Arsip
untuk Kekuasaan Tuhan kategori
Rate This
Kehendak (Iradat)Tuhan
Tentang Penciptaan Alam
Mengutip dari analis Maqashid
al-Isyarat, Shadra mengatakan bahwa menyangkut persoalan kebaruan alam ini
para mutakallim terbagi kepada tiga pendapat, seperti di bawah ini:
Pertama, pendapat kaum Mu`tazilah dan yang sependapat. Mereka berpendapat
adanya pengkhususan waktu penciptaan dengan cara baru (bi al-huduts)karena
adanya sebab bagi pengkhususan tersebut, selain Allah; mereka berpendapat
bahwa pengkhususan waktu penciptaan tersebut berdasarkan prinsip preferensial,
bukan prinsip imperatif (`ala sabil al-uluyah dun al–wujud).
Kedua, pendapat yang mengatakan adanya pengkhususan bagi waktu
penciptaan alam dengan cara yang imperatif; mereka berpendapat bahwa penciptaan
alam bukan pada waktu itu bersifat tertolak, dengan alasan karena tidak ada
waktu selain waktu itu. Pendapat ini dipegang oleh Abu al-Qasim al-Balkhi, yang
dikenal dengan al-Ka`bi, dan yang sependapat dengannya.
Ketiga, pendapat yang menolak adanya pengkhususan waktu penciptaan,
untuk menghindari ta`lil (pengalasan; pemegapaan; why-ness);mereka
berpendapat bahwa keterciptaan waktu tidak terkait dengan waktu dan tidak
dengan sesuatu yang lain, selain Allah SWT; Dia tidak bisa ditanya tentang apa
yang dikerjakan-Nya (wa huwa la yus`alu ma yaf`al);atau mereka
berpendapat adanya waktu penciptaan tapi menolak kewajiban penyandarannya
kepada sebab selain pelaku (fa`il), bahkan mereka berpendapat
bahwa pelaku yang merdeka untuk memilih di antara salah satu dari objek-objek
kekuasaan-Nya tanpa pengkhusus, seumpama seorang yang dahaga yang dihadapkan
kepada dua buah gelas yang berisi air yang nisbah kedua gelas tersebut
kepadanya sama dari berbagai segi.
Tak pelak lagi, Shadra mengajukan
keberatan-keberatan atas pendapat- pendapat di atas. Kritik pedas Shadra
terutama terhadap akibat dari pendapat adanya pengkhususan waktu penciptaan
alam. Pendapat demikian menurut Shadra harus menyimpulkan adanya kevakuman (ta`thil)pada
diri Tuhan, bahkan tajsim dan tarkib pada diri Tuhan.
Shadra juga mengajukan keberatan atas
pendapat yang mengatakan adanya pengkhususan waktu penciptaan dan bahwa
penciptaan alam itu untuk alasan preferensi, bukan alasan imperatif, baik
persoalannya membedakan antara Diri dengan sifat Tuhan, seperti menurut
Mu`tazilah, maupun tidak, seperti menurut Asy`ariyah. Alasannya, menurut
Shadra, watak kemungkinan itu menuntut preferensi imperatif.
Sedangkan terhadap pendapat yang
adanya pengkhusus imperatif yang berbeda bagi diri pelaku, baik kemaslahatannya
kembali kepada alam atau sesuatu yang lain, seperti waktu itu sendiri,
sebagaimana menurut al-Ka`bi, Shadra pun mengajukan keberatan, bahwa pendapat
demikian pun tidak dapat dibenarkan. Adapun menyangkut kemaslahatan yang
kembali kepada selain pelaku yang melakukan suatu perbuatan melalui kekuasaan mungkinnya
yang bernisbah sama kepada masing-masing objek kekuasaan maka itu pun tidak
dapat dibenarkan sebagai pengkhusus bagi salah satu dari kedua objek kekuasaan
tersebut. Masalahnya, menurut Shadra, bagaimana masalah jika di antara keduanya
itu tidak ada yang lebih memiliki preferensi, bagaimana Dia akan melakukan yang
satu dengan melakukan yang lain, sementara antara keduanya memiliki nisbah yang
sama? Jika hal itu dilakukan, hal itu menunjukkan bahwa Tuhan memilih salah
satunya dan dengan demikian berarti perbuatan Tuhan itu menunjukkan preferensi
dan membutuhkan kesempurnaan bagi diri-Nya melalui manfaat tindakan-Nya itu,
padahal Tuhan Maha Suci dari sifat seperti itu.
Selanjutnya, menyangkut pendapat
yang mengatakan tidak adanya waktu pengkhusus dan pendapat yang menafikan
adanya ta`lil (argumentasi) pada perbuatan Tuhan, yang berpegang pada
firman-Nya “la yus`alu `amma yaf`al”, menurut Shadra pendapat demikian
bersifat distortif (mughalathah). Alasannya, menurut Shadra,
diri sejati sesuatu tidak disebabkari oleh sesuatu, dan tidak diragukan oleh
filosof manapun yang bertauhid dan oleh gnostik mana pun yang `arif bahwa
perbuatan Tuhan itu melalui Diri-Nya sendiri bukan melalui sesuatu perkara yang
menjadi tambahan bagi diri-Nya. Demikian juga motif-Nya dalam menciptakan alam
adalah ilmu-Nya itu sendiri dalam bentuknya yang paling paripurna, yang juga
merupakan Diri-Nya itu sendiri.
Wallahu a`lam bi al-shawab
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Perbedaan Makna Kekuasaan Pada Tuhan
dan Manusia
Menurut Shadra, kekuasaan pada Tuhan
adalah aktivitas dan kewajiban (`ayn al-wujud) itu sendiri, sedangkan
kekuasaan pada manusia adalah potensi dan kontingensi (`ayn al-quwwat wa
al-imkari)itu sendiri.
Jiwa manusia dan jiwa seluruh
binatang, menurut Shadra, dalam melakukan perbuatannya itu bersifat terpaksa.
Demikian juga seluruh geraknya. Karena, kedua-duanya bersifat tunduk (taskhiri),
seperti perbuatan alam dan geraknya. Seluruh perbuatan dan gerak tersebut
tidak akan terjadi kecuali karena berdasarkan tujuan-tujuan dan motif-motif
yang bersifat eksternal. Mengenai hal ini, Shadra menegaskan sebuah kaidah
teosofisnya, “Setiap yang merdeka selain Al-Wajib Al-Awwal kemerdekaannya
itu bersifat terpaksa, dan [oleh karena itu—ae] terpaksa dalam
perbuatan-perbuatannya”; “Kemerdekaan tidak akan terjadi dan tidak sah dengan
sesungguhnya kecuali pada wajib al-wujud semata. Dan perbuatan lainnya
dari mereka yang merdeka tidak akan terjadi kecuali terpaksa dalam bentuk
mereka yang terpaksa”. Dengan begitu, menurutnya, kekuasaan yang ada pada diri
kita artinya adalah potensi itu sendiri untuk melakukan perbuatan. Tidak ada
suatu kemerdekaan kecuali bersumber dari Tuhan Yang Maha Benar. Menurut Shadra,
sebagai contoh, gerak-gerak jiwa-jiwa planet itu terjadi karena tarikan
kerinduan yang memaksanya; oleh karena itu, gerak-gerak tersebut merupakan
gerak-gerak yang tunduk (taskhiri). Demikian juga jiwa-jiwa
binatang bumi, semuanya berbuat dan bergerak semata-mata bukan karena kekuasaan
sejati melainkan karena demi tujuan-tujuan dan motif-motif. Ditegaskan oleh
Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya, Al-Ta`liqat, seperti dikutip
Shadra, “Menurut Mu`tazilah bahwa [perbuatan—ae] merdeka itu (ikhtiyar)terjadi
karena stimulasi atau suatu sebab, dan [perbuatan—ae] merdeka yang karena motif
seperti itu bersifat terpaksa. Sedangkan kemerdekaan Tuhan dan perbuatan-Nya
tidaklah disebabkan oleh suatu motif (da`[in])”.Dikutip lagi oleh
Shadra, bahwa di tempat lain Ibnu Sina juga mengatakan sebagai berikut:
“Makna wajib al-wujud sesungguhnya
adalah kewajiban itu sendiri, dan bahwa wujud dirinya dan sifat-sifatnya itu
secara aktual tidak memiliki potensi, probabilitas dan kesiapan.
[Pernyataan—ae] bahwa Dia Merdeka itu sama dengan bahwa Dia Berkuasa…
[Pengertian merdeka dan berkuasa pada Tuhan—ae] tidak seperti pengertian
keduanya menurut kebanyakan orang dimana pengertian merdeka menurut umum
adalah sesuatu yang berdasarkan potensi dan membutuhkan preferant yang
mengeluarkan kemerdekaannya dari potensi kepada aksi, baik karena melalui motif
yang menstimulasinya untuknya, baik dari dalam dirinya maupun dari luar
dirinya. Oleh karena itu, hukum merdeka pada kita [manusia—pen] adalah merdeka
dalam pengertian terpaksa. Sedangkan [pengertian merdeka yang—ae] pertama
(kemerdekaan pada Tuhan), tidaklah berdasarkan motif dari luar diri dan
kebaikan-Nya yang menstimulasinya untuk melakukan kemerdekaan tersebut; Dia
tidak merdeka secara potensial kemudian merdeka secara aktual, tetapi secara
aktual Dia merdeka sejak awal. Artinya, bahwa Dia tidak pernah memaksa Diri-Nya
untuk melakukan apa yang diperbuat-Nya, akan tetapi Dia melakukan
perbuatan-Nya itu untuk Diri-Nya dan kebaikan-Nya sendiri, bukan untuk selain-Nya.
Dan di sana tidak ada dua kekuatan yang saling berkontradiksi—sebagaimana
terjadi pada diri kita….”
Selanjutnya, menurut Ibnu Sina,
kekuatan pada manusia itu berupa potensi. Oleh sebab itu, tidak mungkin akan
keluar sesuatu dari kekuasaan kita itu kecuali karena ada motif; menurut Ibnu
Sina, pada diri manusia itu memiliki kekuasaan antagosnistik. Ketika suatu
perbuatan itu sah bersumber dari kekuaaan kita maka sah pula keluarnya dua
jenis perbuatan yang saling bertentangan secara bersamaan dari satu orang
manusia dalam kondisi yang sama. Oleh karena itu, menurut kesimpulan Ibnu Sina,
kekuasaan manusia bersifat potensial, sedangkan kekuasaan Tuhan bersifat tidak
potensial; sifat kekuasaan yang melekat pada Tuhan selamanya equivalen dengan
sifat aktualnya. Sebab, meskipun kita telah mengatakan “[kami akan
melakukannya—ae] kapan kami bisa” ungkapan tersebut tetap saja bersifat
potensial, tidak aktual; sebab, kita pun berkuasa untuk berkehendak, padahal
kehendak yang ada pada diri kita pun bersifat potensial. Oleh karena itu,
menurut Ibnu Sina, kekuasaan pada diri manusia adalah kekuasaan yang sesekali
terjadi pada jiwa dan sesekali lagi bisa terjadi pada anggota tubuh; kekuasaan
yang terjadi pada jiwa adalah kekuasaan atas kehendak, sedangkan kekuasaan yang
terjadi pada anggota tubuh adalah kekuasaan atas gerak. Oleh karena itu pula,
Shadra selanjutnya menyimpulkan bahwa sesungguhnya potensi dan kontingensi itu
terjadi pada sesuatu yang material (madiyyat), sedangkan
[kekuasaan—ae] yang pertama [kekauasaan pada Tuhan—ae] adalah aktualitas
mutlak, maka bagaimana itu merupakan potensi? Dengan begitu, akal-akal aktif (al-`uqul
al-fa`alat)itu seperti yang pertama dalam kemerdekaan dan kekuasaan, karena
keduanya tidak menuntut kebaikan yang dianggap tetapi kebaikan yang sejati, dan
tuntutan di sini mustahil ada yang dapat menghalangmya seperti yang terjadi
pada diri manusia.
Menyangkut persoalan di atas, Mulla
Shadra sendiri menegaskan bahwa kekuasaan Tuhan itu bersiafat azali dan tetap,
sedangkan objek-objek kekuasaan Tuhan bersifat baru (haditsat)dan baru
kejadiannya. Namun demikian, tidaklah saling meniadakan antara keyakinan bahwa ijad
(penciptaan) itu abadi dengan wujud yang pengaruhnya itu dikatakan baru
dalam menciptakan sesuatu yang dalam menuju keberadaannya itu tidak lain adalah
berupa kemembaruan (tajaddud). Begitulah semua yang terjadi di
alam fisika ini. Sedangkan gambar-gambar diferensia (al-shuwar al-mufaraqat)
yang merupakan gambar-gambar dari nama-nama Tuhan dalam alam keputusan
azali-Nya tidaklah termasuk perbuatan-perbuatan eksternal, tetapi termasuk ke
dalam sifat-sifat Tuhan dan hijab-hijab cahayawi serta rahasia-rahasia
keagungan-Nya, dan semua itu tidak dinamai dengan “alam” atau nama “selain
Allah”. Oleh karena itu, menurut Shadra, mereka yang tidak fanatik buta, mereka
yang meninggalkan taqlid dan mereka memiliki kearifan akan memahami bahwa
kehendak Allah itu bersifat wajib al-wujub sebagaimana Diri-nya, karena
kekuasaan Tuhan adalah Diri-Nya sendiri yang maha Ahad; “anna wajib al-wujud bi
al-dzat wajib al-wujud min jami’ al-jihat,” tegas Shadra; dan kehendak itu
menurut Shadra bukanlah maksud penciptaan, terutama penciptaan mutlak atau
penciptaan awal bagi objek-objek tercipta yang paling dekat kepada-Nya atau
kosmos paling mulia dari-Nya, karena maksud kepada sesuatu itu setelah sesuatu
yang dimaksud itu telah tercapai. Dengan begitu tegas Shadra, “kehendak Allah
SWT maknanya bukanlah maksud tapi maknanya bahwa Allah SWT itu murid[an] (Maha
Berkehendak).” Artinya, menurut Shadra “annahu (subhanahu wata`ala) ya`qilu
dzatahu ya`qilu nizham al-khayr al-mawjud fi al-kull min dzatih.” Menurut
Shadra, sistem tersebut bersifat eksistensial dan emanatif, tidak menafikan
Diri Sumber Awal, sebab Diri-Nya itu merupakan keseluruhan kebaikan eksistensial.
Diktum filosofis yang banyak disebut Shadra berkaitan dengan kesimpulannya
seperti itu adalah “al-basith al-haq kull al-asy-ya` al-wujudiyyah.” Mengacu
kepadanya maka menurut Shadra suatu sistem yang paling paripurna bagi kosmos
mungkin itu mengikuti sistem Tuhan yang paling mulia. Demikianlah pengetahuan
Tuhan yang equivalen dengan kekuasan-Nya itu sendiri. Begitulah kehendak Tuhan
yang tidak mengandung kekurangan dan kemungkinan. Makna kekuasaan seperti
itulah yang menafikan penafsiran kekuasaan yang membolehkan dan tidaknya suatu
perbuatan, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kedalaman
menyangkut hikmah dan `irfan. Walhasil, Shadra, ketika menutup
pembahasan persaolan ini, lagi-lagi menegaskan, “… inna ma siwallah min
al-mukhtarin mudhtharr fi ikhtiyarih majbur fi iradatih.”
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
Rate This
Persoalan kekuasaan dalam teologi
Islam dikatakan sebagai salah satu dari apa yang disebut dengan prinsip empat (al-mabadi`
al-arba`ah)yaitu `Ilm, masyiyyat, iradat, dan qudrat (kekuasaan).
Masyiyyat sendiri berbeda dari iradat. Menurut Thabathaba`i,
nisbah masyiyyat adalah esensi akibat, sedangkan nisbah iradat adalah
keberadaannya, wujudnya; masyiyyat adalah kehendak universal (al-`azm
al-kulliy), sedangkan iradat adalah kehendak partikular (al-`azm
al-juziy).
Berkaitan dengan pembahasan tema
kekuasaan Tuhan, sebenarnya banyak sub tema yang dibahas oleh Mulla Shadra
sejauh menyangkut tema tersebut. Namun pada tulisan ini, penulis hanya kan
menjelaskan tiga hal saja: pertama, hal yang menyangkut pengertian
kekuasana itu sendiri; kedua, hal yang menyangkut perbedaaan makna
kekuasaan pada Tuhan dan manusia; dan ketiga, hal yang menyangkut
kehendak (iradat)Tuhan tentang penciptaan alam. Sumber tulisan ini
adalah magnum opus Mulla Shadra sendiri yaitu al-Hikmah
al-Muta`aliyyah fi al-Asfar al-`Aqliyyah al-`Arba`ah (Penerbit: Dar Ihya
Al-Turats Al-Arabiyy, cet. III, 1981, jilid I, h. 305-327).
Pengertian Kekuasaan
Sebagai sifat Tuhan, kekuasaan (qudrat)termasuk
ke dalam sifat-sifat kesempurnaan (al-shifat al-kamaliyat)Tuhan dan
sifat-sifat utama-Nya yang eksistensial (al-fadhail al-wujudiyyat).
Menurut Shadra ada dua pengertian
terkenal tentang kekuasaan (qudrat)Tuhan: pengertian teologis dan
pengertian filosofis. Para teolog mengartikan kekuasaan dengan “sihhat
al-fi`l” (dibenarkannya atau dibolehkannya suatu tindakan oleh Tuhan), sebagai
lawan dari “al-tark” (ditinggalkannya suatu tindakan oleh Tuhan). Sedangkan
menurut filosof kekuasaan adalah “kedudukan subjek pada dirinya di mana jika ia
mengendaki sesuatu ia dapat melakukannya dan jika tidak menghendakinya juga
dapat meninggalkannya”. Menurut Shadra, penegasan pengertian yang kedua
otomatis melazimkan penegasan yang pertama.
Pengertian teologis kekuasaan Tuhan
di atas menurut Shadra mengandung kerancuan dan kesalahan (khalath dan khabath).
Pengertian teologis kekuasaan Tuhan demikian, juga kebalikannya, menurut
Shadra, acuan keduanya adalah al-imkan al-dzatiy (kontingensi wajib).
Mengacu kepada aksioma fiolosofis dari para fllosof, menurut Shadra, pengertian
demikian bersifat mustahil terjadai pada diri Tuhan. Alasannya, karena Tuhan
itu sebagai “ada tanpa tiada” (wujud bila `adam); wajib tanpa
mungkin (wujub bila imkan); aktivitas tanpa potensi (fi`liyyah
bila quwwah). Anggapan tentang kekurangan-kekurangan demikian
menurutnya hanya akan terjadai pada orang yang meyakini bahwa sifat-sifat Tuhan
itu sebagai tambahan-tambahan pada Diri-Nya, seperti yang diyakini oleh
Asy`arisme. Sedangkan bagi orang yang mengesakan dan menyucikan Tuhan dari syawa`ib
al-katsrat wa al-imkan, kehendak yang terkait dengan wujud dan emanasi
(ifadhah) itu merupakan diri-Nya Sendiri melalui Diri-Nya, tanpa ada perbedaan
(taghayur) di antara Diri dan kehendak-Nya, baik pada tingkat realitas
maupun mental; dengan kata lain, menurut Shadra, Diri Tuhan adalah kehendak-Nya
itu sendiri (al-dzat hiya al-masyiyyah), begitu juga sebaliknya, al-masyiyyah
hiya al-dzat.
Menyangkut pengertian kekuasaan
Tuhan di atas, Shadra mendukung pengertian kekuasaan Tuhan dari para filosof.
Sedangkan mengenai proposisi- proposisi kondisional yang mengatakan, “in sya`a
fa`ala” dan “in lam yasya` lam yaf `al,” menurut Shadra dapat dibenarkan dengan
pengertian sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut ini, “… fashadaqa
al-qadhiyyat al-syarthiyyat al-qa`illat `in sya`a fa `ala’, la yunafi
wujub al-muqaddam wa dharurat al- al`aqd al-hamliy lah dharurat ajaliyyat
da`imat; wa kadzalik al-syarthiyyah al-qa`illat `in lam yasya` lam yaf`al la
yunafi istihalat al-muqadam imtina`an dzatiyyan wa dharurat azaliyyat. Fa
`ulima anna al-tafsir al-tsani shadiq `inda al-hukama` duna al-tafsir al-awwal”[al-tafsir
`inda al-mutakallimin—ae].[1]
Sedangkan menurut Fakhrur Razi,
seperti dijelaskan oleh Shadra sendiri, mengenai pengertian tentang kekuasaan
Tuhan ini tidak terjadi perbedaan pendapat di antara para teolog dan filosof.
Menurut al-Razi, kalaupun terjadi perbedaan pendapat, hal itu hanya bersifat
verbal, dengan alasan bahwa perbedaan antara kedua penafsiran tersebut di atas
itu hanya menyangkut persoalan etimologis saja (al-`ibarat wa al-lafzh), bukan
menyangkut persoalan terminologis dan konseptual (al-ma`na wa al-mafhum). Menurut
al-Razi pendapat demikian itu didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan pendapat
antara para teolog dan filosof itu disebabkan oleh perbedaan di antara mereka
mengenai keabadian dan kebaruan alam; karena para teolog membenarkan bahwa alam
itu dipandang azali sejauh azalinya itu disebabkan oleh sebab yang azali (`illat
azaliyyat). Namun, menurut al-Razi, mereka menolak adanya sebab dan akibat
yang bersifat azali dengan argumentasi ini, tapi dengan argumentasi wajibnya
yang mempengaruhi (al-mu`atstsir) terhadap keberadaan alam ini sebagai
yang kuasa. Sedangkan para filosof, menurut al-Razi, mereka telah bersepakat
bahwa sesuatu yang azali itu mustahil menjadi perbuatan (fi`l) bagi
pelaku yang merdeka (fa `il mukhtar). Dengan begitu, menurut kesimpulan
al-Razi, telah terjadi kesepakatan bahwa sesuatu yang azali itu pasti menafikan
kebutuhannya kepada pelaku yang merdeka, dan hal itu tidak menafikan
kebutuhannya kepada sebab yang mewajibkan (al-`illat al-mujibat). Jika
perseoalannya demikian, menurut al-Razi maka jelaslah bahwa menyangkut
persoalan ini tidak terjadi perbedaan pendapat.
Argumentasi al-Razi di atas,
dibantah oleh Shadra dengan mengacu kepada pandangan al-Thusi, sebagaimana di
bawah ini:
“Benarlah apa yang dikatakan oleh
komentator Muhaqqiq al-Thusi: Sesungguhnya persoalan ini benar tanpa kerelaaan
di antara kedua pihak yang bersilang pendapat. Alasannya, karena para teolog
sendiri menerbitkan buku mereka dengan dalil bahwa alam itu baru tanpa
aksidensi bagi pelakunya, ketimbang pertama-tama Dia seharusnya merdeka.
Selanjutnya, setelah menegaskan kebaruan alam, mereka mengatakan bahwa alam
itu membutuhkan yang membuat kebaruan (muhdits)dan bahwa yang melakukan
kebaruan itu wajib merdeka (mukhtar)sebab jika ia dalam kedudukan wajib
maka alam pun akan menjadi abadi (qadim)dan itu batal berdasarkan apa
yang mereka tegaskan pertama kali; nampak bahwa mereka membangun [pendapat
tentang—ae] kebaharuan alam itu di atas pendapat tentang kemerdekaan, bahkan
juga mereka membangun [pendapat tentang—ae] kemerdekaan itu juga di atas
kebaruan. Sedangkan pendapat tentang penafian akibat (ma`lul)oleh mereka
tidaklah disepakati, karena para penegas dari kalangan Mu`tazilah mengatakan
hal demikian dengan tegas, demikian juga kaum Asy`ari menegaskan bersama prinsip
pertama itu terdapat Delapan yang Abadi (al-qudama` al-tsamaniyyah);
mereka menyebutnya shifat al-mabda` al-awwal; dengan demikian mereka
antara akan menjadikan yang wajib itu sembilan dan menjadikannya sebagai
akibat-akibat bagi diri-diri yang wajib dan semua itu sebagai sebab-sebabnya. Ini
menjadi persoalan jika mereka dengan hati-hati menegaskan bahwa [perbedaan
pendapat menyangkut hal ini—ae] sebagai perbedaan etimologis. Jika demikian,
berarti dari segi maknanya mereka tidak memiliki ketajaman. Dengan begitu juga
menjadi nampak bahwa mereka tidak sepakat untuk menafikan sebab dan akibat atas
pendapat kebaruan. Sedangkan para filosof, merka tidak berpendapat bahwa yang
azali itu mustahil untuk menjadi perbuatan dari pelaku yang merdeka tapi mereka
berpendapat bahwa perbuatan azali itu mustahil bersumber dari kecuali dari
pelaku azali yang paripurna dalam perbuatannya, dan bahwa pelaku azali yang
paripurna dalam perbuatannya itu mustahil perbuatannya itu tidak azali. Ketika
alam itu, menurut mereka, perbuatan azali maka para filosof menyandarkannya
kepada pelaku yang azali dan paripurna dalam perbuatannya, demikian menurut
Fisika mereka. Demikian juga, ketika prinsip pertama itu azali dan paripurna
dalam perbuatannya maka alam yang menjadi perbuatannya itu pun tentu menjadi
bersifat azali. Begitulah menurut metafisika mereka. Sudah barang tentu, para
filosof tidak berpendapat bahwa Tuhan itu tidak kuasa dan merdeka, tapi mereka
berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan itu adalah kemerdekaan-Nya dan itu tidak
rnengharuskan terjadinya katsrat pada Diri-Nya; bahwa perbuatannya itu tidak
seperti perbuataan merdeka binatang hidup, juga tidak seperti perbuatan mereka
yang terpaksa seperti dari sesuatu yang memiliki tabiat fisikal.”
Agus Efendi, (2001), Kehidupan
karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.
[1]
Benarlah proposisi kondisional yang mengatakan, “Jika Dia menghendaki
[sesuatu], Dia pasti melakukan[nya],” tidaklah menafikan wajibnya premis awal
dan kepastian ikatan predikatifnya sebagai kepastian azali yang abadi. Demikian
juga [proposisi—ae] kondisional yang mengatakan, “Jika Dia tidak menghendaki
[sesuatu], Dia tidak akan melakukanfnya]”, tidak menafikan mustahilnya premis
awal sebagai yang halangan wajib dan sebagai kepastian kebalikannya sebagai
suatu kepastian yang azali. Dengan begitu dapat diketahui bahwa interpretasi
yang kedua [atas kekuasaan Tuhan—ae] itu benar menurut para filosof, tapi tidak
untuk interpretasi yang pertama [interpretasi menurut para teolog—ae].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar