sistem ekonomi Islam vs kapitalis dan sosialis
BATASAN-BATASAN HARGA DALAM ISLAM
A. Pendahuluan
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat
langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme
modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari
sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama
bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang
cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Max Weber antara lain mengatakan: 1) tidak mungkin mengembangkan
kapitalisme tanpa adanya kelas atau kelompok wirausahawan, 2) tidak
mungkin ada kelas wirausahawan tanpa satu dasar moral (moral charter),
dan 3) tidak ada dasar moral tanpa keyakinan keagamaan (religious
premises), memastikan bahwa dasar moral Kapitalisme (Barat) adalah
Ajaran Protestan.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim
tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian
membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang
dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan
bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam,
bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of
Nations. Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya
Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang
yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill
maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang
sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu
akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut
mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan
harta dari sebuah usaha secara maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara
bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut
hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan
perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam
perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam
pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana
pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara
non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.
Jika mengikuti Weber yang mengatakan bahwa dasar moral berupa ajaran
agama merupakan hal niscaya dalam berkembangnya kapitalisme, maka
aktifitas bisnis dan perdagangan dalam ekonomi Islam tidak dapat
dilepaskan dari kriteria ajaran agama itu sendiri. Ajaran tersebut
memuat sikap pujian terhadap pelaku bisnis yang menjalankan secara benar
dan sikap yang mencela bagi pelaku yang mengabaikan ajaran Islam dalam
praktek bisnis.
Rosulullah SAW bersabda
عَنْ اَبِي سَعِيْدٍ عَنْ الَنَبي ص م قَََلَ التَاجِرُ الصُدُوقُ الْا
ِميْنُ يُحْشَرُ مَعَ النَبِيْنَ وَالــصِدِ قِيْنَ وَالشُهَدَآء (رواه
الترمذي والدارمي)
Artinya : dari Abi Sa’id dari Rosulullah SAW bersabda : “ pedagang yang
jujur dan dapat dipercaya akan dibangkitkan bersama kelompok para Nabi,
orang-orang yang benar dan para Syuhada’ (orang yang mati dijalan
Allah)” (HR Turmidzi dan Darimi)
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk
menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan
problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu,
dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya
revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem
ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar
Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan
kerangka berpikir demikian, tulisan ini akan mengkaji permasalahan
revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan
sektor riil.
B. Sistem Ekonomi Islam Di Antara Kapitalisme dan Sosialisme
Secara historis, konsep ekonomi kapitalis berakar dari istilah Perancis
yang terkenal laissez faire-- “berjalan sendiri”. Konsep tersebut
berasal dari teori ekonomi Adam Smith, seorang Skotlandia pada abad
ke-18 yang karyanya The Wealth of Nations dianggap sebagai magnum ovus
dalam bidang ekonomi. Karyanya itu sangat mempengaruhi tumbuhnya
kapitalisme di dunia. Ia percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh
dikekang. Menurutnya, selama pasar bebas dan bersaing, maka tindakan
individu yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama demi
kebaikan khalayak banyak.
Pasar mengatur kehidupan sosial, termasuk ekonomi, secara otomatis.
Karena pencapaian kepentingan pribadi dan kesejahteraan individu akan
membawa hasil yang terbaik, tidak hanya mereka sebagai peribadi tetapi
juga kepada masyarakat sebagai totalitas. Mekanisme ini dipandang oleh
Adam Smith sebagai “tangan-tangan tersembunyi”(invisible hand). Dengan
kata lain, karakteristik yang penting dari pasar, dipandang sebagai
salah satu mekanisme yang bekerja untuk mengatur diri sendiri (self
regulating mechanisme). Dengan demikian, tidak ada dimensi baik dan
buruk dalam pasar, karena itu ia tidak dapat diintervensi sepanjang
mekanisme berjalan secara normal.
Menurut Stanislav Andreski, hakekat kapitalisme modern tersebut ditandai
dengan beberapa karakteristik. Pertama, pemilikan semua sarana fisik
untuk produksi yang meliputi tanah, bahan-bahan mentah, mesin, peralatan
dan seterusnya, sebagai milik usaha-usaha industrial swasta otonom yang
bisa dijual. Kedua, akuntansi melibatkan kebebasan-kebebasan pasar,
yaitu tidak adanya pembatasan-pembatasan irasional atas perdagangan.
Oleh karena itu ketiga, akuntansi kapitalistik membutuhkan teknologi
rasional. Karakteristik keempat, agar organisasi industrial dapat
beroperasi secara rasional, maka harus didasarkan pada hukum dan
administrasi yang dapat diperhitungkan. Persyaratan kelima adalah
pekerja bebas. Pekerja harus tersedia, yang bukan saja orang-orang yang
berkesempatan melakukannya secara legal, tetapi juga yang karena keadaan
ekonomi harus menjual tenaga mereka di pasar, sehingga dalam
kenyataannya, karena dipaksa kondisi kelaparan menawarkan diri mereka
untuk mendapatkan upah sebagai bagian biaya produksi yang telah
ditentukan sebelumnya atas dasar prinsip ekonomi “dengan biaya yang
sekecil-kecilnya bisa mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya.”.
Karakteristik keenam atau yang terakhir adalah adanya komersialisasi
kehidupan ekonomi, yaitu penggunaan secara umum sarana-sarana komersial
yang berbentuk hak-hak saham dalam suatu perusahaan, apabila kekayaan
tersebut mengambil bentuk surat-surat yang dapat diperjual belikan.
Dengan adanya penghitungan rasional atas kapital sebagai pertanda yang
paling umum dari kapitalisme modern, maka pada dasarnya kapitalisme
modern hanya mungkin berkembang di negara yang rasional-positivistik.
Negara-negara tersebut ada di dunia Barat yang telah menerapkan hukum
dan administrasi modern yang rasional. Berkat dorongannya terhadap
praktek laissez-faire, kapitalisme ini mendapat dukungan di
negara-negara Barat tersebut, misalnya di Amerika Serikat, sebuah negara
modern yang dibangun di atas kepercayaan terhadap individu dan
persaingan bebas.
Walaupun telah dikatakan bahwa Weber memastikan bahwa dasar dari
kapitalisme Barat adalah semangat Protestianisme, namun akar agama dari
pandangan ekonomi modern tampaknya telah mati. Keagamaan asketik telah
digantikan oleh sebuah pandangan dunia pesimistik yang mengajarkan bahwa
kejahatan-kejahatan pribadi, di bawah kondisi kondisi tertentu mungkin
mengarah ke kebaikan umum. Maka tidak mengherankan ketika kebaikan itu
misalnya ditandai dengan adanya keuntungan atau hasil yang
sebesar-besarnya yang dijadikan sebagai motivasi dasar (profit
oriented), maka muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis, jangan
dicampur adukkan dengan moral.
Merupakan suatu permasalahan yang timbul dalam anjuran untuk
melaksanakan prinsip-prinsip etis dalam kegiatan ekonomi adalah walaupun
diakui bahwa prinsip-prinsip tersebut mungkin saja baik, tetapi
adakalanya tidak atau kurang dapat mendorong kegiatan ekonomi. Sebab
moral dan etika memang cenderung dianggap bersifat “mengekang” atau
“mengendalikan” daripada “mendorong”. Dari kedua hal tersebut, terdapat
pula apa yang disebut moralitas atau etos. Oleh karena itu wajar jika
timbul pertanyaan tentang apakah moral dan etika dapat mendorong
kegiatan ekonomi?. Nampaknya, ketika jawaban atas pertanyaan itu adalah
tidak, maka moral yang seringkali didasarkan pada nilai-nilai etis
religius, akan serta merta ditinggalkan, sebagaimana dalam sistem
ekonomi kapitalis.
Hal senada bahkan lebih ekstrim ditunjukkan oleh sistem ekonomi
soasialis yang berakar dari ajaran komunisme Karl Marx. Menurut Marx,
agama adalah sama sekali sebuah ilusi dan candu. Agama adalah bentuk
ideologi yang paling ekstrem dan nyata, sebuah sistem kepercayaan yang
tujuannya untuk dapat memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh
tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Menurutnya lebih lanjut, pada kenyataannya agama sangat tergantung pada
kondisi ekonomi, sebab tidak ada satupun doktrin kepercayaan agama yang
mempunyai nilai independen. Walaupun doktrin satu agama berbeda dengan
doktrin agama lainnya, namun bentuk-bentuk spesifik yang ada dalam
berbagai masyarakat pada akhirnya tergantung pada satu hal, yaitu
kondisi sosial kehidupan yang pasti juga bergantung pada kekuatan materi
yang bisa mengatur masyarakat di manapun dan kapanpun. Marx menegaskan
bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah lambang kekecewaan atas kekalahan
dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap memalukan yang
harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan.
Marx memberikan kritik yang sama kerasnya baik terhadap ekonomi
kapitalis maupun agama, yang menurutnya sama-sama menciptakan alienasi
(keterasingan). Agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami
manusia dan mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural
yang disebut Tuhan. Ekonomi kapitalis merampas hal yang lain dari
ekspresi alami manusia, yaitu produktivitas kerja mereka dan merubahnya
menjadi objek-objek materi, sesuatu yang bisa diperjual belikan dan
dimiliki oleh orang lain. Dengan kedua hal tersebut, di satu sisi
manusia telah memberikan bagian dari dirinya sendiri –kebaikan dan
perasaannya- kepada agama yang hanya bersifat khayalan semata, di sisi
lain, mereka bekerja terus menerus hanya demi upah untuk membeli
barang-barang yang kita butuhkan. Agama telah merampas nilai lebih
individu sebagai manusia dengan memberikannya kepada Tuhan. Begitu juga
dengan ekonomi kapitalis yang telah merampas pekerjaan manusia, ekspresi
kesejatian diri, dan kemudian memberikannya dalam bentuk komoditi
kepada kaum kaya yang menguasai modal (kapital) yang akan menjualnya.
Menurut Marx, kemiripan dalam hal yang sama-sama buruk ini, bukan
terjadi secara kebetulan saja.
Dengan menganggap agama sebagai bagian dari suprastruktur masyarakat di
mana ekonomi sebagai pondasinya, bisa dipastikan bahwa sistem ekonomi
sosialis-komunis terlepas dari nilai-nilai etis religius. Walaupun
dianggap penganutnya sebagai yang paling adil dan bijak, ternyata sistem
ekonomi sosialis telah mengorbankan kebebasan kegiatan ekonomi rakyat
akibat mekanisme kontrol yang sentralistik oleh penguasa. Keruntuhan
negara-negara Eropa timur yang merupakan basis sosialis komunis pada
akhir dekade 80-an, ternyata telah membuktikan kegagalan sistem
tersebut.
Kemudian ketidakpastian suatu sistem yang dianut dalam suatu komunitas
sosial akan mendorong kepada pembentukan mental yang individualistik dan
materialistik akibat kebutuhan untuk memilih cara-cara yang strategis,
simpel, dan pragmatis. Dalam kondisi inilah manusia sangat membutuhkan
petunjuk Tuhan sebagai final truth. Maka agama diturunkan untuk manusia,
karena manusia membutuhkan agama yang merupakan wujud dari rahmat Allah
yang memberikan bimbingan bagaimana manusia menghampiri-Nya. Agama
bukan untuk Allah dan sama sekali bukan kepentingan Allah. Karena dalam
sejarahnya, tanpa bimbingan agama manusia selalu gagal menemukan dan
mencari kaidah moral yang paling sempurna dan dapat memuaskan semua
pihak, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian sebagai seorang
Muslim, dalam melakukan aktifitas ekonomi pun sudah semestinya mengikuti
prinsip-prinsip ajaran Islam tentang hal tersebut.
Islam sebagai ajaran moral, telah menawarkan sebuah konsep
moral-religius kepada umat manusia untuk dijadikan acuan dalam setiap
aktifitas kehidupannya. Dalam kerangka ini dapat dikatakan Islam sebagai
agama diturunkan di muka bumi tidak lain untuk menciptakan kemaslahatan
manusia. Pada hakekatnya, upaya pengembangan sistem ekonomi Islam
dilakukan dalam kerangka tersebut. Bagian berikut akan melihat lebih
jauh bagaimana nilai-nilai dan etika perdagangan menurut sistem ekonomi
Islam.
C. Nilai-nilai dan Etika Perdagangan Islam
Sistem ekonomi Islam, yang didasarkan pada nilai-nilai dan pandangan
dunia (world view) islami adalah salah satu entitas dari keseluruhan
sistem ekonomi yang ada. Sistem ekonomi Islam lebih bericirikan ethics,
di mana dalam sistem ekonomi seperti ini, seluruh aktifitas ekonomi
berkait dengan perwujudan aspek-aspek nilai etis tersebut, juga ketika
dihadapkan dengan tantangan-tantangan ekonomi.
Dalam pandangan Baqir Sadar, sistem ekonomi dapat dikerucutkan ke dalam
dua bagian utama; yaitu: Philosophy of Economics dan Science of
Economics. Perbedaan salah satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi
lainnya teletak pada level philosophy of economics, dan tidak dalam
level Science of Economics. Philosophy of Economics memberikan masukan
terhadap paradigma pemikiran dan aktifitas ekonomi dengan nilai-nilai
dan batasan-batasan yang dianut, dan biasanya nilai-nilai agama yang
memberikan kerangka nilai seperti itu (religion value based). Sejarah
telah mencatat perkembangan dan sekaligus kejatuhan beberapa sistem
ekonomi di dunia. Salah satu dari sistem ekonomi tersebut begitu sukses
dalam satu periode tertentu, akan tetapi kemudian gagal. Tenaga kerja
penuh, pertumbuhan, stabilitas harga, pengurangan tingkat kemiskinan,
dan distribusi pendapatan yang lebih adil merupakan problematika ekonomi
yang dihadapi oleh seluruh sistem ekonomi. Hingga decade sekarang ini,
seluruh sistem ekonomi tersebut secara terus menerus (constantly)
mencari solusi alternatif terhadap tantangan-tantangan ekonomi
tersebut.
Berkaitan dengan mekanisme pasar atau perdagangan, terdapat perbedaan
mendasar dari kedua sistem ekonomi dunia yang dikenal (kapitalisme dan
sosialisme). Jika dalam sistem ekonomi kapitalistik pasar diasumsikan
dapat berjalan sendiri (laissez faire), ia digerakkan oleh satu
mekanisme yang abstrak (invisible hand), dan intervensi pemerintah dalam
mekanisme pasar (tidak dibolehkan/seminimal mungkin), maka dalam sistem
ekonomi sosialis pasar diasumsikan sangat sentralistik. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa ekonomi kapitalis terlalu berorientasi
individualistik dan tidak menghiraukan aspek-aspek sosial dalam
mekanisme pasar, sehingga yang menguasai modal (kapital) lah yang
berkuasa. Sementara itu, walaupun dianggap penganutnya sebagai yang
paling adil dan bijak, ternyata sistem ekonomi sosialis telah
mengorbankan kebebasan kegiatan ekonomi rakyat dan mekanisme pasar
akibat mekanisme kontrol yang sentralistik oleh penguasa.
Berkaitan dengan kebebasan individu dalam pemilikan harta maupun
pengembangannya dalam kegiatan ekonomi ini, Islam memiliki konsep
sendiri yang bisa jadi merupakan sintesis dari konsep yang ditawarkan
sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Salah satu asas pokok dalam
filsafat ekonomi Islam yang merupakan orientasi dasar ilmu ekonomi
adalah tentang hak pemilikan kekayaan. Dalam Islam seperti yang
dijelaskan al-Qur’an, bahwa pemilikan mutlak hanya layak bagi Tuhan
sendiri, karena semua yang dilangit dan di bumi adalah ciptaan-Nya dan
milik-Nya. Manusia hanya menjadi khalifah di muka bumi ini, sebagai
pengemban amanah dari Tuhan untuk mengelola alam semesta.
Status khalîfah atau pengemban amanat Allah itu berlaku umum bagi semua
manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu
sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti
bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan
hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu bisa mendapatkan
keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu dicipta
(oleh Allah) dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara
instinktif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling
memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing.
Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa
individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan
tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya
tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu di
mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut. Maulânâ Abul A'lâ
Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting
dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa
individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan
masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu
komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai
kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya
secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem
sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat sebagaimana yang digembar
gemborkan sistem ekonomi sosialis. Dari sinilah ukuran yang benar dari
suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota
masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan
kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan
rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu
dan mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga
kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara
mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang
lain yang berjumlah kecil
Adapun mengenai mekanisme pasar, terdapat beberapa prinsip yang
melandasi fungsi-fungsi pasar dalam masyarakat Muslim. Pertama, semua
harga, baik yang terkait dengan faktor-faktor produksi maupun produknya
sendiri bersumber pada mekanisme ini, dan karena itu diakui sebagai
harga-harga yang adil atau wajar. atau lebih tepatnya digunakan istilah
"harga yang sesuai." Dengan demikian dalam konsep ekonomi Islam,
penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar yaitu kekuatan
permintaan dan penawaran. Pertemuan permintaan dan penawaran tersebut,
haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa
terpaksa dalam melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut.
Keadaan rela sama rela merupakan kebalikan dari keadaan aniaya atau
eksploitatif, yaitu keadaan di mana salah satu pihak senang di atas
kepedihan orang lain. Dalam hal harga, para ahli fikih merumuskannya
sebagai the price of the equivalent (thaman al-mitsl) atau harga yang
sesuai. Konsep the price of the equivalent ini mempunyai implikasi yang
penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif.
Kedua, mekanisme pasar dalam masyarakat Muslim tidak boleh dianggap
sebagai struktur atomistik. Memang Islam tidak menghendaki adanya
koalisi antara para penawar dan peminta, tetapi ia tidak mengesampingkan
kemungkinan adanya akumulasi atau konsentrasi produksi selama tidak ada
cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua
hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama.
Dengan demikian dalam konsep ekonomi Islam, monopoli, duopoli, ataupun
oligopoli (dalam artian hanya ada satu penjual, dua penjual, atau bayak
penjual) tidak dilarang dalam Islam selama mereka tidak mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal. Ini merupakan konsekwensi dari
konsep the price of equivalent. Produsen yang beroperasi dengan positif
profit akan mengundang produsen lain untuk masuk ke dalam bisnis
tersebut, sehingga kurva supply bergeser dan jumlah output yang
ditawarkan bertambah, sehingga harga akan turun. Produsen baru akan
terus memasuki bisnis tersebut sampai harga turun sedemikian rupa
sehingga economic profit nihil. Pada keadaan ini, produsen yang telah
ada di pasar tidak mempunyai insentif untuk keluar dari pasar, dan
produsen yang belum masuk ke pasar tidak mempunyai insentif untuk masuk
ke pasar.
Namun dalam prakteknya, adanya akumulasi dan atau konsentrasi harta itu
bisa mengundang campur tangan pemerintah. Campur tangan ini bisa
berbentuk pengambilalihan produksi yang dimonopoli (oleh perorangan atau
perusahaan tertentu) atau pengawasan dan penetapan harga oleh
pemerintah (price intervention). Kebolehan price intervention antara
lain karena :
1. Price intervention dilakukan karena menyangkut kepentingan
masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus
melindungi pembeli dalam purchasing power.
2. Bila tidak dilakukan price intervention maka penjual dapat
melakukan ghaban faa-hisy , yang berarti si penjual menzalimi si
pembeli.
3. Pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan
penjual mewakili kelompok masyarakat yang lebih kecil, sehingga price
intervention berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, sehingga
seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan dilarang, yaitu:
1.Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di
pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari
daerah pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah
masuknya pedagang desa ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan
pasar yang tidak kompetitif.
2.Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang dijual
dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3.Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga
yang baik untuk kualitas yang buruk.
4.Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang, karena takaran
kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang
ditukar tersebut.
5.Menukar satu takaran kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma
kualitas sedang dilarang, karena setiap kualitas kurma mempunyai harga
pasarnya.
6.Transaksi Najasy dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain
memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain
tertarik.
7.Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi.
8.Ghaban Fahisy dilarang, karena menjual di atas harga pasar.
Yang ketiga dan terakhir berkaitan dengan mekanisme pasar adalah
mengenai teori nilai. Dalam ekonomi Islam tidak ada sama sekali
pemisahan antara manfaat normatif suatu mata dagangan dan nilai
ekonomiknya. Dengan perkataan lain, semua yang dilarang digunakan tidak
memiliki nilai ekonomik. Tentu saja karena minuman keras tidak bernilai
sama sekali dalam masyarakat Muslim, maka semua penawaran yang ada harus
dianggap tidak ada dan setiap usaha untuk memproduksi dan
mendistribusikannya sama sekali dianggap sebagai pemborosan dalam
pengertian ekonomi. Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas
masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut
dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan
uang/harta tanpa guna).
D. Pengembangan Sektor Riil
Profesor Jacquen Austry, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis
mengatakan bahwa untuk keluar dari kesulitan ekonomi yang pernah
dipimpin oleh mazhab ekonomi sosialis dan kapitalis kita harus menemukan
suatu konsep ekonomi yang adil dan seimbang. Sebagaimana telah
diuraikan di atas, melihat philosophy of economics yang tergambar dari
nilai-nilai dan batasan-batasan yang dirumuskan dari nilai-nilai Islam
dalam aktivitas perdagangan khususnya dan aktivitas ekonomi pada
umumnya, konsep ekonomi yang adil dan seimbang itu dapat ditemukan dalam
konsep Islam.
Adil dalam konsep Islam adalah “tidak menzalimi dan tidak di zalimi”.
Bisa jadi ‘sama rata sama rasa’ tidak adil dalam pandangan Islam.
Kenyataannya, upaya pemerataan kekayaan yang dilakukan dalam sistem
sosialisme, ternyata dapat menimbulkan masalah inefficiencies dan
produktivitas rendah, karena tidak memberikan insentif bagi orang yang
bekerja keras, yang pada gilirannya dapat mematikan sektor riil.
Demikian juga dengan praktek-praktek ekonomi kapitalistik. Para pemilik
modal, dengan sumberdaya (endowment) yang tinggi menjadikan mereka
mempunyai posisi tawar yang sangat kuat termasuk dalam menentukan harga
atau upah, sehingga dapat mengeksploitasi kaum yang mempunyai sumberdaya
terbatas. Kenyataannya dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya
(modal, tenaga kerja murah, dan mesin industri), kaum kapitalis dapat
menghasilkan produk yang melimpah di pasaran sehingga mengalahkan
produk-produk industri kecil dan menengah, baik dari segi kualitas
maupun harga. Sebenarnya hal tersebut sah saja sesuai dengan mekanisme
pasar, yang juga diakui dalam konsep ekonomi Islam. Namun jujur dan adil
yang disyaratkan oleh konsep Islam, seringkali terabaikan dalam sistem
kapitalisme ini, misalnya dengan mengeksploitasi buruh dan menghalalkan
segala cara untuk mendapat keuntungan (profit oriented). Industri kecil
dan menengah yang kekurangan modal atau sektor riil pada umunya, lambat
laun akan mati. Walaupun ada cara-cara yang ditawarkan sistem kapitalis
(ekonomi konvensional) untuk mengatasi permasalahan modal dimana
interest (bunga) merupakan ciri utamanya, selain karena dianggap riba
yang haram hukumnya dalam Islam karena bersifat eksploitatif, ternyata
juga lebih sering memperparah kondisi ekonomi daripada memperbaikinya,
bahkan menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, Islam menawarkan
konsep ekonomi dan perdagangan yang dilandasi nilai-nilai dan etika yang
bersumber dari nilai-nilai dasar agama (religion value based) yang
menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Seorang orientalis
berkebangsaan Perancis, Raymond Charles, mengatakan bahwa ekonomi Islam
telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri. Di bidang produksi ia
sangat memuliakan kerja dan mengharamkan segala bentuk eksploitasi. Di
bidang distribusi ia menetapkan dua kaidah "bagi masing-masing menurut
kebutuhannya", dan "Bagi masing-masing menurut hasil kerjanya".
Dengan adanya penghargaan terhadap prestasi kerja seseorang, secara
langsung ataupun tidak dapat meningkatkan produktivitas, sehingga
meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat, sehingga kesenjangan
ekonomi yang sangat tampak akibat praktek-praktek ekonomi kapitalis,
dapat diperkecil atau jika mungkin dihilangkan.
Dengan kata lain, konsep ekonomi Islam telah menetapkan batas-batas
tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa
mengorbankan hak-hak individu lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan
dalam Hukum Allah (Syari’ah) harus diawasi oleh masyarakat secara
keseluruhan, berdasarkan aturan Islam termasuk dalam perdagangan. Adanya
mekanisme pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran, selama tidak
ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan
kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan
kerjasama, adalah sah.
Pada dasarnya Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi
kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada
dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum
dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial
begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain
merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya
guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam hal
pengembangan daya guna ini, ketika misalnya seseorang kekurangan modal,
solusi yang ditawarkan dalam konsep Islam adalah kerjasama (mudarabah,
musyarakah ataupun murabahah), yang pembagian keuntungannya didasarkan
kerja-kerja nyata, bukan prediksi berupa dipastikannya keuntungan sesuai
dengan berjalannya waktu dengan prosentase tertentu, seperti instrumen
interest (bunga) dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, berbicara mengenai pengembangan sektor riil, maka
konsep ekonomi dan perdagangan yang dilandasi nilai-nilai dan etika
Islam, nampaknya lebih menjanjikan dibandingkan konsep ekonomi
kapitalisme maupun sosialisme. Oleh karena itu melaksanakan system
perdagangan Islam, sangat penting untuk dilakukan dalam upaya
pengembangan sektor riil ini. Dengan perkataan lain salah satu hal yang
dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memajukan
sektor riil, adalah dengan melakukan revitalisasi perdagangan Islam.
Getting lead the world with Islamic economic system
AllahuAkbar!
“give cause of needing”
“give cause of working achievement”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar