujibat). Jika
perseoalannya demikian, menurut al-Razi maka jelaslah bahwa menyangkut
persoalan ini tidak terjadi perbedaan pendapat.
Argumentasi al-Razi di atas,
dibantah oleh Shadra dengan mengacu kepada pandangan al-Thusi, sebagaimana di
bawah ini:
“Benarlah apa yang dikatakan oleh
komentator Muhaqqiq al-Thusi: Sesungguhnya persoalan ini benar tanpa kerelaaan
di antara kedua pihak yang bersilang pendapat. Alasannya, karena para teolog
sendiri menerbitkan buku mereka dengan dalil bahwa alam itu baru tanpa
aksidensi bagi pelakunya, ketimbang pertama-tama Dia seharusnya merdeka.
Selanjutnya, setelah menegaskan kebaruan alam, mereka mengatakan bahwa alam
itu membutuhkan yang membuat kebaruan (muhdits)dan bahwa yang melakukan
kebaruan itu wajib merdeka (mukhtar)sebab jika ia dalam kedudukan wajib
maka alam pun akan menjadi abadi (qadim)dan itu batal berdasarkan apa
yang mereka tegaskan pertama kali; nampak bahwa mereka membangun [pendapat
tentang—ae] kebaharuan alam itu di atas pendapat tentang kemerdekaan, bahkan
juga mereka membangun [pendapat tentang—ae] kemerdekaan itu juga di atas
kebaruan. Sedangkan pendapat tentang penafian akibat (ma`lul)oleh mereka
tidaklah disepakati, karena para penegas dari kalangan Mu`tazilah mengatakan
hal demikian dengan tegas, demikian juga kaum Asy`ari menegaskan bersama prinsip
pertama itu terdapat Delapan yang Abadi (al-qudama` al-tsamaniyyah);
mereka menyebutnya shifat al-mabda` al-awwal; dengan demikian mereka
antara akan menjadikan yang wajib itu sembilan dan menjadikannya sebagai
akibat-akibat bagi diri-diri yang wajib dan semua itu sebagai sebab-sebabnya. Ini
menjadi persoalan jika mereka dengan hati-hati menegaskan bahwa [perbedaan
pendapat menyangkut hal ini—ae] sebagai perbedaan etimologis. Jika demikian,
berarti dari segi maknanya mereka tidak memiliki ketajaman. Dengan begitu juga
menjadi nampak bahwa mereka tidak sepakat untuk menafikan sebab dan akibat atas
pendapat kebaruan. Sedangkan para filosof, merka tidak berpendapat bahwa yang
azali itu mustahil untuk menjadi perbuatan dari pelaku yang merdeka tapi mereka
berpendapat bahwa perbuatan azali itu mustahil bersumber dari kecuali dari
pelaku azali yang paripurna dalam perbuatannya, dan bahwa pelaku azali yang
paripurna dalam perbuatannya itu mustahil perbuatannya itu tidak azali. Ketika
alam itu, menurut mereka, perbuatan azali maka para filosof menyandarkannya
kepada pelaku yang azali dan paripurna dalam perbuatannya, demikian menurut
Fisika mereka. Demikian juga, ketika prinsip pertama itu azali dan paripurna
dalam perbuatannya maka alam yang menjadi perbuatannya itu pun tentu menjadi
bersifat azali. Begitulah menurut metafisika mereka. Sudah barang tentu, para
filosof tidak berpendapat bahwa Tuhan itu tidak kuasa dan merdeka, tapi mereka
berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan itu adalah kemerdekaan-Nya dan itu tidak rnengharuskan
terjadinya katsrat pada Diri-Nya; bahwa perbuatannya itu tidak seperti
perbuataan merdeka binatang hidup, juga tidak seperti perbuatan mereka yang
terpaksa seperti dari sesuatu yang memiliki tabiat fisikal.”
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1] Benarlah
proposisi kondisional yang mengatakan, “Jika Dia menghendaki [sesuatu], Dia
pasti melakukan[nya],” tidaklah menafikan wajibnya premis awal dan kepastian
ikatan predikatifnya sebagai kepastian azali yang abadi. Demikian juga
[proposisi—ae] kondisional yang mengatakan, “Jika Dia tidak menghendaki
[sesuatu], Dia tidak akan melakukanfnya]”, tidak menafikan mustahilnya premis
awal sebagai yang halangan wajib dan sebagai kepastian kebalikannya sebagai
suatu kepastian yang azali. Dengan begitu dapat diketahui bahwa interpretasi
yang kedua [atas kekuasaan Tuhan—ae] itu benar menurut para filosof, tapi tidak
untuk interpretasi yang pertama [interpretasi menurut para teolog—ae].
Rate This
Menurut Hossein Nasr (Sadr al-Din
Shirazi and His Trancendent Theosophy: Background, Life and Works, Teheran,
1978), pemikir Islam Iran kontemporer, filsafat Islam dalam pandangan klasik
Barat tak lebih dari sekedar dipandang sebagai jembatan antara filsafat klasik
dan Abad Pertengahan Latin. Selanjutnya bergeser menjadi dipandang sebagai
Filsafat Arab. Sekarang, berkat perhatian dunia Barat kepada warisan metafisika
India, perlahan-lahan dunia Barat juga mulai memperhatikan warisan metafisika
Islam.
Sejak delapan abad yang lalu,
dimulai sejak karya-karya Islam dapat diakses oleh Barat Latin, melalui
karya-karya terjemahan di Kordova, filsafat Islam, yang biasa disebut saat itu
sebagai Filsafat Arab, yaitu karya-karya dari para filosof Muslim seperti
al-Kindi (Alkindus), al-Farabi (Alfaribus), Ibnu Sina (Avicenna), al-Ghazali
(Algazel) dan Ibnu Rushd (Averoes) dipandang sebagai tambahan alakadarnya bagi
filsafat mereka. Sedangkan sekarang, sejak kematian Ibnu Rushd, yang alih-alih
dipandang sebagai awal kematian filsafat Islam, justru dipandang sebagai awal
kebangkitan fase filsafat Islam itu sendiri. Selain karya terkenal komentar
Ibnu Rushd atas Aristoteles dikenal di dunia Barat, ia juga justru mulai hidup
kembali di Persia, dan anak benua India.
Selanjutnya, ditemukannya oleh dunia
Barat karya-karya pemikiran teosofik Shadr al-Din Syirazi (biasa juga dikenal
dengan nama Mulla Shadra) merupakan tanggung jawab bagi kesadaran awal dunia
Barat bahwa vitalitas filsafat Islam itu justru berlanjut setelah periode yang
disebut dengan abad pertengahan. Mulla Shadra atau Shadra, yang baru dikenal
di Barat pada awal abad ini, sangat terkenal di Persia, Afganistan dan anak
benua India sejak satu abad yang lalu. Karya penting Barat yang menyebut karya
Mulla Shadra adalah Comte de Gobineau di dalam karya klasiknya, Les
philosophies et les religious dans l`Asie centrale. Perhatian berikutnya
kepada karya- karya Shadra, pada awal dekade abad ini, dilakukan oleh Muhammad
Iqbal dan Islamisis Edward G. Browne dan Max Horten. Perkenalan serius para
orientalis dan filosof Barat terhadap karya-karya Shadra ini baru dimulai sejak
Henry Corbin berkenalan dengan karya Syuhrawardi, dalam perjalannya ke Persia
setelah Perang Dunia II, dalam pencariannya mengenai ajaran-ajaran Syuhrawardi.
Semula, Corbin tidak menyadari bahwa tradisi filsafat yang kaya dari dinasti
Safawi itu akan mengantarkannya untuk menemukan dunia baru metafisika dan
filsafat tradisional dari orang seperti Mir Damad dan Mulla Shadra, yang telah
menyebabkannya lebih banyak menggunakan enerjinya, pada dua dekade yang lalu
untuk meneliti kedua tokoh tersebut.
Sebagai peneliti pemikiran mereka,
Corbin selain banyak melakukan banyak studi tentang Mulla Shadra, ia juga
adalah satu-satunya sarjana Barat yang telah berhasil menerjemahkan sebuah
karya lengkap Mulla Shadra ke bahasa Eropa (lihat Corbin, Le livre des
penetrations metaphysiques, Teheran-Paris, 1964, yang memuat terjemahan
lengkap Kitab Al-Mashai`r, dalam bahasa Prancis).
Mengikuti jejak karya Corbin di atas
adalah karya Toshihiko Izutsu, khususnya dalam The Concept and Reality of
Existence (Tokyo, 1971) dan Hossein Nasr dalam karyanya, Islamic Studies
(Beirut, 1966); “Mulla Shadra” dalam Ensiklopedia Filsafat; dan “Mulla
Sadra” dalam Commemoration Volume (Teheran, 1961). Terakhir adalah
karya sarjana Pakistan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullah Shadra (New
York, 1975).[1] Sekarang
ini, baik di Persia dan di dunia Barat, sejumlah studi, terjemahan dan analisa
mengenai sejumlah aspek karya Shadra sedang dilakukan. Demikian juga di
Indonesia, nama Mulla Shadra dan beberapa karyanya sayup-sayup mulai mendapat
perhatian dan didiskusikan di kalangan yang masih sangat terbatas.
Menurut Hossein Nasr (1978, hlm.
13-15), studi mengenai karya-karya Mulla Shadra menghadapi empat kesulitan;
meskipun penjelasan tentang kesulitan-kesulitan ini lebih dikaitkan dengan
konteks studi pemikiran Mulla Shadra di dunia Barat, namun menurut hemat
penulis hal demikian juga tidak terlalu berbeda kenyatannya untuk konteks dunia
Islam, seperti juga untuk konteks Indonesia.
Kesulitan pertama adalah kesulitan menyangkut langkanya karya-karya dan
Shadra itu sendiri. Hingga lima belas tahun yang lalu (baca: tahun 1963),
menurut Nasr (1978) hanya karya-karya utama Shadra saja yang bisa didapat,
seperti Asfar dan al-Syawahid al-Rububiyyah[2], karena
kebanyakan karya-karya Shadra masih dalam bentuk manuskrip. Oleh karena itu,
edisi baru 9 jilid Asfar yang dikoreksi dan diedit oleh Thaba`thabai dan
Jalaluddin Asythiyani secara kritis selama sepuluh tahun, sangatlah berharga.
Empat puluh karya Shadra, yang terdiri dari ribuan halaman itu, seperti
ditegaskan oleh Nasr (1978, hlm. 13), adalah karya-karya yang membahas
persoalan metafisika, kosmologi, eskatologi, teologi dan masalah-masalah yang
terkait dengan semua itu. Karya-karya Shadra tidak hanya menyangkut filsafat
tradisional tapi juga menyangkut tafsir Al-Quran, hadis, dan ilmu-ilmu Islam
yang lain. Sejauh menyangkut filsafat tradisional, karya-karya Shadra pun
tidak hanya terbatas mencakup satu mazhab pemikiran tapi juga mencakup
keseluruhan warisan pemikiran dan warisan intelektual Islam.
Kesulitan ke dua adalah menyangkut sulitnya doktrin-doktrin yang dikaji oleh
Shadra (the innate difficulty of the doctrines involved). Nasr
(hlm. 14) menulis,
“… have made it will might
impossible for scholars who are even specialists in Mulla Sadra to have
well-grounded knowledge of all of his writings. It takes nearly a lifetime to
gain intimate knowledge of even one or two of his basic works. Practically no
scholar, including most of all the author of this words, could claim to have
carefully studied and mastered all of his works. For a long time, Sadrian
studies will continue to be different glimpses of a vast mountain from
different perspectives rather than an exhaustive survey of it. The most
serious studies are those which penetrate in depth into certain aspects or
particular works of the Master. One can hardly expect today a study which is at
once profound and all embracing even by those who have spent a lifetime in the
study in Mulla Sadra.”
Kesulitan ke tiga—terutama ditegaskan Nasr dalam konteks kepentingan studi
Mulla Shadra di Barat (pen.)—adalah menyangkut realasinya terhadap keseluruhan
pohon tradisional Islam. Mulla Shadra memang sering mengutip secara ekstensif
buah pikiran para pemikir pra Sokrates, Pitagoras, Plato, Aristoteles,
Plotinus, hingga para filsosof Muslim, sufi, iluminasionis, mutakallim (teolog
Muslim), ahli syariat, terutama ahli Al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu,
menurut Nasr, seseorang tidak akan berhasil menjelaskan ajaran-ajaran Mulla
Shadra tanpa mengacu kepada karya-karya seperti yang ditulis oleh Ibnu Sina,
Suhrawardi, Ibnu Arabi, dan Mir Damad. Bagi peneliti Barat, untuk memahami
pemikiran-pemikiran metafisis dan filosofis Mulla Shadra diperlukan terlebih
dahulu penguasaan karya-karya mereka dan pemikiran-pemikiran Islam; sesuatu yang
sekarang tidak terjadi demikian. Seorang pemikir, seperti Sadr al-Din Dashtaki,
yang banyak dikutip oleh Sadra secara ekstensif, jangankan sudah dikenal oleh
para peneliti Barat, bahkan ia masih tidak begitu dikenal hatta oleh para ahli
filsafat Iran sekalipun (hlm. 14).
Kesulitan ke empat adalah menyangkut bahasa. Karya-karya Ibnu Sina dan kaum
Peripatetik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tidaklah begitu sulit
untuk menemukan padanan kosakatanya dalam bahasa Eropa. Masalahnya tidak
demikian dengan karya-karya Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Selama beberapa abad,
bahasa Barat tidak begitu peduli terhadap pemikiran-pemikiran metafisis dan
doktrin gnostik mereka berikut mazhab leluhurnya yang memiliki arah berlawanan
dengan peripatetisme. Kesulitan lebih bertambah lagi ketika persoalannya adalah
menyangkut Mulla Shadra. Dikarenakan ketakpedulian total bahasa Eropa terhadap
doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran Mulla Shadra. Pemahaman begitu saja bahasa
Barat terhadap tradisi pemikiran Mulla Shadra akan menjadi sangat
reduksionistik (the danger of reducing). Menurut Nasr, bahasa
Barat sangat tidak memadai untuk menjelaskan doktrin dari metafisika sebesar
Mulla Sadra, seperti terjadi pada kata filsafat itu sendiri yang oleh dunia
Barat hanya dipahami murni sebagai sesuatu yang human dan profane.
Untuk sedikit mengatasi
kesulitan-kesulitan di atas itu, maka Nasr bersama koleganya di Amerika banyak
melakukan studi tentang pemikiran Mula Shadra dengan ditulis dalam bahasa
Inggris, seperti dilakukannya untuk karyanya,. Sadr al-Din Shirazi and his
Trancendent Theosophy: Background, Life and Works (1978), yang menurut
janjinya akan dilanjutkannya dengan klasifikasi studi sebagai berikut: metafisika,
teodisia, kosmologi, epistemologi, psikologi, dan eskatologi Mulla Shadra
serta pengaruh ajarannya. Diakui oleh Nasr, karyanya tersebut juga lebih banyak
mengacu kepada pengajaran-pengajaran oral yang dilakukan oleh Muhammad Kazim
Asrar, Mirza Sayyid Abul-Hasan Rafi`i Qazwini, Allamah Sayyid Muhammad Hussain
Thaba`thab`i, Mirza Mahdi Ilahi Qumsha`i dan yang lain-lainnya. Sedangkan
menyangkut pencetakannya Nasr dibantu oleh rekannya, Dr. H. Sharifi dan Dr. W.
Chittick, penulis karya terkenal, Ibn al-`Arabi`s Metaphysics of Imagination:
The Sufi path of Knowledge (State University of New York Press, 1989).
Wallahu a`lam bi al-shawab
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1] Karya Fazlur
Rahman ini sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Munir Abdul
Mu`in, dosen IAN SGD Bandung (Pustaka Salman, 2000).
[2] Sekarang
di tangan penulis, sudah ada dua buah karya Shadra yang lainnya: Mafatih
Al-Ghaib dan Tafsir Al-Quran.
Rate This
Sesuai dengan judulnya, mafatih, bentuk
jamak, dari kata miftah yang berarti “kunci” terdiri dari dua puluh
kunci, masing-masing membahas hal-hal di bawah ini:
Kunci 1
Pembahasan kunci pertama dibagi oleh
Shadra ke dalam 12 fatihah (pembuka). Dalam kunci yang pertama ini,
Shadra membahas banyak persoalan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tentang
Al-Quran dan rahasia-rahasianya. Seperti biasanya, metode pembahaannya
dilakukan dengan pendekatan filsafat, mukasyafah, wahyu. Sebab, bagi shadra,
seperti ditegaskan oleh Khazawi, bahwa filsafat bagi Shadra adalah tafsir
rasional dan logis bagi persoalan-persoalan irfan, dan persoalan-persoalan
irfan merupakan kristalisasi insani bagi pewahyuan-pewahyuan Al-Quran,
hadis-hadis Nabi, dan hujah-hujjah ma`shumin `alaihumussalam.
Kunci 2
Kunci kedua dibaginya kepada 9 fatihah.
Kunci ini masih membahas persoalan Ulum Al-Quran.
Kunci 3
Kunci ketiga ini dibaginya kepada 8 masyhad
(kesaksian). Kunci ini membahas persoalan-persoalan epistemologi. Pengaruh Ibnu
Arabi dan Imam Ghazzali terasa sekali dalam pembahasan-pembahasannya di sini.
Kunci 4
Kunci ini dibaginya menjadi 18 masyhad.
Dalam kunci ini dibahas persoalan martabat kasyaf, prinsip-prinsipnya; ilham,
khawathir, wasawis, hukum-hukum dan sebab-sebabnya, baik yang malakuti maupun
yang syaithani. Dalam kunci ini, Shadra mendemonstrasikan pembahasannya
sekaligus secara filsofis, kasyfi, dan wahyi (al-buhuts al-falsafiyyah
al-mukasyafiyyah al-ilahiyyah).
Kunci 5
Kunci ini dibaginya kepada tiga masyhad.
Kunci ini membahas persoalan- persoalan teologis paling pelik, seperti
pengetahuan tentang Tuhan (masyhad ke satu), sifat-sifat negatif (masyhad
ke dua) dan positif (masyhad ke tiga) Tuhan.
Kunci 6
Kunci ini dibagi ke dalam enam masyhad.
Kunci ini membahas esensi timbangan (mizan).
Kunci 7
Kunci ini dibagi ke dalam tiga masyhad.
Dalam kunci ini dibahas persoalan- persoalan yang berkaitan dengan penyingkapan
hijab dari pengetahuan tentang Tuhan. Di dalam kunci ini juga dibahas mengenai
Hakikat Wujud dan sifat-sifat sempurna-Nya.
Kunci 8
Kunci ini dibagi ke dalam 4 fasal.
Masing-masing fasal membahas persoalan perbuatan Tuhan sebagai tajalli
sifat-sifat dan nanm-nama-Nya (fasal 1); klasifikasi dan tertib perbuatan Tuhan
(fasal 2); klasifikasi wujud langit dan keadaan-keadaannya (fasal 3); dan
terakhir perbedaan pendangan tentang malaikat (fasal 4).
Kunci 9
Kunci ini dibagi menjadi 5 fasal.
Dalam fasal-fasal ini masih dibahas persoalan malaikat: jumlah malaikat (fasal
1), kelas-kelas malaikat (fasal 2), sifat-sifat malaikat (fasal 3), sifat malaikat
menurut Sayyidina Ali (fasal 4), dan kemaksuman malaikat (fasal 5).
Kunci 10
Kunci ini membahas
persoalan-persoalan alam tubuh; pembahasannya dibagi-bagi ke dalam fasal-fasal.
Kunci 11
Kunci ini membahas persoalan
subtansi akal (al-jawahir al-`aqliyyah).
Kunci 12
Kunci ini membahas tema filsafat
paling penting dan kontroversial antara para mutakallim dan filosof, seperti
yang terjadi pada Imam Ghazali dan para filosof Muslim, yakni tema kebaharuan
alam.
Kunci 13
Kunci ini membahas persoalan alam ruhani,
yang dibaginya menjadi 8 masyhad pembahasan. Termasuk yang dibahas
adalah alam ruhani sebagai orientasi terbesar Al-Quran (masyhad 1);
dalil-dalil atas adanya klasifikasi cahaya (masyhad 2); alam cahaya,
alam perintah, dan alam akal (masyhad 3); alam pengatur jiwa (masyhad
4); kemenaikan dan kemenurunan alam akal (masyhad 5); keadaan-keadaan
subtansi malakuti (masyhad 6); sebab-sebab karamah dan mu`jizat (masyhad
7); kewajiban kebangkitan dan kenabian (masyhad 8). Seperti biasanya,
Shadra membahas persoalan-persoalan ini sekaligus dengan tiga metode
berpikirnya: falsafi, kasyfi, dan wahyi.
Kunci 14
Kunci ini membahas persoalan suluk
hamba kepada Tuhan. Dalam kunci ini dibahas persoalan kenabian, batin kenabian,
wilayah dan wali, penolakan atas hujah para penolak karamah para wali.
Kunci I5
Kunci ini membahas persoalan esensi
manusia, sejak awal hingga akhir kejadian, yang biasa disebut dengan filsafat
jiwa. Pembahasan di dalam kunci ini dibaginya kepada 4 bab pembahasan. Di
dalamnya dibahas persoalan derajat eksistensi jiwa (bab 1); keadaan-keadaan
jiwa (bab 2); eksistensi dan potensi manusia (bab 3); pembuktian keberadaan
jiwa manusia (bab 4), yang mencakup pembahasan-pembahasan mengenai subtansi
akal, sumber jiwa manusia, dalil-dalil sam`i tentang jiwa, kebaruan jiwa,
keabadian manusia di akhirat, perbedaan pandangan filosofis tentang jiwa, bahwa
manusia memiliki satu jiwa, tentang pemilikan satu jiwa oleh manusia, dan
penolakan inkarnasi atas paham reinkamasi.
Kunci 16
Kunci ini membahas persoalan-persoalan
isyarat-isyarat alam malakut.
Kunci 17
Kunci ini membahas persoalan
eskatologi; persoalan yang yang menjadi tema sentral pembahasan baik kalam
maupun filsafat. Kunci ini membahas persoalan manusia dan martabatnya, akal
praktis dalam jiwa, kesatuan `aqil-ma`qul, kebaikan dan kebahagiaan sejati,
keadaan-keadaan jiwa.
Kunci 18
Kunci ini masih membahas
persoalan-persoalan eskatologis, terutama menyangkut kebangkitan jasmani dan
kebangkitan badani.
Kunci 19
Kunci ini juga masih membahas persoalan
eskatologis. Terutama menyangkut persoalan kiamat, sifat-sifatnya, keutamaan
ilmu-ilmu mengenainya.
Kunci 20
Kunci ini membahas persoalan olah
ruhani; masalah-masalah suluk dan etik yang menjadi salah satu unsur Hikmah
Muta`aliyyah.
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Karya magnum opus Mulla Shadra,
Asfar (9 jilid), diterbitkan oleh Dar Ihya Al-Turats Al-`Arabiyy, cetakan
ketiga, Beirut, 1981, yang diberi Catatan kaki oleh enam ahli filsafat dan
hikmah, yakni (1) Allamah Hakim Ustadz Ogha AH. bin Jamsyid Al-Nuri
Al-Ishfahani, yang wafat pada tahun 1246 H,; (2) Al-Hakim Ustadz Maula Hadi bin
Mahdi Al-Sabzawari, penulis Al-La`ali Al-Manzhumah, yang hidup antara
tahun 1212 sampai tahun 1287 H. (3) Filososf terkenal Agha AH. Al-Mudarris bin
Maula Abdullah Al-Zanuzi, penulis Badai` Al-Hikam, wafat pada tahun 1310
H.; (4) Allamah Hakim Mawla Isma`il bin Mawla Sami` Al-Ishfahani, wafat pada
tahun 1277 H., murid AH. Al-Nuri; (5) Sayyid Muhammad Husein Thaba`thabai, guru
besar filsafat dan hikmah Iran kontemporer, penulis tafsir terkenal Al-Mizan
fi Tafsir Al-Quran.
Mengenai penambahan judul al-Asfar
ke dalam judul Al-Hikmah al- Muta`aliyyah tersebut, menurut Shadra
mengisyaratkan, dan sejalan dengan teori gerak empat perjalanan ruhani. Seperti
dijelaskan oleh Shadra sendiri (Asfar, II, hlm. 13), di bawah ini:
“Ketahuilah bahwa para pejalan
ruhani para `arif (sallak) dan wali memiliki empat perjalanan, pertama al-safar
min al-khalq ila al-haqq (perjalanan dari makhluk menuju Tuhan); kedua, al-safar
bi al-haq fi al-haq (perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan); perjalanan
ketiga adalah kebalikan dari perjalanan yang pertama yaitu al-safar min
al-haq ila al-khalq bi al-haq (perjalanan dari Tuhan menuju makhkuk dengan
Tuhan); (perjalanan) keempat kebalikan dari perjalanan kedua yaitu perjalanan al-safar
bi al-haq fi al-khalq (perjalanan dengan Tuhan di dalam makhluk). Buku ini
penulis susun sejalan dengan gerak cahaya dan pengaruh mereka di atas empat
perjalanan dan kuberi nama buku tersebut dengan Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah fi
Al-Asfar Al-Arba`ah….” penerj.) dan aku beri nama Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah fi
Al-Ashfar Al-Arba`ah… .”
Asfar merupakan salah satu dari sumber primer utama bagi studi
pemikiran Mulla Shadra. Sebab, menurut para ahli tentang pemikiran Shadra Asfar
merupakan karya magnum opusnya, seperti ditegaskan oleh Muhammad
Khazawi, Muhammad Rizha Muzhaffar dan Mushsin Bidarfur.
Sedangkan Hossein Nasr, mengenai Asfar
ini dalam Islamic Life And Thought (1981, hlm. 160), menulis:
“The writings of Mulla Sadra may be
devided into those which deal primarily with intellectual sciences and those
which concern them selves with religious questions. However, in his view these
two paths toward the truth are never completely divorced from each other. Of
the first category, the work which stands as one of the greatest monuments of
metaphysics in Islam is al-Hikmat al-Muta`aliyyah fi al-Asfar al-Arba`ah
(The Transcendent Theosophy for High Wisdom] Concerning the Four Journeys of
the Soul) usually known as Asfar, which ini four books or four
stages of a journey (safar, asfar being its broken plural) deals with
the origin and end of all cosmic manifestation and the human soul in
farticular.”
Sedangkan mengenai apa yang dibahas
oleh Shadra di dalam Asfar, sekilas dapat dijelaskan sebagaimana di
bawah ini:
Asfar Jilid I
Jilid ini memuat pembahasan mengenai
Fisika, yang dibagi kepada empat —Shadra menyebutnya dengan—fann (seni).
Fann yang pertama Shadra menjelaskan kategori kuantitas dan menetapkan
keberadaan dan pembagiannya. Fann yang kedua oleh shadra dibagi kepada
beberapa bab. Bab yang pertama membahas persoalan kateogiri kualitas; bab kedua
kualitas-kualitas objek inderawi; bab ketiga kualitas- kualitas objek
penglihatan, seperti warna, cahaya, hakikat dan pembagiannya; perbedaan antara dhau,
nur, syu`a, dan barq;bab ke empat membahas kualitas-kualitas objek
pendengaran, suara; bab ke lima membahas tentang kualitas-kualitas objek rasa
dan objek penciuman, seperti rasa makanan, bau objek penciuman, kehendak, rasa
nyeri dan lezat, rasa sehat, bahagia, sengsara, bentuk, karakteristik angka dan
kualitas- kualitasnya. Fann ke tiga, membahas kategori- kategori yang
lain, aksiden, yang mencakup nisbah, tempat (al-ayn)dan jenis-jenisnya,
waktu (mata)dan jenis-jenisnya, posisi (wadh`), jiddah, aktivitas
(an-yaf`al), dan pasivitas (an-yanfa`il). Fann kempat, fann
terakhir, membahas persoalan subtansi dan aksidensi; hukum- hukum dan pembagian
keduanya.
Asfar Jilid II
Dalam jilid ke dua Asfar ini,
Shadra membahas persoalan-persoalan umum atau persoalan-persoalan umum
Ketuhanan (al-`ilm al-ilahiyy). Bab ini oleh Shadra dibagi kepada dua marhalah
(periode); untuk marhalah yang pertama dibaginya lagi kepada dua metode
(manhaj), dan masing-masing manhaj dibagi-bagi lagi kepada
beberapa fasal. Sedangkan marhalah kedua langsung dibagi-bagi kepada
fasal-fasal.
Pada fasal-fasal dan kedua marhalah
ini Shadra membahas tema wujud bagi pengetahuan Tuhan, konsep wujud, ashalat
al-wujud, karakteristik dan hakikat wujud; sedangkan dalam fasal-fasal manhaj
kedua Shadra membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wujud pasti (wajib
al-wujud)dan wujud mungkin (mumkin al-wujud/al-dzat)dan wujud mental
(al-wujud al-dzihniy). Dalam jilid ini, Shadra dengan kata lain
membahas persoalan-persoalan ontologis dan teologis.
Asfar Jilid III
Dalam jilid ini, Shadra lebih khusus
lagi membahas persoalan-persoalan teologis, seperti persoalan hakikat Kalam
Tuhan, Al-Quran, pengutusan para rasul, inayah Tuhan, kejahatan, kebaikan,
hikmah penciptaan langit dan bumi. Di dalam jilid ini, Mulla Shadra juga
membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kerinduan, kecintaan manusia
kepada Tuhan, derajat manusia dalam mencintai-Nya. Di dalam jilid ini juga
dibahas persoalan kebaharuan alam fisika dan keharmonisan antara syariah dan
falsafah
Asfar Jilid IV
Di dalam jilid ke empat ini, Shadra
membahas persoalan potensi dan aksi; gerak dan diam, pembaharuan fisik material
dalam perspektif ilmuninatif; keabadian dan kebaruan, keterkaitan anatara yang
baru dan yang abadi, waktu; persoalan-persoalan yang berkaitand dengan
epistemologi, seperti ilmu dan klasifikasi ilmu, derajat ulama, inteksi (ta`aqqul),
akal dan objek-objek akal (ma`qulat), kesatuan akal dan
objek-objek akal (ittihad al-`aqil wa al-ma`qul), derajat akal dan
objek-objek akal.
Asfar Jilid V
Dalam jilid ini, Shadra membahas
persoalan-persoalan antropologis. Jilid ini dimulai dengan bab ke delapan dan
diakhiri dengan bab ke sebelas; masing-masing bab dibagi-bagi kepada
fasal-fasal. Persoalan yang di bahas di dalam fasal-fasal dari bab-bab tersebut
adalah persoalan penolakan atas reinkarnasi, jiwa, karakteristik manusia,
karakteristik jiwa manusia, posisi dan derajat manusia, martabat spiritualitas
(tajarrud), kebahagiaan dan penderitaan. Khusus dalam bab ke
sebelas, Shadra membahas masalah-masalah eskatologi, seperti siksa kubur,
kebangkitan, penghimpunan (hasyr), kondisi-kondisi kiamat dan martabat
manusia pada waktu itu; masalah surga, neraka, siksa dan keabadian dan
pembaharuan di dalam keduanya dan perjalanan ruhani (suluk) menuju
Tuhan.
Menyimak dari tema-tema
pembahasannya, Asfar jilid ke lima inilah tampaknya, selain jilid DC, di
antara yang banyak menunjukkan pemikiran- pemikiran antropologis Mulla Shadra.
Asfar Jilid VI
Jilid ini membahas lebih banyak
persoalan-persoalan fisikawi, yang dibaginya kepada enam fann. Antara
lain, Shadra di dalam jilid ini membahas persoalan yang berkaitan dengan
substansi fisika (fann ke satu), materi (fann ke dua), bentuk/shurah
(fann ke tiga), karakteristik alam fisika (fann ke empat), pembaharuan
alam fisika (fann ke lima), dan ontologi alam fisika dan relasinya
dengan alam Tuhan (fann ke enam).
Asfar Jilid VII
Dalam jilid ini yang dibahas oleh
Shadra adalah masalah esensi, genus, materi, diferensia, aktivitas, bentuk,
unitas, diversitas, sebab-akibat, kebebasan, perbedaan khayr dan jud, penolakan
kejahatan eksistensial, wajib al-wujud dan mumkin al-wujud, nisbah hakikat
wujud kepada mumkin al-wujud, dan lain-lain yang masih bertalian dengan
persoalan filsafat wujud.
Asfar Jilid VIII
Jilid ini tampaknya lebih banyak
membahas persoalan teologis. Pembahasannya dibagi menjadi enam—Shadra
mengistilahkannya dengan—mawqif (tempat keberangkatan; tempat bersikap).
Masing-masing mawqif dibagi-bagi lagi kepada beberapa fasal. Mawqif
pertama membahas wajib al-wujud; mawqif kedua membahas sifat-sifat-Nya; mawqif
ke tiga membahas pengetahuan tentang Tuhan; mawqif ke empat tentang
kekuasaan-Nya; mawqif ke lima, kedudukan Tuhan sebagai yang maha Hidup;
dan mawqif terakhir, kedudukan Tuhan sebagai Yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat.
Asfar Jilid IX
Dalam jilid ini, seperti juga dalam
jilid V, Shadra membahas persoalan yang sangat berkaitan dengan persoalan
antropologis, jiwa. Dengan kata lain, membahas persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan psikologisnya (atau mungkin juga bisa
diistilahkan dengan nafsologi), seperti menyangkut hukum-hukum
jiwa, martabat dan esensi jiwa, subtansi dan spiritualitas jiwa, keberjumlahan
dan keragaman potensi, relasi badan dan jiwa; pengetahuan-pengetahuan batin,
imajinasi, hafalan, spiritualitas jiwa, dan kondisi-kondisinya.
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Untuk lebih jauh memahami basis
pemikiran epistemologis Mazhab Hikmah, kita pun harus mencari tahu bagaimana
ilham dan isyraq itu sendiri menurut pandangan Al-Quran.
Al-Quran banyak menegaskan bahwa
kita harus menggunakan panca indera dan akal. Misalnya, firman Allah SWT: “Katakanlah,
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi…” (QS. 10:10). Peran ilham
dan isyraq dalam penyingkapan- penyingkapan gaib (al-futuhat
al-ghaibiyyah) dan perolehan kebenaran bisa kita simpulkan dari petunjuk
Al-Quran, hadis, penegasan para sufi, dan filosof Muslim.
Pertama, menurut Al-Quran, jika kita bertakwa, kita akan memperoleh
pembeda antara kebenaran dan kebatilan (furqan)(QS. 8:29), diberi jalan
keluar (makhraj)(QS. 65:2), dimudahkan urusan (QS. 65:4), diberi rahmat,
cahaya (nur) dan ampunan (QS. 57:28; QS. 6:122), akan memperoleh
pengajaran Tuhan (ta`limullah) (QS. 2:282), penyingkapan hati (al-ruyah
al-qalbiyyah) (QS. At-Takatsur, 102:3-4). Jika kita berada di atas hidayah
Allah, kita akan mendapatkan tambahan hidayah (ziyadah al-huda)(QS.
47:17; QS. 18:13), dan hati kita akan diteguhkan (rabth al-qalb)(QS.
18:14).
Kedua, hadis, seperti ditunjukkan oleh Jalaluddin Rakhmat,[1]
mengatakan: “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan
memberikan ilmu yang tidak diketahuinya;”[2]
“Takutilah firasat seorang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah;”[3] “Adakah
di antara kamu yang ingin diberi ilmu tanpa belajar dan petunjuk Tuhan tanpa
ditunjuki? Adakah di antara kamu yang ingin dihilangkan kebutaannya dan
dijadikan melihat? Ketahuilah, siapa yang zuhud dalam dunia dan pendek
angan-angan di dalamnya, Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan petunjuk
tanpa ditunjuki.”[4]
Ketiga, kaum sufi (‘urafa) telah menyingkap metodologi hati dalam
mendapatkan ilmu hudhuri. Menurut kaum sufi, hati adalah alat pengetahuan.
Mereka berpendapat bahwa manusia akan mampu mencapai istisyraq (ketercerahan)
dan istilham (ketersingkapan) jika mampu mencapai manazil al-sa`irin (kedudukan-
kedudukan para pejalan): kesadaran-diri (yaqzhah), taubat (tawbah),
mawas-diri (muhasabah), penyesalan (inabah), perenungan
(tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), berpegang
teguh kepada Allah (i`tisham), keterlepasan (inqitha`)dari
ikatan-ikatan duniawi, pengekangan hawa nafsu (kabh jimah al-nafs), dan
pengetahuan tentang latha`if. Menurut mereka, jika mata (bashar)hanya
mampu mengindari objek yang dekat dan tak terlekati daki dan hijab, maka
mata-kesadaran dan mata-batin (bashirah)mampu mengetahui objek yang jauh
dan menyingkapkan daki dan hijab.
Manazil al-sa`irin di atas akan mampu memberikan energi dan kemampuan kepada
jiwa untuk berhubungan dengan alam gaib. Dengan kata lain, bashirah mampu
menyingkap konsepsi-konsepsi dan makna-maknanya. Ia mampu mengilhamkan
gagasan-gagasan (mafahim)dan realitas-realitas (haqa`iq). Semua
itu tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa yang hanya menggunakan indera
dan akal sebagai alat pengetahuannya.
Begitulah metodologi hati (aliyyat
al-qalb) dalam memperoleh ilmu dan kebenaran hudhuri yang pasti benar; ilmu
yang mampu menerangi aktivitas seseorang untuk terhindar dari lorong gelap
jebakan setan dan iblis; ilmu yang sangat dirindukan oleh setiap orang saleh
dan peyakin tawhid al-haqq, ketika sangat tamak untuk menghindarkan diri
kemanusiaan yang tercemar dan untuk mencapai puncak spiritual.
Sehubungan dengan bahaya yang akan
menimpa peradaban manusia jika aktivitas kemanusiaannya tak tercahayai oleh nur
Ilahi, Komaruddin Hidayat, dengan meminjam teori cermin Al-Ghazali, mengatakan:
“Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi oleh cahaya keilahian bagaikan
orang yang berjalan di atas lorong setan yang gelap. Sebaliknya, orang yang
hanya sekadar percaya pada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat agung
Tuhan di dalam dirinya, bagaikan iblis.”[5]
Keempat, perspektif kaum filosof. Dalam Al-Isyarat, sebagaimana
dikutip Syaikh Ja`far Al-Subhani dalam Nazhariyyat Al-Ma`rifah, Ibn Sina
mengatakan: “Kaum arif memiliki kedudukan-kedudukan (maqamat)dan
tingkat-tingkat (darajat) yang khusus untuknya. Kehidupan dunia mereka berbeda
dengan yang lainnya. Mereka seakan- akan terbungkus oleh bungkus-bungkus (jalabib)tubuh
mereka tapi telah keluar dan mengabstraksikan diri darinya untuk menuju `alam
al-quds. Mereka memiliki persoalan-persoalan batiniah (bathini)dalam
diri mereka dan persoalan-persialan lahiriah (zhahiri)yang ditolak oleh
para penolaknya dan diagungkan oleh orang yang mengetahuinya.” Ibn Sina juga
mengatakan: “Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang arif bercerita tentang
sesuatu yang gaib dan benar, menyuguhkan kabar gembira (busyra)dan
peringatan (nadzir)dan dibenarkan, maka tidaklah sulit untuk Anda
percayai. Sesungguhnya dalam mazhab-mazhab fisika, dalam hal demikian, terdapat
sebab-sebab yang diketahui.”
Selanjutnya, menurut Ibn Sina, jiwa
yang kuat, jika mampu menguasai kesibukan- kesibukan inderawi, akan mampu
berhubungan dengan alam al-quds. Di dalamnya akan terlukislah
konsepsi-konsepsi dan makna-makna dari alam tersebut yang kemudian kembali
serta memberitakan apa yamg diketahuinya. Maka ketenggelaman di alam fisika dan
penyibukan diri dengan persoalan-persoalan inderawi akan merintangi hubungannya
dengan alam al-quds itu. Dengan kata lain, menurut Ibn Sina, semakin
jiwa itu menguat, maka kesibukan inderawi (al-mahakiyyaf)akan semakin
melemah, dan vice versa.
Demikian juga, dalam Al-Asfar[6]Mulla
Shadra menegaskan probabilitas ilham dan isyraq dengan
mengatakan: “Pada dasarnya, jika ruh manusia terabstraksikan dari badan karena
berhijrah kepada Rabb-nya untuk menyingkap ayat-ayat-Nya yang agung, dan jika
ia menyucikan diri dari kemaksiatan, syahwat, dan ta`alluqat (keterikatan
kepada yang semata-mata duniawi), maka akan terpancarlah cahaya pengetahuan dan
iman kepada Allah dan malakut-Nya yang luhur. Cahaya ini, jika meneguh dan
mensubstansi, akan menjadi substansi suci (al-jawhar al-qudsi). Oleh
para filosof, dalam filsafat teoritis, ini disebut Intelek Aktif (Al-Aql
Al-Fa`al)dan dalam bahasa Syariat Nabi disebut ruh suci (al-ruh al-qudsi).
Jika jiwa menolak dakwaan-dakwaan tabiat dan kegelapan hawa nafsu,
bertawalli secara sempurna kepada kebenaran, menghadapkan diri ke alam malakut,
maka ia akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat luhur. Ketika itulah
rahasia malakut tersingkap, dan terpantullah kepada jiwa tersebut kekudusan
(alam) lahut.“
Sebagai alat pengetahuan, akal atau
rasio dan indera karena keterbatasan keduanya, tidak dipandang mutlak cukup
oleh Islam. Walaupun rasio bisa melahirkan pengetahuan yang universal, ia tidak
mampu menyingkap realitas supralogis. Sedangkan indra mampu melahirkan
pengetahuan yang parsial terbatas oleh ruang dan waktu. Untuk melengkapi
keduanya, kita memerlukan alat pengetahuan yang lain, yakni hati. Tentu, ini
dimaksudkan untuk bergandengan dengan kebenaran wahyu Al-Quran yang ditawarkan
oleh para teolog. Dengan demikian, sehubungan dengan kebenaran, kita bisa
menyebut: kebenaran wahyu (yang dibawa oleh para rasul dan nabi), kebenaran
rasional (yang dibawa oleh filosof), kebenaran indra dan ayawiyyah (manusia
biasa), dan kebenaran mistis atau kasyf (para sufi).
Dengan kata lain, kebenaran wahyu
tidak bisa dipertentangkan dengan kebenaran yang dicapai oleh akal, indra,
sejarah, dan penyingkapan mistis (isyraq dan ilham).
Selanjutnya, apa perbedaan antara
wahyu dan isyraq atau ilham?Syeikh Ja`far Al-Subhani, dalam Nazhariyyat
Al-Ma`rifah, mengatakan: “Perbedaan wahyu dengan ilham dan isyraq
ialah: wahyu mengandung pengajaran menyangkut domain kredo (aqidah) dan
aksi (`amal). Dan yang diberi wahyu adalah nabi yang diutus oleh Pencipta untuk
mendidik manusia dan menyucikan mereka. Berbeda dengan ilham dan isyraq.
Keduanya tidak mengandung tasyri` (pensyariatan) dan taqnin (pengundangan).
Dan yang diberi ilham bukan seorang yang diutus sebagai nabi oleh Allah
SWT untuk menyampaikan apa yang diilhamkan kepada mereka.”
Keyakinan bahwa akal, indera, dan
hati bisa diharmoniskan dan disintesakan dengan wahyu dalam mencapai kebenaran
demikian telah melahirkan aliran filsafat-sufistik dan sufisme-filosofis. Yang
pertama dipelopori oleh Suhrawardi Al-Maqtul, dengan mazhab Isyraqiyyah (Iluminasionisme)-nya,
dan Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hikmah Al-Ilahiyyah (teosofi)-nya, dan
yang kedua dipelopori oleh Bayazid (Abu Yazid Al-Busthami, red.), Rumi
dan—meminjam istilah William C. Chittick—“Kutub Penyingkapan” Ibn `Arabi.
Harun Nasution, seperti ditegaskan
oleh Dr. Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa, dalam epistemologi Islam, ada tiga
jalan untuk memperoleh pengetahuan: pancaindera, akal, dan kalbu. Indera yang
lima mampu mengetahui obyek yang abstrak, dan kalbu mampu mengetahui
objek-objek yang supralogis. Objek yang supralogis ini bila dimasuki akal, maka
akal itu akan tersesat dalam daerah antinomi.[7]
Epistemologi Islam berbeda dengan
Epistemologi sensualisme, idealisme, dan materialisme. Jika yang pertama
menyatakan alat ilmu itu hanya indera dan yang kedua menyatakan hanya rasio,
maka Islam membenarkan dan tanpa memutlakkan keduanya. Selanjutnya, jika
materialisme hanya mengakui ilmu empiris, menolak ilmu metafisis, alam gaib,
maka Islam menerima semuanya. Wilayah jelajah Islam bukan hanya alam fisika,
melainkan juga alam metafisika; bukan hanya alam nasut, melainkan juga
alam alam malakut, jabarut, dan lahut; bukan hanya alam syahadah,
melainkanjuga alam gaib.
Menurut Islam, mahur (poros, red.)pemahaman
alam syahadah pada dasarnya demi pemahaman alam gaib. Karenanya, mahur
Islam bukanlah manusia, melainkan Tuhan. Mengenal manusia (al-ma`rifah
al-insaniyyah)pada dasamya merupakan perjalanan menuju pengenalan yang
lebih tinggi, yaitu mengenal Allah (al-ma`rifah al-ilahiyyah). Kesimpulan
demikian bisa kita simpulkan dari diktum Nabi saw., “Man `arafa nafsahu,
faqad `arafa rabbahu—Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal
Tuhannya..” Dengan kata lain, al-ma`rifah al-insaniyyah bukanlah
penghujung ma`rifat Islam, melainkan penghujung ma`rifat humanisme. Kendati
Islam menerima unsur positif humanisme, tak pelak lagi Islam jelas bukan
humanisme. Mahur Islam bukan humanisme, meskipun ontologi Islam yang
dikembangkan oleh tasawuf mencakup kesadaran dan pengetahuan diri: maqamat dan
ahwal eksistensinya. Namun, semua itu di dalam perjalanan menuju
“kemenyatuan” diri dengan Tuhan. Lari menuju Tuhan (QS. 51:50) barus selalu
menjadi jawaban ketika Al-Quran bertanya kepada kita: “Fa ayna tadzhabun—Kemana
kalian berlari?” Inilah perbedaan ontologi Islam dengan semua paham, mazhab
pemikiran, dan filsafat yang disemangati oleh materialisme. Tegasnya,
epistemologi Islam menegaskan bahwa manusia tidak hanya dipandang bisa
mendapatkan ilmu secara hushuli (empiris dan rasional). Menurut Islam,
ilmu juga bisa didapatkan secara hudhuri (non-empiris dan irasional).
Tidak semua ilmu harus melalui mediasi akal dan indera. Sebab banyak ilmu yang
supralogis dan tidak tunduk kepada eksperimen. la hanya bisa diperoleh melalui
penyucian spiritual: penyucian diri (QS. 35:18; QS. 87:14;QS. 91:9),
pembersihan hati (QS. 26:89; QS. 37:84; QS. 50:33), pelepasan diri dari
ikatan-ikatan duniawi (QS. 3:14 & 185; QS. 6:33 & 70; QS. 9:38: QS.
10:7 & 24; QS. 18:45; QS. 2967; QS. Luqman, [31]:33; QS. 57:20; QS. 79:38;
QS. Al-A`la[87]:16), dan cinta (QS. 5:54; QS. 2:165:QS. 19:96; QS. 5:119; QS.
58:22; QS. 98:8).
Dengan kata lain, menurut perspektif
tasawuf gnostisisme (irfan), manusia bisa memperoleh kapasitas
untuk mengetahui alam gaib—alam yang tidak sanggup dijelajah, dipahami, dan
didekati oleh metode rasional dan empiris. Sebab, memang ada yang tidak bisa
tunduk kepada eksperimen dan tidak pernah bisa rasional- spekulatif. Kerananya,
dalam perspektif tasawuf, wilayah batin menjadi inti pembahasannya. Kesucian
batin manusia yang paling dalam hanya bisa dipahami melalui ilham dan isyraq,melalui
metodologi hati. Sebut saja, alam maknawi, realitas sejati, hakikat-hakikat dan
konsepsi-konsepsi yang hanya bisa dicermati oleh kaum arif (`urafa)dan
para wali (awliya). Caranya ialah bukan dengan mengeksperimen
suatu objek dan memikirkannya dengan spekulasi rasional, melainkan dengan
latihan- latihan spiritual (riyadhah); tazkiyah al-qalb (menyucikan
hati) dan tark al-ma`ashi (meninggalkan kemaksiatan).
Islam menegaskan bahwa ilmu hudhuri
takan diberikan kepada orang-orang yang penuh dengan berbagai kotoran jiwa
(radza`il al-awshaf). Inilah ilmu yang epistemologinya dibangun
atas pengalaman yang metainderawi dan meta-syuhudi. Ilmu jenis demikian
bukan produksi mode kesadaran objektif, melainkan lahir dari mode kesadaran
paling subjektif sehingga tidak bisa dikomunikasikan. Karena pengalaman
keberagamaan demikian tidak akan mampu diwadahi oleh bahasa lisan. la hanya
terwadahi oleh “perasaan secara langsung” (dzawqi).
Dengan kata lain, ilmu hushuli lahir
dari analisis rasional, faktual dan dari abstraksi kuantitatif-matematis yang
kondusif untuk bersifat mekanistik dan reduksionis atau ilmu yang lahir karena
penggunaan potensi jasmani dan akal. Sementara itu, ilmu hudhuri ialah
ilmu yang sangat mistik dan transendental—ilmu yang diperoleh melalui
pengembangan terutama potensi ruhani.
Menurut teori cermin yang diyakini
oleh kaum arif (`urafa), manusia itu laksana cermin yang mampu
memantulkan segala realitas dari alam gaib ketika jiwa tidak terhijab oleh
dekil-dekil refleksional dan aksional, atau ketika unsur sensorik dan motorik
tuna-suci sudah ter-nasakh oleh mujahadah dan syahadah
qalbiyyah yang berpuncak pada mukasyafah.
Probabilitas didapatkannya ilmu hudhuri,
menurut kaum arif (`urafa), bisa diperjuangkan melalui
pemenuhan syarat-syarat yang lazim: pertama, pemenuhan kekurangan yang
bersifat esensial; kedua, penyucian jiwa dari karat natural dan moral; ketiga,
konsentrasi jiwa secara integral ke alam gaib-samawi dan dengan menyertakan
kekhusyukan pemikiran atas yang dikehendaki; keempat, tidak
menenggelamkan diri ke dalam persoalan-persoalan duniawi dan sekuler; kelima,
pembebasan diri dari sikap ta`ashshub dan taqlid yang
tiranik; dan keenam, menyiapkan pendahulu-pendahulu bagi pencapaiannya
berdasarkan tertib tertentu dan syarat-syarat yang telah digariskan.
Andaikan syarat itu sudah dimiliki
oleh seseorang, ketika itu, ia sudah mencapai kapasitas yang kondusif bagi
didapatkannya ilham dan isyraq. Berikut ini adalah penegasan
William C. Chittick sekitar premis epistemologi para sufi: “Para sufi, seperti
Bayazid, Rumi, dan Ibn Arabi, berpendapat bahwa intelek manusia yang terbatas
saja tidaklah memadai dan dapat menyesatkan, dan bahwa manusia tidak akan dapat
mencapai kebenaran akhir tanpa suatu pengetahuan yang personal, mendalam, dan
langsung yang berasal dari penyingkapan sebagian atau semua tirai (hijab)yang
memisahkan manusia dari Tuhan. Menurut pandangan mereka, pengetahuan itu
diberikan oleh Tuhan sendiri kepada hamba pilihan-Nya, dan harus didasarkan
pada dukungan lahiriyah atas wahyu-Nya kepada manusia, yakni Al-Quran. Mereka
menyebut pengetahuan ini dengan nama-nama seperti ‘penyingkapan’ (kasyf),
‘pandangan langsung’ (syuhud), dan ‘kontemplasi’ (musyahadah),
dan ‘merasakan secara langsung’ (dzawq)”
Inti pemikiran di atas, dalam
bentuknya yang modern dan holistik, bisa kita lacak juga dalam mazhab
Illuminasionisme (Isyraqiyyah)Suhrawardi Al-Maqtul, filsafat mistik Ibn
Arabi, dan mazhab Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah Mulla Shadra. Pada
tokoh-tokoh inilah kita menyaksikan sintesa syariah, filsafat, dan sufisme.
Mazhab mereka tidak hanya berbicara sufisme Bayazidian, Rumian, dan Ghazalian.
Sebab, mazhab mereka pun diperkaya dengan ranah filosofis.
Dengan kata lain, mereka pun
mewarisi pemikiran filsafat Al-Kindi, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Terutama di
tangan Mulla Shadra-lah bagaimana filsafat Islam laik mengklaim sebagai pelahir
filsafat ilmu (epistemologi) yang orisinal. Potensi inderawi, akali, dan hati
merupakan potensi insani yang mampu menyingkap hakikat kebenaran, bergandengan
dengan kebenaran samawi yang dimanifestasikan dalam bentuk pesan-pesan Tuhan
yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya yang diberikan kepada para nabi yang kita
sebut wahyu.
Dalam mazhab Al-Hikmah
Al-Muta`aliyah Mulla Shadra, memang, dikotomi filsafat dan tasawuf, seperti
disimpulkan oleh Hossein Nasr, akan sulit teridentifikasi. la telah berhasil
memuncakkan sufisme-filosofis dan filsafat-sufistik, setelah sebelumnya sufisme
dipuncakan oleh Al-Ghazali sebagai sufisme etik yang sudah diharmoniskan dengan
syariah. Ditegaskan oleh Zainal Abidin, sewaktu menyimpulkan pandangan Nasr
tentang Mulla Shadra: “Menurut Nasr, pada figur Mulla Shadra ini, orang akan
sulit mengidentifikasikannya: apakah ia seorang filosof yang mencintai tasawuf
atau seorang sufi yang mencintai filsafat? Dan disiplinnya pun tak bisa lagi
disebut sebagai filsafat atau tasawuf. Disiplin ini lebih tepat disebut hikmah.”
Demikianlah tradisi ma`rifah (gnostisisme)
yang menurut Nasr: “In the Islamic World, the highest form of knowledge has
never been any single science, or scientia, which remains at the discursive
level, but the ‘wisdom of the saints, ‘or sapientia,which ultimately means
gnosis.”[8]
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1]
Jalaluddin Rakhmat, “Tasawuf dalam Al-Quran dan Sunnah,” makalah untuk Kuliah
Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[2] Imam
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid III, hlm. 22).
[3] Ibid,
hlm. 23.
[4] Jalal
Al-Din Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur fi Af-Tqfsir bi Al-Ma`tsur, jilid
I, hlm. 67; Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba`i, Tafsir Al-Mizan, jilid
IV, hlm. 259.
[5] Dr.
Komaruddin Hidayat, “Makna Tasawuf dalam Perspektif Transformasi Sosial,” makalah
untuk Paket Kuliah Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[6] Al-Asfar
Al-Arba`ah, jilid VII, hlm 24-25.
[7] Dr. Ahmad
Tafsir, “Tasawuf Sebagai Suatu Efistemologi: Definisi, Pertumbuhan, dan
Pendorongnya.” Makalah untuk Paket Kuliah Tasawuf I. Yayasan Muthahhari,
1992, hlm. 11.
[8] Zainal
Abidin. “Intelektualisme dan Tasawuf” yang dimuat dalam jurnal Al-Hikmah No.
5, edisi Maret-Juni 1992, hlm. 3.
Rate This
Termasuk yang dapat dipandang
sebagai prinsip umum pemikiran al-hikmah al-muta`aliyyah adalah sebagai
berikut:
1.
Realitas adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan. Sofisme adalah sesuatu yang
tertolak. Bahkan, menurut Shadra, sekiranya pengingkaran atas realitas itu
(sofisme) benar-benar terjadi maka hal itu juga merupakan realitas.
2.
Pengada adalah asal yang paling prinsip (al-ashl al-ashil); pengada
merupakan Hakikat dan rumah rahasia ilahi (haqiqat dar al-asrar al-ilahi), sedangkan
semua esensi (al-mahiyyat) merupakan persoalan relatif yang melazimkan
martabat pengada dan degradasinya.
3.
Pengada sendiri memiliki sifat, hukum dan aksioma-aksioma yang sejati, antara
lain: ilmu, hidup, unitas, wujub, kesederhanaan (basathah), aktivitas (fi`liyyah),
dll.
4.
Pengada merupakan hakikat gradual yang bermartabat, dimulai dari Al-Wajib bi
Al-Dzat hingga materi pertama. Hanya saja, para fllosof dan kaum gnostik
berbeda pendapat di seputar persoalan unitas gradual (al-wahdah
al-tasykikiyyah) ini. Apakah ia hakikat pengada atau manifestasi dari
hakikat?
5.
Hakikat pengada merupakan tajalli sejati dari martabah ahadiyyah.
6.
Pengulangan tajalli tidak pernah terjadi; paling lazim, pengulangan hanya
terjadi pada al-huwiyyat al-syakhshiyyah al-wujudiyyah (kuiditas-personal
pengada).
7.
Tajalli (teofani) adalah hamzat al-washl antara al-haqq dan al-khalq.
Ia merupakan limpahan qudsi pada martabat ahadiyyah; limpahan yang
disucikan pada pengada yang ditebarkan pada martabat kehendak dan aksi.
8.
Pengada itu memiliki gerak menurun (zhurat tanazzuliyyah) kepada materi
pertama tanpa harus mengganggu kegaiban Diri-Nya yang paripurna dan tak
terbatas. Begitu juga, pengada memiliki gerak transubtansial menaik ke alam
rahasia kegaiban. Bagi Mulla Shadra, materi tidak terpisah dari alam malakut.
Bahkan, materi memiliki probabilitas untuk berubah menjadi pengada malakuti.
9.
Unitas (wahdah) pengada tetap terpelihara baik dalam tanazulat (gerak
menurun) maupun dalam tasha`udat (gerak menaik).
10. Setiap yang bergerak
itu bergerak dalam kesempurnaannya menuju prinsip- prinsip pelakunya yaitu
gambar kesempurnaan. Bagi Mulla Shadra, istikmal (gerak menyempurna)
adalah perjalanan menuju awan (al-sayr ila al-bidayat). Dengan begitu,
aksiomanya adalah bahwa al-bidayat hiya al-nihayat. Perhatikan isyarat
ayat Al-Quran yang berbunyi, “huwa al-awwalu wa al-akhiru”.
11. Jiwa manusia pada
dasarnya kesempurnaannya dimulai dari materi hingga ia terabstraksikan darinya
dan dari derivat-derivatnya; pada awalnya, jiwa manusia adalah nau` by
potential dan akhir geraknya adalah nau` by action.
12. Hakikat tempat
kepulangan akhir (ma`ad) metafisika adalah kepulangan transubtansial ke
rumah akhirat; kepulangan akhir adalah kepulangan sesuatu kepada kehidupan yang
sejati.
13. Pengada-pengada
bergerak yang transubtansial menyatu dengan gambar-gambar keparipurnaannya.
14. Hakikat gerak
kesempurnaan (istikmal) terjadi melalui metode al-lubs ba`d al-lubs, bukan
al-lubs ba`d al-khaf. Lubs sendiri melazimkan penanggalan kekurangan- kekurangan
dan ketiadaan-ketidaan (al-naqa`ish wa al-a`dam).
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Mengenai hal ini, menurut Muhammad
Khajawi filsafat Islam dan filsafat di luar Islam masing-masing unsurnya telah
dijadikan anasir bagi filsafat Mulla Shadra. Unsur-unsur tersebut telah
dipadukan dengan kuat dalam bentuknya yang `aqli dan suluki. Irfan,
pandangan-pandangan keagamaan, prinsip-prinsip rasional logika dan filsafat
benar-benar telah membentuk anasir utama filsafat tersebut.
Menurut Khajawi, apa yang telah
dilakukan filosof kita ini atas anasir tersebut adalah: Pertama, mendalami
pandangan-pandangan filsafat, keagamaan, dan irfan dengan tidak memihaki
terlebih dahulu dari masing-masing unsur tersebut kecuali jika ia berdasarkan
argumentasi yang kuat. Untuk itu ia benar-benar menelaah kelebihan dan
kekurangan mulai dari filsafat Yunani, Persia, dan pandangan-pandangan
keagamaan Islam. Kedua, mengeliminasi dari masing-masing unsur di atas
ekstriminas dan dialektika tak berujungnya dengan berfokus pada pengetahuan
filsafatnya yang luas. Ketiga, mendalami pandangan-pandangan mazhab
kalam untuk mengeliminasi dialektikanya yang tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip logika yang benar dan sebaliknya mengambil pandangan-pandangan
dialektis Kalam yang sejalan dengannya. Keempat, mempelajari mazhab
tafsir Al-Quran yang dengannya diperoleh pengetahuan luas mengenai Kitab Ilahi
dan pandangan-pandangan keagamaan Islam yang untuk selanjutnya pengetahuan luas
tersebut dijadikan dukungan bagi pandangan-pandangan filosofisnya, sehingga ia
menjadikan mazhab-mazhab tafsir tersebut dan konklusi-konkulisinya sebagai
unsur dalam filsafatnya. Kelima, memikirkan persolan pengada (wujud)
sebagai persoalan yang mandiri. Keenam, dari perjuangan keras studi
pemikiran tanpa hentinya itu selanjutnya ia melahirkan sebuah metode baru
pemikiran yang didasarkan pada prinsip-prinsip holistik yang unik. Ketujuh, dengan
metode di atas tersingkaplah olehnya prinsip-prinsip filosofis dan ilmiah yang
baru serta banyak persoalan yang bernilai tinggi di seputar persoalan pengada
agung tanpa henti (al-wujud al-`azhim al-lamutanahi). Prinsip-prinsip
demikian telah mentransformasikan filsafat Islam kepada bentuknya yang baru
dengan berbasis nilai yang baru. Dari sinilah lahir Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah.
Sejalan dengan apa yang telah
dilakukannya di atas, maka anasir Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah seperti disimpulkan
oleh Muhammad Khajawi[2] adalah: Pertama,
logika formal (al-manthiq al-shuriyy) atau yang disebut dengan
logika Aristotelian. Kedua dan ketiga, pengada (wujud) yang oleh Mulla
Shadra dijadikan titik tolak bagi setiap pemikiran filsofisnya.
Persoalan-persoalan filosofis dibangun atas dasar-dasar dan kaidah-kaidah
pengada. Dasar-dasar dan kaidah-kaidah tersebut dijadikannya sebagai
prinsiip-prinsip awal (al-ushul al-awwaliyyah). Begitulah hal tersebut
sebagai salah satu unsur metode Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah yang menjadikan
filsafat sebagai manifestasi spesifik bagi prinsip-prinsip pengada. Dengan kata
lain, aksioma-aksioma tentang wujud itu merupakan prinsip bagi seluruh aksioma
metafisika; hakikat pengada adalah titik tolak prinsipal kepada seluruh
pemikiran dan realitas. Dengan demikian, menurut Khajawi, metode Al-Hikmah
Al-Muta`aliyyah adalah metode logika-matematis yang perjalanannya dimulai dari
sejumlah dasar dan prinsip yang aksiomatis (dharuriy). Keempat, ajaran-ajaran
keagamaan Islam. Kelima, prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran irfan. Dengan
begitu, Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah dapat dikatakan sebagai Falsafah yang Irfani
atau sebaliknya, Irfan yang Falsafi. Keenam, al-suluk al-irfani. Melalui
metode suluk irfani isyraqi ini Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah mengajarkan
kepada setiap salik (musafir ruhani) untuk menyingkapkan rahasia-rahasia dan
kebenaran-keberanan dzawqi dengan tetap berdasarkan pada `aql-nya.
Begitulah Mulla Shadra menjadikan suluk irfani isyraqi ini sebagai salah satu
metode pemikirannya yang transendental (muta`ali).
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1] Sebagai
sebuah istilah, Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah pertama kali digunakan oleh Ibnu
Sina. Mengenai hal ini, Muhsin Bidarfur menulis, “Agaknya orang yang pertama
kali menggunkana istilah ini adalah Ibnu Sina. Ia mengatakan hal itu dalam
fasal kesembilan, jilid III Al-Isyarat: “Tstimma in kana ma yaluhu dharb min
al-nazhar masturaan illa `ala al-rasikhin fi al-hikmah al-muta`aiyyah…”. Ditunjukkan
juga oleh Muhsin Bidarfur, ketika mengantarkan Tafsir Al-Quran Al-Karim karya
Mulla Shadra (1:22), bahwa istilah Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah ini juga digunakan
oleh Al-Thusi (dalam Syarh Al-Isyarat, 7:juz 3, p. 401) dan Al-Qayshari
dalam Syarh-nya atas Fushush Al-Hikam karya Ibnu `Arabi (Rasa`il Al-Qayshari,
p. 15; nushush falsafiyyah, p. 239.
[2] Dalam
pengantarnya kepada Mafatih Al-Ghaib Karya Mulla Shadra, cet. Muassasah
Muthala`at wa tahqiqat Farhang-e Anjuman Island Himat wa Falsafeh Iran, tt. p. mim
waw w-mim tha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar