Arsip
untuk Ilham dan Isyraq kategori
Rate This
Untuk lebih jauh memahami basis
pemikiran epistemologis Mazhab Hikmah, kita pun harus mencari tahu bagaimana
ilham dan isyraq itu sendiri menurut pandangan Al-Quran.
Al-Quran banyak menegaskan bahwa
kita harus menggunakan panca indera dan akal. Misalnya, firman Allah SWT: “Katakanlah,
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi…” (QS. 10:10). Peran ilham
dan isyraq dalam penyingkapan- penyingkapan gaib (al-futuhat
al-ghaibiyyah) dan perolehan kebenaran bisa kita simpulkan dari petunjuk
Al-Quran, hadis, penegasan para sufi, dan filosof Muslim.
Pertama, menurut Al-Quran, jika kita bertakwa, kita akan memperoleh
pembeda antara kebenaran dan kebatilan (furqan)(QS. 8:29), diberi jalan
keluar (makhraj)(QS. 65:2), dimudahkan urusan (QS. 65:4), diberi rahmat,
cahaya (nur) dan ampunan (QS. 57:28; QS. 6:122), akan memperoleh
pengajaran Tuhan (ta`limullah) (QS. 2:282), penyingkapan hati (al-ruyah
al-qalbiyyah) (QS. At-Takatsur, 102:3-4). Jika kita berada di atas hidayah
Allah, kita akan mendapatkan tambahan hidayah (ziyadah al-huda)(QS.
47:17; QS. 18:13), dan hati kita akan diteguhkan (rabth al-qalb)(QS.
18:14).
Kedua, hadis, seperti ditunjukkan oleh Jalaluddin Rakhmat,[1]
mengatakan: “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan
memberikan ilmu yang tidak diketahuinya;”[2]
“Takutilah firasat seorang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah;”[3]
“Adakah di antara kamu yang ingin diberi ilmu tanpa belajar dan petunjuk Tuhan
tanpa ditunjuki? Adakah di antara kamu yang ingin dihilangkan kebutaannya dan
dijadikan melihat? Ketahuilah, siapa yang zuhud dalam dunia dan pendek
angan-angan di dalamnya, Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan petunjuk
tanpa ditunjuki.”[4]
Ketiga, kaum sufi (‘urafa) telah menyingkap metodologi hati dalam
mendapatkan ilmu hudhuri. Menurut kaum sufi, hati adalah alat pengetahuan.
Mereka berpendapat bahwa manusia akan mampu mencapai istisyraq (ketercerahan)
dan istilham (ketersingkapan) jika mampu mencapai manazil al-sa`irin (kedudukan-
kedudukan para pejalan): kesadaran-diri (yaqzhah), taubat (tawbah),
mawas-diri (muhasabah), penyesalan (inabah), perenungan
(tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), berpegang
teguh kepada Allah (i`tisham), keterlepasan (inqitha`)dari
ikatan-ikatan duniawi, pengekangan hawa nafsu (kabh jimah al-nafs), dan
pengetahuan tentang latha`if. Menurut mereka, jika mata (bashar)hanya
mampu mengindari objek yang dekat dan tak terlekati daki dan hijab, maka
mata-kesadaran dan mata-batin (bashirah)mampu mengetahui objek yang jauh
dan menyingkapkan daki dan hijab.
Manazil al-sa`irin di atas akan mampu memberikan energi dan kemampuan kepada
jiwa untuk berhubungan dengan alam gaib. Dengan kata lain, bashirah mampu
menyingkap konsepsi-konsepsi dan makna-maknanya. Ia mampu mengilhamkan
gagasan-gagasan (mafahim)dan realitas-realitas (haqa`iq). Semua
itu tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa yang hanya menggunakan indera
dan akal sebagai alat pengetahuannya.
Begitulah metodologi hati (aliyyat
al-qalb) dalam memperoleh ilmu dan kebenaran hudhuri yang pasti benar; ilmu
yang mampu menerangi aktivitas seseorang untuk terhindar dari lorong gelap
jebakan setan dan iblis; ilmu yang sangat dirindukan oleh setiap orang saleh
dan peyakin tawhid al-haqq, ketika sangat tamak untuk menghindarkan diri
kemanusiaan yang tercemar dan untuk mencapai puncak spiritual.
Sehubungan dengan bahaya yang akan
menimpa peradaban manusia jika aktivitas kemanusiaannya tak tercahayai oleh nur
Ilahi, Komaruddin Hidayat, dengan meminjam teori cermin Al-Ghazali, mengatakan:
“Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi oleh cahaya keilahian bagaikan
orang yang berjalan di atas lorong setan yang gelap. Sebaliknya, orang yang
hanya sekadar percaya pada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat agung
Tuhan di dalam dirinya, bagaikan iblis.”[5]
Keempat, perspektif kaum filosof. Dalam Al-Isyarat, sebagaimana
dikutip Syaikh Ja`far Al-Subhani dalam Nazhariyyat Al-Ma`rifah, Ibn Sina
mengatakan: “Kaum arif memiliki kedudukan-kedudukan (maqamat)dan
tingkat-tingkat (darajat) yang khusus untuknya. Kehidupan dunia mereka berbeda
dengan yang lainnya. Mereka seakan- akan terbungkus oleh bungkus-bungkus (jalabib)tubuh
mereka tapi telah keluar dan mengabstraksikan diri darinya untuk menuju `alam
al-quds. Mereka memiliki persoalan-persoalan batiniah (bathini)dalam
diri mereka dan persoalan-persialan lahiriah (zhahiri)yang ditolak oleh
para penolaknya dan diagungkan oleh orang yang mengetahuinya.” Ibn Sina juga
mengatakan: “Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang arif bercerita tentang
sesuatu yang gaib dan benar, menyuguhkan kabar gembira (busyra)dan
peringatan (nadzir)dan dibenarkan, maka tidaklah sulit untuk Anda
percayai. Sesungguhnya dalam mazhab-mazhab fisika, dalam hal demikian, terdapat
sebab-sebab yang diketahui.”
Selanjutnya, menurut Ibn Sina, jiwa
yang kuat, jika mampu menguasai kesibukan- kesibukan inderawi, akan mampu
berhubungan dengan alam al-quds. Di dalamnya akan terlukislah
konsepsi-konsepsi dan makna-makna dari alam tersebut yang kemudian kembali
serta memberitakan apa yamg diketahuinya. Maka ketenggelaman di alam fisika dan
penyibukan diri dengan persoalan-persoalan inderawi akan merintangi hubungannya
dengan alam al-quds itu. Dengan kata lain, menurut Ibn Sina, semakin
jiwa itu menguat, maka kesibukan inderawi (al-mahakiyyaf)akan semakin
melemah, dan vice versa.
Demikian juga, dalam Al-Asfar[6]Mulla
Shadra menegaskan probabilitas ilham dan isyraq dengan
mengatakan: “Pada dasarnya, jika ruh manusia terabstraksikan dari badan karena
berhijrah kepada Rabb-nya untuk menyingkap ayat-ayat-Nya yang agung, dan jika
ia menyucikan diri dari kemaksiatan, syahwat, dan ta`alluqat (keterikatan
kepada yang semata-mata duniawi), maka akan terpancarlah cahaya pengetahuan dan
iman kepada Allah dan malakut-Nya yang luhur. Cahaya ini, jika meneguh dan
mensubstansi, akan menjadi substansi suci (al-jawhar al-qudsi). Oleh
para filosof, dalam filsafat teoritis, ini disebut Intelek Aktif (Al-Aql
Al-Fa`al)dan dalam bahasa Syariat Nabi disebut ruh suci (al-ruh al-qudsi).
Jika jiwa menolak dakwaan-dakwaan tabiat dan kegelapan hawa nafsu,
bertawalli secara sempurna kepada kebenaran, menghadapkan diri ke alam malakut,
maka ia akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat luhur. Ketika itulah rahasia
malakut tersingkap, dan terpantullah kepada jiwa tersebut kekudusan (alam) lahut.“
Sebagai alat pengetahuan, akal atau
rasio dan indera karena keterbatasan keduanya, tidak dipandang mutlak cukup
oleh Islam. Walaupun rasio bisa melahirkan pengetahuan yang universal, ia tidak
mampu menyingkap realitas supralogis. Sedangkan indra mampu melahirkan
pengetahuan yang parsial terbatas oleh ruang dan waktu. Untuk melengkapi
keduanya, kita memerlukan alat pengetahuan yang lain, yakni hati. Tentu, ini
dimaksudkan untuk bergandengan dengan kebenaran wahyu Al-Quran yang ditawarkan
oleh para teolog. Dengan demikian, sehubungan dengan kebenaran, kita bisa
menyebut: kebenaran wahyu (yang dibawa oleh para rasul dan nabi), kebenaran
rasional (yang dibawa oleh filosof), kebenaran indra dan ayawiyyah (manusia
biasa), dan kebenaran mistis atau kasyf (para sufi).
Dengan kata lain, kebenaran wahyu
tidak bisa dipertentangkan dengan kebenaran yang dicapai oleh akal, indra,
sejarah, dan penyingkapan mistis (isyraq dan ilham).
Selanjutnya, apa perbedaan antara
wahyu dan isyraq atau ilham?Syeikh Ja`far Al-Subhani, dalam Nazhariyyat
Al-Ma`rifah, mengatakan: “Perbedaan wahyu dengan ilham dan isyraq
ialah: wahyu mengandung pengajaran menyangkut domain kredo (aqidah) dan
aksi (`amal). Dan yang diberi wahyu adalah nabi yang diutus oleh Pencipta untuk
mendidik manusia dan menyucikan mereka. Berbeda dengan ilham dan isyraq.
Keduanya tidak mengandung tasyri` (pensyariatan) dan taqnin (pengundangan).
Dan yang diberi ilham bukan seorang yang diutus sebagai nabi oleh Allah
SWT untuk menyampaikan apa yang diilhamkan kepada mereka.”
Keyakinan bahwa akal, indera, dan
hati bisa diharmoniskan dan disintesakan dengan wahyu dalam mencapai kebenaran
demikian telah melahirkan aliran filsafat-sufistik dan sufisme-filosofis. Yang
pertama dipelopori oleh Suhrawardi Al-Maqtul, dengan mazhab Isyraqiyyah (Iluminasionisme)-nya,
dan Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hikmah Al-Ilahiyyah (teosofi)-nya, dan
yang kedua dipelopori oleh Bayazid (Abu Yazid Al-Busthami, red.), Rumi
dan—meminjam istilah William C. Chittick—“Kutub Penyingkapan” Ibn `Arabi.
Harun Nasution, seperti ditegaskan
oleh Dr. Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa, dalam epistemologi Islam, ada tiga
jalan untuk memperoleh pengetahuan: pancaindera, akal, dan kalbu. Indera yang
lima mampu mengetahui obyek yang abstrak, dan kalbu mampu mengetahui
objek-objek yang supralogis. Objek yang supralogis ini bila dimasuki akal, maka
akal itu akan tersesat dalam daerah antinomi.[7]
Epistemologi Islam berbeda dengan
Epistemologi sensualisme, idealisme, dan materialisme. Jika yang pertama
menyatakan alat ilmu itu hanya indera dan yang kedua menyatakan hanya rasio,
maka Islam membenarkan dan tanpa memutlakkan keduanya. Selanjutnya, jika
materialisme hanya mengakui ilmu empiris, menolak ilmu metafisis, alam gaib,
maka Islam menerima semuanya. Wilayah jelajah Islam bukan hanya alam fisika,
melainkan juga alam metafisika; bukan hanya alam nasut, melainkan juga
alam alam malakut, jabarut, dan lahut; bukan hanya alam syahadah,
melainkanjuga alam gaib.
Menurut Islam, mahur (poros, red.)pemahaman
alam syahadah pada dasarnya demi pemahaman alam gaib. Karenanya, mahur
Islam bukanlah manusia, melainkan Tuhan. Mengenal manusia (al-ma`rifah
al-insaniyyah)pada dasamya merupakan perjalanan menuju pengenalan yang
lebih tinggi, yaitu mengenal Allah (al-ma`rifah al-ilahiyyah). Kesimpulan
demikian bisa kita simpulkan dari diktum Nabi saw., “Man `arafa nafsahu,
faqad `arafa rabbahu—Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal
Tuhannya..” Dengan kata lain, al-ma`rifah al-insaniyyah bukanlah
penghujung ma`rifat Islam, melainkan penghujung ma`rifat humanisme. Kendati
Islam menerima unsur positif humanisme, tak pelak lagi Islam jelas bukan
humanisme. Mahur Islam bukan humanisme, meskipun ontologi Islam yang
dikembangkan oleh tasawuf mencakup kesadaran dan pengetahuan diri: maqamat dan
ahwal eksistensinya. Namun, semua itu di dalam perjalanan menuju
“kemenyatuan” diri dengan Tuhan. Lari menuju Tuhan (QS. 51:50) barus selalu
menjadi jawaban ketika Al-Quran bertanya kepada kita: “Fa ayna tadzhabun—Kemana
kalian berlari?” Inilah perbedaan ontologi Islam dengan semua paham, mazhab
pemikiran, dan filsafat yang disemangati oleh materialisme. Tegasnya,
epistemologi Islam menegaskan bahwa manusia tidak hanya dipandang bisa
mendapatkan ilmu secara hushuli (empiris dan rasional). Menurut Islam,
ilmu juga bisa didapatkan secara hudhuri (non-empiris dan irasional).
Tidak semua ilmu harus melalui mediasi akal dan indera. Sebab banyak ilmu yang
supralogis dan tidak tunduk kepada eksperimen. la hanya bisa diperoleh melalui
penyucian spiritual: penyucian diri (QS. 35:18; QS. 87:14;QS. 91:9),
pembersihan hati (QS. 26:89; QS. 37:84; QS. 50:33), pelepasan diri dari
ikatan-ikatan duniawi (QS. 3:14 & 185; QS. 6:33 & 70; QS. 9:38: QS.
10:7 & 24; QS. 18:45; QS. 2967; QS. Luqman, [31]:33; QS. 57:20; QS. 79:38;
QS. Al-A`la[87]:16), dan cinta (QS. 5:54; QS. 2:165:QS. 19:96; QS. 5:119; QS.
58:22; QS. 98:8).
Dengan kata lain, menurut perspektif
tasawuf gnostisisme (irfan), manusia bisa memperoleh kapasitas
untuk mengetahui alam gaib—alam yang tidak sanggup dijelajah, dipahami, dan
didekati oleh metode rasional dan empiris. Sebab, memang ada yang tidak bisa
tunduk kepada eksperimen dan tidak pernah bisa rasional- spekulatif. Kerananya,
dalam perspektif tasawuf, wilayah batin menjadi inti pembahasannya. Kesucian
batin manusia yang paling dalam hanya bisa dipahami melalui ilham dan isyraq,melalui
metodologi hati. Sebut saja, alam maknawi, realitas sejati, hakikat-hakikat dan
konsepsi-konsepsi yang hanya bisa dicermati oleh kaum arif (`urafa)dan
para wali (awliya). Caranya ialah bukan dengan mengeksperimen
suatu objek dan memikirkannya dengan spekulasi rasional, melainkan dengan
latihan- latihan spiritual (riyadhah); tazkiyah al-qalb (menyucikan
hati) dan tark al-ma`ashi (meninggalkan kemaksiatan).
Islam menegaskan bahwa ilmu hudhuri
takan diberikan kepada orang-orang yang penuh dengan berbagai kotoran jiwa
(radza`il al-awshaf). Inilah ilmu yang epistemologinya dibangun
atas pengalaman yang metainderawi dan meta-syuhudi. Ilmu jenis demikian
bukan produksi mode kesadaran objektif, melainkan lahir dari mode kesadaran
paling subjektif sehingga tidak bisa dikomunikasikan. Karena pengalaman
keberagamaan demikian tidak akan mampu diwadahi oleh bahasa lisan. la hanya
terwadahi oleh “perasaan secara langsung” (dzawqi).
Dengan kata lain, ilmu hushuli lahir
dari analisis rasional, faktual dan dari abstraksi kuantitatif-matematis yang
kondusif untuk bersifat mekanistik dan reduksionis atau ilmu yang lahir karena
penggunaan potensi jasmani dan akal. Sementara itu, ilmu hudhuri ialah
ilmu yang sangat mistik dan transendental—ilmu yang diperoleh melalui pengembangan
terutama potensi ruhani.
Menurut teori cermin yang diyakini
oleh kaum arif (`urafa), manusia itu laksana cermin yang mampu
memantulkan segala realitas dari alam gaib ketika jiwa tidak terhijab oleh
dekil-dekil refleksional dan aksional, atau ketika unsur sensorik dan motorik
tuna-suci sudah ter-nasakh oleh mujahadah dan syahadah
qalbiyyah yang berpuncak pada mukasyafah.
Probabilitas didapatkannya ilmu hudhuri,
menurut kaum arif (`urafa), bisa diperjuangkan melalui
pemenuhan syarat-syarat yang lazim: pertama, pemenuhan kekurangan yang
bersifat esensial; kedua, penyucian jiwa dari karat natural dan moral; ketiga,
konsentrasi jiwa secara integral ke alam gaib-samawi dan dengan menyertakan
kekhusyukan pemikiran atas yang dikehendaki; keempat, tidak menenggelamkan
diri ke dalam persoalan-persoalan duniawi dan sekuler; kelima, pembebasan
diri dari sikap ta`ashshub dan taqlid yang tiranik; dan keenam,
menyiapkan pendahulu-pendahulu bagi pencapaiannya berdasarkan tertib
tertentu dan syarat-syarat yang telah digariskan.
Andaikan syarat itu sudah dimiliki
oleh seseorang, ketika itu, ia sudah mencapai kapasitas yang kondusif bagi
didapatkannya ilham dan isyraq. Berikut ini adalah penegasan
William C. Chittick sekitar premis epistemologi para sufi: “Para sufi, seperti
Bayazid, Rumi, dan Ibn Arabi, berpendapat bahwa intelek manusia yang terbatas
saja tidaklah memadai dan dapat menyesatkan, dan bahwa manusia tidak akan dapat
mencapai kebenaran akhir tanpa suatu pengetahuan yang personal, mendalam, dan
langsung yang berasal dari penyingkapan sebagian atau semua tirai (hijab)yang
memisahkan manusia dari Tuhan. Menurut pandangan mereka, pengetahuan itu
diberikan oleh Tuhan sendiri kepada hamba pilihan-Nya, dan harus didasarkan
pada dukungan lahiriyah atas wahyu-Nya kepada manusia, yakni Al-Quran. Mereka
menyebut pengetahuan ini dengan nama-nama seperti ‘penyingkapan’ (kasyf),
‘pandangan langsung’ (syuhud), dan ‘kontemplasi’ (musyahadah),
dan ‘merasakan secara langsung’ (dzawq)”
Inti pemikiran di atas, dalam
bentuknya yang modern dan holistik, bisa kita lacak juga dalam mazhab
Illuminasionisme (Isyraqiyyah)Suhrawardi Al-Maqtul, filsafat mistik Ibn
Arabi, dan mazhab Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah Mulla Shadra. Pada
tokoh-tokoh inilah kita menyaksikan sintesa syariah, filsafat, dan sufisme.
Mazhab mereka tidak hanya berbicara sufisme Bayazidian, Rumian, dan Ghazalian.
Sebab, mazhab mereka pun diperkaya dengan ranah filosofis.
Dengan kata lain, mereka pun
mewarisi pemikiran filsafat Al-Kindi, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Terutama di
tangan Mulla Shadra-lah bagaimana filsafat Islam laik mengklaim sebagai pelahir
filsafat ilmu (epistemologi) yang orisinal. Potensi inderawi, akali, dan hati
merupakan potensi insani yang mampu menyingkap hakikat kebenaran, bergandengan
dengan kebenaran samawi yang dimanifestasikan dalam bentuk pesan-pesan Tuhan
yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya yang diberikan kepada para nabi yang kita
sebut wahyu.
Dalam mazhab Al-Hikmah
Al-Muta`aliyah Mulla Shadra, memang, dikotomi filsafat dan tasawuf, seperti
disimpulkan oleh Hossein Nasr, akan sulit teridentifikasi. la telah berhasil
memuncakkan sufisme-filosofis dan filsafat-sufistik, setelah sebelumnya sufisme
dipuncakan oleh Al-Ghazali sebagai sufisme etik yang sudah diharmoniskan dengan
syariah. Ditegaskan oleh Zainal Abidin, sewaktu menyimpulkan pandangan Nasr
tentang Mulla Shadra: “Menurut Nasr, pada figur Mulla Shadra ini, orang akan
sulit mengidentifikasikannya: apakah ia seorang filosof yang mencintai tasawuf
atau seorang sufi yang mencintai filsafat? Dan disiplinnya pun tak bisa lagi
disebut sebagai filsafat atau tasawuf. Disiplin ini lebih tepat disebut hikmah.”
Demikianlah tradisi ma`rifah (gnostisisme)
yang menurut Nasr: “In the Islamic World, the highest form of knowledge has
never been any single science, or scientia, which remains at the discursive
level, but the ‘wisdom of the saints, ‘or sapientia,which ultimately means
gnosis.”[8]
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1]
Jalaluddin Rakhmat, “Tasawuf dalam Al-Quran dan Sunnah,” makalah untuk Kuliah
Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[2]
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid III, hlm. 22).
[3]
Ibid, hlm. 23.
[4]
Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur fi Af-Tqfsir bi Al-Ma`tsur, jilid
I, hlm. 67; Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba`i, Tafsir Al-Mizan, jilid
IV, hlm. 259.
[5]
Dr. Komaruddin Hidayat, “Makna Tasawuf dalam Perspektif Transformasi Sosial,”
makalah untuk Paket Kuliah Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[6]
Al-Asfar Al-Arba`ah, jilid VII, hlm 24-25.
[7]
Dr. Ahmad Tafsir, “Tasawuf Sebagai Suatu Efistemologi: Definisi, Pertumbuhan,
dan Pendorongnya.” Makalah untuk Paket Kuliah Tasawuf I. Yayasan
Muthahhari, 1992, hlm. 11.
[8]
Zainal Abidin. “Intelektualisme dan Tasawuf” yang dimuat dalam jurnal Al-Hikmah
No. 5, edisi Maret-Juni 1992, hlm. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar