Selasa, 11 Juni 2013

Arsip Untuk Ilham dan Isyraq Mulla Shadra



Arsip untuk Ilham dan Isyraq kategori
Posted in Ilham dan Isyraq on November 30, 2010 by isepmalik






Rate This

Untuk lebih jauh memahami basis pemikiran epistemologis Mazhab Hikmah, kita pun harus mencari tahu bagaimana ilham dan isyraq itu sendiri menurut pandangan Al-Quran.
Al-Quran banyak menegaskan bahwa kita harus menggunakan panca indera dan akal. Misalnya, firman Allah SWT: “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi…” (QS. 10:10). Peran ilham dan isyraq dalam penyingkapan- penyingkapan gaib (al-futuhat al-ghaibiyyah) dan perolehan ke­benaran bisa kita simpulkan dari petunjuk Al-Quran, hadis, penegasan para sufi, dan filosof Muslim.
Pertama, menurut Al-Quran, jika kita bertakwa, kita akan memperoleh pembeda antara kebenaran dan kebatilan (furqan)(QS. 8:29), diberi jalan keluar (makhraj)(QS. 65:2), dimudahkan urusan (QS. 65:4), diberi rahmat, cahaya (nur) dan ampunan (QS. 57:28; QS. 6:122), akan memperoleh pengajaran Tuhan (ta`limullah) (QS. 2:282), penyingkapan hati (al-ruyah al-qalbiyyah) (QS. At-Takatsur, 102:3-4). Jika kita berada di atas hidayah Allah, kita akan mendapatkan tambahan hidayah (ziyadah al-huda)(QS. 47:17; QS. 18:13), dan hati kita akan diteguhkan (rabth al-qalb)(QS. 18:14).
Kedua, hadis, seperti ditunjukkan oleh Jalaluddin Rakhmat,[1] mengatakan: “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan memberikan ilmu yang tidak diketahuinya;”[2] “Takutilah firasat seorang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah;”[3] “Adakah di antara kamu yang ingin diberi ilmu tanpa belajar dan petunjuk Tuhan tanpa ditunjuki? Adakah di antara kamu yang ingin dihilangkan kebutaannya dan dijadikan melihat? Ketahuilah, siapa yang zuhud dalam dunia dan pendek angan-angan di dalamnya, Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan petunjuk tanpa ditunjuki.”[4]
Ketiga, kaum sufi (‘urafa) telah menyingkap metodologi hati dalam mendapatkan ilmu hudhuri. Menurut kaum sufi, hati adalah alat pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa manusia akan mampu mencapai istisyraq (ketercerahan) dan istilham (ketersingkapan) jika mampu mencapai manazil al-sa`irin (kedudukan- kedudukan para pejalan): kesadaran-diri (yaqzhah), taubat (tawbah), mawas-diri (muhasabah), penyesalan (inabah), perenungan (tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), berpegang teguh kepada Allah (i`tisham), keterlepasan (inqitha`)dari ikatan-ikatan duniawi, pengekangan hawa nafsu (kabh jimah al-nafs), dan pengetahuan tentang latha`if. Menurut mereka, jika mata (bashar)hanya mampu mengindari objek yang dekat dan tak terlekati daki dan hijab, maka mata-kesadaran dan mata-batin (bashirah)mampu mengetahui objek yang jauh dan menyingkapkan daki dan hijab.
Manazil al-sa`irin di atas akan mampu memberikan energi dan kemampuan kepada jiwa untuk berhubungan dengan alam gaib. Dengan kata lain, bashirah mampu menyingkap konsepsi-konsepsi dan makna-maknanya. Ia mampu mengilhamkan gagasan-gagasan (mafahim)dan realitas-realitas (haqa`iq). Semua itu tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa yang hanya menggunakan indera dan akal sebagai alat pengetahuannya.
Begitulah metodologi hati (aliyyat al-qalb) dalam memperoleh ilmu dan kebenaran hudhuri yang pasti benar; ilmu yang mampu menerangi aktivitas seseorang untuk terhindar dari lorong gelap jebakan setan dan iblis; ilmu yang sangat dirindukan oleh setiap orang saleh dan peyakin tawhid al-haqq, ketika sangat tamak untuk menghindarkan diri kemanusiaan yang tercemar dan untuk mencapai puncak spiritual.
Sehubungan dengan bahaya yang akan menimpa peradaban manusia jika aktivitas kemanusiaannya tak tercahayai oleh nur Ilahi, Komaruddin Hidayat, dengan meminjam teori cermin Al-Ghazali, mengatakan: “Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi oleh cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan di atas lorong setan yang gelap. Sebaliknya, orang yang hanya sekadar percaya pada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat agung Tuhan di dalam dirinya, bagaikan iblis.”[5]
Keempat, perspektif kaum filosof. Dalam Al-Isyarat, sebagaimana dikutip Syaikh Ja`far Al-Subhani dalam Nazhariyyat Al-Ma`rifah, Ibn Sina mengatakan: “Kaum arif memiliki kedudukan-kedudukan (maqamat)dan tingkat-tingkat (darajat) yang khusus untuknya. Kehidupan dunia mereka berbeda dengan yang lainnya. Mereka seakan- akan terbungkus oleh bungkus-bungkus (jalabib)tubuh mereka tapi telah keluar dan mengabstraksikan diri darinya untuk menuju `alam al-quds. Mereka memiliki persoalan-persoalan batiniah (bathini)dalam diri mereka dan persoalan-persialan lahiriah (zhahiri)yang ditolak oleh para penolaknya dan diagungkan oleh orang yang mengetahuinya.” Ibn Sina juga mengatakan: “Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang arif bercerita tentang sesuatu yang gaib dan benar, menyuguhkan kabar gembira (busyra)dan peringatan (nadzir)dan dibenarkan, maka tidaklah sulit untuk Anda percayai. Sesungguhnya dalam mazhab-mazhab fisika, dalam hal demikian, terdapat sebab-sebab yang diketahui.”
Selanjutnya, menurut Ibn Sina, jiwa yang kuat, jika mampu menguasai kesibukan- kesibukan inderawi, akan mampu berhubungan dengan alam al-quds. Di dalamnya akan terlukislah konsepsi-konsepsi dan makna-makna dari alam tersebut yang kemudian kembali serta memberitakan apa yamg diketahuinya. Maka ketenggelaman di alam fisika dan penyibukan diri dengan persoalan-persoalan inderawi akan merintangi hubungannya dengan alam al-quds itu. Dengan kata lain, menurut Ibn Sina, semakin jiwa itu menguat, maka kesibukan inderawi (al-mahakiyyaf)akan semakin melemah, dan vice versa.
Demikian juga, dalam Al-Asfar[6]Mulla Shadra menegaskan probabilitas ilham dan isyraq dengan mengatakan: “Pada dasarnya, jika ruh manusia terabstraksikan dari badan karena berhijrah kepada Rabb-nya untuk menyingkap ayat-ayat-Nya yang agung, dan jika ia menyucikan diri dari kemaksiatan, syahwat, dan ta`alluqat (keterikatan kepada yang semata-mata duniawi), maka akan terpancarlah cahaya pengetahuan dan iman kepada Allah dan malakut-Nya yang luhur. Cahaya ini, jika meneguh dan mensubstansi, akan menjadi substansi suci (al-jawhar al-qudsi). Oleh para filosof, dalam filsafat teoritis, ini disebut Intelek Aktif (Al-Aql Al-Fa`al)dan dalam bahasa Syariat Nabi disebut ruh suci (al-ruh al-qudsi). Jika jiwa menolak dakwaan-dakwaan tabiat dan kegelapan hawa nafsu, bertawalli secara sempurna kepada kebenaran, menghadapkan diri ke alam malakut, maka ia akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat luhur. Ketika itulah rahasia malakut tersingkap, dan terpantullah kepada jiwa tersebut kekudusan (alam) lahut.
Sebagai alat pengetahuan, akal atau rasio dan indera karena keterbatasan keduanya, tidak dipandang mutlak cukup oleh Islam. Walaupun rasio bisa melahirkan pengetahuan yang universal, ia tidak mampu menyingkap realitas supralogis. Sedangkan indra mampu melahirkan pengetahuan yang parsial terbatas oleh ruang dan waktu. Untuk melengkapi keduanya, kita memerlukan alat pengetahuan yang lain, yakni hati. Tentu, ini dimaksudkan untuk bergandengan dengan kebenaran wahyu Al-Quran yang ditawarkan oleh para teolog. Dengan demikian, sehubungan dengan kebenaran, kita bisa menyebut: kebenaran wahyu (yang dibawa oleh para rasul dan nabi), kebenaran rasional (yang dibawa oleh filosof), kebenaran indra dan ayawiyyah (manusia biasa), dan kebenaran mistis atau kasyf (para sufi).
Dengan kata lain, kebenaran wahyu tidak bisa dipertentangkan dengan ke­benaran yang dicapai oleh akal, indra, sejarah, dan penyingkapan mistis (isyraq dan ilham).
Selanjutnya, apa perbedaan antara wahyu dan isyraq atau ilham?Syeikh Ja`far Al-Subhani, dalam Nazhariyyat Al-Ma`rifah, mengatakan: “Perbedaan wah­yu dengan ilham dan isyraq ialah: wahyu mengandung pengajaran menyangkut domain kredo (aqidah) dan aksi (`amal). Dan yang diberi wahyu adalah nabi yang diutus oleh Pencipta untuk mendidik manusia dan menyucikan mereka. Berbeda dengan ilham dan isyraq. Keduanya tidak mengandung tasyri` (pensyariatan) dan taqnin (pengundangan). Dan yang diberi ilham bukan seorang yang diutus sebagai nabi oleh Allah SWT untuk menyampaikan apa yang diilhamkan kepada mereka.”
Keyakinan bahwa akal, indera, dan hati bisa diharmoniskan dan disintesakan dengan wahyu dalam mencapai kebenaran demikian telah melahirkan aliran filsafat-sufistik dan sufisme-filosofis. Yang pertama dipelopori oleh Suhrawardi Al-Maqtul, dengan mazhab Isyraqiyyah (Iluminasionisme)-nya, dan Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hikmah Al-Ilahiyyah (teosofi)-nya, dan yang kedua dipelopori oleh Bayazid (Abu Yazid Al-Busthami, red.), Rumi dan—meminjam istilah William C. Chittick—“Kutub Penyingkapan” Ibn `Arabi.
Harun Nasution, seperti ditegaskan oleh Dr. Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa, dalam epistemologi Islam, ada tiga jalan untuk memperoleh pengetahuan: pancaindera, akal, dan kalbu. Indera yang lima mampu mengetahui obyek yang abstrak, dan kalbu mampu mengetahui objek-objek yang supralogis. Objek yang supralogis ini bila dimasuki akal, maka akal itu akan tersesat dalam daerah antinomi.[7]
Epistemologi Islam berbeda dengan Epistemologi sensualisme, idealisme, dan materialisme. Jika yang pertama menyatakan alat ilmu itu hanya indera dan yang kedua menyatakan hanya rasio, maka Islam membenarkan dan tanpa memutlakkan keduanya. Selanjutnya, jika materialisme hanya mengakui ilmu empiris, menolak ilmu metafisis, alam gaib, maka Islam menerima semuanya. Wilayah jelajah Islam bukan hanya alam fisika, melainkan juga alam metafisika; bukan hanya alam nasut, melainkan juga alam alam malakut, jabarut, dan lahut; bukan hanya alam syahadah, melainkanjuga alam gaib.
Menurut Islam, mahur (poros, red.)pemahaman alam syahadah pada dasarnya demi pemahaman alam gaib. Karenanya, mahur Islam bukanlah manusia, melainkan Tuhan. Mengenal manusia (al-ma`rifah al-insaniyyah)pada dasamya merupakan perjalanan menuju pengenalan yang lebih tinggi, yaitu mengenal Allah (al-ma`rifah al-ilahiyyah). Kesimpulan demikian bisa kita simpulkan dari diktum Nabi saw., “Man `arafa nafsahu, faqad `arafa rabbahu—Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya..” Dengan kata lain, al-ma`rifah al-insaniyyah bukanlah penghujung ma`rifat Islam, melainkan penghujung ma`rifat humanisme. Kendati Islam menerima unsur positif humanisme, tak pelak lagi Islam jelas bukan humanisme. Mahur Islam bukan humanisme, meskipun ontologi Islam yang dikembangkan oleh tasawuf mencakup kesadaran dan pengetahuan diri: maqamat dan ahwal eksistensinya. Namun, semua itu di dalam perjalanan menuju “kemenyatuan” diri dengan Tuhan. Lari menuju Tuhan (QS. 51:50) barus selalu menjadi jawaban ketika Al-Quran bertanya kepada kita: “Fa ayna tadzhabun—Kemana kalian berlari?” Inilah perbedaan ontologi Islam dengan semua paham, mazhab pemikiran, dan filsafat yang disemangati oleh materialisme. Tegasnya, epistemologi Islam menegaskan bahwa manusia tidak hanya dipandang bisa mendapatkan ilmu secara hushuli (empiris dan rasional). Menurut Islam, ilmu juga bisa didapatkan secara hudhuri (non-empiris dan irasional). Tidak semua ilmu harus melalui mediasi akal dan indera. Sebab banyak ilmu yang supralogis dan tidak tunduk kepada eksperimen. la hanya bisa diperoleh melalui penyucian spiritual: penyucian diri (QS. 35:18; QS. 87:14;QS. 91:9), pembersihan hati (QS. 26:89; QS. 37:84; QS. 50:33), pelepasan diri dari ikatan-ikatan duniawi (QS. 3:14 & 185; QS. 6:33 & 70; QS. 9:38: QS. 10:7 & 24; QS. 18:45; QS. 2967; QS. Luqman, [31]:33; QS. 57:20; QS. 79:38; QS. Al-A`la[87]:16), dan cinta (QS. 5:54; QS. 2:165:QS. 19:96; QS. 5:119; QS. 58:22; QS. 98:8).
Dengan kata lain, menurut perspektif tasawuf gnostisisme (irfan), manusia bisa memperoleh kapasitas untuk mengetahui alam gaib—alam yang tidak sanggup dijelajah, dipahami, dan didekati oleh metode rasional dan empiris. Sebab, memang ada yang tidak bisa tunduk kepada eksperimen dan tidak pernah bisa rasional- spekulatif. Kerananya, dalam perspektif tasawuf, wilayah batin menjadi inti pembahasannya. Kesucian batin manusia yang paling dalam hanya bisa dipahami melalui ilham dan isyraq,melalui metodologi hati. Sebut saja, alam maknawi, realitas sejati, hakikat-hakikat dan konsepsi-konsepsi yang hanya bisa dicermati oleh kaum arif (`urafa)dan para wali (awliya). Caranya ialah bukan dengan mengeksperimen suatu objek dan memikirkannya dengan spekulasi rasional, melainkan dengan latihan- latihan spiritual (riyadhah); tazkiyah al-qalb (menyucikan hati) dan tark al-ma`ashi (meninggalkan kemaksiatan).
Islam menegaskan bahwa ilmu hudhuri takan diberikan kepada orang-orang yang penuh dengan berbagai kotoran jiwa (radza`il al-awshaf). Inilah ilmu yang epistemologinya dibangun atas pengalaman yang metainderawi dan meta-syuhudi. Ilmu jenis demikian bukan produksi mode kesadaran objektif, melainkan lahir dari mode kesadaran paling subjektif sehingga tidak bisa dikomunikasikan. Karena pengalaman keberagamaan demikian tidak akan mampu diwadahi oleh bahasa lisan. la hanya terwadahi oleh “perasaan secara langsung” (dzawqi).
Dengan kata lain, ilmu hushuli lahir dari analisis rasional, faktual dan dari abstraksi kuantitatif-matematis yang kondusif untuk bersifat mekanistik dan reduksionis atau ilmu yang lahir karena penggunaan potensi jasmani dan akal. Sementara itu, ilmu hudhuri ialah ilmu yang sangat mistik dan transendental—ilmu yang diperoleh melalui pengembangan terutama potensi ruhani.
Menurut teori cermin yang diyakini oleh kaum arif (`urafa), manusia itu laksana cermin yang mampu memantulkan segala realitas dari alam gaib ketika jiwa tidak terhijab oleh dekil-dekil refleksional dan aksional, atau ketika unsur sensorik dan motorik tuna-suci sudah ter-nasakh oleh mujahadah dan syahadah qalbiyyah yang berpuncak pada mukasyafah.
Probabilitas didapatkannya ilmu hudhuri, menurut kaum arif (`urafa), bisa diperjuangkan melalui pemenuhan syarat-syarat yang lazim: pertama, pemenuhan kekurangan yang bersifat esensial; kedua, penyucian jiwa dari karat natural dan moral; ketiga, konsentrasi jiwa secara integral ke alam gaib-samawi dan dengan menyertakan kekhusyukan pemikiran atas yang dikehendaki; keempat, tidak menenggelamkan diri ke dalam persoalan-persoalan duniawi dan sekuler; kelima, pembebasan diri dari sikap ta`ashshub dan taqlid yang tiranik; dan keenam, menyiapkan pendahulu-pendahulu bagi pencapaiannya berdasarkan tertib tertentu dan syarat-syarat yang telah digariskan.
Andaikan syarat itu sudah dimiliki oleh seseorang, ketika itu, ia sudah mencapai kapasitas yang kondusif bagi didapatkannya ilham dan isyraq. Berikut ini adalah penegasan William C. Chittick sekitar premis epistemologi para sufi: “Para sufi, seperti Bayazid, Rumi, dan Ibn Arabi, berpendapat bahwa intelek manusia yang terbatas saja tidaklah memadai dan dapat menyesatkan, dan bahwa manusia tidak akan dapat mencapai kebenaran akhir tanpa suatu pengetahuan yang personal, mendalam, dan langsung yang berasal dari penyingkapan sebagian atau semua tirai (hijab)yang memisahkan manusia dari Tuhan. Menurut pandangan mereka, pengetahuan itu diberikan oleh Tuhan sendiri kepada hamba pilihan-Nya, dan harus didasarkan pada dukungan lahiriyah atas wahyu-Nya kepada manusia, yakni Al-Quran. Mereka menyebut pengetahuan ini dengan nama-nama seperti ‘penyingkapan’ (kasyf), ‘pandangan langsung’ (syuhud), dan ‘kontemplasi’ (musyahadah), dan ‘merasakan secara langsung’ (dzawq)”
Inti pemikiran di atas, dalam bentuknya yang modern dan holistik, bisa kita lacak juga dalam mazhab Illuminasionisme (Isyraqiyyah)Suhrawardi Al-Maqtul, filsafat mistik Ibn Arabi, dan mazhab Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah Mulla Shadra. Pada tokoh-tokoh inilah kita menyaksikan sintesa syariah, filsafat, dan sufisme. Mazhab mereka tidak hanya berbicara sufisme Bayazidian, Rumian, dan Ghazalian. Sebab, mazhab mereka pun diperkaya dengan ranah filosofis.
Dengan kata lain, mereka pun mewarisi pemikiran filsafat Al-Kindi, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Terutama di tangan Mulla Shadra-lah bagaimana filsafat Islam laik mengklaim sebagai pelahir filsafat ilmu (epistemologi) yang orisinal. Potensi inderawi, akali, dan hati merupakan potensi insani yang mampu menyingkap hakikat kebenaran, bergandengan dengan kebenaran samawi yang dimanifestasikan dalam bentuk pesan-pesan Tuhan yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya yang diberikan kepada para nabi yang kita sebut wahyu.
Dalam mazhab Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Mulla Shadra, memang, dikotomi filsafat dan tasawuf, seperti disimpulkan oleh Hossein Nasr, akan sulit teridentifikasi. la telah berhasil memuncakkan sufisme-filosofis dan filsafat-sufistik, setelah sebelumnya sufisme dipuncakan oleh Al-Ghazali sebagai sufisme etik yang sudah diharmoniskan dengan syariah. Ditegaskan oleh Zainal Abidin, sewaktu menyimpulkan pandangan Nasr tentang Mulla Shadra: “Menurut Nasr, pada figur Mulla Shadra ini, orang akan sulit mengidentifikasikannya: apakah ia seorang filosof yang mencintai tasawuf atau seorang sufi yang mencintai filsafat? Dan disiplinnya pun tak bisa lagi disebut sebagai filsafat atau tasawuf. Disiplin ini lebih tepat disebut hikmah.
Demikianlah tradisi ma`rifah (gnostisisme) yang menurut Nasr: “In the Islamic World, the highest form of knowledge has never been any single science, or scientia, which remains at the discursive level, but the ‘wisdom of the saints, ‘or sapientia,which ultimately means gnosis.”[8]
Agus Efendi, (2001), Kehidupan karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1] Jalaluddin Rakhmat, “Tasawuf dalam Al-Quran dan Sunnah,” makalah untuk Kuliah Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[2] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid III, hlm. 22).
[3] Ibid, hlm. 23.
[4] Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur fi Af-Tqfsir bi Al-Ma`tsur, jilid I, hlm. 67; Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba`i, Tafsir Al-Mizan, jilid IV, hlm. 259.
[5] Dr. Komaruddin Hidayat, “Makna Tasawuf dalam Perspektif Transformasi Sosial,” makalah untuk Paket Kuliah Tasawuf I, Yayasan Muthahhari, Bandung, 1992.
[6] Al-Asfar Al-Arba`ah, jilid VII, hlm 24-25.
[7] Dr. Ahmad Tafsir, “Tasawuf Sebagai Suatu Efistemologi: Definisi, Pertumbuhan, dan Pendorongnya.” Makalah untuk Paket Kuliah Tasawuf I. Yayasan Muthahhari, 1992, hlm. 11.
[8] Zainal Abidin. “Intelektualisme dan Tasawuf” yang dimuat dalam jurnal Al-Hikmah No. 5, edisi Maret-Juni 1992, hlm. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar